Ketiga: Kematian
Perbedaan antara
mandinya orang yang meninggal dari mandi-mandi wajib lainnya adalah sebagai
berikut:
1. Kewajiban mandi tersebut ditujukan bukan
pada orangnya (orang yang meninggal tersebut-pen.),
sedangkan kewajiban mandi-mandi yang lain ditujukan pada orangnya.
2. Hukumnya fardhu kifayah, sedangan
mandi-mandi yang lain dihukumi fardhu ain.
3. Satu saat hukumnya wajib -untuk orang yang
mati secara umum- dan saat yang lain tidak wajib -yakni untuk orang yang mati
syahid-, sedangkan mandi-mandi yang lain (yang wajib) tetap wajib setiap waktu
dan kesempatan.
Mayoritas imam dan
fuqaha berpendapat wajibnya memandikan mayat (ghaslul
mayyit). Kalangan ulama yang bermadzhab Maliki memiliki pendapat yang
berbeda. Mereka menyatakan: hukumnya sunah saja, karena memandikan mayat
tersebut dilakukan dalam rangka membersihkan, bukan mandi dalam rangka ibadah.
Pendapat yang benar
adalah memandikan mayat itu fardhu hukumnya, kewajiban tersebut harus dipenuhi
orang yang hidup terhadap orang yang mati. Mandi jenis ini disebutkan oleh
beberapa hadits berikut:
1. Dari Ummu Athiyyah, dia berkata:
“Nabi Saw. menemui
kami ketika kami sedang memandikan puterinya. Rasulullah Saw. bersabda:
“Basuhlah dia tiga kali atau lima kali atau lebih dari itu. Jika kalian merasa
perlu siramlah dengan campuran air dan daun bidara, dan dalam siraman terakhir
kapur barus atau sesuatu sejenis kapur barus. Jika telah selesai maka
beritahulah aku.” Ketika kami selesai memandikan maka kami memberitahu beliau
Saw., lalu beliau memberikan kain miliknya kepada kami seraya berkata:
“Bungkuslah tubuhnya dengan kain ini.” (HR. Muslim, Bukhari, Ahmad dan para
penyusun kitab as-Sunan)
Bukhari dan Muslim
meriwayatkan dari Ummu Athiyah ra., dia berkata:
“Nabi Saw. bersabda
pada mereka saat memandikan puterinya: “Hendaklah kalian memulai dari yang
sebelah kanan dan anggota wudhunya.”
Dalam riwayat lain
disebutkan:
“Lalu kami membagi
kain pembungkusnya menjadi tiga bagian, dan meletakkannya di belakangnya.” (HR.
Bukhari)
Hadits ini dengan
beragam riwayatnya menjadi dasar hukum memandikan mayat.
2. Dari Ibnu Abbas ra., dia berkata:
“Ketika seorang
laki-laki yang sedang wukuf di Arafah bersama Rasulullah Saw. tiba-tiba dia
jatuh dari hewan tunggangannya hingga ia terinjak, atau dia berkata: Hingga dia
mati terinjak. Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Mandikanlah dia dengan air yang
dicampur dengan daun bidara, dan kafanilah dengan dua helai kain, dan janganlah
diberi wewangian dan jangan pula diberi tutup kepalanya (surban) karena dia
nanti akan dibangkitkan pada Hari Kiamat dalam keadaan bertalbiyah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menjadi
dasar memandikan seseorang yang meninggal
saat ihram, di mana
dia dikafani dengan pakaian ihramnya, tidak diberi wewangian dan tidak ditutup
kepalanya.
3. Dari Jabir bin Abdillah:
“Rasulullah Saw.
menyatukan dua orang laki-laki yang gugur dalam Perang Uhud dalam satu kain,
kemudian beliau Saw. bertanya: “Siapa di antara mereka yang lebih banyak
hafalan al-Qur'annya?” Ketika beliau Saw. ditunjukkan pada salah satunya, maka
beliau Saw. mendahulukannya di dalam lahat, lalu beliau Saw. bersabda: “Aku
akan menjadi saksi bagi mereka.” Beliau Saw. memerintahkan untuk mengubur
mereka dengan darah-darah mereka, beliau Saw. tidak menshalatkan mereka, dan
juga tidak memandikan mereka.” (HR. Bukhari, an-Nasai dan at-Tirmidzi)
Ahmad meriwayatkan
dari Jabir bin Abdillah dari Nabi Saw., bahwasanya beliau Saw. bersabda tentang
mereka yang gugur dalam Perang Uhud:
“Janganlah kalian
memandikannya, karena setiap luka atau setiap tetes darah akan semerbak seharum
kesturi pada Hari Kiamat.” Beliau Saw. tidak menyalati mereka.”
Hadits ini menjadi
dasar bahwa orang yang mati syahid tidak perlu dimandikan. Dia dimakamkan
dengan pakaian yang dikenakannya, dia pun tidak dishalatkan, dan darahnya akan
semerbak seharum kesturi pada Hari Kiamat.
Hadits yang pertama
menjelaskan bagaimana memandikan orang yang meninggal, dimulai dengan tubuh
bagian kanan dan anggota wudhunya, baru kemudian membasuh bagian badan lainnya.
Disunahkan dibasuh tiga kali atau lebih, tetapi jangan melebihi tujuh basuhan,
dan ke dalam air ditambahkan sedikit bidara untuk membersihkan badan (sekarang
ini bisa menggunakan sabun) kemudian ditambah sedikit kapur untuk mengawetkan
dan mewangikan, dan tidak masalah ketika ditambah wewangian yang lainnya.
Untuk menambah
kesempurnaan pembahasan, saya sebutkan sejumlah hukum memandikan mayat,
walaupun sebenarnya tempat untuk membahas persoalan ini adalah kitab jenazah,
bukan kitab thaharah. Saya katakan:
Urutan orang yang memandikan mayat adalah isterinya, jika yang meninggal itu
suaminya, atau suaminya jika yang meninggal itu isterinya, kaum kerabat (mulai
dari yang terdekat), dan ketika yang memandikan itu bukan keluarganya maka yang
harus memandikan itu adalah kaum lelaki jika yang meninggalnya lelaki, dan kaum
wanita jika yang meninggalnya itu wanita. Orang yang memandikan tidak boleh
melihat aurat si mayat, karena kehormatan aurat itu sama saja, baik pada orang
yang masih hidup ataupun orang yang sudah meninggal. Orang yang memandikan
mayat harus mengenakan kain pada tangannya ketika dia membasuh auratnya, agar
tidak menyentuhnya secara langsung, dan aurat tersebut harus tetap dalam
keadaan tertutup, lalu dia memasukkan tangannya ke balik kain penutup tersebut.
Hadits kedua
menjelaskan tata cara memandikan orang yang meninggal
dalam keadaan sedang berihram, baik ihram haji ataupun ihram umrah. Cara
tersebut sedemikian jelas sehingga tidak perlu dijelaskan lagi.
Hadits ketiga
menjelaskan bahwa orang yang mati syahid tidak dimandikan, dan pakaiannya tidak
ditanggalkan. Orang yang mati syahid dikuburkan dengan darah yang masih melekat
dibadannya, dan tidak perlu dishalatkan.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar