4. Berkumur-kumur
Al-Madhmadhah (berkumur-kumur) menurut bahasa
adalah menggerak-gerakkan air di dalam mulut. Pengertian ini dikatakan oleh
penyusun kitab al-Qamus. Ini pula yang
menjadi pengertian syar’inya.
Menggerakkan yang disebutkan dalam pengertian bahasa itu menjadi syarat
berkumur-kumur, karena itu jelaslah kekeliruan pendapat jumhur yang tidak
mensyaratkan menggerakkan air di dalam mulut. Dalil berkumur-kumur dalam wudhu
itu adalah hadits Humran:
“Kemudian
berkumur-kumur”
Dan hadits Abdullah
bin Zaid al-Anshari:
“Lalu dia
berkumur-kumur”
Kedua hadits ini
secara lengkap sudah kami sebutkan di atas.
[Humran pelayan Utsman
mengabarkan:
“Bahwasanya Utsman bin
Affan ra. meminta air wudhu, lalu dia berwudhu. Beliau membasuh dua telapak
tangannya tiga kali, kemudian
berkumur-kumur dan beristintsar
(memasukkan air ke hidung lalu mengeluarkannya kembali), kemudian membasuh
wajahnya tiga kali, lalu membasuh tangan kanannya hingga ke siku tiga kali,
kemudian membasuh tangan kirinya seperti itu pula, kemudian menyapu kepalanya,
lalu membasuh kaki kanannya hingga kedua mata kaki tiga kali, kemudian membasuh
kaki kirinya seperti itu. Setelah itu beliau berkata: Aku melihat Rasulullah
Saw. berwudhu seperti wudhu yang aku lakukan ini, kemudian Rasulullah Saw.
bersabda: “Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian dia berdiri
dan shalat dua rakaat, di mana dia tidak berbicara dalam melakukan keduanya,
niscaya dosa yang telah dilakukannya diampuni.” Ibnu Syihab berkata: Ulama kami
menyatakan wudhu seperti ini adalah wudhu yang paling sempurna yang dilakukan
seseorang untuk shalat. (HR. Muslim, Bukhari dan Ahmad)
Dari Abdullah bin Zaid
bin Ashim al-Anshari (seorang sahabat), dia berkata:
“Dia pernah ditanya:
Tunjukkan kepada kami cara Rasulullah Saw. berwudhu. Abdullah lalu meminta satu
wadah berisi air. Dia lalu menuangkan air ke atas kedua tapak tangan dan
membasuhnya sebanyak tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangan ke dalam wadah
untuk menciduk air (dengan tangannya) dan berkumur-kumur serta memasukkan air ke dalam
hidung dengan air yang sama dari satu telapak tangan. Kemudian dia menciduk air
sekali lagi, lalu membasuh muka sebanyak tiga kali. Selepas itu, dia menciduk
lagi dengan tangannya dan membasuh tangan hingga ke siku dua kali-dua kali.
Kemudian dia menciduk lagi lalu mengusap kepala dengan cara menyapukan
tangannya dari arah depan kepala ke arah belakang, kemudian dia membasuh kedua
kakinya hingga mata kaki. Selepas itu dia berkata: Beginilah cara Rasulullah
Saw. berwudhu.” (HR. Muslim, Bukhari, Malik dan Ahmad)]
Para imam dan fuqaha
berbeda pendapat tentang hukum berkumur-kumur dalam wudhu. Ahmad, Ishaq, Abu
Ubaid, Mujahir, Abu Tsur, Ibnul Mundzir, dan as-Syaukani berpendapat bahwa
berkumur-kumur itu wajib hukumnya. Mereka mengatakan bahwa berkumur-kumur itu
termasuk kesempurnaan membasuh wajah. Perintah membasuh wajah berarti perintah
untuk berkumur-kumur. Mereka menyatakan bahwa dalam hadits Laqith bin Shabarah
yang diriwayatkan Abu Dawud dan al-Baihaqi dengan sanad yang dishahihkan oleh Ibnu Hajar dan an-Nawawi
disebutkan kalimat:
“Jika engkau berwudhu
maka berkumurlah.”
Kalimat seperti ini
merupakan perintah untuk berkumur, dan perintah itu (menurut mereka) memberi
pengertian wajib.
Malik, as-Syafi’i,
al-Auza’iy, al-Laits, al-Hasan, az-Zuhri, dan Atha berpendapat bahwa berkumur
dalam wudhu itu sunah. Mereka mengambil kesimpulan seperti itu dilandaskan pada
dalil-dalil berikut:
1. Hadits sepuluh
perkara yang termasuk fitrah, di dalamnya disebutkan:
“Mungkin (yang
terakhir itu) adalah berkumur-kumur.”
Hadits ini secara
lengkap telah kami sebutkan dalam pasal Sunanul Fithrah.
2. Dari Ibnu Abbas,
dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Berkumur-kumur dan
beristinsyaq (memasukkan air ke dalam
hidung) itu adalah sunah.” (HR. ad-Daruquthni)
Hadits ini dhaif.
3. Berkumur-kumur itu tidak disebutkan dalam
ayat al-Qur’an, seandainya hukumnya wajib niscaya disebutkan di sana.
Pendapat yang paling
tepat menurut saya adalah berkumur-kumur
itu sunah hukumnya, bukan wajib. Hadits yang digunakan sebagai dalil
oleh mereka yang mewajibkan berkumur itu diarahkan pada pengertian sunah,
karena hal itu menjadi perintah bukan dalam perkara wudhu yang cukup (mujzi).
Dan kami juga tidak sependapat bila dikatakan bahwa perintah itu memberi
pengertian wajib. Sebenarnya perintah itu hanya memberi pengertian tuntutan (thalab), dan qarinah-lah
yang menentukan maksud dari tuntutan tersebut. Dalam persoalan ini qarinah yang ada mengarahkan tuntutan tersebut
pada pengertian sunah.
Mengenai pernyataan
yang mereka lontarkan: Berkumur-kumur itu termasuk keutuhan membasuh wajah,
sehingga perintah untuk membasuh wajah sama dengan perintah untuk
berkumur-kumur. Kami tidak sependapat dengan pernyataan ini, karena istilah
wajah itu digunakan untuk menyebut sesuatu yang tampak, bukan untuk sesuatu
yang tidak tampak. Wajah sesuatu itu adalah bagian yang tampak dari depan,
sehingga dari kata itu lahirlah istilah muwajahah
(saling bertatap muka) dan wajihah
(bagian depan). Dengan demikian, bagian dalam mulut tidak bisa dikatakan
sebagai wajah.
Tahukah Anda,
seandainya muncul luka di bagian dalam mulut, apakah dibenarkan secara bahasa
untuk dikatakan bahwa ini adalah luka di wajah? Benarkah menurut bahasa untuk
dikatakan bahwa gigi itu tumbuh di wajah? Sesungguhnya perintah untuk membasuh
wajah dipahami sebagai perintah untuk membasuh dua pipi, dua bibir, dua alis
mata, dahi, dagu, bagian luar hidung, dan sesuatu yang nampak saja, tidak
ditarik sebagai perintah untuk membasuh gigi, lidah dan bagian dalam hidung.
Seandainya
berkumur-kumur itu menjadi bagian dari membasuh wajah, niscaya Rasulullah Saw.
tidak akan memerintahkan berkumur beberapa kali dalam hadits-haditsnya, niscaya
beliau Saw. cukup memerintahkan membasuh wajah saja.
Misalnya, tidak
diriwayatkan beliau Saw. memerintahkan membasuh dua bibir atau membasuh dua
alis, sehingga semua ini menunjukkan bahwa bagian dalam mulut itu memiliki
hukum tersendiri, dan ini merupakan persoalan yang berbeda.
Selain itu, hadits
yang ada menunjukkan bahwa bagian dalam mulut dan bagian dalam hidung itu bukan
bagian dari wajah. Dari Amr bin ‘Abasah, dia berkata:
“Wahai Nabiyullah, terangkanlah perkara wudhu
kepadaku. Beliau Saw. bersabda: “Tidaklah salah seorang dari kalian mendekati
air wudhunya, lalu ia berkumur-kumur, beristinsyaq
(memasukkan air ke dalam hidung) lalu beristintsar
(mengeluarkannya kembali) melainkan dosa-dosa dari wajahnya, bibirnya dan
hidungnya akan berguguran, kemudian tidaklah dia membasuh wajahnya sebagaimana
yang diperintahkan Allah melainkan dosa-dosa dari wajahnya akan berguguran
bersama air yang menetes dari ujung-ujung jenggotnya.” (HR. Ahmad)
Hadits ini membedakan
antara berkumur-kumur dan beristinsyaq
dengan membasuh wajah. Dilalah hadits
ini sangat jelas. Begitu pula hadits Abdullah as-Shunabihiy yang ditakhrij oleh an-Nasai, Ahmad, Malik dan Ibnu
Majah, di mana hadits ini telah kami sebutkan selengkapnya dalam pembahasan
keutamaan wudhu. Di dalam hadits tersebut dituturkan:
“Ketika seorang hamba
yang beriman berwudhu, lalu dia berkumur-kumur, maka keluarlah (gugurlah)
dosa-dosa dari mulutnya, ketika dia beristintsar
(menghirup air dengan hidung dan mengeluarkannya) maka keluarlah dosa-dosa dari
hidungnya, ketika dia membasuh wajahnya maka keluarlah dosa-dosa dari
wajahnya.”
Dilalah hadits ini pun sangat jelas. Dengan
demikian, nyatalah kini kekeliruan pendapat bahwa perintah membasuh wajah itu
sama dengan perintah untuk berkumur-kumur.
Selain itu dalil-dalil
yang digunakan oleh mereka yang menyatakan berkumur-kumur itu sunah juga tidak
tepat, walaupun pendapat mereka benar adanya. Hadits sepuluh perkara yang
termasuk fithrah yang di dalamnya
menyebut berkumur-kumur, adalah hadits yang tidak layak digunakan sebagai dalil
dalam persoalan ini. Karena hadits tersebut tidak sedang membahas persoalan
wudhu, sehingga segala sesuatu yang disebutkan di dalam hadits tersebut harus
dipisahkan dari pembahasan wudhu.
Berkumur-kumur yang
disebutkan dalam hadits tersebut adalah bagian dari fithrah, yang sama dengan mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu
kemaluan. Berkumur- kumur dalam hadits tersebut hanyalah salah satu cara
membersihkan diri. Berkumur itu menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh para
Rasul dan orang-orang di masa dahulu dan sekarang, karena memang termasuk
tabiat manusia (jibillat al-basyar).
Berkumur-kumur yang disinggung hadits tersebut bukanlah berkumur-kumur dalam
wudhu dan bukan pula berkumur-kumur yang dirangkai dalam suatu ibadah.
Adapun hadits Ibnu
Abbas: “berkumur-kumur dan beristinsyaq
itu sunah,” maka di dalamnya ada nama Ismail bin Muslim yang dikatakan oleh
ad-Daruquthni sebagai perawi yang dhaif.
Ibnu Hajar pun mendhaifkannya.
Karena itu, mereka
tidak memiliki dalil lagi selain ayat al-Qur’an yang layak digunakan sebagai
hujjah. Dilalahnya jelas, bahwa
berkumur-kumur itu sunah, dan wudhu yang dilakukan tanpa berkumur-kumur
dipandang sebagai wudhu yang cukup (mujzi), sehingga orang yang tidak
berkumur-kumur tidak harus mengulang wudhunya.
At-Thabari menyatakan:
“Wajah yang diperintahkan Allah Swt. untuk dibasuh oleh orang yang hendak
mendirikan shalat adalah sesuatu yang melandai dari tempat tumbuhnya rambut
kepala hingga ujung dagu (secara vertikal), dan bagian yang ada di antara dua
telinga (secara horizontal), yang nampak pada pandangan orang yang melihatnya
selain bagian yang tersembunyi dari mulut, hidung dan mata, dan selain yang
tertutupi bulu jenggot, bulu yang tumbuh di pelipis, dan kumis sehingga
tersembunyi dari pandangan orang yang melihatnya dan juga selain dua telinga.”
Menurut kami,
pengertian inilah yang paling tepat, walaupun kulit yang ada di balik jenggot
dan kumis itu tetap sebagai wajah yang tetap harus dibasuh sebelum tumbuhnya
bulu yang bisa menutupi pandangan mereka yang melihat orang yang hendak
melakukan shalat tersebut.
Mengenai masalah
mengambil air untuk berkumur-kumur, maka seorang Muslim
berhak memilih apakah berkumur tiga kali yang berasal dari satu cidukan, atau
berkumur tiga kali yang berasal dari tiga kali cidukan. Abdullah bin Zaid
menyebutkan bahwa Nabi Saw. berkumur-kumur dan beristinsyaq
dari satu telapak tangan, beliau Saw. melakukannya tiga kali. Dalam lafadz
hadits yang ditakhrij oleh Bukhari Muslim disebutkan:
“Kemudian dia
memasukkan tangannya dalam bejana kecil, lalu dia berkumur-kumur, beristinsyaq, beristintsar,
dengan tiga kali cidukan.”
Dan disunahkan
terlebih dahulu berkumur-kumur, baru kemudian beristinsyaq
sebelum membasuh wajah. Karena seluruh hadits shahih
menuturkan hal seperti itu.
Adapun hadits-hadits
yang menyalahinya seperti hadits yang diriwayatkan oleh al-Miqdam bin Ma’di
Kariba, dia berkata:
“Rasulullah Saw.
disodori air wudhu, lalu beliau Saw. berwudhu. Beliau Saw. membasuh dua telapak
tangannya tiga kali, kemudian membasuh wajahnya tiga kali, kemudian membasuh
dua lengannya tiga kali, kemudian beliau Saw. berkumur-kumur dan beristinsyaq tiga kali, dan beliau Saw. mengusap
kepalanya dan dua telinganya, bagian luar dan dalamnya, dan beliau Saw.
membasuh dua kakinya tiga kali.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan at-Thahawi)
Dan hadits yang
diriwayatkan Abdullah bin Muhammad bin Aqil, dari ar-Rubayyi' binti Mu’awwidz
bin Afra, dia berkata:
“Aku mendatangi wanita
itu, kemudian dia mengeluarkan wadah berisi air seraya berkata: Dalam wadah
inilah aku menyodorkan air wudhu untuk Rasulullah Saw. Beliau Saw. memulai
dengan membasuh dua telapak tangannya tiga kali sebelum dimasukkan (ke dalam
wadah), kemudian beliau Saw. berwudhu dan membasuh wajahnya tiga kali, kemudian
berkumur-kumur dan beristinsyaq tiga
kali, kemudian beliau Saw. membasuh dua tangannya, kemudian mengusap kepalanya
dari depan dan dari belakang, kemudian beliau Saw. membasuh dua kakinya.” (HR.
ad-Daruquthni)
Dua hadits ini
menyalahi seluruh hadits shahih yang
menceritakan wudhu Rasulullah Saw., karena itu, dua hadits ini ditinggalkan dan
hadits-hadits shahihlah yang diamalkan.
Terlebih lagi ketika hadits ad-Daruquthni yang juga diriwayatkan Abu Dawud,
at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad dengan seluruh jalur periwayatannya bertumpu
pada Abdullah bin Muhammad bin Aqil, seorang perawi yang didhaifkan, sehingga hadits ini tidak layak
digunakan sebagai dalil. Hadits-hadits yang shahih
telah menyebutkan:
1. Dari Utsman bin Affan ra.:
“Bahwasanya dia
meminta air wudhu, lalu dia berwudhu dan membasuh dua telapak tangannya tiga
kali, kemudian dia berkumur-kumur dan beristintsar,
kemudian membasuh wajahnya tiga kali, kemudian dia membasuh tangan kanannya…
kemudian Utsman berkata: Aku melihat Rasulullah Saw. berwudhu seperti wudhuku
ini.” (HR. Muslim, Bukhari dan Ahmad)
2. Dari Abdullah al-Anshari, dia berkata:
“Dia pernah ditanya:
Tunjukkan kepada kami cara Rasulullah Saw. berwudhu. Abdullah lalu meminta satu
wadah berisi air. Dia lalu menuangkan air ke atas kedua tapak tangan dan
membasuhnya sebanyak tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangan ke dalam wadah
untuk menciduk air (dengan tangannya) dan berkumur-kumur serta memasukkan air
ke dalam hidung dengan air yang sama dari satu telapak tangan. Kemudian dia
menciduk air sekali lagi, lalu membasuh muka sebanyak tiga kali... Selepas itu
dia berkata: Beginilah cara Rasulullah Saw. berwudhu.” (HR. Muslim)
Hadits ini telah kami
sebutkan sebelumnya.
3. Dari Ibnu Abbas ra.:
“Bahwasanya dia
berwudhu, dia mencuci wajahnya, lalu mengambil air satu cidukan tangan dan
menggunakannya untuk berkumur dan beristinsyaq.
Lalu dia kembali mengambil air satu cidukan tangan dan menjadikannya seperti
ini -dia menuangkan pada tangannya yang lain- lalu dengan kedua tangannya dia
membasuh wajahnya, kemudian mengambil air satu cidukan dan membasuh tangan
kanannya, lalu kembali mengambil air satu cidukan dan membasuh tangannya yang
sebelah kiri, lalu dia mengusap kepala, kemudian mengambil air satu cidukan dan
mengucurkannya ke atas kaki kanannya hingga membasuhnya, lalu mengambil air
satu cidukan lagi dan membasuh kaki kirinya. Setelah itu ia berkata: Seperti
inilah aku melihat Rasulullah Saw. berwudhu. (HR. Bukhari)
Di dalam hadits ini
ada paradoks, karena hadits ini dua kali menyebutkan membasuh wajah. Seandainya
dia tidak mengulang wajah untuk kedua kali dengan cidukan air yang terpisah,
niscaya akan dikatakan bahwa berkumur-kumur dan beristinsyaq itu termasuk bagian dari membasuh wajah, dan mungkin
akan menjadi penyokong pendapat yang menyatakan wajibnya berkumur-kumur dan beristinsyaq. Tetapi ketika membasuh wajah ini
disebutkan kembali maka kemungkinan tersebut terbantahkan. Bagaimanapun juga,
besar kemungkinan jika dalam meriwayatkan hadits tersebut lafadz wajahnya
diganti dengan lafadz kedua telapak tangannya dalam basuhan yang pertama,
niscaya ambiguitas hadits tersebut bisa dihilangkan, dan hadits ini kemudian
akan selaras dengan hadits-hadits lainnya. Di dalam hadits ini disebutkan bahwa
Ibnu Abbas ra. melihat Rasulullah Saw. berwudhu seperti wudhu yang
dilakukannya.
4. Dari Abu Hayyah, dia berkata:
“Aku melihat Ali
berwudhu, dia membasuh kedua telapak tangannya hingga bersih, lalu
berkumur-kumur tiga kali dan beristinsyaq
(membersihkan hidung), membasuh wajah tiga kali, membasuh kedua lengannya tiga
kali, mengusap kepalanya satu kali, kemudian dia membasuh kedua kakinya hingga
mata kaki. Setelah itu dia berdiri seraya mengambil sisa air wudhu tersebut dan
meminumnya, sedangkan dia masih dalam keadaan berdiri. Kemudian dia berkata:
Aku senang bisa memperlihatkan kepada kalian bagaimana cara Rasulullah Saw.
berwudhu.” (HR. at-Tirmidzi)
Dia berkata: hadits
ini hasan shahih.
Di dalam hadits yang
pertama ada kesaksian Utsman, di dalam hadits kedua ada kesaksian Abdullah
al-Anshari, di dalam hadits ketiga ada kesaksian Ibnu Abbas, di dalam hadits
keempat mengandung kesaksian Ali. Mereka itu adalah para sahabat senior, mereka
melihat dan menyaksikan bahwa dalam wudhu di mana Rasulullah Saw.
berkumur-kumur dan beristinsyaq itu
dilakukan sebelum membasuh wajah, maka mengapa kita membiarkan hadits-hadits
yang demikian shahih dan mengandung
kesaksian empat sahabat senior hanya demi hadits Ahmad di atas dan hadits
ad-Daruquthni yang dhaif?
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar