3. Seorang wanita haid tidak boleh shalat,
thawaf, dan menyentuh mushaf, serta membaca al-Qur’an. Dalil keharusan wanita
haid meninggalkan shalat adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra.
bahwasanya dia berkata:
“Fathimah binti Abu
Hubais bertanya kepada Nabi Saw., dia berkata: Sesungguhnya aku banyak
mengeluarkan darah, aku tidak suci, apakah aku harus meninggalkan shalat? Maka
Rasulullah Saw. bersabda: “Jangan, sesungguhnya itu adalah pembuluh darah yang
pecah, akan tetapi tinggalkan shalat sesuai hari-harimu menjalani haid,
kemudian mandilah dan shalatlah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Lalu shalat apa yang
harus dikerjakan oleh seorang wanita haid setelah dia suci? Ibnu Abbas dan
Abdurrahman bin Auf telah menjawab pertanyaan ini. Ibnu Abbas berkata: Ketika
seorang wanita haid itu suci setelah ashar, maka dia harus shalat dhuhur dan
ashar. Dan jika ia suci setelah isya maka dia harus shalat maghrib dan isya.
Abdurrahman bin Auf berkata: Jika seorang wanita haid telah suci sebelum
terbenamnya matahari, maka ia harus shalat dhuhur dan ashar. Dan jika ia suci
sebelum fajar maka dia harus shalat maghrib dan isya. Imam Ahmad berkata
mengomentari dua pernyataan ini: Mayoritas tabi'in melontarkan pendapat seperti
ini, kecuali al-Hasan. Ahmad menyebutnya sebagai qaul
(pernyataan), dan ini benar, tiada lain karena kedua pernyataan tersebut
menuntut wanita yang haid untuk melaksanakan dua shalat fardhu yang mendahului
waktu sucinya.
Saya tidak melihat
dari keduanya kecuali sebagai sikap kehati-hatian. Betapa tidak, karena yang
wajib dikerjakan olehnya itu hanyalah shalat fardhu setelah datangnya waktu
sucinya, bukan shalat fardhu yang ada sebelum masa sucinya.
Dalil
ketidakbolehannya berthawaf adalah
hadits yang telah kami sebutkan dalam pasal janabah bahwa thawaf itu shalat
juga, maka kami persilakan Anda merujuk kembali pasal tersebut. Selain itu, ada
hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwasanya dia berkata:
“Kami berangkat
bersama Rasulullah Saw., dan kami tidak menyebut perjalanan ini kecuali
perjalanan berhaji, hingga ketika kami tiba di Sarif (suatu tempat yang
terletak antara Makkah dan Madinah, berjarak beberapa mil dari Makkah-pen.) aku mengeluarkan darah haid. Rasulullah
Saw. menemui aku dan waktu itu aku menangis. Rasulullah Saw. bertanya: “Apa
yang membuatmu menangis?” Aku menjawab: Demi Allah, aku sangat ingin tidak
berangkat pergi tahun ini. Beliau Saw. berkata: “Apa yang terjadi padamu,
apakah engkau mengeluarkan haid?” Aku berkata: Iya. Beliau Saw. berkata: “Ini
merupakan satu ketentuan yang ditetapkan Allah Swt. kepada wanita, lakukanlah
apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji, tetapi engkau tidak boleh thawaf
mengelilingi Baitullah hingga engkau suci.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Ahmad, Abu Dawud, dan
at-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari jalur Abdullah bin Abbas dari Nabi Saw.:
“Wanita yang nifas dan
haid itu boleh mandi dan berihram serta
melakukan seluruh aktivitas manasik haji, tetapi tidak boleh thawaf
mengelilingi Baitullah hingga dia suci.”
Tirmidzi berkata:
status hadits ini hasan gharib.
Sedangkan dalil
ketidakbolehan menyentuh mushaf adalah ketidakbolehan menyentuh mushaf bagi
seorang yang junub.
“Al-Qur’an tidak
disentuh kecuali oleh orang yang suci.” (HR. Baihaqi, ad-Daruquthni, al-Hakim
dan at-Thabrani)
Hadits tersebut dihasankan oleh al-Hazimi. Hadits ini dikritik
dan dilemahkan oleh sejumlah perawi hadits, tetapi di sisi lain juga dishahihkan dan diterima oleh banyak perawi.
Wanita yang sedang
haid tidak dalam keadaan suci, berdasarkan firman Allah Swt.:
“Dan janganlah kamu
mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (TQS.
al-Baqarah [2]: 222)
Dan berdasarkan hadits
yang sebelumnya telah kami cantumkan, di dalamnya disebutkan:
“Engkau tidak boleh
thawaf mengelilingi Baitullah hingga engkau suci.”
Mengenai wanita yang
sedang haid tidak boleh membaca al-Qur’an, at-Tirmidzi berkata: Ini merupakan
pendapat mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi, tabi'in dan para
fuqaha setelah mereka seperti: Sufyan at-Tsauri, Ibnu al-Mubarak, as-Syafi’i,
Ahmad, dan Ishaq telah mengatakan: Wanita yang haid dan orang yang junub tidak
boleh membaca sesuatupun dari al-Qur'an, kecuali ujung ayat, satu huruf, dan
sebagainya.
Ad-Darimi telah
meriwayatkan dalam kitabnya as-Sunan
dengan jalur periwayatan dari Ibrahim, Said bin Jubair dan Amir, dan dari Umar
bin Khaththab, juga Abul Aliyah, di mana mereka melontarkan pernyataan seperti
yang disebutkan oleh at-Tirmidzi, yaitu wanita haid tidak boleh membaca
sesuatupun dari al-Qur’an.
Kami tidak
berargumentasi dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar dari Nabi Saw.,
beliau Saw. bersabda:
“Orang yang junub dan
wanita yang sedang haid tidak boleh membaca sesuatupun dari al-Qur'an.” (HR.
at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan adDaruquthni)
Ini karena hadits
tersebut adalah hadits dhaif, karena dhaifnya Ismail bin Ayyas ketika dia
meriwayatkan sesuatu dari ulama Hijaz atau Irak. Dalam hadits ini dia
meriwayatkan dari Musa bin Uqbah, seorang ulama Hijaz, karena dhaif, maka hadits tersebut tidak layak
dijadikan sebagai hujjah. Ad-Daruquthni
juga meriwayatkan hadits ini dari jalur Abul Malik bin Maslamah, dia seorang
yang dhaif, dan dari jalur Jabir di mana
di dalamnya ada nama Yahya bin Abi Unaisah yang juga seorang yang dhaif.
4. Kami telah menyebutkan dalam pembahasan
hukum orang yang junub, bahwa ketika seorang laki-laki mengeluarkan mani
pertama kali, maka dia beralih ke masa dewasa dan masuk dalam golongan
orang-orang mukallaf (yang terkena taklif hukum). Di sini kami katakan pula
bahwa seorang wanita ketika mengeluarkan darah haid untuk pertama kalinya, maka
dia beralih ke fase baligh dan masuk ke dalam kelompok wanita mukallaf, dan
baginya berlaku hukum-hukum yang diberlakukan pada kaum wanita. Mani yang
keluar dari seorang lelaki, dan haid yang keluar dari seorang wanita, menjadi
pertanda usia baligh dan tanda memasuki fase taklif syar’i, sehingga sejak saat
itu wanita tersebut diharamkan juga menyingkap sesuatu, selain wajah dan
telapak tangan, berdasarkan frman Allah Swt.:
“Dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.” (TQS.
an-Nur [24]: 31)
Telah diriwayatkan
dengan jalur yang shahih dari Umar dan
Abdullah bin Umar serta Ibnu Abbas, bahwasanya mereka menafsirkan ayat ini
dengan wajah dan dua telapak tangan.
Wanita yang sudah haid
-yang sudah berusia baligh- haram berkhalwat
dengan pria asing, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas dari Nabi
Saw., beliau Saw. bersabda:
“Seorang lelaki tidak
boleh berkhalwat dengan seorang wanita
kecuali bersama mahram.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Begitu pula dengan
berbagai taklif dan hukum-hukum lainnya.
Dalam pembahasan
hukum-hukum junub poin sembilan, telah kami sebutkan tanda-tanda baligh
bagi laki-laki dan perempuan.
Bacaan: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar