Kelima: Nifas dan Melahirkan
a. Nifas adalah darah yang keluar dari farji
karena sebab melahirkan, dan bayi yang dilahirkan disyaratkan harus nampak
jelas bentuk fisik manusianya, baik terlahir dalam keadaan hidup ataupun mati.
Definisi ini akan mengeliminasi sesuatu yang dikeluarkan oleh rahim seperti
nuthfah (sperma), 'alaqah (segumpal
darah), atau bentuk awal mudhghah
(segumpul daging), sehingga keluarnya tiga hal tadi tidak bisa dikatakan
sebagai melahirkan dan juga bukan nifas. Nuthfah, 'alaqah
dan mudhghah itu tidak tercakup oleh
istilah bayi yang dilahirkan. Dalil atas hal ini adalah al-Qur'an al-Karim dan
Sunnah Nabawiyah.
Dalil al-Qur’an
al-Karim adalah firman Allah Swt. dalam surat al-Hajj ayat 5:
“Hai manusia, jika
kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah)
sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani,
kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna
kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami
tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah
ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi.” (TQS. al-Hajj [22]: 5)
Ayat ini menetapkan
terjadinya pembentukan yang sempurna (takhaluq)
terdapat pada tahapan mudhghah (segumpal
daging), sehingga menafikan terjadinya takhalluq
pada nuthfah dan ‘alaqah.
Mudhghah merupakan awal pembentukan, yakni
awal terbentuknya fisik manusia, dan fase sebelumnya (yakni nuthfah dan ‘alaqah) tidak termasuk pembentukan dan bukan
awal terbentuknya fisik manusia.
Persalinan (al-wiladah) adalah mengeluarkan bayi yang
sudah sempurna bentuknya, bukan sekedar mengeluarkan darah yang masih cair atau
beku, karena nuthfah itu artinya mani, dan ‘alaqah
artinya darah beku, sedangkan al-mudhghah
adalah sepotong daging seukuran benda yang sedang dikunyah. Yang masih berupa
darah tidak dipandang sebagai bayi yang dilahirkan, sedangkan yang sudah
menjadi daging maka termasuk bayi yang dilahirkan (al-maulud). Lebih tepat kami katakan bahwa mudhghah (segumpal daging) itu merupakan awal
pembentukan janin.
Sedangkan dalil yang
berasal dari hadits, telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud ra. bahwasanya dia
berkata:
“Rasulullah Saw.
berbicara kepada kami, dan beliau Saw. adalah seorang yang shadiqul mashduq (benar dan dipercaya).
Sesungguhnya salah seorang dari kalian mulai diciptakan dalam perut ibunya
dalam waktu empat puluh hari, kemudian menjadi 'alaqah
(segumpal darah) selama empat puluh hari berikutnya, dan menjadi mudhghah (segumpal daging) selama empat puluh
hari berikutnya, kemudian diutuslah malaikat, lalu dia meniupkan ruh ke
dalamnya, dan malaikat itu diperintahkan untuk menuliskan empat perkara,
menuliskan rizkinya, ajalnya, amalnya, dan sengsara atau bahagianya.” (HR.
Muslim dan Bukhari)
Hadits ini menafsirkan
ayat di atas, dan menjelaskan bahwa ditiupkannya ruh itu sesungguhnya terjadi
setelah beralihnya fase ‘alaqah
(segumpal darah) menjadi fase mudhghah,
bahkan setelah sempurna bentuk mudhghah.
Hadits tersebut menyebutkan:
“Dan kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) selama empat puluh
hari berikutnya, kemudian diutuslah malaikat, lalu dia meniupkan ruh ke
dalamnya.”
Hadits tersebut jelas
menggunakan lafadz tsumma (kemudian)
yang memberikan arti urutan kejadian (at-tartib),
sehingga ditiupkannya ruh itu terjadi setelah terbentuknya mudhghah, yakni setelah terbentuknya mudhghah, bukan selama pembentukan mudhghah. Dan ruh tidaklah ditiupkan kecuali
setelah mudhghah terbentuk sempurna. Takhalluq (pembentukan) itu terjadi ketika mudghah sudah terbentuk sempurna, dalam arti
ketika ‘alaqah secara bertahap berubah
menjadi mudhghah maka terjadi
pembentukan secara bertahap.
Mudghah itu menyertai takhalluq, sehingga sesuatu tidak disebut mudhghah kecuali setelah sempurna bentuknya.
Dan mudhghah tidak dikatakan sempurna
kecuali setelah sempurna pembentukannya, dan ketika sempurna pembentukannya
maka itulah saat ditiupkannya ruh.
Dengan pemahaman
seperti ini, kita bisa sampai pada kesimpulan berikut: ketika seorang wanita
mengeluarkan nuthfah (sperma) yakni setelah berlalu empat puluh hari sebagai
masa maksimal awal kehamilan, maka saat itu dia tidak dipandang keguguran
janin. Dan ketika dia mengeluarkan 'alaqah
yakni setelah berlalu delapan puluh hari sebagai masa maksimal awal kehamilan,
maka dia juga tidak dipandang telah keguguran janin. Ini merupakan persoalan
yang sangat jelas. Adapun ketika dia mengeluarkan mudhghah
yang bentuknya sudah sempurna setelah lebih dari seratus dua puluh hari
-walaupun kelebihannya hanya satu hari saja-, maka dia dipandang telah
keguguran janin yang sudah memiliki ruh, sehingga tentunya dipandang masa
nifas.
Tinggallah kini masa
antara delapan puluh hari hingga seratus dua puluh hari, yakni masa pembentukan
mudhghah. Ini merupakan masa atau fase
peralihan dari bentuk yang tidak diragukan lagi bukan sebagai bayi dan belum
memiliki ruh, karena ia hanya segumpal darah yang padat seperti hati dan limpa,
bukan sebagai daging, karena tubuh yang terbentuk dari daging itu sudah
ditempati ruh.
Fase antara ini
diperselisihkan oleh para fuqaha. Di antara mereka ada yang memandang bahwa
keguguran mudhghah yang belum sempurna
bentuknya itu sebagai keguguran bayi, sehingga mereka menyebutnya sebagai
nifas. Tetapi ada di antara mereka yang memandangnya sama dengan keguguran
nuthfah dan 'alaqah, yakni bukan
keguguran bayi, sehingga itu bukan nifas.
Pendapat yang benar
adalah: mudhghah yang belum sempurna
bentuknya itu dihukumi sebagai sesuatu bukan mudhghah
('alaqah-pen.), karena ruh tidak akan
dimasukkan sebelum sempurna bentuk mudhghah-nya.
Mengenai perkara yang
berkaitan dengan nifas dari sisi hukum shalat, bersuci dan bersetubuh, maka
kami katakan bahwa seorang wanita ketika keguguran setelah seratus hari, maka
kita harus memeriksa janin yang gugur tersebut. Ketika janin sudah terbentuk dengan
jelas, maka kita menganggap wanita
tersebut dalam kondisi nifas. Tetapi jika tidak terbentuk maka kita tidak
menganggapnya dalam kondisi nifas.
Ibnu Qudamah
menyatakan dalam kitab al-Mughni: “Jika
seorang wanita melihat darah setelah mengeluarkan sesuatu yang di dalamnya ada
bentuk manusia, maka itu adalah darah nifas yang sudah ada ketetapannya menurut
nash. Tetapi jika ia melihat darah setelah mengeluarkan nuthfah atau ‘alaqah, maka darah tersebut bukan darah nifas.
Ketika pada sebagian benda yang keluar itu tidak nampak bentuk manusia, maka
terdapat dua pendapat. Pertama itu adalah nifas, karena itu merupakan permulaan
pembentukan manusia sehingga dipandang sebagai nifas seperti halnya ketika
telah nampak dengan jelas bentuk manusianya. Sedangkan kedua, bukan nifas,
sebab tidak nampak dengan jelas bentuk manusianya karena dipandang menyerupai
nuthfah saja.”
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar