2. Wudhu
Jumhur ulama
berpendapat, seorang wanita mustahadhah
(bukan haid) itu wajib berwudhu untuk setiap kali shalat. Hanya Malik seorang
diri yang mengatakan: wudhu untuk setiap kali shalat itu sunah saja hukumnya,
dan tidak wajib, kecuali dengan adanya hadats yang lain. Pendapat yang benar
adalah pendapat yang dipegang oleh jumhur, karena nash-nash yang ada
menunjukkan hal itu. Sebelumnya telah kami sebutkan hadits hasan shahih
dari at-Tirmidzi:
“Berwudhulah engkau
untuk setiap kali shalat hingga datang waktu itu.”
Ini merupakan nash
yang jelas tentang kewajiban berwudhu untuk setiap kali shalat, sehingga
pendapat inilah yang harus dipegang dan diamalkan.
Bahwasanya berwudhu
tersebut dihukumi fardhu, bukan sunah, tiada lain karena keluarnya darah dari
farji (kemaluan wanita) itu akan membatalkan wudhu, di mana sepanjang
pengetahuan saya tidak ada perbedaan pendapat di dalam persoalan itu.
Seorang wanita mustahadhah akan mengeluarkan darahnya secara
terus-menerus, sehingga dia dalam kondisi terus-menerus batal wudhu dan tidak
bisa suci darinya, yang akibatnya dia tidak bisa melaksanakan shalat.
Lalu datanglah syariat
yang memeritahkannya untuk shalat, dan berwudhu untuk setiap kali shalat,
walaupun bisa jadi darahnya terus menetes keluar selama dia melaksanakan
shalat. Ketika dia diperintahkan berwudhu untuk setiap kali shalat semata-mata
dalam rangka melaksanakan kewajiban shalat, sehingga tidak mungkin wudhu
tersebut dihukumi sunah, karena sesuatu yang sunah itu boleh ditinggalkan.
Padahal dalam hal ini wudhu tersebut tidak boleh ditinggalkan, karena jika
ditinggalkan niscaya dia dalam keadaan terus-menerus batal, sehingga tidak
boleh shalat dalam kondisi seperti itu.
Kondisi ini disebut
sebagai kondisi darurat dan kondisi udzur, persis sama dengan orang yang tidak
bisa mengendalikan air kencing atau buang angin, dan ini menjadi qarinah bahwa perintah di sini menunjukkan
hukum wajib.
Malik berpendapat,
yang kemudian diikuti oleh Ikrimah dan Rabi’ah, bahwa wudhu bagi wanita mustahadhah itu sunah saja hukumnya. Mereka
berargumentasi dengan hadits Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah ra.
bahwasanya Nabi Saw. berkata kepada Fathimah binti Abi Hubaisy:
“(Dan jika waktu haid
selesai) maka mandilah dan shalatlah.”
Mereka berkata
bahwasanya Rasulullah Saw. tidak memerintahkannya berwudhu untuk setiap kali
shalat, dan perintah wudhu tersebut tidak dinyatakan dalam nash dengan jelas.
Untuk membantahnya kami katakan bahwa hadits Aisyah di atas menyebutkan:
“Berwudhulah engkau
untuk setiap kali shalat.”
Ini merupakan tambahan
kalimat yang harus diterima, di mana kalimat tersebut membantah pernyataan
mereka: Perintah wudhu tersebut tidak dinyatakan dalam nash dengan jelas.
Ketika hadits mereka layak dijadikan hujjah
karena diriwayatkan oleh Bukhari, maka hadits yang kami sodorkan ini pun layak
dijadikan hujjah, karena diriwayatkan
oleh Tirmidzi, di mana Tirmidzi mengatakan: hadits ini hasan shahih. Selain itu
hadits Bukhari tidak menyebutkan wudhu, sedangkan hadits Tirmidzi ini terang
menyebutkannya. Hadits yang terang menyebutkan (an-nuthqu)
lebih didahulukan daripada yang tidak menyebutkan (as-sukut).
Jika ada orang yang
membantah bahwa bagi wanita mustahadhah
keluarnya darah tidaklah menjadi masalah dan tidak pula membatalkan wudhunya
sehingga tidak wajib wudhu karenanya, maka kami katakan: bagaimana Anda
menjelaskan perintah Rasulullah Saw. kepada Hamnah binti Jahsy:
“Aku sarankan engkau
memakai kapas.”
Yakni letakkanlah
kapas untuk mencegah keluarnya darah. Ketika Hamnah berkata: darahnya itu lebih
banyak keluar, -yakni kapas tidak tidak bisa mencegah keluarnya darah- maka
Rasulullah Saw. berkata:
“Maka balutlah.”
Yakni perbanyaklah
sesuatu yang bisa menghalangi keluarnya darah, karena itu, bagaimana Anda akan
menjelaskan dua perintah Rasulullah Saw. ini jika Anda memang berpendapat bahwa
keluarnya darah dari kemaluan itu tidak membatalkan wudhu? Ketika wudhu di sini
diijinkan karena ada udzur dan darurat, maka wudhu tersebut harus dibatasi
sesuai dengan kedua hal tersebut, sehingga wudhu yang dibolehkan untuk setiap
shalat fardhu tersebut sah sepanjang waktu shalat fardhu tersebut, di mana
dengan satu kali wudhu dia boleh melakukan shalat apapun yang dikehendakinya di
waktu shalat tersebut, dan ketika habis waktu shalatnya maka batal pula
wudhunya. Sehingga ketika dia ingin melakukan shalat fardhu yang baru, maka dia
harus berwudhu kembali, begitu seterusnya.
Selain itu, wanita mustahadhah tersebut harus berwudhu setelah
masuk waktu shalat, bukan sebelumnya, hingga bisa dikatakan bahwa dia berwudhu
pada waktu setiap kali shalat. Seandainya dia boleh berwudhu sebelum masuk
waktu, niscaya wudhunya itu boleh digunakan untuk dua waktu, padahal ini tidak
boleh, karena menyalahi fakta wudhu tersebut sebagai wudhu di waktu udzur dan
darurat yang harus dilakukan sesuai kadar keduanya. Ini merupakan pendapat para
ulama pengikut Imam Hanafi dan Ibnu Qudamah dari pengikut Imam Hanbali, dan
inilah pendapat yang shahih.
Ibnu Hajar menyatakan
dalam kitab Fathul Baari: Menurut ulama
Hanafiyah, wudhu tersebut berkaitan dengan waktu shalat, sehingga pada waktu
itu si wanita mustahadhah berhak
melakukan shalat fardhu yang ada dan shalat yang luput darinya selama tidak
keluar dari waktu shalat fardhu yang sedang berlangsung tersebut. Berdasarkan
pendapat mereka ini bisa dipahami bahwa maksud ucapan beliau Saw.: “Berwudhulah
engkau untuk setiap kali shalat,” itu maksudnya adalah pada waktu setiap
shalat.
Sedangkan yang lain
menyatakan, wudhu tersebut untuk setiap shalat fardhu dan setiap shalat yang
harus diqadha, karena berpegang pada dzahir hadits. Hal seperti ini merupakan
bentuk kekakuan akibat berpegang pada dzahir
hadits, karena seandainya kita hendak seiring dengan pernyataan mereka, niscaya
kami katakan kepada mereka: bagaimana Anda sekalian dengan satu wudhu bisa
membolehkan melaksanakan shalat dhuhur misalnya, dua rakaat sebelumnya atau dua
rakaat setelahnya? Ini adalah tiga shalat, bukan satu shalat? Jika mereka
mengatakan: ini tercakup dalam satu sebutan yakni shalat dhuhur, maka kami
katakan: mana nash yang menunjukkan hal itu? Apakah perbedaan yang ada di
antara tiga shalat ini, shalat dhuhur, dan qadha
shalat fajar dalam satu waktu? Tidak, dalam persoalan yang ini ada nash,
sedangkan dalam persoalan yang itu tidak ada nash. Jika kalian memperlebar
pemahaman kalian terhadap nash, maka kami katakan: perluasan pemahaman seperti
itu niscaya akan mencakup beberapa shalat mu'addah
yang dilaksanakan dalam satu waktu shalat.
Kemudian di dalam
hadits Hamnah ini terdapat perintah untuk menjama'
(jamak shuwariy) dua shalat, antara
shalat dhuhur dengan shalat ashar, antara shalat maghrib dengan shalat isya.
Dan Rasulullah Saw. tidak memerintahkannya berwudhu, Rasulullah Saw. cukup
memerintahkannya mandi untuk melaksanakan dua shalat. Seandainya Rasulullah
Saw. memerintahkan Hamnah berwudhu untuk shalat yang kedua, niscaya peristiwa
tersebut akan dinukilkan kepada kita. Tetapi ketika tidak ada kabar atau
riwayatnya, maka ini menunjukkan bahwa wudhu tersebut tidak wajib hukumnya, dan
hadits ini menunjukkan bahwa mandi atau wudhu tersebut dilaksanakan untuk dua
shalat.
Ini menjadi dalil
lainnya bahwa wudhu itu cukup untuk melaksanakan lebih dari satu shalat dalam
satu waktu, sehingga batallah pernyataan mereka yang telah disebutkan di atas
itu.
Kami tidak ingin
bersikap kaku, sehingga harus kami katakan bahwa hadits ini menunjukkan wudhu
tersebut cukup untuk dua waktu dan dua shalat fardhu, karena shalat jama’ yang
diperintahkan pada Hamnah ini adalah jama’
shuwariy, di mana dia harus shalat dhuhur di akhir waktu dhuhur lalu
segera shalat ashar di awal waktu ashar. Semua ini dengan satu kali basuhan,
yakni satu kali wudhu.
Dari Hamnah binti
Jahsy, dia berkata:
“…Beliau Saw. berkata
padanya: “Darah seperti ini (istihadhah)
hanyalah salah satu hentakan dari setan, maka tetapkanlah masa haidmu enam atau
tujuh hari menurut ilmu Allah, kemudian hendaknya engkau mandi, hingga jika
engkau melihat bahwa engkau telah suci dan yakin untuk membersihkan diri, maka
shalatlah dua puluh empat atau dua puluh tiga malam dan siang, dan berpuasalah,
karena hal itu sah bagimu. Seperti itulah yang harus engkau lakukan di setiap
bulan, seperti halnya kaum wanita mengalami haid dan mengalami masa suci dengan
waktu-waktu haid dan suci mereka. Jika engkau mampu untuk mengakhirkan dhuhur dan menyegerakan ashar maka
hendaknya engkau mandi, kemudian laksanakanlah shalat dhuhur dan ashar secara
digabungkan, kemudian hendaknya kamu akhirkan shalat maghrib dan segerakan
shalat isya, lalu mandilah dan gabungkanlah dua shalat tersebut dan
kerjakanlah. Dan hendaknya engkau mandi untuk shalat subuh dan shalatlah.
Seperti itulah yang harus engkau lakukan, dan shalatlah serta berpuasalah jika
engkau mampu untuk itu.” Dan dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Ini adalah
dua perkara yang paling mengagumkan bagiku.” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Abu Dawud)
Mandi setiap sebelum shalat dalam hadits ini sunah saja, lengkapnya di pembahasan hadits-hadits mandi bagi wanita mustahadhah.
Mandi setiap sebelum shalat dalam hadits ini sunah saja, lengkapnya di pembahasan hadits-hadits mandi bagi wanita mustahadhah.
Dengan satu kali wudhu
saja seorang wanita mustahadhah bisa
melaksanakan shalat fardhu, shalat sunat, shalat yang harus diqadha-nya, dan shalat-shalat nawafil lainnya,
juga bisa membaca al-Qur'an dan menyentuh mushaf, selama itu semua dilakukan
dalam waktu shalat fardhu.
Ketika muadzin
mengumandangkan adzan untuk shalat berikutnya maka batallah wudhunya. Wanita
tersebut harus berwudhu kembali (kecuali dalam shalat jama’ shuwariy), dan dengan wudhu yang baru itu dia bisa
melakukan apapun seperti yang dilakukannya dengan wudhu sebelumnya. Selain itu
dia juga harus membersihkan kemaluannya dari darah yang ada, kemudian berusaha
keras agar darah tidak menetes lagi. Dan ketika dia sudah berupaya sedemikian
rupa tetapi darahnya tetap keluar juga, maka hal itu tidak mengapa.
Bacaan: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar