Dalil Mengusap
Telinga Dalam Wudhu:
Sunah
10. Mengusap
Dua Telinga
Mengusap dua telinga
itu disunahkan berdasarkan beberapa hadits berikut:
1. Dari Ibnu Abbas ra.:
“Dia melihat
Rasulullah Saw. berwudhu, lalu dia menyebutkan hadits bahwa seluruhnya tiga
kali-tiga kali. Dia menyebutkan: Beliau Saw. mengusap kepala dan dua telinganya
satu kali usapan.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
2. Dari Ibnu Abbas ra.:
“Bahwasanya Rasulullah
Saw. mengusap bagian dalam dua telinganya dengan jari telunjuk, dan bagian luar
dua telinganya dengan ibu jari, sehingga beliau Saw. mengusap bagian luarnya
dan bagian dalamnya.” (HR. Ibnu Majah, an-Nasai, Ibnu Hibban, al-Hakim dan Ibnu
Khuzaimah)
3. Dari as-Shunnabihi bahwasanya Rasulullah
Saw. bersabda:
“Apabila seorang hamba
mukmin berwudhu, lalu dia berkumur-kumur, maka dosa-dosa keluar dari
mulutnya... dan apabila mengusap kepalanya maka dosa-dosa keluar dari kepalanya
hingga keluar dari kedua telinganya.” (HR. Malik)
An-Nasai meriwayatkan
hadits ini, di mana para perawinya adalah para perawi hadits shahih.
4. Dari Ibnu Abbas ra.:
“Bahwasanya Nabi Saw.
mengusap kepala dan dua telinganya, bagian luarnya dan bagian dalamnya.” (HR.
at-Tirmidzi, dia berkata: hadits ini hasan
shahih)
5. Dari Abdullah bin Zaid:
“Bahwasanya dia
melihat Rasulullah Saw. berwudhu. Beliau mengambil air untuk telinganya, yang
berbeda dengan air yang diambilnya untuk mengusap kepalanya.” (HR. al-Baihaqi.
Dia berkata: sanad hadits ini shahih).
Al-Hakim meriwayatkan
hadits ini dengan lafadz:
“Lalu dia mengambil
air untuk kedua telinganya, yang berbeda dengan air yang digunakan untuk
mengusap kepalanya.”
Dia berkata: hadits
ini shahih sesuai dengan syarat Syaikhain (Bukhari dan Muslim).
Hadits kesatu, kedua
dan keempat, dari sisi manthuq (makna lilteral) jelas menunjukkan pensyariatan
mengusap dua telinga, karena mengusap kepala dengan air yang mengakibatkan
keluarnya dosa-dosa dari dua telinga menunjukkan bahwa mengusap dua telinga itu
dilakukan mengikuti usapan kepala. Seandainya dua telinga itu tidak diusap,
niscaya dosa-dosa tidak akan keluar dari keduanya. Ini pertama.
Sedangkan kedua,
hadits-hadits ini menjelaskan tata cara mengusap kedua telinga, yakni usapan
keduanya dilakukan mengikuti usapan kepala, sehingga tidak memerlukan air yang
baru. Kedua telinga tersebut diusap dari dalam dan luar, yang bagian dalam
diusap dengan jari telunjuk, sedangkan yang luar dengan ibu jari. Keduanya
diusap satu kali saja, seperti kita mengusap kepala. Siapa saja yang
menginginkan sunah maka dia harus mengamalkan semua ini.
Adapun hadits kelima
yang menunjukkan beliau Saw. mengambil air yang baru untuk mengusap dua
telinga, yang bukan dengan air yang digunakan untuk mengusap kepalanya, maka
hadits ini diperselisihkan keshahihannya.
Di antara mereka ada yang menshahihkannya,
seperti Ibnu Hajar, tetapi ada yang menghujatnya seperti Ibnu Daqiq al-Id.
Ibnul Qayyim berkata:
Tidak terbukti keshahihan hadits yang
menyatakan bahwa beliau Saw. mengambil air yang baru untuk mengusap kedua
telinganya, sebenarnya itu berasal dari Ibnu Umar.
Ketika keshahihan hadits ini diperselisihkan, maka ini
menunjukkan bolehnya mengambil air yang baru untuk mengusap dua telinga, karena
itu, untuk mengusap dua telinga, seseorang bisa mengambil air yang baru, dan
bisa mengusapkan air yang masih tersisa pada dua tangannya setelah mengusap
kepala. Kedua cara tersebut boleh dilakukan.
Ishaq bin Rahuwaih dan
Ahmad dalam satu riwayat darinya berpendapat bahwa mengusap dua telinga itu
wajib hukumnya, sedangkan fuqaha lainnya berpendapat tidak wajib. Mereka berdua
menyatakan wajibnya mengusap dua telinga itu dengan dalil hadits-hadits Rasulullah
yang menceritakan perbuatan Rasulullah Saw. mengusap dua telinga. Bagi
keduanya, perbuatan Rasulullah Saw. itu menunjukkan sebuah kewajiban, seperti
halnya ucapan-ucapan beliau saw.
Mereka berdua juga
berargumentasi dengan hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dan selainnya, dari
Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:
“Kedua telinga itu
bagian dari kepala.”
Mereka berdua
mengatakan: Hadits ini menyatakan bahwa dua telinga itu bagian dari kepala,
sehingga perintah untuk mengusap kepala sama dengan perintah untuk mengusap
kedua telinga, karena itu, terbukti kewajiban mengusap dua telinga berdasarkan
nash al-Qur'an.
Bantahan atas
pandangan seperti itu adalah: Perbuatan Rasulullah Saw. tidak menunjukkan suatu
kewajiban, kecuali dengan adanya qarinah.
Dan di sini tidak adanya qarinah, bahkan
qarinah yang ada menunjukkan mengusap
dua telinga itu tidak wajib, yakni perbuatan tersebut (mengusap dua telinga-pen.) bukan termasuk wudhu yang mencukupi
(mujzi) . Karena itulah kami telah menyatakan bahwa mengusap dua telinga itu
sunah saja hukumnya, bukan wajib.
Mengenai pernyataan
bahwa dua telinga itu bagian dari kepala, maka hadits ini dengan seluruh jalur
periwayatannya merupakan hadits dhaif
yang tidak layak digunakan sebagai hujjah.
Bahkan Ibnu Hajar
berkata: terbukti bahwa ini adalah hadits mudraj,
yakni kalimat tersebut hanya ucapan para perawi, bukan ucapan Rasulullah Saw.
At-Tirmidzi berkata:
Qutaibah berkata: Hammad berkata: Aku tidak tahu apakah ini ucapan Rasulullah
Saw. ataukah ucapan Abu Umamah.
Dan dalam jalur
riwayat Abu Hurairah yang ditakhrij oleh
Ibnu Majah terdapat nama Amr bin Hushain, dia seorang perawi yang dituduh
berdusta. Dan ada nama Muhammad bin Abdullah bin ‘Ulatsah yang dikategorikan
sebagai perawi yang dhaif.
Dalam riwayat Abu
Umamah yang juga ditakhrij oleh Ibnu
Majah, ada nama Syahr bin Hausyab, yang dikategorikan seorang perawi yang dhaif.
Riwayat Ibnu Majah
dari jalur Abdullah bin Zaid adalah riwayat yang hasan, tetapi ucapan dua
telinga adalah bagian dari kepala itu dikategorikan sebagai hadits mudraj.
Dalam beberapa riwayat
Ibnu Umar yang ditakhrij oleh
ad-Daruquthni, yang paling shahih
darinya dikategorikan hadits mauquf, dan hal itu dinyatakan oleh ad-Daruquthni
sendiri.
Dalam riwayat Abu Musa
yang ditakhrij oleh ad-Daruquthni
diperselisihkan status mauquf dan marfu'nya.
Ibnu Hajar membenarkan
bahwa riwayat tersebut adalah mauquf, artinya itu adalah ucapan sahabat. Ibnu
Hajar menambahkan: Hadits tersebut munqathi'
(terputus jalur sanadnya).
Dalam riwayat Aisyah
ra. yang ditakhrij oleh ad-Daruquthni
terdapat nama Muhammad bin al-Azhar yang didustakan oleh Ahmad.
Ibnu as-Shalah
berkata: Ketika hadits didhaifkan banyak
orang, maka banyaknya jalur periyawatan tidak bisa menolongnya.
Dengan demikian,
hadits-hadits ini tidak benar untuk dijadikan sebagai dalil atas wajibnya
mengusap dua telinga.
As-Syaukani berkata:
“Aku menerima bahwa hadits-hadits tersebut tidak bisa menjadi sandaran pendapat
yang mewajibkan mengusap dua telinga. Yang tepat itu hanya sekedar anjuran,
sehingga tidak bisa dipahami sebagai sebuah kewajiban kecuali dengan dalil yang
kokoh. Ketika tanpa dalil, maka ucapan ini sama dengan kebohongan kepada Allah
Swt. dengan menyatakan sesuatu yang tidak difirmankan-Nya.”
Riwayat kedua yang ditakhrij oleh Ahmad itu tidak mewajibkan
mengusap dua telinga. Ibnu Qudamah menyatakan dalam kitab al-Mughni: Al-Khallal berkata: “Mereka semua
menceritakan dari Ahmad tentang orang yang tidak mengusap dua telinga, baik
sengaja ataupun lupa, bahwa wudhunya itu sudah cukup. Hal ini karena kedua
telinga itu disertakan pada kepala, padahal ketika disebutkan kata “kepala”
tidak bisa dipahami bahwa kedua telinga sudah termasuk ke dalamnya. Keduanya
tidak mirip dengan bagian kepala lainnya. Karena itu, mengusap keduanya tidak
bisa diwakili dengan hanya mengusap wajah oleh orang yang hanya mengusap satu
bagian darinya, lebih baik keduanya diusap bersama degan wajah.” Ini
menunjukkan bahwa Ahmad menganjurkan mengusap kedua telinga, tidak
mewajibkannya.
Masalah
Tidak ada hadits shahih dan hasan
yang layak digunakan sebagai hujjah dalam masalah mengusap leher. Hadits yang
diriwayatkan dari Thalhah bin Musharrif, dari ayahnya, dari kakeknya:
“Bahwasanya dia
melihat Rasulullah Saw. mengusap kepalanya hingga mencapai al-qudzal dan bagian
depan lehernya satu kali usapan. Dia berkata: Al-Qudzal itu adalah leher bagian
belakang.” (HR. Ahmad)
Di dalam hadits ini
adalah Laits bin Abi Salim, dia seorang dhaif.
Ibnu Hibban berkata: Laits itu suka membalik sanad, memarfu’kan hadits mursal, dan menyampaikan sesuatu dari
orang-orang tsiqah tetapi tidak seperti
yang mereka sampaikan, selain itu, Ibnu al-Qaththan, Ibnu Mahdi, Ibnu Ma'in dan
Ahmad menuduhnya berdusta.
An-Nawawi berkata:
Para ulama bersepakat bahwa dia seorang dhaif.
Sedangkan hadits yang
dibenarkan oleh al-Bani yang berasal dari al-Juwaini dan al-Ghazali: “Mengusap
leher itu untuk menjaga dari dengki,” maka hadits ini telah dikomentari oleh
Ibnu as-Shalah: “Hadits ini tidak diketahui berasal dari Nabi Saw., kalimat seperti
itu hanya ucapan sebagian salaf.” An-Nawawi berkata: “Ini merupakan hadits
maudhu.”
An-Nawawi berkata:
“Tidak ada satupun hadits shahih dari
Nabi terkait persoalan mengusap leher.” Dia menambahkan: “Mengusap leher itu
bukan Sunnah melainkan bid'ah.”
Ibnul Qayyim berkata:
“Tidak ada hadits shahih sama sekali
tentang mengusap leher.” Karena itu mengusap leher tidak disyariatkan, bukan
wajib, bukan pula sunah, sehingga harus ditinggalkan.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar