8. Dalam masalah orang junub membaca al-Qur’an,
dua hadits berikut menyinggungnya:
a. Dari Ali ra., dia
berkata:
“Rasulullah Saw.
membuang hajat, kemudian keluar, lalu membaca al-Qur’an dan makan daging
bersama kami. Tidak ada sesuatupun yang menghalangi dirinya dari al-Quran
selain junub.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
An-Nasai meriwayatkan
hadits ini dengan lafadz:
“Rasulullah Saw.
membaca al-Qur’an dalam setiap kondisi selain junub.”
Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hajar.
b. Dari Ali ra., dia
berkata:
“Aku melihat
Rasulullah Saw. berwudhu lalu membaca sesuatu dari al-Qur'an, kemudian beliau
Saw. bersabda: “Al-Qur'an ini boleh untuk siapa saja selain yang junub. Orang
yang junub tidak boleh membaca al-Qur’an, bahkan satu ayat sekalipun.” (HR.
Ahmad dan Abu Ya'la)
Al-Haitsami berkata:
Para perawi hadits ini orang-orang tsiqah.
Para imam yang empat
dan selainnya telah mengharamkan orang yang junub membaca al-Qur'an (qira'atul qur'an). Pendapat seperti ini
diriwayatkan pula dari Ibnu Umar, Atha, dan Thawus.
As-Syafi’i menyatakan
haramnya orang junub membaca ayat al-Qur'an, baik kurang dari satu ayat atau
lebih dari satu ayat.
Abu Hanifah menyatakan
haramnya membaca satu ayat dan yang lebih dari satu ayat. Sedangkan membaca
kurang dari satu ayat, maka bukan al-Qur’an.
Tetapi sebagian
sahabat Abu Hanifah membolehkan membaca al-Qur’an (qira’atul qur’an) bagi orang yang junub untuk selain tilawah.
Beberapa fuqaha
lainnya berbeda lagi pendapatnya dengan mereka. Mereka membolehkan orang junub
membaca al-Qur’an, di antara mereka ada Ibnu Abbas, as-Sya'biy, ad-Dhahak,
al-Bukhari, at-Thabari, Ibnu al-Mundzir, Dawud dan as-Syaukani.
Dia (as-Syaukani)
berkata: Tidak ada satupun hadits yang shahih
dari Rasulullah Saw. yang layak digunakan sebagai hujjah
mengharamkan orang junub membaca al-Qur'an. As-Syaukani kemudian mengutip
hadits yang diriwayatkan Bukhari dari Ibnu Abbas, bahwasanya Ibnu Abbas
memandang tidak ada masalah orang junub membaca al-Qur’an. Juga hadits yang
diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa dia berkata:
“Nabi Saw. selalu
berdzikir kepada Allah dalam setiap kesempatan.” (HR. Muslim)
As-Syaukani
menambahkan: Juga dengan alasan al-bara’ah
al-ashliyah, hingga bisa dibuktikan validitas dalil yang mentakhsis lafadz umum ini, dan mengalihkannya
dari al-bara'ah al-ashliyah.
Pendapat yang saya
pegang adalah: orang junub haram membaca al-Qur’an, sedangkan as-Syaukani dan
orang-orang yang sependapat dengannya dipandang telah melontarkan pendapat yang
kurang tepat, alasannya:
1. Sesungguhnya
pernyataan as-Syaukani bahwa tidak ada satu hadits pun yang shahih dari Rasulullah Saw. yang layak
digunakan sebagai dalil mengharamkan al-Qur'an itu tertolak dengan hadits Ali
yang pertama, yang diriwayatkan oleh Ahmad dan selainnya, dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Ibnu Sakan dan
al-Baghawi, juga dihasankan oleh Ibnu
Hajar. Hadits ini layak digunakan sebagai hujah.
2. As-Syaukani
mengutip hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas bahwasanya Ibnu Abbas
tidak melihat ada masalah bagi orang junub membaca al-Qur’an, maka ini
merupakan kutipan yang tidak sah, karena ucapan sahabat itu bukan dalil,
terlebih lagi ketika bertentangan dengan hadits marfu'
yang shahih atau hasan seperti hadits Ali yang pertama dan kedua di atas.
3. As-Syaukani
mengutip hadits yang diriwayatkan Aisyah ra., bahwasanya Rasulullah Saw.
senantiasa berdzikir kepada Allah dalam setiap kesempatan. Ini pun merupakan
kutipan yang telah ditakhsis oleh dua
hadits Ali di atas, karena hadits Aisyah berbentuk umum, sedangkan dua hadits
Ali tersebut telah ditakhsis. Dalil yang
telah ditakhsis lebih diprioritaskan
daripada dalil yang masih umum, dan tidak terdapat kontradiksi di antara
hadits-hadits tersebut.
Rasulullah Saw.
senantiasa berdzikir kepada Allah Swt. dalam setiap kesempatannya, di antaranya
kondisi junub dengan beragam bentuk dzikir, kecuali membaca al-Qur'an.
4. Adapun ucapannya:
juga dengan alasan al-bara'ah al-ashliyah
hingga bisa dibuktikan validitas dalil yang mentakhsis
lafadz umum ini, dan mengalihkannya dari al-bara'ah
al-ashliyah, maka kami bantah ucapan tersebut dari dua sisi:
a. Hadits yang mentakhsis keumuman ini terbukti shahih, sehingga layak digunakan sebagaimana
telah kami jelaskan.
b. Sesungguhnya alasan
al-bara'ah al-ashliyah itu tidak benar,
karena al-bara'ah al-ashliyah itu
berkaitan dengan hukum benda, bukan hukum perbuatan. Ketika kita belum
mengetahui hukum suatu benda: apakah sudah disampaikan oleh dalil ataukah
belum, maka kita sertakan benda tersebut pada al-bara'ah
al-ashliyah, yakni hukum mubah, sedangkan terkait perbuatan maka harus
ada hukumnya berdasarkan nash-nash ataupun berdasarkan qiyas. Kaidah ushul
menyatakan:
“Hukum asal benda itu
adalah mubah, sedangkan hukum asal perbuatan itu harus terikat (dengan hukum syara).”
Kaidah ushul ini tidak
ditentang kecuali oleh segelintir ulama saja.
Di sini saya tidak
akan membuktikan kebenaran kaidah ini, karena memang pada prinsipnya perbuatan
seorang Muslim harus terikat dengan hukum syara.
Ketika kita telah mengetahui hukum suatu perbuatan, maka kita harus
mematuhinya, dan ketika kita belum mengetahuinya maka kita jangan dulu
melakukannya hingga kita menemukan satu nash atau menemukan qiyas.
Tidak mungkin ada
perbuatan yang tidak ada nash atau tidak bisa diqiyas,
karena syariat itu telah sempurna.
Aktivitas membaca yang
dilakukan orang junub itu adalah perbuatan, sehingga pasti ada nash atau qiyas
tentangnya.
Berdasarkan hal ini,
jelaslah kelemahan pendapat as-Syaukani dan orang yang sependapat dengannya,
sehingga pendapat jumhur (mayoritas ulama) itulah yang shahih.
Sekarang kita beralih
pada persoalan yang diperselisihkan oleh as-Syafi’i dan Abu Hanifah tentang
kadar bacaan al-Qur’an yang boleh dibaca orang junub.
As-Syafi’i melarang
orang junub membaca satu ayat atau kurang dari satu ayat.
Sedangkan Abu Hanifah
membolehkan membaca yang kurang dari satu ayat.
Pendapat yang benar
yang harus kita pegang adalah orang junub itu dilarang membaca al-Qur’an, yakni
membaca sesuatu yang layak disemati dengan istilah al-Qur’an, dan dia boleh
membaca sesuatu yang tidak layak disemati dengan istilah al-Qur’an. Inilah pendapat
yang harus dipegang, karena hadits mengatakan:
“Tidak ada sesuatupun
yang menghalangi dirinya dari al-Qur’an selain junub.” (HR. Ahmad, Abu Dawud
dan Ibnu Majah)
Tinggallah kini harus
kita ketahui ukuran yang layak disemati dengan istilah al-Qur’an, sehingga
kemudian kita bisa mengetahui mana yang benar dan salah dari pendapat Abu
Hanifah dan as-Syafi’i ini.
Panjang pendeknya ayat
al-Qur’an itu bervariasi. Ayat tentang utang-piutang (ad-dain) dan ayat kursi yang terdapat dalam surat al-Baqarah
terdiri dari beberapa baris. Tetapi ada ayat yang hanya terdiri dari satu atau
setengah baris saja. Ketika kita membaca setengah atau seperempat ayat
utang-piutang (al-Baqarah: 282) maka pendengarnya bisa memastikan bahwa kita
sedang membaca al-Qur'an. Begitu pula ketika kita membaca setengah atau
seperempat ayat kursi (al-Baqarah: 255). Contoh lain, ketika yang dibacanya itu
hanya satu bagian dari suatu ayat
maka kita sama saja
sudah membaca al-Qur’an, dan pendengarnya pun bisa memastikan bahwa kita
membaca al-Qur’an.
Ketika perkara yang
diharamkan bagi orang yang junub itu adalah membaca al-Qur’an, yakni membaca
sesuatu yang layak disemati dengan istilah al-Qur’an, maka seorang yang junub
haram membaca satu bagian dari ayat kursi di atas misalnya, atau ayat-ayat yang
panjang lainnya.
Namun dia tidak haram
membaca sesuatu yang tidak layak disemati dengan istilah al-Qur’an berupa
bagian atau penggalan dari ayat-ayat yang pendek, seperti bagian atau penggalan
dari ayat surat al-Kafirun, ayat surat an-Nashr dan ayat dari surat pendek lainnya.
Begitulah, yang
dijadikan patokan adalah ukuran yang bisa disebut sebagai al-Qur’an, dan
berlaku pula untuk seluruh bagian ayatnya.
Mengenai membaca satu
ayat secara lengkap atau bahkan lebih dari satu ayat, maka hadits di atas
memastikan ketidakbolehannya dengan menyatakan:
“(Orang yang junub
tidak boleh membaca al-Qur’an), bahkan satu ayat sekalipun.”
Ayat manapun, tanpa
melihat lagi panjang pendeknya, tidak halal dibaca secara lengkap oleh orang
yang junub.
Dengan demikian,
as-Syafi’i benar kalau yang dimaksudkannya adalah ayat-ayat yang panjang, yang
ketika dibaca satu bagian darinya maka sisa ayatnya masih tetap sebagai
al-Qur’an.
Dan Abu Hanifah benar
juga kalau maksudnya adalah ayat-ayat yang pendek, yang ketika dibaca satu
bagian darinya maka sisa ayatya sudah bukan al-Qur’an.
Selain daripada itu
maka kedua pendapat tersebut tidak cermat dan tidak tepat. Bagi saya, inilah
pendapat yang rajih dan pendapat yang
ditunjukkan oleh dua hadits di atas.
Bacaan: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar