8. Membasuh Dua Tangan Hingga
Dua Siku
Inilah fardhu wudhu
yang ketiga. Dalilnya sangat banyak, sebanyak hadits-hadits yang menceritakan
sifat wudhu. Sejumlah hadits telah kami sebutkan. Selain itu ada ayat wudhu
yang juga menyebutkannya:
“Dan (basuhlah)
tanganmu sampai dengan siku.” (TQS. al-Maidah [5]: 6)
Al-Mirfaq (siku) itu bisa dibaca dengan dua
cara: bisa dengan mengkasrahkan mim-nya dan memfathahkan
huruf fa-nya (al-mirfaq); bisa juga dengan memfathahkan
mim-nya dan mengkasrahkan fa-nya (al-marfiq).
Para ulama berbeda
pendapat tentang hukum membasuh dua siku. Zufar, Ibnu Jarir at-Thabari dan
Dawud berpendapat membasuh dua siku itu tidak wajib ketika kita membasuh dua
tangan.
Sedangkan jumhur ulama
berpendapat membasuh dua siku itu wajib hukumnya. Zufar berkata: Yang
diwajibkan Allah Swt. dengan firman-Nya:
“Dan (basuhlah)
tanganmu sampai dengan siku.” (TQS. al-Maidah [5]: 6)
Adalah membasuh dua
tangan sampai dua siku. Dua siku itu menjadi ghayah
(batas maksimal) dari bagian akhir tangan yang wajib dibasuh. Ghayah itu tidak termasuk ke dalam batasan,
sebagaimana malam tidak termasuk ke dalam puasa yang diwajibkan Allah Swt.
kepada hamba-Nya:
“Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 187)
Karena malam itu
menjadi ghayah (batas maksimal) puasa
seseorang yang berpuasa, sehingga ketika dia sampai pada waktu malam maka dia
telah menunaikan kewajibannya. Maka begitu pula dengan dua siku yang ada dalam
firman-Nya:
“Maka basuhlah mukamu
dan tanganmu sampai dengan siku.” (TQS. Al-Maidah [5]: 6)
Siku itu menjadi ghayah dari tangan yang wajib dibasuh.
At-Thabari menyatakan:
Membasuh dua siku dan sesuatu yang ada di baliknya itu dihukumi sebagai sunah,
yang dianjurkan Nabi Saw. kepada umatnya dengan ucapannya:
“Umatku akan bercahaya
disebabkan bekas wudhunya, maka siapakah di antara kalian yang bisa
memperpanjang ghurrahnya (cahayanya)
maka lakukanlah.”
Sehingga shalat orang
yang tidak membasuh dua sikunya itu tidak dipandang rusak berdasarkan
penjelasan yang telah kami paparkan sebelumnya, bahwa setiap ghayah (tujuan) yang dibatasi dengan lafadz “ilaa” itu menurut ungkapan bahasa arab
mengandung kemungkinan memasukkan ghayah
ke dalam batasan, juga kemungkinan mengeluarkannya dari batasan.
Ketika suatu ungkapan
atau kalimat bersifat muhtamal, maka
siapapun tidak boleh menetapkan ghayah
tersebut masuk ke dalamnya (siku itu masuk dalam tangan yang wajib dibasuh-pen.) kecuali as-Syari’
(Allah Swt.) sebagai pihak yang tidak boleh ditentang penjelasan dan
penetapannya.
Menurut kami,
ketetapan dua siku itu termasuk pada perkara yang wajib dibasuh adalah bukan
berasal dari pihak yang wajib diterima ketetapan hukumnya (bukan berasal dari
as-Syari’).
Dengan demikian, Zufar
dan at-Thabari menyatakan tidak wajibnya membasuh dua siku, dan Dawud
sependapat dengan keduanya.
Alasan yang
dilontarkan Zufar berbeda dengan yang dilontarkan at-Thabari.
Zufar menetapkan bahwa
sesuatu yang ada setelah huruf ilaa itu
tidak masuk ke dalam sesuatu yang ada sebelumnya, dalam arti, ghayah tidak termasuk perkara yang dituntut.
Artinya, ayat al-Qur'an yang menyebutkan:
“Dan (basuhlah)
tanganmu sampai dengan siku.” (TQS. al-Maidah [5]: 6)
Telah mengeluarkan
(mengeliminasi) dua siku dari tuntutan, karena dua siku itu ghayah yang berada di luar tuntutan. Jadi,
pengertian ayat ini menurut Zutar adalah basuhlah tangan kalian hingga sampai
bagian awal siku, di mana dia menyerupakan hal itu dengan ayat:
“Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 187)
Di mana al-lail (malam) menjadi ghayah, sehingga berada di luar tuntutan
puasa.
At-Thabari telah
menjadikan huruf ilaa memiliki dua
makna, pertama berarti ma'a (bersama
dengan), seperti ayat:
“Dan jangan kamu makan
harta mereka bersama hartamu.” (TQS. An-Nisa [4]: 2)
Yakni ma'a amwaalikum
(bersama hartamu), dan seperti ayat:
“Siapakah yang akan
menjadi penolong-penolongku bersama Allah?” (TQS. as-Shaff [61]: 14)
Yakni ma'a Allah
(bersama Allah); dan kedua, huruf ilaa
itu mengeluarkan sesuatu yang ada setelahnya (setelah ilaa) dari sesuatu yang ada sebelumnya. Makna kedua inilah yang
menjadi pendapat Zufar di atas. Setelah at-Thabari menyebutkan bahwa huruf ilaa itu secara bahasa menunjukkan dua makna,
dia berkata kalimat tersebut menjadi muhtamal
(memiliki beberapa kemungkinan). Ketika suatu lafadz bersifat muhtamal, maka tidak ada seorangpun yang
berhak menetapkan salah satu maknanya kecuali syara’
itu sendiri, padahal tidak ada nash syara
yang menentukannya, sehingga menurutnya, gugurlah pendapat yang mewajibkan
membasuh dua siku. Jadi, hukumnya tetap sunah sebagaimana yang disebutkan dalam
hadits al-ghurr al-muhajjalun di atas.
Sedangkan ashhabur ra'yi yang lain mengambil kesimpulan
wajibnya membasuh dua siku berdasarkan hadits Nuaim bin Abdillah yang telah
kami sebutkan. Di dalam hadits tersebut disebutkan:
“Kemudian dia membasuh
tangan kanannya hingga mengenai lengan bagian atas, kemudian tangan kirinya
hingga mengenai lengan bagian atas.”
Al-Isyra' (basuhan sampai) dua lengan itu
tentu mengandung pengertian dibasuhnya dua siku. Bagi mereka, hadits ini
merupakan penjelasan dari Rasulullah Saw. untuk menentukan salah satu
pengertian bahasa dari huruf ilaa
(sampai), yakni ilaa itu berarti ma’a (beserta). Mereka berargumentasi juga
dengan hadits Utsman ra.:
“Kemarilah kalian, aku
akan tunjukkan kepada kalian cara wudhu Rasulullah Saw. kemudian dia membasuh
wajahnya dan dua tangannya sampai kedua sikunya, hingga dia menyentuh pangkal
lengan atasnya, lalu dia mengusap kepalanya, mengusapkan dua tangannya pada dua
telinga dan jenggotnya, kemudian dia membasuh dua kakinya.” (HR. ad-Daruquthni)
(Ini hadits dhaif)
Mereka juga
berargumentasi dengan hadtis Jabir ra., dia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. ketika berwudhu, beliau Saw. mengguyurkan air pada dua sikunya.” (HR.
ad-Daruquthuni) (Ini hadits dhaif)
Ishaq bin Rahuwaih
berkata: huruf ilaa dalam ayat tersebut
bisa berarti ghayah (sampai), bisa juga
mengandung arti ma’a (bersama dengan),
dan Sunnah sudah menjelaskan bahwa arti ilaa
dalam ayat tersebut adalah ma’a (bersama
dengan).
Untuk membantah mereka
yang melontarkan dua pendapat ini, saya katakan sebagai berikut: huruf ilaa bisa berarti intihaul ghayah (batas maksimal yang dituju), bisa pula berarti ma’a (bersama dengan). Tindakan Zufar
menentukan salah satu dari dua makna tersebut dengan argumentasi ayat puasa
tadi, itu bisa dibantah dengan ayat:
“Dan jangan kamu makan
harta mereka bersama hartamu.” (TQS. An-Nisa [4]: 2)
Dan dengan ayat:
“Siapakah yang akan
menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” (TQS. as-Shaff
[61]: 14)
At-Thabari telah
membantah tindakan Zufar menentukan salah satu makna dengan cara seperti itu,
walaupun at-Thabari sendiri akhirnya memiliki kesimpulan yang sama dengan
pendapat Zufar. Dia menjelaskan bahwa huruf ilaa
dalam ayat:
“Dan (basuhlah)
tanganmu sampai dengan siku.” (TQS. al-Maidah [5]: 6)
Itu mengandung dua
makna. Dengan demikian gugurlah istidlal yang dilakukan oleh Zufar.
Istidlal at-Thabari
tidak ragu lagi merupakan istidlal (pengambilan kesimpulan) yang lebih netral
dan lebih fair dibandingkan dengan
istidlal pendahulunya. Istidlal at-Thabari tersebut dibantah dengan cara
membuktikan bahwa huruf ilaa dalam ayat
tersebut mengandung salah satu dari dua makna, jika tidak, maka istidlal
at-Thabari bisa dipandang benar. Saya menetapkan untuk menangguhkan bantahan
terhadap istidlal at-Thabari ini, karena terlebih dahulu saya akan membantah
mereka yang melontarkan pendapat berbeda.
Perihal pernyataan
yang dilontarkan as-Syafi’i bahwa dia tidak mengetahui ada perbedaan, maka saya
sudah menyebutkan tiga nama imam besar yang berbeda pendapatnya dengan pendapat
ini. Mengenai pernyataan Ishaq bin Rahuwaih bahwa Sunnah sudah menjelaskan bahwa
ilaa itu artinya adalah ma'a (bersama dengan), maka pengakuan tersebut
membutuhkan dalil yang membuktikannya. Pengakuan tersebut dilontarkan dengan
argumentasi hadits Nuaim bin Abdillah yang ditakhrij
oleh Muslim:
“Hingga mengenai
lengan bagian atas.”
Sebenarnya hadits ini
tidak bisa dijadikan sandaran oleh mereka untuk membuktikan kebenaran
pengakuannya tersebut. Karena ghayah
yang disebutkan dalam hadits tersebut hukumnya sunah bukan wajib, hadits
tersebut menyatakan:
“Dan dia membaguskan
wudhunya, kemudian dia membasuh tangan kanannya hingga mengenai lengan bagian
atas, lalu tangan kirinya hingga mengenai lengan bagian atas, kemudian dia
mengusap kepalanya, membasuh kaki kanannya hingga mengenai betis, lalu mencuci
kaki kirinya hingga mengenai betis, ...dan dia berkata: Rasulullah Saw.
bersabda: “Pada Hari Kiamat kelak kalian akan bercahaya disebabkan wudhu kalian
yang sempurna, maka siapakah di antara kalian yang bisa maka hendaklah dia
memperpanjang cahaya dan sinarnya itu.” (HR. Muslim)
Hadits ini telah
diawali dengan kalimat:
“Maka dia membaguskan
wudhunya.”
Lalu setelah itu
hadits tersebut mulai menyebutkan tata cara membaguskan wudhu, sehingga
menyebutkan: hingga mengenai lengan atas ketika membasuh dua tangan, dan hingga
mengenai betis ketika membasuh dua kaki, sebagai indikasi bahwa basuhan yang
mengenai lengan dan betis tersebut merupakan bentuk atau cara membaguskan
wudhu. Setelah itu Rasulullah Saw. menjelaskan bahwa perbuatan membaguskan dan
menyempurnakan wudhu seperti ini akan menambah terangnya cahaya mereka.
Kemudian beliau Saw. menggabungkan hal itu dengan sabdanya:
“Maka siapakah di
antara kalian yang bisa maka hendaklah dia memperpanjang cahaya dan sinarnya
itu.”
Ucapan Rasulullah Saw.
ini menunjukkan memperpanjang cahaya dan sinar (yang disebabkan oleh basuhan)
itu hukumnya dianjurkan (sunah), karena beliau Saw. tidak memerintahkannya
secara tegas.
Dengan demikian,
basuhan yang sampai mengenai lengan atas dan betis itu dihukumi sunah saja,
bukan wajib. Ketika hadits tersebut berbicara tentang menyempurnakan basuhan
dalam perkara sunah, maka perbuatan yang dilakukan Rasulullah Saw. ketika
membasuh lengan dan siku itu semata-mata karena berpegang pada hukum sunah
saja. Dengan demikian, hadits ini tidak layak dijadikan sebagai dalil dan
sandaran yang menopang pendapat mereka yang mewajibkan membasuh dua siku.
Hadits Utsman ra. yang
diriwayatkan oleh ad-Daruquthni tidak layak digunakan sebagai hujjah, karena
perawinya adalah Muhammad bin Ishaq, dan dia meriwayatkan hadits tersebut
secara 'an'anah (berbunyi: dari si
fulan, dari si fulan/ dari seseorang, dari seseorang). Ketika Ibnu Ishaq
meriwayatkan hadits secara 'an'anah maka
haditsnya itu didhaifkan, sehingga sanad
hadits ini dhaif statusnya.
Selain itu, matan
hadits ini dipandang ganjil dan berbeda dengan hadits-hadits shahih. Hadits ini menyebutkan membasuh
janggut setelah mengusap kepala dan mengusap dua telinga, padahal hadits-hadits
shahih menyebutkan membasuh janggut itu
setelah membasuh wajah. Jadi, hadits ini dhaif
dari sisi sanad, dan syadz (ganjil) dari sisi matannya,
sehingga tidak layak digunakan sebagai hujjah.
Hadits Jabir yang
diriwayatkan oleh ad-Daruquthni juga dipandang sebagai hadits dhaif, karena bertumpu pada al-Qasim bin
Muhammad bin Abdullah. Abu Hatim berkata: Dia seorang perawi yang dituduh
berdusta. Abu Zur’ah berkata: Hadits-haditsnya dikategorikan munkar. Ahmad
berkata: Tidak berarti sama sekali. Al-Qasim ini didhaifkan oleh Ibnu Ma’in, al-Mundziri, Ibnu al-Jauzi, Ibnu
as-Shalah dan an-Nawawi. Tidak ada seorangpun yang menganggapnya tsiqah, kecuali Ibnu Hibban. Keputusan Ibnu
Hibban mentsiqahkannya tidak banyak
berarti ketika para imam mendhaifkannya
dengan predikat sangat dhaif, di mana
mereka menyebutnya sebagai perawi yang dituduh berdusta dan seorang perawi
hadits munkar.
Dengan demikian
gugurlah pernyataan Ishaq bin Rahuwaih: as-sunah telah menjelaskan bahwa ilaa tersebut bermakna ma'a (beserta dengan).
Az-Zamakhsari berkata
dengan tepat: “Huruf ilaa itu secara
mutlak mengandung arti al-ghaayah
(sesuatu yang dituju). Adapun masuk atau tidaknya ghayah
(perkara yang dituju) tersebut ke dalam hukum, maka harus disandarkan pada
dalil…” hingga ia menyatakan: “dan firman Allah Swt. “ilal marafiqi” itu tidak ada dalil yang menentukan masuk atau
tidaknya perkara tersebut. Para ulama berpegang pada kehati-hatian, sedangkan
Zufar berpegang pada dilalah yang
meyakinkan.”
Ringkasnya adalah,
pendapat jumhur yang menyatakan bahwa membasuh siku seluruhnya itu wajib
sebenarnya disandarkan pada hadits-hadits yang tidak shahih.
Mengenai pernyataan
yang dilontarkan at-Thabari bahwa membasuh dua siku itu tidak wajib hukumnya,
merupakan pernyataan yang tidak cermat. Inilah penjelasannya: pendapat yang
benar dan paling tepat menurut saya adalah bahwa membasuh satu bagian dari siku itu wajib untuk
mengamalkan kaidah syara:
“Perkara yang hanya
dengannya suatu kewajiban bisa terlaksana, maka perkara tersebut menjadi wajib
hukumnya.”
Alasan untuk menolak
klaim at-Thabari itu adalah bahwasanya tangan itu bersambung sepenuhnya dengan
siku, dan bisa dilihat oleh pandangan mata tidak adanya batas pemisah apapun di
antara keduanya. Dan ketika diwajibkan membasuh seluruh tangan tanpa satu bagian
pun yang dikecualikan, maka membasuh seluruh tangan itu tidak mungkin
terlaksana tanpa membasuh satu bagian dari siku, di mana dengan membasuh satu
bagian dari siku bisa diyakinkan terlaksananya kewajiban tersebut.
Sehingga membasuh satu
bagian dari siku itu wajib hukumnya, sedangkan membasuh selebihnya dipandang
sebagai sunah seperti perbuatan lainnya yang ditambahkan pada wudhu yang cukup
(mujzi) sebagaimana telah kami sebutkan berkali-kali.
Pendapat dan kaidah
ini adalah dua hal yang saya tangguhkan penyebutannya ketika mendiskusikan
istidlal (pengambilan kesimpulan) yang dilakukan at-Thabari.
Dengan demikian,
membasuh satu bagian dari siku mengandung arti memastikan membasuh seluruh
tangan yang hukumnya wajib dalam wudhu. Dan membasuh seluruh tangan itu tidak
akan terlaksana sama sekali kecuali dengan membasuh satu bagian dari siku,
sehingga membasuh bagian tersebut menjadi wajib karenanya.
Taqiyudin an-Nabhani rahimahullah menyatakan sebagai berikut dalam
kitab ushul-nya: [Firman Allah Swt.:
“Maka basuhlah mukamu
dan tanganmu sampai dengan siku.”
Dan firman Allah Swt.:
“Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 187)
Huruf ilaa dalam kalimat ilal maraafiqi dan dalam kalimat ilal
lail, ini mengandung pengertian ketika satu bagian dari siku tidak
dibasuh maka membasuh dua tangan hingga siku itu tidak terlaksana, sehingga
yang diharuskan itu adalah terealisirnya ghayah,
bukan memasukkan ghayah ke dalam
tuntutan. Ketika satu bagian dari malam itu belum dimasuki -walau hanya
sedetik- maka puasa tersebut dipandang tidak terlaksana, sehingga membasuh satu
bagian dari siku -walaupun sedikit- dan berpuasa pada satu bagian dari malam
-walaupun sedetik- menjadi wajib hukumnya. Berdasarkan dilalah dua ayat tadi, karena perkara yang diwajibkan -yakni
membasuh dua tangan dan berpuasa siang hari- itu tidak akan terlaksana, kecuali
dengannya].
Pemaparan seperti itu
saya lakukan semata-mata diselaraskan dengan kajian yuristik (al-bahts al-fiqhiy) saja. Jika tidak, maka
seorang Muslim itu pada prinsipnya harus membasuh setiap siku dan satu bagian
dari lengan atas dalam rangka memanjangkan cahayanya kelak pada Hari Kiamat.
Perkara tersebut dipandang sunah dan termasuk tindakan menyempurnakan wudhu.
Aspek praktisnya adalah seorang Muslim membasuh dua siku, baik dia mengatakan
wajib atau sunah, atau apa saja istilahnya menurut Anda.
Disunahkan pula untuk
menyela-nyela jari-jemari tangan untuk lebih memungkinkan sampainya air
kepadanya, dan lebih baik lagi ketika jari-jemari itu disela-sela menggunakan
jari kelingking tangan kiri. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu
Abbas ra. bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika engkau berwudhu,
maka hendaknya engkau menyela-nyela jari-jemari kedua tanganmu dan kedua
kakimu.” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Hadits ini dihasankan oleh Bukhari.
Juga berdasarkan
hadits yang diriwayatkan al-Mustawrid bin Syaddad, dia berkata:
“Aku melihat
Rasulullah Saw. ketika berwudhu, beliau menggosok (menyela-nyela) jari-jemari
kedua kakinya dengan kelingking tangannya.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi,
an-Nasai dan Ibnu Majah)
Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu al-Qaththan.
Juga berdasarkan
hadits yang diriwayatkan Laqith bin Shabrah, dia berkata:
“Maka aku berkata:
Wahai Rasulullah, beritahuIah aku cara berwudhu. Rasulullah menjawab:
“Sempurnakanlah wudhu, hendaknya engkau menyela-nyela jari-jemari, dan
sempurnakanlah istinsyaq (hiruplah air
sedalam mungkin) kecuali jika engkau sedang berpuasa.” (HR. Abu Dawud,
an-Nasai, Ahmad dan Ibnu Majah)
Hadits ini
diriwayatkan dan dishahihkan oleh
at-Tirmidzi, juga dishahihkan oleh
al-Baghawi dan Ibnu al-Qaththan.
Ketika seorang lelaki
atau wanita memakai cincin, maka dia harus menggeserkan cincin tersebut, agar
air bisa membasahi kulit yang ada di bawahnya. Benda yang serupa dengan cincin
adalah gelang yang dipakai di pergelangan tangan dan kaki. Kecuali jika air
bisa membasahinya tanpa perlu menggeserkan benda-benda tersebut, maka saat itu
menjadi tidak wajib. Yang menjadi ‘illatnya
adalah sampainya air ke seluruh bagian anggota wudhu, sehingga sesuatu yang
bisa merealisasikan hal itu (sampainya air ke seluruh bagian anggota wudhu-pen.) wajib hukumnya, sedangkan yang
menghalanginya menjadi dosa, dan wudhunya dipandang tidak jadi.
Mengenai perbuatan
yang populer dilakukan kaum wanita zaman sekarang, yakni memakai cat pewarna ke
atas kuku jari-jemari tangan dan kaki, maka hal itu sama saja dengan mencegah
sampainya air ke kuku, baik ketika berwudhu ataupun ketika mandi, dan ini jelas
tidak boleh. Wudhu seorang wanita yang memakai cat kuku seperti ini adalah
tidak sah, dan wudhu wanita yang memakai cat kuku tersebut batil, sehingga
shalatnya pun menjadi batil. Dalil atas hal itu adalah hadits yang diriwayatkan
Khalid bin Ma’dan, dari sebagian sahabat Nabi Saw.:
“Bahwasanya Nabi Saw.
melihat seorang lakielaki sedang shalat, sedangkan di punggung kakinya ada satu
bagian sebesar dirham yang tidak terkena air, maka Nabi Saw. memerintahkannya
untuk mengulang wudhu dan shalatnya.” (HR. Abu Dawud)
Ahmad meriwayatkan
hadits ini tanpa lafadz: “dan shalatnya.”
Al-Atsram berkata: Aku
bertanya kepada Ahmad: Apakah sanad hadits ini bagus? Ahmad berkata: Bagus.
Membiarkan satu bagian
sebesar dirham pada kaki tidak tersentuh air, itu telah membatalkan wudhu, maka
apatah lagi jika lebih dari itu, yakni membiarkan sepuluh kuku atau dua puluh
kuku tidak tersentuh air,
tidak ragu lagi batallah wudhunya.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar