Keempat: Haid
Haid menurut bahasa
adalah as-sayalan atau al-jaryan (arus atau aliran).
Dikatakan haadhat al-mar’atu tahiidhu haidhan wa mahiidhan wa
mahaadhan, jika darahnya mengalir keluar.
Seorang wanita yang
haid bisa disebut haa’idh dan haa’idhah.
Telaga disebut al-haudh karena air mengalir ke sana (al-maa’u yahiidhu ilaihi).
Haid menurut syara: aliran darah wanita yang berasal dari
rahimnya setelah wanita tersebut mencapai baligh, secara rutin dalam waktu
tertentu.
Tidak diperselisihkan
lagi bahwa haid mengharuskan si wanita untuk mandi. Ini merupakan perkara yang
pasti diketahui sebagai bagian dari agama (ma’lum
min ad-diin bi ad-dharurah).
Beberapa nash berikut
menjelaskan persoalan mandi atas wanita haid:
1. Dari Anas bin Malik:
“Sesungguhnya orang
Yahudi apabila isteri mereka haid, maka mereka tidak makan dan berkumpul
dengannya di rumah. Lalu para sahabat bertanya kepada Nabi Saw., kemudian Allah
Swt. menurunkan: (Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, haid itu
adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita
di waktu haid) hingga akhir ayat. Rasulullah Saw. berkata: “Lakukanlah apapun
kecuali bersetubuh.” Hal ini kemudian sampai kepada orang Yahudi, maka mereka
berkata: Lelaki ini tidak ingin meninggalkan sesuatupun dari urusan kami
kecuali hendak menyelisihi kami dalam perkara itu. Lalu datanglah Usaid bin
Hudhair dan Abbad bin Bisyr. Mereka berdua berkata kepada Rasulullah Saw.:
Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang Yahudi mengatakan begini dan begitu,
maka kami tidak akan bergaul dengan wanita haid (mengasingkan wanita haidh-pen.). Lalu berubahlah wajah Rasulullah Saw.
hingga kami menyangka Rasulullah Saw. marah pada keduanya, maka keduanya pun
pergi keluar. Kemudian datanglah hadiah berupa susu kepada Rasulullah Saw.,
lalu beliau Saw. mengutus orang memanggil keduanya, dan beliau Saw. kemudian
memberi minum susu kepada keduanya. Keduanya kemudian mengetahui bahwa
Rasulullah Saw. tidak marah pada mereka berdua.” (HR. Muslim, Abu Dawud,
at-Tirmidzi, dan an-Nasai)
2. Dari Aisyah ra.:
“Bahwasanya Asma
bertanya kepada Nabi Saw. tentang cara mandi haid, maka Nabi Saw. menjawab:
“Salah seorang dari kalian mengambil air dan daun bidaranya, lalu dia bersuci
(berwudhu) dan membaguskan bersucinya, kemudian mengucurkan air ke atas
kepalanya seraya memijat-mijatnya dengan keras hingga mencapai pangkal
rambutnya. Setelah itu dia mengucurkan air ke atasnya, kemudian dia mengambil
secarik kain kapas bermisik lalu dia bersuci dengannya.” Asma bertanya:
Bagaimana cara bersucinya? Beliau Saw. berkata: “Subhanallah,
bersucilah kamu dengannya.” Lalu Aisyah berkata -dengan suara yang samar-:
Engkau sapu-sapu bekas darahnya.” (HR. Muslim)
Dalam satu riwayat
disebutkan dengan lafadz:
“Beliau Saw. berkata:
“Ambillah secarik kain kapas yang sudah diberi wewangian, lalu bersihkanlah
tiga kali.” Kemudian beliau Saw. merasa malu lalu memalingkan muka, atau
berkata: “Bersihkanlah dengan kapas itu.” Lalu aku mengambil kapas itu dan
menarik wanita itu, kemudian aku terangkan apa yang dimaksud Nabi Saw.” (HR.
Bukhari)
Asma yang disebutkan
dalam hadits ini adalah Asma binti Syakal, seorang wanita Anshar.
3. Dari Ummu Salamah
ra., dia berkata:
“Aku berkata: Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku adalah wanita yang suka mengepang rambut dengan
kuat, apakah aku harus menguraikannya ketika mandi junub? Beliau Saw. berkata:
“Jangan, engkau cukup menciduk air (dan mengucurkannya ke) kepalamu tiga genggaman,
kemudian engkau curahkan air ke atas tubuhmu, maka engkau sudah suci.” (HR.
Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai)
Dalam sebagian lafadz
hadits Ummu Salamah disebutkan:
“Aku berkata: Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku seorang wanita yang mengikat rambut dengan kuat,
apakah aku harus menguraikan ikatan tersebut saat mandi haid dan junub? Beliau
Saw. berkata: “Jangan, engkau cukup mengucurkan air ke atas kepalamu tiga kali,
kemudian engkau mengguyurkan air ke atas (tubuh)-mu, maka engkau telah suci.”
(HR. Muslim)
Beberapa hadits yang
lain menyebutkan persoalan haid ini, di antara hadits-hadits tersebut ada yang shahih dan ada yang dhaif, tetapi kami cukup mencantumkan tiga hadits ini saja.
Hadits ketiga
menunjukkan bahwa gambaran mandi setelah haid itu sama persis dengan gambaran
mandi setelah junub. Di dalam hadits tersebut hanya ada satu jawaban dari
Rasululah Saw. atas pertanyaan Ummu Salamah tentang mandi orang yang junub dan
haid.
Wanita haid mesti
mandi dengan cara yang persis sama dengan mandi junub, dia tidak diharuskan
menguraikan ikatan rambutnya saat mandi haid, begitu pula dia tidak perlu
menguraikan ikatan rambutnya saat mandi junub. Persoalan ini telah kami bahas
sehingga tidak perlu diulang kembali.
Di dalam hadits kedua
terdapat dorongan atau anjuran untuk benar-benar membersihkan dan memakai
wewangian, hingga bekas dan bau darahnya bisa hilang. Beliau Saw. bersabda:
“Salah seorang dari
kalian mengambil air dan daun bidaranya, lalu dia bersuci (berwudhu) dan
membaguskan bersucinya… seraya memijat-mijatnya dengan keras ...kemudian dia
mengambil secarik kain kapas bermisik.”
Rasulullah Saw.
memerintahkan wanita tersebut menambahkan daun bidara pada air yang
digunakannya. Bidara itu sama dengan sabun di zaman kita ini, beliau Saw.
berkata: “Hendaknya dia bersuci.” Kemudian beliau Saw. menambahkan: “dan
membaguskan bersucinya” (benar-benar bersih dalam bersuci-pen.). Beliau Saw. berkata: “lalu engkau
memijatnya.” Kemudian ucapan tersebut ditegaskan lagi dengan frase: “dengan
keras,” dan beliau Saw. memerintahkan memberi pengharum pada bagian tersebut
untuk menghilangkan bau darah. Semua perintah tersebut mengandung pengertian
sunah saja, bukan wajib, karena tuntutan tersebut adalah tuntutan untuk
membersihkan dan mengharumkan.
Adapun hadits pertama,
maka dilalahnya merupakan bagian dari dilalah ayat al-Qur’an yang disebutkan dalam
hadits itu juga, yakni firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah: 222:
“Mereka bertanya
kepadamu tentang haid. Katakanlah: Haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab
itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah
kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri.”
Lafadz tathahhur dalam ayat ini maksudnya adalah mandi
setelah haid.
Bacaan: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar