Hukum Bercelak dan Memakai
Wewangian
Terdapat banyak hadits
yang menyinggung masalah bercelak dan memakai wewangian, di antaranya adalah:
1. Dari Ibnu Abbas
ra.:
“Bahwasanya Nabi Saw.
bersabda: “Hendaklah kalian bercelak menggunakan itsmid,
sebab ia bisa menguatkan pandangan dan menumbuhkan bulu.” Ibnu Abbas
berkeyakinan bahwa Nabi Saw. mempunyai celak yang selalu beliau Saw. gunakan
setiap malam menjelang tidur, tiga kali di sini, dan tiga kali di sini.” (HR.
Tirmidzi, ia menghasankannya)
Hadits ini
diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban.
2. Dari Ibnu Abbas
ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Celak yang terbaik
bagi kalian adalah itsmid, bisa menajamkan pandangan dan menumbuhkan bulu.”
(HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, ad-Darimi dan Ibnu Majah)
Itsmid adalah batu
celak yang sudah populer, warnanya hitam sedikit kemerahan.
3. Dari Anas,
bahwasanya Nabi Saw. bersabda:
“Yang aku cintai dari
dunia adalah wanita dan wewangian, dan penyejuk mataku berada dalam shalat.”
(HR. Ahmad, an-Nasai dan al-Baihaqi)
Al-Hakim meriwayatkan
dan menshahihkan hadits ini. Ibnu Hajar
dan as-Suyuthi menghasankannya,
sedangkan al-Iraqi memandang sanad hadits ini sangat bagus.
4. Dari Abu Hurairah,
dari Rasulullah Saw. beliau Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
ditawari minyak wangi maka janganlah ia menolaknya, karena sesungguhnya ia
ringan dibawa dan harum baunya. (HR. an-Nasai dan Abu Dawud)
Muslim meriwayatkan
hadits ini dengan lafadz:
“Barangsiapa yang
ditawari wewangian maka janganlah dia menolaknya.”
At-Tirmidzi
meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:
“Jika salah seorang
dari kalian diberi wewangian maka janganlah dia menolaknya.”
5. Dari Abu Said
al-Khudri ra., dia berkata:
“Misik (kesturi)
disebut-sebut di samping Rasulullah Saw., maka beliau Saw. bersabda: Misik itu
adalah minyak yang paling wangi.” (HR. Ahmad, Muslim, al-Hakim, Malik dan
an-Nasai)
6. Dari Muhammad bin
Ali, dia berkata:
“Aku bertanya kepada
Aisyah: Apakah Rasulullah Saw. suka memakai wewangian? Aisyah berkata: Iya,
minyak wangi kaum lelaki seperti kesturi dan ambergris.
(HR. an-Nasai)
7. Dari Abu Hurairah,
dari Nabi Saw.:
“Minyak wangi kaum
lelaki itu tajam aromanya dan lembut warnanya, sedangkan minyak wangi kaum
wanita itu adalah tajam warnanya dan lembut aromanya.” (HR. an-Nasai,
al-Baihaqi, dan Abu Dawud)
Hadits ini
diriwayatkan dan dihasankan oleh
at-Tirmidzi.
8. Dari Abu Said,
bahwasanya Rasulullah Saw., beliau Saw. berkata:
“Mandi pada hari
jum'at itu wajib bagi setiap orang yang sudah bermimpi (baligh), begitu pula
menggosok gigi dan memakai wewangian yang sekedar bisa didapatkan... walaupun
berasal dari minyak wangi isterinya. (HR. Muslim dan Ahmad)
Bukhari meriwayatkan
dari jalur Salman dengan lafadz:
“Memakai wewangian
miliknya atau mengusapkan minyak wangi keluarganya.”
9. Dari Anas bin Malik
ra., dia berkata:
“Rasulullah Saw.
melarang lelaki memakai za’faran.” (HR. at-Tirmidzi, Abu Dawud, Bukhari dan
Muslim)
10. Dari Ya’la bin
Murrah:
“Bahwasanya Nabi Saw.
melihat seorang sahabat berlumuran minyak wangi, beliau Saw. berkata: “Pergilah
dan cucilah, kemudian cucilah, dan janganlah engkau mengulangnya kembali.” (HR.
at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ahmad)
Tirmidzi berkata:
hadits ini hasan. Mutakhalliqan artinya berlumuran, khaluq, sejenis minyak yang dominan warna
merah dan kuningnya.
11. Dari Abu Musa,
dari Nabi Saw.:
“Setiap mata bisa
berzina, dan seorang wanita ketika memakai wewangian, lalu dia lewat di
sekumpulan (lelaki) maka dia begini dan begini.” Maksudnya adalah berzina. (HR.
at-Tirmidzi, an-Nasai, Ahmad dan ad-Darimi)
Tirmidzi: Hadits hasan shahih.
Iktihal itu memakai celak pada kelopak mata
untuk memperkuat pandangan dan memperindah mata. Bercelak bisa menggunakan
bahan apa saja yang layak, tidak harus dengan itsmid saja. Setiap bahan pewarna
hitam yang lembut yang bisa dilekatkan pada kelopak mata, itu boleh digunakan
untuk bercelak, sehingga kita boleh bercelak menggunakan celak mata cair yang
dioleskan menggunakan kuas, boleh juga bercelak menggunakan celak mata solid
yang dibuat dalam bentuk pensil, begitu pula kita boleh bercelak dengan celak
mata yang dibubukkan oleh tangan.
Celak merupakan
perhiasan yang bisa digunakan lelaki dan wanita, sehingga tidak dikatakan bahwa
lelaki menyerupai wanita, atau wanita menyerupai lelaki ketika dia bercelak.
Disunahkan bagi lelaki
dan wanita untuk mengganjilkan pemakaian celak, dengan cara bercelak tiga, lima
atau bilangan ganjil lainnya untuk setiap mata. Hal ini didasarkan pada hadits
pertama, dan karena memang Rasulullah Saw. sangat menganjurkan sesuatu yang
ganjil:
“Sesungguhnya Allah
Swt. itu ganjil, dan sangat mencintai sesuatu yang ganjil.” (HR. Muslim,
Bukhari, Ahmad dan para penyusun kitab as-Sunan)
Kebiasaan bercelak
sudah jarang dilakukan kaum lelaki, bahkan bisa dikatakan mulai padam. Seorang
wanita yang bercelak boleh tampil keluar rumah, dengan syarat tidak mencolok
dan mengundang perhatian kaum lelaki, karena sesuatu yang mencolok dan mengundang
perhatian itu dipandang sebagai tabaruj
yang diharamkan. Begitu pula dengan memakai wewangian, sama-sama bisa dilakukan
kaum lelaki dan wanita, hukumnya sunah. Hadits keempat menyatakan:
“Barangsiapa yang
ditawari minyak wangi maka janganlah ia menolaknya.”
Hadits ini berlaku
umum, mencakup lelaki dan wanita, dan begitu pula dengan hadits kelima.
Tetapi harus diingat,
terdapat perbedaan antara pewangi kaum lelaki dengan pewangi kaum wanita. Hal
itu disebutkan oleh Rasulullah Saw. dalam hadits ketujuh. Pewangi kaum lelaki
itu tajam baunya tetapi tidak berwarna, seperti kesturi, ambergris, gaharu, uthur,
bakhur (dupa), yang semua itu tidak berwarna.
Sedangkan pewangi kaum
wanita itu berwarna tapi tidak tajam baunya, seperti kunyit (pewarna kuning), khaluuq (pewarna merah kuning) dan sebagainya.
Ini ditunjukkan oleh
hadits kesembilan dan kesepuluh, kecuali jika kaum wanita menggunakan pewangi
yang berbau tajam itu di rumah mereka dan di depan mahram dan kaum wanita saja,
maka boleh-boleh saja hukumnya, karena para mahram dan kaum wanita di rumah
dihalalkan untuk melihat perhiasan seorang wanita.
Ketika seorang wanita memakai
wewangian berbau tajam, maka dia tidak boleh tampil di depan lelaki asing dan
keluar rumah, karena jika hal itu dilakukannya, maka dia akan terjerumus
dalam keharaman yang disebutkan dalam hadits kesebelas dan hadits yang
diriwayatkan Abu Hurairah:
“Wanita manapun yang
mengenakan wewangian maka janganlah mengikuti shalat Isya bersama kami.” (HR.
Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai)
Di sisi lain, kaum
lelaki boleh menggunakan minyak wangi yang berwarna jika memang tidak memiliki
minyak wangi tanpa pewarna. Dalilnya adalah hadits kedelapan, tetapi harus
digunakan pada saat-saat tertentu saja (tidak terlalu sering-pen.), misalnya digunakan saat pernikahan,
sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Anas:
“Bahwasanya Rasulullah
Saw. melihat Abdurrahman bin Auf ada bekas za'faran (kunyit) padanya, maka Nabi
Saw. bertanya: “Ada apa denganmu?” Abdurrahman bin Auf menjawab: Wahai
Rasulullah, aku telah menikahi seorang wanita. Rasulullah Saw. bertanya: “Apa
mahar yang engkau berikan padanya?” Abdurrahman bin Auf menjawab: Emas sebesar
biji kurma. Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Adakanlah walimah, walaupun hanya
menyembelih seekor kambing.” (HR. Abu Dawud)
Ahmad meriwayatkan
hadits ini dengan lafadz:
“Bahwasanya Nabi Saw.
bertemu dengan Abdurrahman bin Auf, pada dirinya ada bekas khaluuq.”
Kata ar-rad'u artinya bekas minyak wangi, mahyam adalah kalimat tanya, artinya ada apa
denganmu, al-wadhr artinya bekas.
Hadits ini sekali
waktu menyebutkan za'faran (kunyit), yakni sejenis tumbuhan pewarna kuning, dan
sekali waktu menyebutkan al-khaluq yakni
pewarna merah kekuningan. Za’faran dan khaluq termasuk pewangi yang digunakan kaum
wanita, tetapi ternyata Abdurrahman bin Auf menggunakan keduanya pada hari
pernikahannya, dan Rasulullah Saw. tidak mengingkari perbuatannya itu.
Bercelak dan memakai
wewangian dianjurkan bagi kaum lelaki dan wanita, kecuali dalam kondisi
berkabung, di mana keduanya saat itu haram dilakukan. Karenanya, seorang wanita
yang sedang ber’iddah karena ditinggal
mati suaminya tidak boleh bercelak dan memakai wewangian selama masa ‘iddahnya, yakni empat bulan sepuluh hari.
Sedangkan wanita yang lain hanya tiga hari saja. Beberapa hadits berikut
menjelaskan hukum tersebut, saya sebutkan di antaranya:
1. Dari Ummu Salamah
ra.:
“Ada seorang wanita
yang ditinggal mati suaminya, lalu orang-orang mengkhawatirkan (kesehatan)
kedua matanya, maka mereka menemui Rasulullah Saw. Mereka meminta ijin beliau
Saw. untuk mencelak matanya, maka Rasulullah Saw. berkata: “Janganlah engkau
mencelak mata. Pada masa dahulu salah seorang dari kalian berdiam diri dengan
mengenakan pakaian yang paling jelek, -atau di rumahnya yang paling jelek-,
ketika berlalu satu tahun maka lewatlah seekor anjing, lalu dia melemparnya
dengan kotoran, maka janganlah engkau bercelak hingga empat bulan sepuluh
hari.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Kata al-ahlas artinya adalah pakaian.
2. Dari Zainab binti
Abi Salamah, dia berkata:
“Aku menemui Ummu
Habibah, isteri Nabi Saw., ketika ayahnya yakni Abu Sufyan wafat. Ummu Habibah
meminta wewangian sejenis khaluq (jenis
wewangian berwarna kuning) atau selainnya, lalu dia meminyaki pelayannya,
kemudian dia mengolesi kedua pelipisnya sendiri, seraya berkata: Demi Allah,
sebenarnya aku tidak memerlukan wewangian ini seandainya bukan karena aku
mendengar Rasulullah Saw. berkata di atas mimbar, tidak halal bagi seorang
perempuan yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir berkabung atas kematian
lebih dari tiga hari, kecuali kalau ditinggal mati suaminya maka berkabung
empat bulan sepuluh hari. (HR. Muslim, Bukhari dan Ahmad)
Tetapi wanita yang
ber’iddah diberi keringanan ketika ia
telah suci dari haid dan hendak mandi, maka dia boleh memakai sesuatu yang bisa
menghilangkan bau untuk menghilangkan bau tidak sedap darah haid. Ini
berdasarkan hadits Ummu Athiyah bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:
“Janganlah dia
bercelak dan memakai wewangian kecuali setelah dia suci, dia boleh memakai qusthun atau adzfar.”
(HR. Muslim)
Qusthun dan adzfar
itu dua jenis wewangian.
Mengenai wanita yang
ditalak, maka tidak ada satu nash pun yang menunjukkan keharusan untuk tidak
berhias, seperti memakai celak dan wewangian, sehingga hal itu tidak diharamkan
baginya, dengan tidak ada perbedaan antara wanita yang sudah disetubuhi dengan
yang belum disetubuhi, juga tidak ada perbedaan antara yang ditalak raj'iy dengan yang ditalak ba'in.
Pendapat ini berbeda
dengan sejumlah fuqaha yang menyamakan al-muthallaqah
(wanita yang ditalak) dengan wanita yang ber'iddah
dalam hal keharusan tidak berhias. Kami tidak ingin lebih jauh membahas masalah
ini, cukup bagi kami untuk mengisyaratkannya saja.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar