9. Mengusap Kepala
Ini adalah fardhu
wudhu yang keempat. Mengusap menurut bahasa adalah menggerakkan bagian tubuh
yang akan mengusap secara melekat/ menyatu dengan bagian tubuh yang diusap.
Dikatakan: masahtu ra'sa al-yatiimi (aku mengusap kepala anak
yatim), yakni jika aku mengusapkan tangan di atas kepalanya, di mana tangan itu
mengenai kepalanya.
Mengusap kepala dalam
wudhu artinya menggerakkan satu atau dua tangan yang sudah dibasahi air supaya
bersentuhan dengan rambut kepala. Perbedaan di antara dua definisi ini adalah
tambahan dibasahi dengan air yang ada dalam definisi kedua. Dalilnya adalah
firman Allah Swt.:
“Dan usaplah
kepalamu.” (TQS. al-Maidah [5]: 6)
Di mana Allah Swt.
telah menambahkan huruf ba yang
diletakkan sebelum lafadz ru'uursikum.
Allah Swt. tidak mengatakan wamsahuu ru'uusakum.
Para ahli bahasa dan
ahli fiqih berbeda pendapat tentang makna yang muncul akibat adanya huruf ba tersebut.
Sebagian ahli fiqih
mengatakan bahwa huruf ba menunjukkan tab'idh (pengertian sebagian), sehingga makna
ayat ini adalah wamsahuu ba’dha ru'uusikum
(sapulah sebagian kepalamu).
Ibnu Burhan
mengatakan: Orang yang menduga bahwa huruf ba
itu menunjukkan tab'idh (pengertian
sebagian), maka ahli bahasa menyampaikan pengertian yang tidak mereka kenal.
Hal ini ditentang oleh
Sibawaih.
Al-Qurthubi
mengatakan: Huruf ba itu li ta'addiyah
(transitif) yang boleh dibuang tetapi juga boleh disebutkan, seperti ucapan: masahtu ra’sal
yatiimi wa masahtu bi ra'sihi
(aku mengusap kepala anak yatim).
Ibnu Qudamah berkata:
Huruf ba itu lil ilshaq (untuk afikasi) seakan Allah Swt. mengatakan wamsahuu ru’uusakum
yakni imsahuujamii'ar ra'si (usaplah seluruh kepala).
As-Syafi’i berkata:
Firman Allah Swt. wamsahuu bi ru’uusikum
bisa mengandung pengertian seluruh kepala atau bisa juga sebagian kepala, dan
Sunnah menunjukkan bahwa mengusap sebagian kepala itu sudah cukup.
Pendapat yang harus
dinyatakan adalah: huruf ba ini tentunya
tidak akan dimasukkan ke dalam ayat secara sia-sia, melainkan untuk menunjukkan
makna atau pengertian tertentu yang tidak mungkin ada tanpanya. Firman Allah
Swt
“Dan usaplah
kepalamu.” (TQS. Al-Maidah [5]: 6)
Pasti mengandung makna
yang berbeda dengan makna ucapan:
(wamsahuu ru’uusikum)
karena tambahan huruf ba dalam gaya penuturan al-Qur’an tidak
mungkin tanpa makna, tidak mungkin sia-sia. Tambahan huruf ba ini mencegah mengusap kepala dengan tangan
yang tidak basah. Inilah pengertian mengusap secara bahasa. Kalimat dari ayat
al-Maidah ini menunjukkan harus mengusap kepala dengan tangan yang sudah
dibasahi oleh air.
Huruf ba ini menunjukkan kondisi basah, yakni adanya
air yang melekat pada tangan ketika mengusap. Seandainya ayat ini diungkapkan
tanpa huruf ba, niscaya dalam wudhu itu
cukup mengusapkan tangan yang kering ke atas kepala, karena inilah makna
mengusap. Ketika maksud firman Allah Swt. adalah mengusapkan tangan yang sudah
dibasahi oleh air ke atas kepala, maka Dia Swt. menambahnya dengan huruf ba. Wallahu
a'lam.
Pengertian ini sudah
diisyaratkan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Fathul
Baari: “Dikatakan bahwa huruf ba
ini dimasukkan untuk memberikan pengertian yang lain, yakni membasuh itu secara
bahasa menuntut ada sesuatu yang digunakan untuk membasuh, dan mengusap secara
bahasa tidak menuntut adanya sesuatu yang digunakan untuk mengusap, sehingga
jika dikatakan: wamsahuu ru’uusakum, maka dengan kalimat ini cukuplah
kita mengusap kepala dengan tangan tanpa air sekalipun (tangan yang kering-pen.), seakan Allah Swt. mengatakan: wamsahuu bi
ru'uusikum maa'a (usapkanlah air ke
kepala kalian), dan redaksi tersebut dibalik, taqdirnya
adalah wamsahuu ru'uusakum bil maa'i (dan usaplah kepala kalian dengan air).”
Inilah pendapat yang
benar, dan inilah pemahaman yang teliti, yang dikuatkan oleh hadits Abdullah
bin Zaid yang diriwayatkan oleh Bukhari terkait sifat wudhu Nabi Saw., di
dalamnya disebutkan:
“Kemudian beliau Saw.
mengambil air dengan tangannya, lalu mengusap kepalanya ke depan lalu ke
belakang.”
Ini merupakan nash
yang sangat jelas, disebutkan dengan lafadz:
“(Beliau Saw.)
mengambil air dengan tangannya, lalu mengusap kepalanya.”
Artinya beliau Saw.
mengusap kepalanya dengan air. Ketika lafadz al-maa'i
(air) itu dibuang dari kalimat tersebut, maka huruf ba-nya dipindahkan darinya ke lafadz ra'sihi, sehingga kalimat tersebut berbunyi masaha bi ra'sihii (mengusap kepalanya dengannya)
untuk menunjukkan ada bagian yang dibuang. Pemahaman inilah yang secara tepat
bisa dilihat dari ayat:
“Dan usaplah
kepalamu.” (TQS. al-Maidah [5]: 6)
Taqdirnya adalah:
“Usapkanlah air ke
atas kepalamu.”
Sehingga huruf ba ini menunjukkan adanya lafadz yang dibuang,
yakni al-maa (air) yang digunakan untuk
mengusap.
Kita kembali pada
pendapat para imam di atas. Pendapat mereka yang mengatakan bahwa huruf ba itu menunjukkan tab’idh (pengertian sebagian), ini merupakan pendapat yang tidak
benar, karena tidak memiliki dasar atau alasan dalam bahasa Arab.
Sedangkan pernyataan
yang dilontarkan al-Qurthubi bahwa huruf ba
ini lit ta'diyah (transitif) juga
merupakan pendapat yang tidak bermakna. Pendapat seperti itu termasuk dalam
persoalan i’rab (perubahan harakat huruf
terakhir suatu kata-pen.) sehingga tidak
ada artinya dalam pembahasan ini.
Adapun pendapat Ibnu
Qudamah bahwa huruf ba ini lil ilshaq (afikasi), maka pendapat ini
memiliki alasan, tetapi hukum yang diistinbath
darinya tidak mengandung pengertian mengusap seluruh kepala, karena lafadz: imsahuu ru’uusakum
secara bahasa tidak mengandung pengertian mengusap seluruh kepala.
Tinggallah kini
pernyataan as-Syafi’i, pernyataan beliau inilah yang akan kita tinjau dan
diskusikan. Tinjauan ini terutama ditujukan pada ucapannya: “Sunnah menunjukkan
bahwa mengusap sebagian kepala itu sudah cukup.”
Adanya huruf ba dalam ayat ini memiliki makna tertentu yang
bisa diperoleh, yakni usapan itu harus dilakukan dengan tangan yang basah,
tidak lebih dari itu. Sehingga yang harus dilakukan kini adalah menemukan dalil
yang menunjukkan basahnya tangan itu harus dengan air, dan menemukan dalil
bahwa mengusap sebagian kepala itu sudah cukup, atau mendatangkan dalil bahwa
mengusap seluruh bagian kepala itulah yang cukup. Inilah yang harus menjadi
bidang pembahasan dan bahan pembicaraan.
Bahwa tangan itu harus
dibasahi dengan air, bukan dibasahi dengan benda cair lainnya, telah
ditunjukkan oleh dalil yang berasal dari al-Qur'an dan as-Sunnah. Dalil yang
berasal dari al-Qur’an adalah firman Allah Swt.:
“Kemudian kamu tidak
mendapat air, maka bertayamumlah kamu.” (TQS. an-Nisa [4]: 43)
Kami telah memaparkan
kesimpulan yang didapatkan dari ayat ini.
Dalil yang berasal
dari Sunnah sebenarnya sangat banyak, tetapi kami cukup menyebutkan satu hadits
saja. Imran bin Hushain berkata:
“Kami berada dalam
suatu perjalanan bersama Nabi Saw…. beliau Saw. kemudian shalat mengimami
orang-orang. Ketika beliau Saw. selesai dari shalatnya, ternyata ada seorang
lelaki yang memisahkan diri tidak shalat bersama orang-orang. Lalu beliau Saw.
bertanya: “Wahai fulan, apa yang menghalangimu sehingga tidak shalat bersama
orang-orang?” Dia berkata: Aku junub, sementara tidak ada air. Beliau Saw.
berkata: “Engkau bisa menggunakan tanah, tanah itu cukup bagimu.” (HR. Bukhari
dan Ahmad)
Peralihan dari
menggunakan air menjadi menggunakan tanah merupakan dalil yang menunjukkan
bahwa tidak ada yang bisa menghilangkan junub itu selain air. Dan ketika tidak
ada air, maka harus bertayamum dengan tanah.
Inilah dalil yang
jelas, bahwa selain air tidaklah cukup atau tidak bisa digunakan untuk bersuci
yang sifatnya ta'abbudiy seperti wudhu,
mandi junub, juga mandi dari haid dan nifas. Kesimpulan ini tidak disepakati
oleh Abu Hanifah dan mereka yang sependapat dengannya, dan kami telah membahas
pendapat Abu Hanifah tersebut, sekaligus telah menunjukkan kekeliruannya.
Tinggallah kini
persoalan menemukan dalil yang menunjukkan bahwa mengusap seluruh kepala itulah
yang diperintahkan atau dalil yang menunjukan cukupnya mengusap sebagian kepala
saja.
Orang yang mengatakan
cukupnya mengusap sebagian kepala saja telah berargumentasi dengan menafsirkan
huruf ba dalam ayat al-Maidah itu
sebagai lit tab'idh (mengandung pengertian sebagian). Istidlal (pengambilan
kesimpulan dari ayat tersebut oleh) mereka ini telah kami jelaskan
kerusakannya. Kemudian mereka menyampaikan beberapa dalil lainnya yang akan
kami sebutkan dan kami bahas di bawah ini:
1. Dari Anas, dia
berkata:
“Aku melihat
Rasulullah Saw. berwudhu. Beliau Saw. mengenakan surban buatan Qithrah (satu tempat di Bahrain), lalu beliau
Saw. memasukkan tangannya dari bawah surban, kemudian mengusap bagian depan
kepalanya, tetapi beliau Saw. tidak menanggalkan surbannya.” (HR. Abu Dawud dan
Ibnu Majah)
Hadits ini dhaif.
2. Dari al-Mughirah
bin Syu’bah, dia berkata:
“Rasulullah Saw. pergi
ke belakang, dan aku pergi menemani beliau Saw. Ketika beliau Saw. selesai
buang hajatnya, beliau Saw. bertanya: “Apa engkau membawa air?” Aku memberikan
air untuk bersuci, lalu beliau Saw. membasuh kedua telapak tangannya dan wajahnya,
kemudian berusaha menyingkapkan kain dari kedua lengannya. Ternyata lengan
jubahnya itu sempit, maka beliau Saw. mengeluarkan tangannya dari bawah
jubahnya, dan meletakkan jubah di atas kedua bahunya. Beliau Saw. kemudian
membasuh kedua lengannya, mengusap ubun-ubunnya, mengusap surbannya dan
mengusap khuffnya, lalu beliau Saw.
menaiki hewan tunggangannya, dan akupun juga naik hewan tunggangan, hingga kami
sampai pada orang-orang di mana mereka sedang mendirikan shalat. Mereka diimami
oleh Abdurrahman bin Auf, dia mengimami mereka sudah satu rakaat. Ketika
merasakan kehadiran Nabi Saw., dia mundur ke belakang, tetapi beliau Saw.
memberi isyarat kepadanya untuk tetap shalat mengimami mereka. Ketika dia
mengucap salam, maka Nabi Saw. berdiri dan aku pun berdiri, lalu kami shalat
dengan jumlah rakaat yang tertinggal.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat Muslim
yang lain disebutkan:
“(Beliau Saw.
mengusap) bagian depan kepalanya dan surbannya.”
3. Dari Atha:
“Bahwasanya Rasulullah
Saw. berwudhu, lalu beliau Saw. menanggalkan surbannya, kemudian mengusap
bagian depan kepalanya -atau dia berkata: ubun-ubunnya- dengan air. (HR.
as-Syafi’i secara mursal)
4. Dari Nafi bin Umar:
“Bahwa Nabi Saw.
mengusap bagian depan kepalanya satu kali.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)
Mengenai hadits yang
pertama dari Anas, di dalam sanadnya ada
Abu Ma’qil, seorang perawi yang tidak diketahui latar belakangnya. Ini
dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar, karena itu dalam hadits ini ada perawi
yang tidak dikenal (majhul) sehingga hadits ini dhaif
dan tidak layak digunakan sebagai hujjah.
Sedangkan dalam hadits
al-Mughirah ada kalimat:
“Dan beliau Saw.
mengusap ubun-ubunnya dan mengusap surbannya.”
Atau :
“(Beliau Saw.
mengusap) bagian depan kepalanya dan surbannya.”
Maka hadits ini tidak
bisa menopang klaim atau pendapat mereka, karena seandainya tidak ada kalimat:
“Dan (mengusap)
surbannya.”
“(Beliau Saw.
mengusap) surbannya.”
niscaya hadits ini
menunjukkan pendapat yang mereka lontarkan. Adapun ketika Rasulullah Saw.
mengusap ubun-ubun atau bagian depan kepala dan mengusap surban secara
bersamaan, maka ini menunjukkan hukum yang baru atas fakta yang baru, yakni
bolehnya mengusap surban seperti bolehnya mengusap khuff. Ketika mengusap
surban dibolehkan, maka beliau Saw. mengusapnya, dan ketika nampak rambut
ubun-ubun, maka beliau Saw. juga mengusapnya. Dengan demikian, terbuktilah
bahwa beliau Saw. mengusap seluruh kepala, baik yang nampak ataupun yang
tersembunyi. Ini tidak menjadi dalil yang memperkuat pernyataan mereka,
melainkan justru menjadi hujjah yang menghancurkan pendapat mereka.
Hadits ketiga ini
persis dengan hadits Anas, yang berbeda hanya dalam persoalan menanggalkan
surban. Hadits mursal ini memaksa Ibnu Hajar untuk mencari hadits lain yang
bisa menopangnya/membantunya, lalu dia menemukan hadits Anas yang dhaif di atas. Kemudian Ibnu Hajar berkata:
Yang mursal dan yang maushul ini saling membantu, sehingga bisa menghasilkan
kekuatan ketika dihimpunkan. Dengan pernyataan seperti ini Ibnu Hajar mengakui
bahwa hadits mursal ini membutuhkan penopang, dan dia tidak menemukan penopang
selain hadits dhaif juga. Kaidah yang
digunakan oleh Ibnu Hajar ini tidak bisa diterima, karena hadits yang tidak shahih dan tidak hasan
itu membutuhkan hadits shahih atau
hadits hasan sebagai penopangnya, bukan
hadits dhaif.
Dalam kondisi ini,
yang dibutuhkan adalah hadits shahih
atau hadits hasan. Bagaimana tidak,
hadits Anas dan hadits Atha ini nampak bertentangan. Yang pertama menyebutkan
bahwa surban itu tidak ditanggalkan, sedangkan yang kedua justru menyebutkan
bahwa surban itu dilepaskan, sehingga bagaimana hadits Anas ini akan menopang
hadits Atha?
Kalau boleh kita
berasumsi bahwa hadits ini layak digunakan sebagai hujjah, maka yang harus
dipahami dari hadits ini adalah bahwa Rasulullah Saw. telah melepaskan
surbannya dari bagian depan kepalanya, lalu beliau Saw. mengusap bagian depan
kepalanya itu, kemudian mengusap surbannya. Pengertian seperti ini diperlukan
agar hadits ini bisa dikompromikan dengan hadits yang diriwayatkan Muslim:
“Dan beliau Saw.
mengusap ubun-ubunnya dan mengusap surbannya.”
Atau:
“(Beliau Saw.
mengusap) bagian depan kepalanya dan surbannya.”
Ibnul Qayyim berkata:
Tidak ada berita yang shahih dari Nabi
Saw. dalam satu hadits pun, bahwa beliau Saw. cukup mengusap sebagian kepalanya
saja.
Fakta yang ada
menunjukkan bahwa orang yang membolehkan mengusap sebagian kepala saja, itu
sesungguhnya telah membolehkan berargumentasi dengan hadits-hadits dhaif, dan kami tidak membenarkan tindakan
mereka itu. Kita tidak boleh mengambil selain hadits shahih dan hasan saja.
Di antara mereka yang
konon membolehkan mengusap sebagian kepala adalah Ibnu Umar, Sufyan, Ibrahim
an-Nakha’iy, as-Sya’biy, as-Syafi’i, at-Thabari, Abu Hanifah bersama dengan dua
muridnya yakni Abu Yusuf dan Muhammad, al-Hasan, at-Tsauri dan al-Auza’iy. Mereka
berbeda pendapat dalam ukuran yang diusap. Abu Hanifah berkata: Boleh mengusap
seperempat bagian kepala. As-Syafi'i berkata: Boleh mengusap satu bagian dari
kepala, tetapi minimal tiga helai rambut. Bahkan dikabarkan membolehkan
mengusap minimal satu helai rambut saja. At-Tsauri dan as-Syafi'i membolehkan
mengusap kepala dengan menggunakan satu jari.
Di antara para fuqaha
yang mewajibkan mengusap seluruh kepala adalah Malik bin Anas, al-Muzanni,
Ahmad bin Hanbal dan sebagian ahlu dzahir.
Dalil-dalil mereka
adalah ayat yang memerintahkan mengusap kepala dan hadits-hadits shahih yang menjelaskan cara mengusap kepala
bahwa usapan itu mencakup seluruh bagian kepala. Hadits-hadits tersebut adalah:
1. Untuk menjelaskan wudhu Rasulullah Saw. yang
diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid:
“Kemudian dia mengusap
kepalanya dengan dua tangannya. Dia mengusapkannya dari depan dan kemudian dari
belakang. Dimulai dari bagian depan kepalanya, dan menariknya hingga sampai
pada bagian tengkuk, lalu menariknya kembali ke tempat semula. Setelah itu dia
membasuh kedua kakinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Dalam riwayat lain
dari Abdullah bin Zaid:
“Bahwasanya dia
menuangkan air dari wadah itu ke atas dua telapak tangannya, lalu ia membasuh
keduanya atau berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung dari satu cidukan
telapak tangannya. Dia lakukan ini tiga kali. Kemudian membasuh kedua tangannya
hingga dua siku, dua kali dua kali, dan mengusap kepalanya bagian depan dan
bagian belakangnya, dan membasuh kedua kakinya hingga dua mata kaki. Lalu dia
berkata: Seperti inilah wudhu Rasulullah Saw.” (HR. Bukhari, dia tidak
menyebutkan membasuh wajah di dalamnya)
3. Hadits al-Mughirah
yang telah kami cantumkan, di dalamnya disebutkan:
“Beliau Saw. mengusap
ubun-ubunnya dan surbannya.”
Di dalam hadits yang
pertama disebutkan bahwa Rasulullah Saw. mengusap kepalanya dengan kedua
tangannya sebanyak dua kali, beliau menarik tangannya mulai dari bagian depan
kepalanya hingga tengkuknya. Tidak cukup di situ, beliau Saw. membalikkan
keduanya ke bagian depan kepalanya. Ini merupakan dalil mengusap seluruh bagian
kepala. Pernyataan lebih jelas lagi terdapat dalam hadits kedua:
“Dan mengusap
kepalanya bagian depan dan bagian belakangnya.”
Yakni bagian depannya
dan bagian belakangnya, bagian atasnya dan bagian bawahnya. Ini berarti
mencakup seluruh bagian kepala. Karena itulah Bukhari membuat satu bab yang
disebut: bab mengusap kepala seluruhnya, lalu dia menyampaikan hadits Abdullah
bin Zaid.
Bukhari berkata: Malik
ditanya apakah cukup mengusap sebagian kepala? Malik kemudian berhujjah dengan hadits Abdullah bin Zaid ini.
Ibnu Hajar menyatakan
dalam kitab Fath ul-Baari: “Ucapannya:
“Malik ditanya,” orang yang bertanya kepada Malik tersebut adalah Ishaq bin Isa
bin at-Thabba'. Hal ini sudah dijelaskan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahihnya dari jalur Ishaq tersebut.
Lafadznya: Aku bertanya kepada Malik tentang seorang lelaki yang mengusap
bagian depan kepalanya ketika berwudhu, apakah itu sudah cukup baginya? Maka
Malik menjawab: Amr bin Yahya telah menceritakan kepadaku dari ayahnya dari
Abdullah bin Zaid, dia berkata: Dalam wudhunya Rasulullah Saw. mengusap dari
ubun-ubunnya hingga tengkuknya, kemudian membalikkan usapan kedua tangannya
hingga ke ubun-ubunnya, sehingga Rasulullah Saw. mengusap kepala seluruhnya.”
Hadits al-Mughirah
menunjukkan mengusap kepala seluruhnya, bagian kepalanya dan benda yang
menutupinya, seperti surban misalnya. Seandainya mengusap bagian depan kepala,
yakni ubun-ubun itu sudah cukup, tentunya beliau Saw. tidak akan menyempurnakan
usapan dengan mengusap surban.
Hadits-hadits ini
menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. menjelaskan mengusap yang diwajibkan dalam
ayat. Penjelasan beliau Saw. ini sama dengan penjelasan terhadap ayat tersebut.
Mengusap yang wajib adalah mengusap kepala seluruhnya. Tidak ada riwayat sama sekali
dari Rasulullah Saw. bahwa beliau Saw. mengusap hanya sebagian kepalanya dalam
hadits-hadits shahih dan hasan, karena
ayat tersebut mujmal dan telah dijelaskan oleh as-Sunah dengan cara diusap
seluruhnya, dan hal ini tidak terjadi dalam perbuatan yang ditambahkan atas
wudhu yang cukup (bukan dalam perkara sunah wudhu-pen.),
maka ini semua menjadi qarinah bahwa
mengusap seluruh kepala itu wajib hukumnya. Ayat ini menyebutkan membasuh
wajah:
“Maka basuhlah
wajah-wajah kalian.”
Dan Sunnah telah
menjelaskan bahwa yang dibasuh itu wajah seluruhnya, sehingga “membasuh wajah
seluruhnya” itu diwajibkan, karena menjadi penjelasan terhadap kewajiban yang
disebutkan secara mujmal (global) dalam ayat.
Tidak ada seorang pun
fuqaha di masa dahulu ataupun sekarang yang mengatakan bahwa membasuh sebagian
wajah itu sudah cukup, karena itu mereka harus mengatakan hal seperti itu
terkait mengusap kepala, karena ayat ini menyebutkan membasuh wajah secara mujmal
dan menyebutkan mengusap kepala secara mujmal, maka mengapa penjelasan Sunnah
untuk membasuh seluruh wajah itu dibenarkan, tetapi tidak dengan penjelasan
Sunnah untuk membasuh seluruh kepala? Kondisi keduanya sama, sehingga hukumnya
pun harus sama.
Tetapi pernyataan saya
ini tidak menunjukkan pengertian bahwa air yang diusapkan itu harus menyerap
pada setiap helai rambut kepala seperti terserapnya air pada setiap bagian
kulit wajah ketika dibasuh. Ini karena air yang dibasuhkan itu bisa menyerap, sedangkan
yang diusapkan tidak akan menyerap, ini memberikan arti bahwa mengusap kepala itu tidak dalam
rangka terserapnya air sepenuhnya pada setiap helai rambut, melainkan
terserapnya air dengan kadar yang bisa dicapai oleh suatu usapan, persis sama
dengan mengusap splint (bilah pembalut tulang yang patah) dan seperti mengusap
punggung khuff, juga seperti mengusap wajah dengan debu saat bertayamum.
Semua itu tidak dalam
rangka meratakan air atau debu pada bagian yang diusap, karena karakter usapan
itu menunjukkan bahwa air tidak akan menyerap ke seluruh bagian yang diusap.
Yang harus dilakukan
adalah mengusapkan kedua tangan ke seluruh kepala. Rambut yang dibasahi oleh
air itu berbeda halnya dengan rambut yang diusap oleh air. Inilah usapan yang
wajib, dan seperti itulah tatacaranya.
Adapun berapa kali
kepala itu seluruhnya diusap? Jawabannya akan kita tangguhkan, hingga kita
terlebih dahulu mencermati hadits-hadits yang berkaitan dengannya. Bukhari
meriwayatkan hadits Abdullah bin Zaid sebagai berikut:
1. Di dalam riwayat
yang pertama disebutkan:
“Kemudian dia mengusap
kepalanya dengan dua tangannya, dia mengusapkannya dari depan dan kemudian dari
belakang. Dimulai dari bagian depan kepalanya dan menariknya hingga sampai pada
bagian tengkuk, lalu menariknya kembali ke bagian semula dia memulai.”
2. Dalam riwayat kedua
disebutkan:
“Kemudian dia
memasukkan tangannya, lalu mengusap kepalanya, dia menarik kedua tangannya dari
depan ke belakang, kemudian dari belakang ke depan satu kali.
3. Dalam riwayat
ketiga disebutkan:
“Dan dia mengusap
kepalanya, dimulai dari bagian depannya dan dari belakangnya.”
4. Riwayat keempat
disampaikan oleh Bukhari dalam bab mengusap kepala satu kali. Saya nukil hadits
tersebut selengkapnya:
“Sulaman bin Harb
telah bercerita kepada kami, dia berkata: Wuhaib telah bercerita kepada kami,
dia berkata: Amr bin Yahya telah bercerita kepada kami dari ayahnya, dia
berkata: Aku menyaksikan Amr bin Abi Hasan bertanya kepada Abdullah bin Zaid
tentang wudhu Nabi Saw. Maka dia meminta satu wadah air, lalu dia berwudhu
memenuhi permintaan mereka. Dia memenuhi dua telapak tangannya dengan air, lalu
membasuh keduanya tiga kali, kemudian dia memasukkan tangannya ke dalam wadah,
lalu dia berkumur-kumur, beristinsyaq (membersihkan
hidung dengan memasukkan air) dan beristintsar (mengeluarkan
air dari hidung) tiga kali dengan tiga kali cidukan air. Kemudian dia
memasukkan tangannya ke dalam wadah, lalu membasuh wajahnya tiga kali, kemudian
dia memasukkan tangannya ke dalam wadah lalu membasuh dua tangannya hingga dua
siku dua kali-dua kali. Kemudian dia memasukkan tangannya ke dalam wadah, lalu
mengusap kepalanya, dia mengusapkan kedua tangannya dimulai dari depan dan dari
belakang. Kemudian dia memasukkan tangannya ke dalam wadah, lalu membasuh dua
kakinya. Kemudian Bukhari berkata ketika meriwayatkan hadits tersebut: Musa
telah bercerita kepada kami, dia berkata: Wuhaib telah bercerita kepada kami,
dia berkata: Dia mengusap kepalanya satu kali.”
5. Muslim telah
meriwayatkan hadits ini, di dalamnya disebutkan:
“Lalu dia mengusap
kepalanya, dia mengusapkan kedua tangannya dari depan dan kemudian dari
belakang.”
6. Dari Utsman ra.
bahwasanya:
“Dia meminta wadah
berisi air (untuk berwudhu), lalu dia menuangkan air pada kedua telapak
tangannya tiga kali dan mencucinya, kemudian dia memasukkan tangan kanannya ke
dalam bejana, lalu berkumur dan beristinsyaq
(memasukkan air ke dalam hidung), kemudian membasuh wajahnya tiga kali dan
kedua tangannya hingga siku tiga kali, kemudian mengusap kepalanya, kemudian
membasuh dua kakinya tiga kali hingga dua mata kaki, lalu dia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini
kemudian dia shalat dua rakat dan tidak berbicara apapun dalam melaksanakan
keduanya, maka diampunilah dosanya yang telah lalu.” (Bukhari, Muslim dan
Ahmad)
7. Dari Abu Hayyah,
dia berkata:
“Aku melihat Ali
berwudhu. Dia membasuh dua telapak tangannya hingga benar-benar bersih,
kemudian dia berkumur-kumur tiga kali, beristinsyaq
tiga kali (memasukkan air ke dalam hidung), membasuh wajahnya tiga kali, dan
dua lengannya tiga kali, lalu mengusap kepalanya satu kali, kemudian membasuh
dua kakinya hingga mata kaki, kemudian dia berdiri lalu mengambil sisa air
wudhunya dan ia pun meminumnya dalam keadaan berdiri. Setelah itu dia berkata:
Aku sangat senang memperlihatkan kepada kalian bagaimana cara wudhu Rasulullah
Saw.” (HR. at-Tirimidzi)
Tirmidzi berkata:
hadits ini hasan shahih.
8. Dari Ibnu Abbas
ra.:
“Bahwasanya dia
melihat Rasulullah Saw. berwudhu, lalu dia menuturkan haditsnya semuanya tiga
kali-tiga kali, dan beliau mengusap kepalanya dan dua telinganya satu kali.”
(HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Al-Hasan bin
al-Qaththan berkata: hadits ini bisa shahih
dan bisa pula hasan statusnya.
Terdapat beberapa
hadits lainnya yang menyebutkan mengusap kepala satu kali usapan, tetapi kami
merasa cukup menyebutkan beberapa hadits di atas saja karena dipandang cukup
untuk menetapkan usapan yang disyariatkan dalam wudhu itu hanya satu kali saja.
Hadits Abdullah bin
Zaid dengan empat riwayatnya yang ditakhrij oleh
Bukhari dan yang ada dalam riwayat Muslim telah menggambarkan wudhu Rasulullah
Saw., dan menyebutkan mengusap kepala itu satu kali usapan. Ini berdasarkan
mafhum riwayat yang pertama, ketiga dan keempat yang ditakhrij oleh Bukhari, dan riwayat keenam yang ditakhrij oleh Muslim. Juga berdasarkan manthuq
hadits yang ada dalam riwayat kedua. Pendapat inilah yang dipegang oleh
Bukhari, hingga kemudian dia membuat satu bab khusus dalam kitab Shahihnya yang diberi judul bab mengusap
kepala satu kali. Juga dengan mengutip riwayat hadits Wuhaib:
“Dia mengusap
kepalanya satu kali.”
Senada dengan hadits
ini dengan beragam riwayatnya itu adalah hadits Utsman poin keenam. Hadits ini
menyebutkan bilangan semua perbuatan wudhu, kecuali mengusap kepala.
Adapun hadits Abu
Hayyah pada poin ketujuh, manthuq-nya jelas menyebutkan satu kali usapan:
“Lalu mengusap
kepalanya satu kali.”
Begitu pula hadits
Ibnu Abbas poin kedelapan, jelas menyebutkan satu kali usapan.
Semua hadits yang
layak digunakan sebagai hujjah ini menunjukkan bahwa mengusap kepala itu hanya
satu kali saja.
Satu kali usapan ini
dilakukan dengan cara tertentu, yakni membasahi dua telapak tangan dengan air,
kemudian mengusapkan keduanya di atas kepala, dimulai dari ubun-ubun sampai ke
tengkuk, kemudian dibalikkan lagi dari tengkuk ke ubun-ubun. Semua ini dihitung
satu kali usapan. Pendapat inilah yang populer di kalangan fuqaha dan ahli
hadits, tidak ada yang menyalahi tatacara ini selain riwayat Bukhari yang
keempat dari jalur Abdullah bin Zaid. Riwayat ini menyebutkan tatacara mengusap
secara terbalik:
“Kemudian
beliau Saw. mengambil air dengan tangannya, lalu mengusap kepalanya ke depan
lalu menariknya ke belakang.”
Ini adalah satu
riwayat yang bertentangan dengan seluruh riwayat dari Abdullah bin Zaid
sendiri. Yang seharusnya dilakukan adalah lebih memilih riwayat-riwayat
tersebut dan meninggalkan satu riwayat ini. Kita tidak perlu mentakwil untuk
mengkompromikan riwayat-riwayat ini, sebagaimana yang dilakukan Ibnu Hajar
ketika dia menyatakan: “Sesungguhnya masalah “iqbal”
dan “idbar” itu termasuk perkara-perkara
tambahan yang tidak ditentukan bagian manakah yang harus didahulukan dan
manakah yang harus diakhirkan. Dua perbedaan tersebut memiliki titik temu,
yakni keduanya memiliki pengertian yang sama. Riwayat Malik menetapkan memulakan
bagian depan, sehingga lafadz “aqbala”
dipahami sebagai sebutan memulakan suatu perbuatan, yakni memulai dengan bagian
depan kepala, tetapi konon dikatakan di dalam nasehatnya pernyataan yang tidak
seperti itu.”
Ibnu Hajar pun
mengalami kebingungan sehingga tidak bisa menetapkan satu pendapat pun.
Kami katakan: semua
itu dihitung satu kali usapan, kecuali an-Nasai yang menyebutkan mengusap
kepala dua kali usapan -berdasarkan riwayat Abdullah bin Zaid-. Pendapat
an-Nasai itu bisa jadi karena dia menganggap mengusap kepala dari ubun-ubun ke
tengkuk itu usapan yang pertama, dan mengusap dari tengkuk ke ubun-ubun usapan
yang kedua. Ini tidak masalah, karena yang menjadi patokan itu adalah sifat
usapan yang disyariatkan, bukan ekspresi atau ungkapannya. Anda bisa saja
menganggap apa yang dilakukan Rasulullah Saw. itu satu kali usapan atau dua
kali usapan, selama caranya seperti itu juga atau persis sama.
Mereka yang mengatakan
bahwa mengusap kepala itu satu kali usapan adalah mayoritas ulama dan para
imam, baik salaf ataupun khalaf. Mengusap kepala satu kali usapan telah
diriwayatkan dari Abdullah bin Umar dan puteranya, yakni Salim, juga al-Hasan,
Ibrahim an-Nakha'iy, Mujahid, Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad (dalam pendapat
yang masyhur darinya). At-Tirmidzi berkata: Pendapat inilah yang diamalkan oleh
mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi Saw. dan orang-orang setelah
mereka. Ibnu Abdil Barr berkata: Mereka semua mengatakan kepala itu diusap satu
kali usapan.
Atha, as-Syafi'i, dan
Ahmad (dalam satu riwayat) berpendapat mengusap kepala tiga kali itu
disunahkan. Marilah kita mencermati beberapa dalil dan syubhat mereka:
1. Dari Syaqiq bin
Salamah, dia berkata:
“Aku melihat Utsman
bin Affan membasuh dua lengannya tiga kali-tiga kali, dan mengusap kepalanya
tiga kali, kemudian dia berkata: Aku melihat Rasulullah Saw. melakukan hal
ini.” (HR. Abu Dawud, al-Baihaqi dan ad-Daruquthni)
Hadits ini dhaif.
2. Dari Abdu Khair
dari Ali ra.:
“Bahwasanya Ali
berwudhu, lalu ia membasuh dua tangannya tiga kali, berkumur-kumur dan beristinsyaq tiga kali, membasuh wajahnya tiga
kali dan dua tangannya tiga kali, mengusap kepalanya tiga kali, dan membasuh
dua kakinya tiga kali. Kemudian dia berkata: Barangsiapa yang suka melihat
wudhu Rasulullah Saw. yang sempurna, maka lihatlah ini.” (HR. ad-Daruquthni dan
at-Thabrani)
Hadits ini dhaif.
3. Mereka mengatakan
bahwa Ali, Utsman, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Abdullah bin Abi Aufa, Abu Malik,
ar-Rabi, dan Ubay bin Kaab masing-masing telah meriwayatkan dari Rasulullah
Saw. bahwa beliau Saw. berwudhu tiga kali-tiga kali.
Ini hadits mujmal
(global).
Tiga dalil inilah yang
dijadikan argumentasi oleh mereka untuk menyatakan bahwa mengusap kepala tiga
kali itu dianjurkan. Karena itu kami akan membahas semuanya itu satu per satu.
Sanad hadits yang
pertama itu dhaif, di dalam riwayat Abu
Dawud, al-Baihaqi dan ad-Daruquthni terdapat nama Amir bin Syaqiq, yakni Abu
Hamzah, yang diperdebatkan statusnya sebagai perawi.
Riwayat al-Baihaqi,
Ahmad dan ad-Daruquthni serta Ibnu Sakan berasal dari jalur Ibnu Daarah,
seorang perawi yang tidak diketahui statusnya.
Al-Baihaqi memiliki
riwayat dari jalur Atha dari Utsman, sanad jalur ini terputus (munqathi').
Ad-Daruquthni memiliki
riwayat lain dari jalur Ibnu al-Bailamani, dia seorang perawi yang sangat
lemah, yang meriwayatkan dari ayahnya yang juga perawi yang lemah (dhaif).
Hadits ini dengan
seluruh jalur periwayatannya adalah hadits dhaif
yang tidak layak digunakan sebagai hujjah.
Al-Baihaqi berkata:
Telah diriwayatkan dari berbagai jalur yang gharib
satu hadits dari Utsman ra. yang menyebutkan pengulangan mengusap kepala,
walaupun begitu, karena menyalahi riwayat para ahli hadits yang lebih tsiqah menjadikan hadits ini tidak layak
menjadi hujjah menurut para pakar hadits, walaupun sebagian sahabat kami
berhujjah dengannya.
Abu Dawud berkata:
Seluruh hadits shahih dari Utsman ra.
menunjukkan bahwa mengusap kepala itu hanya satu kali, mereka menyebutkan wudhu
tiga kali, dan di dalamnya mereka menyebutkan bahwa beliau mengusap kepalanya
tanpa menyebutkan bilangan usapan sama dengan yang ada dalam riwayat mereka lainnya.
Hadits kedua yang ditakhrij oleh ad-Daruquthni dari jalur Abdu
Khair itu termasuk riwayat Abu Yusuf dari Abu Hanifah, dari Khalid bin Alqamah,
dari Ali. Dia berkata: “Kami tidak mengetahui seorangpun dari mereka ada yang
berkata dalam haditsnya bahwa beliau mengusap kepalanya tiga kali, selain Abu
Hanifah. Ketika Abu Hanifah berbeda dengan mereka yang meriwayatkan hadits ini,
dia pun telah berbeda pendapatnya terkait hukum mengusap yang diriwayatkan dari
Ali ra., dari Nabi Saw. Ali berkata: Sesungguhnya Sunnah yang dilakukan Nabi
dalam wudhu itu adalah mengusap kepala satu kali.” Dengan demikian, hadits ini
ganjil adanya, sehingga tidak layak dijadikan sebagai hujjah.
Di dalam riwayat
Thabrani terdapat nama Abdul Aziz bin Ubaidillah. Ibnu Hajar berkata: “Dia
perawi yang dhaif,” karena itu hadits
ini syadz dan dhaif sehingga tidak boleh
digunakan sebagai hujjah.
Diriwayatkan beberapa
hadits lain yang juga menyebutkan mengusap kepala tiga kali, tetapi semuanya dhaif, sehingga tidak layak digunakan sebagai
dalil, karena itu kita tidak perlu menyoroti semuanya.
Adapun dalam poin
tiga, mereka menyatakan bahwa sejumlah sahabat -yang rincian namanya telah
disebutkan- telah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. berwudhu tiga kali-tiga
kali. Ucapan ini benar tetapi masih global, lalu datang hadits-hadits shahih yang menafsirkan dan menjelaskan
keglobalannya ini.
Hadits-hadits tersebut
menetapkan berbilangnya basuhan atas anggota wudhu yang dibasuh, tetapi tidak
menyebutkan bilangan usapan atas anggota wudhu yang diusap, dan kepala itu
diusap sebanyak satu kali.
Telah dimaklumi bahwa
hadits-hadits mujmal (global) itu dibawa pengertiannya sesuai hadits-hadits
terperinci. Telah nyata bahwa hadits-hadits yang mereka gunakan itu mujmal,
sedangkan hadits-hadits kami terperinci. Maka hadits-hadits mereka harus dibawa
pengertiannya sesuai dengan hadits-hadits kami, yang menetapkan bilangan pada
anggota wudhu yang dibasuh dan mengecualikan bilangan pada anggota wudhu yang
diusap.
Ibnu Qudamah berkata:
“Di dalam hadits-hadits yang mereka ceritakan bahwa Nabi Saw. berwudhu tiga
kali-tiga kali, maka maksud bilangan tersebut adalah semua anggota wudhu selain
yang diusap, karena para perawinya ketika menguraikannya dengan rinci mereka
mengatakan beliau Saw. mengusap rambutnya satu kali. Ungkapan yang rinci
digunakan untuk menetapkan dan menafsirkan ungkapan yang global, tidak dalam
posisi menentangnya sebagaimana lafadz yang khusus dengan yang umum.”
As-Syaukani berkata:
“Secara jujur, tiga hadits ini belum sampai pada posisi yang layak
dipertimbangkan sampai harus dipegang teguh terkait tambahan bilangan mengusap
kepala yang ada di dalamnya. Menjadikan hadits-hadits shahih yang nyata ditemukan dalam kitab Shahihain dan selainnya, berupa hadits Utsman, Abdullah bin Zaid
dan sebagainya sebagai patokan, itu merupakan sebuah keharusan. Terlebih lagi
dalam riwayat-riwayat tersebut ada taqyid yang menyebutkan satu kali usapan.
Hadits “barangsiapa yang menambah bilangan ini maka dia telah berbuat buruk dan
dzalim” yang dishahihkan oleh Ibnu
Khuzaimah dan lain-lain menjadi faktor penentu adanya larangan menambah
bilangan basuhan atau usapan dalam berwudhu, di mana ucapan tersebut justru
disampaikan Rasulullah Saw. setelah beliau berwudhu. Bagaimana tidak, sebab
dalam hadits ini yang diriwayatkan Said bin Manshur ditemukan penegasan
bahwasanya beliau Saw. mengusap kepalanya satu kali, kemudian beliau Saw.
berkata: “Barangsiapa yang menambah.”
Ibnul Mundzir berkata:
“Telah terbukti dari Nabi Saw., bahwa mengusap itu satu kali saja, dan mengusap
itu dilakukan dengan ringan saja, tidak bisa dianalogikan dengan membasuh yang
maksudnya memang benar-benar menyempurnakan. Seandainya bilangan itu diharuskan
dalam usapan, niscaya usapan tersebut mirip dengan basuhan, karena hakikat
basuhan itu adalah mengalirkan air, padahal menggosok itu sebenarnya tidak
disyaratkan menurut mayoritas para ulama.”
Dengan demikian,
nampak jelas dasar kebenaran pendapat yang kami lontarkan sebelumnya, bahwa usapan yang disyariatkan itu
satu kali, dan tambahan bilangan usapan itu menyalahi Sunnah Nabi Saw., bahkan
termasuk perkara yang dilarang.
Dalam berwudhu, yang
disyariatkan itu adalah mengusap kepala, bukan membasuh kepala. Ini tentunya
berbeda dengan anggota wudhu lainnya. Sehingga ketika seseorang membasuh
kepalanya, bukan mengusapnya, tentu perbuatan seperti ini menjadikan wudhu
batal dan tidak jadi (tidak mujzi). Ini berbeda dengan mereka yang membolehkan
membasuhnya. Mesti demikian tiada lain karena ibadah itu tidak boleh
dijustifikasi dengan alasan kebersihan, atau dengan alasan membasuh itu lebih
membersihkan daripada sekedar mengusapnya.
Walaupun ini benar
bisa membersihkan, tetapi yang diinginkan Allah Swt. adalah mengusap, bukan
membasuh, sehingga kita wajib berpegang pada nash dan tidak berijtihad di
dalamnya. Karena ijtihad seperti ini sama dengan membatalkan dan mengabaikan
nash, dan tindakan seperti ini jelas diharamkan.
Apakah kepala diusap
dengan air yang baru ataukah dengan air yang tersisa pada dua tangan? Untuk
menjawabnya kita harus mencermati hadits-hadits yang berkaitan dengannya:
1. Dari Wasi’
al-Anshari bahwasanya dia mendengar Abdullah bin Zaid bercerita:
“Bahwasanya dia
melihat Rasulullah Saw. sedang berwudhu. Beliau Saw. mengambil air untuk
mengusap dua telinganya yang berbeda dengan air yang diambilnya untuk mengusap
kepalanya.” (HR. al-Baihaqi)
Al-Baihaqi menshahihkan hadits ini.
2. Dari Abdullah bin
Zaid tentang sifat wudhu Rasulullah Saw.:
“Dan beliau Saw.
mengusap kepalanya dengan air yang bukan sisa membasuh tangannya.” (HR. Muslim,
at-Tirmidzi, ad-Darimi, Ahmad dan Abu Dawud)
3. Dari Nimran bin
Jariyah dari ayahnya dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Ambillah air yang
baru untuk mengusap kepala.” (HR. at-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir)
4. Dari Abdullah bin
Zaid tentang sifat wudhu Rasulullah Saw.:
“Kemudian dia menciduk
lagi, lalu mengusap kepala dengan cara menyapu tangannya dari arah depan kepala
ke arah belakang.” (HR. Muslim)
5. Dari Abdullah bin
Zaid tentang sifat wudhu Rasulullah Saw.:
“Kemudian beliau Saw.
mengambil air dengan tangannya, lalu mengusap kepalanya ke depan dan ke
belakang.” (HR. Bukhari)
6. Dari Abdullah bin
Muhammad bin Aqil: telah bercerita kepadaku ar-Rubayyi' binti Mu'awwidz bin
Afra bahwasanya Rasulullah Saw.:
“Beliau Saw. mengusap
kepalanya dengan air wudhu yang tersisa di kedua tangannya dua kali, beliau
memulai dari bagian belakangnya, kemudian beliau Saw. menarik tangannya hingga
ke ubun-ubunnya.” (HR. Ahmad)
Abu Dawud meriwayatkan
hadits ini dengan lafadz:
“Bahwasanya Nabi Saw.
mengusap kepalanya dengan sisa air yang ada di tangannya.”
At-Tirmidzi berkata:
Abdullah bin Muhammad bin Aqil itu seorang yang jujur, walaupun sebagian orang
memperbincangkan masalah hafalannya.
Bukhari berkata
tentangnya: Ahmad, Ishaq dan al-Humaidi berhujjah dengan haditsnya.
Dengan demikian hadits
ini layak digunakan sebagai hujjah.
Dalam hadits yang
pertama, secara literal (manthuq) disebutkan bahwa Rasulullah Saw. mengambil
air untuk mengusap kepalanya, karena kalimat:
“(Air) yang berbeda
dengan air yang diambilnya untuk mengusap kepalanya.”
seperti itu memastikan
air yang diciduk untuk mengusap kepala.
Hadits kedua
menunjukkan pengertian yang sama, sedangkan hadits keempat dan kelima
menunjukkan diambilnya air yang baru untuk mengusap kepala.
Semua hadits ini
menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. melakukan hal tersebut secara nyata. Semua
hadits ini layak digunakan sebagai hujjah.
Kemudian datanglah
hadits keenam yang menyebutkan:
“(Beliau saw) mengusap
kepalanya dengan air wudhu yang tersisa di kedua tangannya.”
sesuai dengan yang
disebutkan dalam riwayat Ahmad, dan:
“(Nabi Saw.) mengusap
kepalanya dengan sisa air yang ada di tangannya.”
Ini sesuai dengan yang
tercantum dalam riwayat Abu Dawud.
Dua lafadz hadits ini
menunjukan bahwa mengusap kepala itu sah dilakukan dengan menggunakan sisa air.
Ini juga termasuk salah satu perbuatan Rasulullah Saw., sehingga kita memiliki
beberapa nash yang menunjukkan mengusap kepala dengan air yang baru, dan ada
juga nash yang menunjukkan mengusap kepala dengan sisa air. Ini menunjukkan
bahwa seorang Muslim berhak memilih ketika berwudhu, antara mengusap kepala
dengan air baru, atau dengan air yang tersisa di kedua tangannya setelah dia
membasuh keduanya. Kedua cara ini dibolehkan.
Bisa jadi ada yang
mengatakan: adanya fakta Rasulullah mengambil air yang baru untuk mengusap
kepalanya sebagaimana diceritakan dalam beberapa riwayat ini telah menafikan
cara yang disebutkan dalam hadits Ibnu Aqil bahwa beliau Saw. mengusap
kepalanya dengan air wudhu yang tersisa di tangannya. Maka kami bantah:
penuturan satu perbuatan dengan gaya tertentu hanyalah menunjukkan fakta yang
terjadi dan tidak mengharuskan tidak adanya fakta yang lain, karena hal seperti
itu tidak mengandung arti pembatasan perbuatan dengan cara yang diceritakan
saja dan juga tidak menunjukkan penafian atas cara selainnya.
Singkat kata, seorang Muslim
boleh mengusap kepalanya dengan menggunakan air yang baru dan boleh pula dengan
air sisa. Pilihan ini tidak menafikan pernyataan hadits ketiga:
“Ambillah air yang
baru untuk mengusap kepala.”
berdasarkan dua sebab:
pertama, di dalam perintah ini tidak ada qarinah
yang menunjukkan hukum wajib, kedua, di dalam hadits ini ada kelemahan,
sebagaimana disebutkan dalam pembahasan air musta'mal, sehingga hadits ini
tidak layak mengalihkan hukum yang bersifat memberi pilihan (ikhtiyar) menjadi
mewajibkan salah satunya.
Bacaan: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar