BAB SEMBILAN
BEBERAPA PERKARA YANG MEWAJIBKAN
MANDI
Mandi itu menjadi
wajib karena beberapa sebab berikut:
1. Junub, terjadi
dengan bertemunya dua alat kelamin karena persetubuhan, karena keluarnya mani
dalam mimpi, atau karena keluarnya mani dalam kondisi sadar.
2. Seorang kafir
ketika masuk Islam.
3. Kematian.
4. Haid.
5. Nifas dan
melahirkan.
Pertama: Junub
Wajibnya mandi karena
junub menjadi sesuatu yang sudah disepakati kaum Muslim. Persoalan ini termasuk
perkara ma'lum min ad-diin bi ad-dharurah
(perkara agama yang pasti diketahui). Kewajiban ini telah ditunjukkan oleh
nash-nash al-Qur’an dan Sunnah Nabawi yang mulia, yang akan kami sebutkan di
antaranya sebagai berikut:
1. Al-Qur’an Surat an-Nisa: 43
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu
mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam
keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (TQS. an-Nisa
[4]: 43)
2. Al-Qur’an Surat al-Maidah: 6
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah.” (TQS. al-Maidah
[5]: 6)
3. Dari Khaulah binti Hakim, dia berkata:
“Aku bertanya kepada
Rasulullah Saw. tentang wanita yang bermimpi dalam tidurnya. Beliau Saw.
menjawab: “Jika melihat air maka hendaklah dia mandi.” (HR. an-Nasai dan Ahmad)
An-Nasai dan Muslim
meriwayatkan dari Anas:
“Bahwasanya Ummu
Sulaim bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang wanita yang bermimpi dalam
tidurnya seperti halnya laki-laki. Maka Rasulullah Saw. menjawab: “Jika wanita
itu mengeluarkan air, maka hendaklah dia mandi.”
4. Dari Ali ra., dia berkata:
“Aku bertanya kepada
Nabi Saw. tentang madzi. Beliau Saw. menjawab: “Berwudhu itu karena (keluar)
madzi, dan mandi itu karena (keluar) mani.” (HR. Tirmidzi, dan ia berkata:
Hadits ini hasan shahih)
Hadits ini
diriwayatkan pula oleh an-Nasai dan Abu Dawud.
An-Nasai meriwayatkan
hadits ini dengan redaksi:
“Dia berkata: Aku
seorang lelaki yang gampang keluar madzi, maka aku bertanya kepada Nabi Saw.
Kemudian beliau Saw. berkata: “Jika engkau melihat madzi maka berwudhulah dan
cucilah dzakarmu, dan jika engkau melihat air yang keruh maka mandilah.”
5. Dari Aisyah ra. dia berkata: Rasulullah Saw.
bersabda:
“Jika seorang lelaki
duduk di antara empat cabang (dua tangan dan dua kaki-pen.) isterinya, dan alat kelamin bersentuhan dengan alat
kelamin, maka sungguh telah wajib mandi.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Tirmidzi telah
meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:
“Jika alat kelamin
melewati alat kelamin maka wajib mandi.” (HR. Tirmidzi. Dia berkata: hadits ini
hasan shahih)
Dua ayat al-Qur’an
telah menyebutkan mandi dengan sebab junub:
“(jangan pula hampiri
mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja,
hingga kamu mandi” [an-Nisa: 43]; “dan jika kamu junub maka mandilah”
[al-Maidah: 6]. Keduanya memiliki bentuk global (ijmal)
tanpa rincian (tafshil), sedangkan
hadits-hadits di atas ada yang berbentuk global dan ada juga yang diberi
rincian.
Hadits Khaulah dan
Ummu Sulaim menyebutkan mimpi dengan disertai keluarnya air mani, baik
laki-laki ataupun perempuan.
Hadits Ali dengan dua
jalur riwayatnya itu menyebutkan keluarnya mani secara mutlak tanpa diberi
batasan apakah penyebabnya itu persetubuhan, mimpi, ataukah dalam keadaan sadar
tapi tidak dengan persetubuhan.
Sedangkan hadits
Aisyah menyebutkan alat kelamin bersentuhan dengan alat kelamin, atau alat
kelamin melewati alat kelamin, dan ini terjadi dalam persetubuhan dengan tanpa
menyebutkan keluarnya air mani.
Semua hadits tersebut
telah menyebutkan beberapa perkara yang menyebabkan junub. Junub bisa terjadi
karena bertemunya dua alat kelamin (berdasarkan hadits Aisyah), karena mimpi
dengan disertai keluarnya mani (berdasarkan hadits Khaulah dan Ummu Sulaim), dan
karena keluarnya mani secara mutlak (berdasarkan hadits Ali).
Inilah junub, dan
inilah tiga kondisi yang menyebabkan seseorang dipandang berjunub sehingga
orang tersebut diwajibkan mandi. Seandainya seorang lelaki mengkhayalkan
seorang wanita, melihat wanita, atau dia mencium isterinya hingga keluar mani,
maka dia diwajibkan untuk mandi. Seandainya dia menyetubuhi isterinya hingga
keluar mani ataupun tidak keluar mani, maka dia diwajibkan untuk mandi. Dan
seandainya dia bermimpi hingga keluar mani, maka dia diwajibkan untuk mandi.
Semua itu adalah junub.
Dengan mencermatinya
kita akan melihat bahwa semua kondisi ini bisa dipadukan menjadi dua kondisi
saja; yakni keluarnya mani, dan masuknya alat kelamin lelaki (penis) ke dalam
alat kelamin wanita (vagina), atau apa yang disebut dengan persentuhan alat kelamin
dengan alat kelamin atau ilaj (masuknya
alat kelamin ke dalam alat kelamin). Keluarnya mani dan masuknya alat kelamin
merupakan dua kondisi penyebab junub, sehingga keduanya menyebabkan seseorang
harus mandi. Dari Aisyah isteri Nabi Saw. dia berkata:
“Seseorang bertanya
kepada Nabi Saw. tentang laki-laki yang menyetubuhi isterinya kemudian
mengendor (tidak sampai keluar mani), apakah keduanya diwajibkan untuk mandi,
dan Aisyah sedang duduk. Maka Rasulullah Saw. berkata: “Sesungguhnya aku
sendiri dengan wanita ini (Aisyah) pernah melakukan hal seperti itu, kemudian
kami mandi.” (HR. Muslim)
Ini merupakan nash
yang tegas dan jelas tentang ilaj
(masuknya alat kelamin ke dalam alat kelamin) tanpa disertai keluarnya mani,
dan karenanya seseorang wajib mandi berdasarkan nash tersebut. Adapun
pernyataan yang dilontarkan sebagian fuqaha bahwa ilaj
(masuknya alat kelamin) atau persetubuhan atau bersentuhannya dua alat kelamin
tanpa disertai keluarnya mani itu hanya mengharuskan wudhu saja, tidak
mewajibkan seseorang untuk mandi, berargumentasi dengan hadits Utsman ra. yang
diriwayatkan Zaid bin Khalid al-Juhaniy:
“Bagaimana pendapatmu
jika seorang lelaki menyetubuhi isterinya tetapi dia tidak sampai mengeluarkan
mani. Utsman berkata: Hendaklah dia berwudhu seperti wudhu yang dilakukan untuk
shalat, dan hendaknya dia mencuci dzakarnya. Utsman berkata: Aku mendengar hal
itu dari Rasulullah saw. Kemudian aku bertanya pada Ali bin Abi Thalib, Zubair
bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah dan Ubay bin Kaab ra. tentang hal itu, dan
mereka memerintahkan hal yang sama.” (HR. Bukhari)
Mereka juga berdalil
dengan hadits yang diriwayatkan Abu Said al-Khudri dari ayahnya, dia berkata:
“Aku keluar bersama
Rasulullah Saw. pada hari Senin ke Quba, hingga ketika kami berada di Bani
Salim, Rasulullah Saw. berhenti di depan pintu rumah Itban. Kemudian beliau
Saw. berteriak memanggilnya, lalu Itban keluar dengan menyeret sarungnya. Maka
Rasulullah Saw. berkata: “Kami telah menyebabkan seorang lelaki terburu-buru.”
Itban berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu tentang seorang lelaki
yang terburu-buru dari isterinya, dan dia tidak sampai mengeluarkan mani, apa
yang harus dilakukannya? Rasulullah Saw. berkata: “Sesungguhnya air itu
disebabkan oleh air.” (HR. Muslim)
Pengertian
sesungguhnya air itu disebabkan oleh air, adalah mandi itu wajib karena
keluarnya mani.
Untuk membantah
pendapat mereka ini bisa dilakukan dengan membahas beberapa aspek:
1. Hadits Aisyah:
“Dan alat kelamin
menyentuh alat kelamin, maka sungguh telah wajib mandi.”
(Sesungguhnya hadits
ini) tidak menyebutkan inzal (keluarnya
air mani), hadits ini mewajibkan mandi karena persetubuhan saja. Seandainya
keluarnya mani itu menjadi satu keharusan, niscaya Rasulullah Saw.
menjelaskannya, karena beliau Saw. tidak boleh menunda penjelasan pada saat
dibutuhkan. Mungkin saja dikatakan bahwa hadits ini tidak jelas dan tidak
memiliki dilalah, maka kami sodorkan
pada mereka hadits Abu Hurairah:
“Sesungguhnya Nabi
Saw. bersabda: Jika seorang lelaki duduk di antara empat cabang (dua tangan dan
dua kaki) isterinya, kemudian dia menyetubuhinya, maka sungguh dia wajib untuk
mandi walaupun tidak mengeluarkan air mani.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Hadits ini merupakan
nash dengan dilalah yang jelas-jelas
menunjukkan pendapat yang kami katakan.
2. Jabir meriwayatkan dari Ummu Kultsum dari
Aisyah isteri Nabi Saw., dia berkata:
“Seorang laki-laki
bertanya kepada Nabi Saw. tentang laki-laki yang menyetubuhi isterinya,
kemudian mengendor (tidak sampai keluar mani), apakah keduanya diwajibkan untuk
mandi, dan Aisyah sedang duduk. Maka Rasulullah Saw. berkata: “Sesungguhnya aku
sendiri dengan wanita ini (Aisyah) pernah melakukan hal seperti itu, kemudian
kami mandi.” (HR. Muslim)
Hadits ini sebelumnya
telah kami sebutkan. Dengan tegas nash tersebut menyebutkan mandi junub dengan
sebab persetubuhan saja, walaupun tanpa keluarnya mani.
3. Sesungguhnya hadits “air itu disebabkan oleh
air” diamalkan dalam suatu masa, kemudian dinasakh
berdasarkan beberapa keterangan berikut ini:
a. Dari Ubay bin Kaab, dia berkata:
“Sesungguhnya fatwa
yang dahulu disampaikan oleh mereka adalah bahwa air itu menjadi wajib, karena
air merupakan rukhshah yang diberikan
Rasulullah Saw. di masa awal Islam. Kemudian setelah itu beliau Saw.
memerintahkan untuk mandi.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Ada riwayat lain
dengan redaksi:
“Sesungguhnya “air itu
disebabkan oleh air” adalah rukhshah
yang ada di masa awal Islam, kemudian dilarang.” (HR. Ibnu Hibban, Ibnu Majah
dan Ibnu Khuzaimah)
Tirmidzi meriwayatkan
hadits ini pula dan berkata: hadits ini hasan shahih.
Ismailiy berkata: hadits ini shahih
memenuhi syarat Bukhari.
Penghapusan hukum (nasakh) tersebut terjadi setelah penaklukan
kota Makkah, berdasarkan riwayat dari az-Zuhri dia berkata:
“Aku bertanya kepada
Urwah tentang orang yang bersetubuh tetapi tidak sampai mengeluarkan air mani?
Urwah berkata: Orang-orang harus berpegang pada perintah yang terakhir. Yang
terakhir dari perintah Rasulullah Saw.: Aisyah mengabarkan kepadaku bahwa Rasulullah
Saw. biasa melakukan hal itu (bersetubuh tapi tidak sampai mengeluarkan air
mani) dan beliau Saw. tidak mandi. Hal itu terjadi sebelum penaklukan kota
Makkah, kemudian setelah (penaklukan Makkah) itu beliau mandi dan memerintahkan
orang-orang untuk mandi.” (HR. Ibnu Hibban)
b. Dari Abu Musa, dia berkata:
“Sekelompok sahabat
dari kalangan Muhajirin dan Anshar berbeda pendapat dalam persoalan itu.
Kalangan Anshar berkata: Mandi itu tidak wajib kecuali karena semburan (mani)
atau karena air. Kalangan Muhajirin berkata: Justru sebaliknya, jika bercampur
(bersetubuh) maka wajib mandi. Dia berkata: Abu Musa berkata: Aku akan
memulihkan (membantu menyelesaikan) persoalan yang kalian perselisihkan ini.
Lalu aku berdiri (pergi) kemudian meminta ijin kepada Aisyah. Aku pun
diijinkan, kemudian aku berkata: Duhai ibunda, atau wahai Ummul Mukminin,
sesungguhnya aku ingin bertanya kepadamu tentang sesuatu, tetapi sungguh aku
merasa malu kepadamu. Maka Aisyah berkata: Janganlah engkau merasa malu untuk
bertanya kepadaku tentang sesuatu yang bisa saja engkau tanyakan pada ibu yang
melahirkanmu. Sesungguhnya aku adalah ibumu. Aku pun berkata: Perkara apa yang
mewajibkan (seseorang) untuk mandi? Engkau menemui orang yang tepat (orang yang
mengetahui jawaban persoalan yang ditanyakan), Rasulullah Saw. bersabda: “Jika
seseorang duduk di antara empat cabang isterinya (menyetubuhi isterinya) dan
alat kelamin bersentuhan dengan alat kelamin, maka sungguh telah wajib
(atasnya) untuk mandi.” (HR. Muslim)
Inilah dua hadits shahih yang menasakh
hukum yang didasarkan pada hadits “air itu disebabkan oleh air” dan hadits
Utsman yang ditakhrij oleh Bukhari.
Dengan demikian,
jelaslah pernyataan mereka bahwa persetubuhan tanpa disertai keluarnya mani itu
tidak mewajibkan mandi
merupakan pernyataan yang salah. Terbukti bahwa dalil mereka telah dinasakh. Pendapat yang kami katakan ini senada
dengan pendapat empat orang Khalifah, jumhur sahabat, dan para tabi’in setelah
mereka.
Ibnu Abdil Barr
berkata: “Sebagian mereka berkata, terdapat Ijma
Sahabat yang menyepakati kewajiban mandi karena bertemunya dua alat
kelamin, walaupun menurut hemat kami tidak seperti itu. Tetapi kami menyatakan
bahwa perbedaan dalam persoalan itu sangatlah lemah, namun jumhur yang memiliki
argumentasi untuk membantah mereka yang berseberangan pendapatnya (baik dari
kalangan salaf ataupun khalaf) berijma
mewajibkan mandi karena bertemunya dua alat kelamin, atau karena alat kelamin
melewati alat kelamin. Sedangkan mereka yang menyatakan hanya keluar mani saja
yang menjadi satu-satunya sebab wajib mandi yakni Abu Said al-Khudri, Zaid bin
Khalid, Saad, Muadz, Rafi bin Khadij, Umar bin Abdul Aziz, Dawud ad-Dzahiri.
Bisa jadi mereka dari kalangan sahabat dan tabi’in ini tidak sempat mendengar
kabar (hadits) yang menasakh putusan
tersebut.”
Bacaan: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar