7. Membasuh Wajah
Ini merupakan fardhu
wudhu yang kedua setelah niat. Dalilnya adalah firman Allah Swt.:
“Maka basuhlah
mukamu.” (TQS. Al-Maidah [5]: 6)
Wajah yang wajib
dibasuh adalah sesuatu yang melandai dari tempat tumbuhnya rambut kepala hingga
bagian bawah dagu (secara vertikal), dan sesuatu yang ada di antara dua telinga
(secara horizontal), yang nampak dan tidak tersembunyi dari pandangan mata.
Definisi ini
mengeliminasi kulit yang tertutupi bulu jenggot dan kumis yang tebal, juga
mengeliminasi bagian dalam mulut dan hidung, tanpa melihat lagi apakah orang
tersebut ashla', aqra’ ataukah afra’.
Ashla’ artinya orang yang bagian depan
kepalanya berambut jarang (botak), aqra’
adalah orang yang rontok rambutnya karena penyakit, dan afra’, adalah orang yang bulu rambutnya tumbuh lebat hingga ke
dahinya. Semuanya harus membasuh wajah seperti orang-orang pada umumnya.
Orang ashla' dan aqra’
membasuh mulai dari tempat tumbuh rambut kepala yang ada sebelum mengalami
kerontokan atau penjarangan, sedangkan orang afra’
harus membasuh rambut yang tumbuh di dahinya. Ini dilihat dari sisi wajib dan
sahnya basuhan, walaupun disunahkan membasuh bulu rambut yang melewati dahi
menurut dilalah hadits Abu Hurairah yang
diriwayatkan Muslim tadi, di dalamnya disebutkan:
“Pada Hari Kiamat
kelak kalian akan bercahaya disebabkan wudhu kalian yang sempurna, maka
siapakah di antara kalian yang bisa, maka hendaklah dia memperpanjang cahaya
dan sinarnya itu.” (HR. Muslim)
Telah diketahui bahwa al-ghurrah itu adalah rambut kepala yang
berdekatan dengan dahi, dan memanjangkan ghurrah
dalam wudhu itu adalah dengan membasuh mulai bagian depan kepala atau sesuatu
yang melewati (melebihi) wajah sebagai tambahan atas bagian yang wajib dibasuh.
Sehingga membasuh sesuatu yang lebih dari bagian atas wajah menjadi penambah
pajangnya ghurrah.
Ini termasuk sesuatu
yang dituntut oleh Rasulullah Saw.: “maka hendaklah dia memperpanjang ghurrah-nya.” Karena tuntutan tersebut
ditujukan pada anggota wudhu yang tidak fardhu, maka ini menunjukkan bahwa
tambahan basuhan dan memperpanjang ghurrah
itu sunah saja hukumnya.
Menyeka dua sudut mata
merupakan bagian dari sunah. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu
Umamah ketika dia menceritakan cara wudhu Rasulullah Saw., di mana dalam hadits
tersebut diceritakan:
“Dan beliau Saw. suka
mengusap dua sudut matanya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Al-Hafidz Ibnu Hajar
al-Asqalani menyebutkan hadits ini dan tidak menyatakan adanya kelemahan atau
cacat apapun. At-Thabrani meriwayatkan hadits ini dalam al-Mu'jam al-Kabir, dan al-Haitsami menyatakan: sanadnya hasan.
Al-Ma’qani (bentuk
tatsniyah dari mu'qu al-aini) adalah
tempat mengalirnya air mata, baik bagian depan ataupun bagian belakang. Ini
dinyatakan oleh penyusun kitab al-Qamus,
dan bentuk pluralnya adalah aamaaq.
Al-Azhari berkata:
Para ahli bahasa bersepakat bahwa al-mu'qu
ataupun al-ma’qu adalah ujung mata yang
bersambung dengan hidung.
Seorang Muslim
disunahkan untuk membersihkan ujung matanya ketika berwudhu.
Tidak diwajibkan
bahkan tidak disunahkan mengusap atau membasuh kedua telinga berbarengan dengan
membasuh wajah. Ini berbeda dengan orang yang mewajibkan atau mensunahkannya,
di mana argumentasi mereka adalah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas bahwa Ali
ra. berkata:
“Wahai Ibnu Abbas,
maukah engkau jika aku tunjukkan cara berwudhu Rasulullah Saw.? Aku berkata:
Ya, ayah dan ibuku menjadi tebusanmu. Dia berkata: Dia pun meletakkan wadah
berisi air untuknya, lalu Ali membasuh kedua tangannya, kemudian
berkumur-kumur, menghirup air dengan hidung, mengeluarkannya kembali, lalu
menciduk air dengan dua tangannya kemudian dia membasuh wajahnya, dia
memasukkan dua jempolnya ke bagian depan dua telinganya. Dia berkata: Kemudian
Ali kembali melakukan seperti itu tiga kali, dia menciduk air dengan tangan
kanannya dan menuangkannya ke atas ubun-ubunnya, lalu dia membiarkan air
tersebut mengalir ke atas wajahnya, kemudian dia membasuh tangan kanannya
hingga siku tiga kali, lalu tangan kirinya seperti itu. Kemudian dia mengusap kepalanya
dan bagian belakang dua telinganya, lalu dia menciduk air dengan dua telapak
tangannya, mengucurkannya ke atas dua kakinya yang bersandal, kemudian dia
membalikkan sandalnya itu. Lalu dia membasuh dua kakinya seperti itu. Dia
berkata: Aku bertanya: Di dalam sandal? Dia berkata: Ya, di dalam sandal. Aku
bertanya: Di dalam dua sandal? Dia berkata: Ya, di dalam dua sandal. Aku
bertanya: Di dalam dua sandal? Dia berkata: Ya, di dalam dua sandal.” (HR.
Ahmad)
Abu Dawud meriwayatkan
hadits yang pengertiannya senada. Ibnu Hibban meriwayatkan hadits serupa secara
lebih ringkas.
Hadits ini dikomentari
oleh al-Mundziri: hadits ini diperselisihkan. Tirmidzi berkata: Aku bertanya
kepada Muhammad bin Ismail, yakni al-Bukhari, tentang hadits ini, dia mendhaifkannya dan berkata: Aku tidak tahu apa
ini. Dengan demikian hadits ini dhaif,
tidak layak untuk digunakan sebagai hujjah.
Kemudian matan hadits
ini pun menyalahi matan hadits-hadits shahih,
di mana hadits ini menyebutkan bahwa Ali membasuh wajahnya tiga kali, kemudian
ada tambahan di mana Ali menciduk air dengan tangan kanannya lalu
mengucurkannya ke atas rambut yang ada di dahinya dan membiarkannya mengalir
melalui wajahnya -dan ini merupakan basuhan yang keempat-, sehingga ini jelas
menyalahi isi hadits-hadits shahih yang
tidak menyebutkan adanya tambahan seperti itu setelah basuhan yang ketiga, juga
menyalahi hadits yang diriwayatkan Amr bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya,
dia berkata:
“Seorang Arab dusun
datang kepada Nabi Saw., bertanya kepada beliau tentang cara berwudhu. Lalu
Nabi Saw. memperlihatkan cara berwudhu tiga kali-tiga kali, kemudian beliau
Saw. bersabda: “Beginilah cara berwudhu, sehingga barangsiapa yang menambahinya
maka dia telah berbuat buruk, melewati batas dan dzalim.” (HR. an-Nasai, Ibnu
Majah dan Ahmad)
Ibnu Khuzaimah
meriwayatkan hadits ini pula, beliau dan Ibnu Hajar menshahihkannya.
Apa yang disebutkan
dalam hadits Ibnu Abbas di atas tentang mengusap sandal, ini merupakan sesuatu
yang ganjil. Ibnu Hajar berkata: “Hadits yang menceritakan mengusap sandal itu
syadz (ganjil), karena riwayat seperti itu berasal dari jalur Hisyam bin Saad,
dan hadits yang diriwayatkan dari jalur Hisyam bin Saad secara menyendiri itu
tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Abu Dawud tidak meriwayatkan hadits
tersebut dari jalur Hisyam bin Saad ini, tetapi beliau meriwayatkannya dari
jalur Muhammad bin Ishaq secara mu'an'an (berbunyi:
“dari Fulan, dari Fulan”), dan hadits yang diriwayatkan darinya secara mu'an'an (dari seseorang, dari seseorang) itu
dikritik dengan tajam.”
Dengan demikian hadits
di atas tidak layak dijadikan sebagai hujjah sama sekali. Karena itu pendapat
membasuh kedua telinga bersama wajah itu tidak benar adanya.
Disunahkan mengusap
atau membasuh kedua telinga -bagian luar maupun dalamnya- satu kali setelah
mengusap kepala satu kali, bukan bersama dengan membasuh wajah.
Dari Ibnu Abbas ra.:
“Bahwasanya dia
melihat Rasulullah Saw. berwudhu, lalu dia menuturkan haditsnya semuanya tiga
kali-tiga kali, dan beliau mengusap kepalanya dan dua telinganya satu kali.”
(HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Al-Hasan bin
al-Qaththan berkata: hadits ini bisa shahih
dan bisa pula hasan statusnya.
Dalam hadits Abu
Hurairah yang diriwayatkan Muslim, disebutkan:
“Pada Hari Kiamat
kelak kalian akan bercahaya disebabkan wudhu kalian yang sempurna, maka
siapakah di antara kalian yang bisa, maka hendaklah dia memperpanjang cahaya
dan sinarnya itu.” (HR. Muslim)
Tinggallah kini
persoalan janggut dan hukumnya dalam wudhu. Janggut itu ada yang tebal menutupi
kulit, ada pula yang tipis sehingga menampakkan kulit, ada yang panjang
melewati dagu, ada pula yang pendek yang tetap berada dalam batasan wajah.
Untuk beberapa kondisi ini terdapat beberapa hukum berikut:
1. Jika janggut itu tebal sampai menutupi
kulit, maka janggut tersebut harus dibasuh dan kulit yang ada dibaliknya tidak
perlu dibasuh, karena bulu jenggot yang tebal bisa menggantikan bagian wajah
yang tertutup olehnya. Jadi, bagian tersebut dihukumi telah dibasuhi dengan
dibasuhnya janggut. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra.
dalam hadits yang ditakhrij oleh Bukhari -hadits tersebut telah kami sebutkan
dalam bahasan berkumur-kumur-
di dalamnya disebutkan:
“Lalu dia kembali
mengambil air satu cidukan tangan dan menjadikannya seperti ini -dia menuangkan
pada tangannya yang lain- lalu dengan kedua tangannya ia membasuh wajahnya.”
Dilalah hadits ini menunjukkan bahwa
Rasulullah Saw. [yang memiliki janggut tebal seperti dituturkan al-Qadhi lyadh:
Hal ini diceritakan dalam hadits-hadits sejumlah sahabat dengan sanad yang shahih. Hadits Jabir bin Samurrah yang
menceritakan ciri fisik Rasulullah Saw.:
“Beliau Saw. orang
yang bulu janggutnya banyak (tebal).” (HR. Muslim)
Dan hadits Ali ra.,
dia berkata:
“Rasulullah Saw. itu
tidak tinggi dan tidak pendek, rambut dan janggutnya lebat.” (HR. Ahmad)
Dan banyak lagi hadits
lainnya]
(Dilalah hadits ini menunjukkan bahwa)
Rasulullah Saw. membasuh wajahnya dan kemudian janggutnya yang lebat tebal itu
dengan satu cidukan saja, yang menyebabkan kita sulit membayangkan dengan satu
cidukan air itu beliau Saw. bisa meratakan air membasuh wajah, bagian luar
janggutnya dan dalam janggutnya (kulit yang ada dibalik janggutnya), sehingga
tentunya satu cidukan itu hanya bisa membasuh wajah dan bagian luar janggut
saja.
Di antara fuqaha yang
berpendapat seperti itu adalah Abu Hanifah, Malik, as-Syafi’i, Ahmad,
al-Auza’iy, at-Tsauri dan al-Laits.
Sedangkan fuqaha yang
berpendapat berbeda dengan mereka adalah Atha, Said bin Jubair, Abu Tsaur,
Ishaq dan ahlud dzahir (penganut Madzhab
Dzahiriyah). Hujjah mereka adalah perintah menyela-nyela janggut yang ada dalam
beberapa hadits, misalnya: dari Utsman ra.:
“Bahwasanya Nabi Saw.
suka menyelaanyela janggutnya.” (HR. at-Tirmidzi)
Dia berkata: hadits
ini hasan shahih.
Hadits ini juga dihasankan oleh Bukhari.
Contoh lainnya:
“Bahwasanya Rasulullah
Saw. ketika berwudhu, beliau Saw. mengambil segenggam air, lalu dimasukkan ke
bagian bawah rahangnya, kemudian beliau Saw. menyela-nyela janggutnya, seraya
bersabda: “Seperti inilah aku diperintah oleh Tuhanku azza wa jalla.” (HR. Abu Dawud)
Menurut mereka kedua
hadits ini menunjukkan wajibnya menyela-nyela janggut. Sayangnya pendapat ini
tidak benar. Hal ini karena ketika Allah Swt. memerintahkan beberapa perkara
fardhu wudhu, Dia Swt. tidak memerintahkan menyela-nyela janggut.
Selain itu,
hadits-hadits yang menceritakan wudhu Rasulullah Saw. pun tidak menyebutkannya.
Seandainya menyela-nyela janggut itu wajib hukumnya, niscaya akan banyak
disebutkan di sana sini. Paling-paling dua hadits ini menunjukkan anjuran
menyela-nyela janggut saja.
As-Syaukani berkata:
“Sejujurnya, hadits-hadits menyela-nyela janggut -jika diasumsikan bisa
diterima sebagai hujjah dan layak digunakan sebagai dalil- tidak menunjukkan
wajibnya perkara tersebut, karena hadits-hadits tersebut menuturkan af'al (perbuatan Rasulullah saw). Dan ucapan
Rasulullah Saw. yang disebutkan pada sebagian riwayat “seperti inilah aku
diperintahkan Tuhanku” itu tidak menunjukkan menyela-nyela janggut itu
diwajibkan kepada umat, karena perkara tersebut nampak jelas menjadi kekhususan
beliau Saw. Inilah jalan keluar perselisihan yang populer di dalam ushul.
Apakah sesuatu yang nampak sebagai kekhususan beliau Saw. berlaku umum untuk
umat ini ataukah tidak? Padahal kefardhuan
itu tidak bisa ditetapkan kecuali dengan sesuatu (dilalah)
yang meyakinkan. Memfardhukan sesuatu
yang tidak difardhukan Allah Swt. tidak
ragu lagi sama dengan menetapkan ketidakfardhuan
atas sesuatu yang difardhukan-Nya.
Keduanya termasuk kebohongan kepada Allah Swt. dengan menyatakan sesuatu yang
tidak dinyatakan-Nya. Tidak ragu lagi satu cidukan itu tidak cukup bagi orang
yang berjenggot tebal untuk membasuh wajah sekaligus menyela-nyela janggutnya,
dan hal seperti itu dipertahankan sebagaimana dinyatakan oleh sebagian mereka
dengan penuh emosi dan tidak masuk akal. Betul, kehati-hatian dan berpegang
pada sesuatu yang lebih tsiqah itu harus
diutamakan, tetapi seharusnya tanpa disertai sikap lancang dengan
mewajibkannya.”
Perhatikanlah ungkapan
as-Syaukani: “Kefardhuan itu tidak bisa ditetapkan kecuali dengan sesuatu yang
meyakinkan.” Sesuatu yang meyakinkan tersebut maksudnya bukanlah sumbernya,
melainkan dilalahnya, artinya dilalah nashnya harus meyakinkan.
Di antara mereka yang
diriwayatkan tidak menyela-nyela janggut adalah Ibrahim an-Nakha’iy, al-Hasan
al-Bashri, Muhammad bin al-Hanafiyah, Abul Aliyah, as-Sya’biy, al-Qasim dan
Ibnu Abi Laila.
Sedangkan riwayat yang
menyatakan bahwa Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Anas, Ali, Said bin Jubair, Abu
Qulabah, ad-Dhahhak, dan Ibnu Sirin suka menyela-nyela janggut itu harus
dipahami sebagai melakukan perkara sunah. Dan perkara ini populer bagi mereka
dan orang-orang semisal mereka, terlebih lagi ketika perbuatan mereka itu tidak
bisa menjadi dalil.
2. Jika tipis janggutnya, di mana kulit di
balik janggut itu masih tampak, maka dalam kondisi seperti ini janggut dan
kulit yang di balik janggut tersebut mesti dibasuh, karena janggut seperti itu
tidak menggantikan posisi kulit ketika bertatap muka.
3. Ketika janggutnya panjang melebihi dagu,
maka yang wajib dibasuh itu adalah bagian yang bersejajaran dengan wajah saja,
sehingga bagian yang melebihi dan melampaui wajah tidak wajib dibasuh. Inilah
pendapat Abu Hanifah, as-Syafi’i dan Ahmad, dan inilah pendapat yang shahih.
Sebab, bulu janggut
yang melebihi atau melampaui wajah itu sudah berada di luar wajah. Ketika
janggut itu dibasuh karena menggantikan bagian wajah yang tertutupi olehnya,
dan ketika janggut yang melampaui wajah itu tidak menutupi bagian manapun dari
wajah, maka membasuh bagian janggut yang melebihi wajah itu tidak wajib dan
tidak diperintahkan, karena di dalam nash-nash tidak disebutkan membasuh
janggut itu sendiri.
4. Tidak ada perbedaan pendapat terkait
kewajiban membasuh janggut ketika janggut itu tipis dan tidak melampaui wajah.
Bacaan: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar