9. Junub itu diakibatkan oleh bertemunya dua
alat khitan, yakni masuknya kelamin lelaki ke dalam kelamin wanita, baik keluar
mani ataupun tidak. Junub juga diakibatkan oleh keluarnya mani secara mutlak,
baik dalam kondisi sadar ataupun ketika tidur (karena bermimpi). Keluarnya
sperma (mani) dari alat kelamin lelaki dan wanita menunjukkan keduanya telah
baligh dan telah memasuki fase terkena taklif syar’i. Dari Ali ra. dia berkata
dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:
“Pena itu diangkat
dari tiga golongan: dari orang yang tidur hingga dia bangun, dari anak kecil
hingga dia bermimpi, dan orang gila hingga dia waras.” (HR. Abu Dawud, Bukhari,
at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan ad-Darimi)
Ketika seorang
laki-laki atau seorang perempuan baligh, tumbuhlah bulu kemaluannya. Bulu
kemaluan ini menjadi tanda kedua bahwa dia sudah baligh. Dari Athiyyah
al-Quradzi, dia berkata:
“Aku termasuk salah
seorang tawanan dari Bani Quraidzah. Mereka memeriksa (para tawanan), maka
siapa yang telah tumbuh bulu kemaluannya ia akan dibunuh, sedang orang yang
belum tumbuh bulu kemaluannya tidak akan dibunuh. Dan aku termasuk orang yang
belum tumbuh bulu kemaluannya.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, ad-Darimi dan
Ahmad)
Tirmidzi meriwayatkan
hadits ini dan berkata: hadits ini hasan
shahih.
Hadits ini bercerita
tentang putusan hukum bunuh untuk kaum lelaki Bani Quraidzah yang berkhianat
setelah mereka dikalahkan oleh Rasulullah Saw. Kaum Muslim menyingkap kemaluan
anak-anak Yahudi Bani Quraidzah. Ketika ditemukan ada yang telah ditumbuhi bulu
kemaluan -yakni sudah baligh- maka dia akan dibunuh, tetapi yang belum tumbuh
maka akan dianggap oleh kaum Muslim sebagai anak kecil, tidak akan dibunuh, dan
akan digabungkan dengan tawanan yang lain.
Keluarnya mani dari
kemaluan dan tumbuhnya bulu di sekitar kelamin (dzakar
ataupun farji) menjadi tanda baligh yang
sama antara laki-laki dan perempuan. Tetapi perempuan memiliki tanda lain yang
khusus untuknya, yakni haid dan hamil, sehingga seorang perempuan yang telah
haid atau telah hamil itu bisa kita tetapkan sebagai sudah baligh, dan saat itu
dia sudah menjadi wanita yang terkena taklif hukum.
Inilah tanda-tanda
fisik yang menunjukkan peralihan dari fase anak-anak ke fase baligh dan taklif.
Tanda-tanda ini disepakati para imam yang empat, kecuali tumbuhnya bulu di
sekitar kemaluan sebagai tanda baligh yang ditolak oleh Abu Hanifah.
Tetapi sikap Abu
Hanifah ini dibantah oleh hadits Athiyah di atas, begitu pula dibantah oleh
tindakan yang biasa dilakukan para sahabat Rasulullah Saw.
Abu Ubaid telah
meriwayatkan dalam kitab al-Amwal dari Aslam, pelayan Umar, bahwa Umar
mengirimkan instruksi kepada para panglima tentara: Hendaknya kalian memungut
jizyah, tetapi kalian jangan memungut jizyah dari kaum wanita dan anak-anak.
Hendaknya kalian tidak memungut jizyah kecuali dari orang yang bulu kemaluannya
sudah layak dipotong dengan gunting cukur.
Dilihat dari sisi
usia, maka menurut jumhur, usia yang menjadi penanda balighnya seseorang itu
adalah ketika dia berusia lima belas tahun, baik laki-laki ataupun perempuan.
(usia 15 tahun dianggap pasti sudah baligh)
Berbeda halnya dengan
Abu Hanifah, dia mengharuskan seseorang dianggap baligh ketika melewati usia
delapan belas tahun untuk laki-laki dan tujuh belas tahun untuk perempuan.
Pendapat yang benar
adalah pendapat jumhur. Dalil atas hal itu adalah hadits yang diriwayatkan dari
Ibnu Umar, dia berkata:
“Rasulullah Saw.
memeriksa aku pada hari menyongsong Perang Uhud. Saat itu aku berusia empat
belas tahun. Beliau Saw. tidak membolehkan aku (pergi berperang). Pada hari
Perang Khandaq, beliau Saw. memeriksa aku. Saat itu aku berusia lima belas
tahun, lalu beliau Saw. mengijinkan aku (ikut berperang).” (HR. Muslim,
Bukhari, Abu Dawud dan Ahmad)
Dalam lafadz yang
lebih jelas disebutkan:
“Aku dihadapkan pada
Rasulullah saw. Saat itu aku berusia empat belas tahun, maka beliau Saw. tidak
mengijinkan aku. Beliau Saw. menganggap aku belum baligh. Kemudian aku
menghadap beliau Saw., saat itu aku berusia lima belas tahun, maka beliau Saw.
mengijinkan aku.” (HR. Ibnu Hibban dan al-Baihaqi)
At-Tirmidzi
meriwayatkan hadits ini dan menambahkan: Nafi berkata: Aku ceritakan hadits ini
kepada Umar bin Abdul Aziz, maka dia berkata: Ini adalah batasan antara kecil
dan besar (dewasa), kemudian dia menetapkan untuk diberi kewajiban taklif
syar’i pada orang yang mencapai lima belas tahun.
Inilah patokan usia
yang menjadi tanda baligh, yang menurut saya akan dijadikan patokan oleh negara
dalam segenap hukum-hukumnya. Siapa saja yang mencapai usia lima belas tahun
akan diwajibkan oleh Negara Khilafah
untuk mengikuti latihan militer
dan berjihad,
juga melaksanakan berbagai taklif syar'i yang lain.
Ketika tanda-tanda
fisik yang disebutkan tadi merupakan tanda-tanda yang bisa diidentifikasi oleh
orangnya, maka siapa saja yang sudah bermimpi sampai keluar mani, atau
mengeluarkan darah haid, (berarti telah baligh) dia harus mewajibkan dirinya melaksanakan segenap
taklif syar’i, berupa shalat, puasa, menundukkan pandangan dari aurat, menutup
aurat, dan sebagainya.
Para imam dan ulama
berbeda pendapat tentang usia minimal seorang wanita bisa dipandang baligh.
Banyak di antara mereka yang berpendapat bahwa seorang wanita terkadang telah
haid ketika sudah berusia sembilan tahun, karena didasarkan pada hadits yang
diriwayatkan ar-Rabi, dari as-Syafi’i, dia berkata:
‘Wanita yang paling
cepat haidnya yang pernah aku dengar adalah wanita dari Tzhamah. Mereka haid
pada usia sembilan tahun.’
Juga didasarkan pada
hadits yang diriwayatkan dari Aisyah, bahwasanya dia berkata:
‘Ketika seorang anak
perempuan berusia sembilan tahun, maka dia sudah menjadi wanita dewasa.’
Juga didasarkan pada
hadits yang diriwayatkan Harmalah dari as-Syafi'i, dia berkata:
‘Aku melihat di Shan'a
ada seorang nenek beusia dua puluh satu tahun. Dia haid pada usia sembilan
tahun dan melahirkan pada usia sepuluh tahun. Anak perempuannya haid pada usia
sembilan tahun dan melahirkan pada usia sepuluh tahun.’
Semua hadits ini
diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan
al-Kabir.
Sebenarnya tidak ada
batasan usia minimal seorang perempuan mengeluarkan darah haid. Di daerah panas
seperti Tihamah bisa jadi seorang anak perempuan haid pada usia sembilan tahun,
tetapi di daerah dingin biasanya anak perempuan haid beberapa tahun setelah
usia kesembilan. Di Afrika bisa jadi ada seorang anak telah haid ketika dia
berusia enam tahun saja. Dengan demikian, menentukan usia minimal haid dan
baligh seperti itu tidak mungkin, dan memang tidak ada batasan untuk itu di
dalam syariat.
Mengenai usia maksimal
untuk berhenti haid juga telah diperselisihkan. Sebagian besar mereka
memperkirakan usia antara lima puluh hingga enam puluh tahunan, tetapi
sebenarnya dalam persoalan ini pun tidak ada batasan. Wanita manapun yang
melihat darah maka dia dipandang haid, baik ketika berusia empat puluh atau
tujuh puluh tahun, dengan syarat darah yang keluar itu memang darah haid.
Bacaan: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar