b. Masa nifas:
Para imam dan fuqaha berbeda pendapat terkait batas maksimal masa nifas.
Malik dan as-Syafi'i
berpendapat bahwa batas maksimal masa nifas adalah 60 (enam puluh) hari. Telah
diriwayatkan dari al-Auza’iy bahwasanya dia berkata: Di antara kami ada seorang
wanita yang mengalami masa nifas selama dua bulan. Pendapat seperti ini telah
diriwayatkan pula dari Atha. As-Syafi’i berkata: Umumnya nifas itu 40 (empat
puluh) hari.
Ali, Umar, Ibnu Abbas,
Utsman bin Abil Ash, Anas, Ummu Salamah, as-Sya’biy, at-Tsauriy, Ishaq, ashhabur ra'yi, Ahmad, as-Syaukani,
al-Muzanni, dan Abu Ubaid berpendapat bahwa batas maksimal masa nifas itu 40
(empat puluh) hari.
Pendapat terakhir
inilah yang shahih, dalilnya adalah
sebagai berikut:
1) Tirmidzi berkata:
“Ahli ilmu dari
kalangan sahabat Nabi Saw., tabi'in dan orang-orang setelah mereka bersepakat,
bahwa wanita nifas itu meninggalkan shalat selama empat puluh hari, kecuali
jika dia sudah suci bersih sebelum genap empat puluh hari, maka pada saat itu
dia harus mandi dan shalat.”
Sehingga pendapat
seperti ini menjadi Ijma Sahabat, dan Ijma Sahabat merupakan dalil syar’i.
2) Dari Ali bin Abdil A’la, dari Abu Sahl, dari
Mussah al-Azdiyyah, dari Ummu Salamah ra., dia berkata:
“Para wanita nifas
berdiam diri di masa Rasulullah Saw. selama 40 (empat puluh hari). Kami memoles
wajah kami dengan waras yang berwarna hitam kemerahan.” (HR. Tirmidzi, Ahmad,
Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
Al-Mubarakfuri pensyarah kitab Sunan
Tirmidzi berkata: status hadits ini hasan
dan baik. Al-Khattabiy berkata: Bukhari memuji hadits ini. Hadits ini dishahihkan pula oleh al-Hakim.
3) Dari Ummu Salamah
ra., dia berkata:
“Wanita dari kalangan
isteri Nabi Saw. menunggu di masa nifas selama 40 (empat puluh) malam. Nabi
Saw. tidak memerintahkannya untuk mengqadha
shalat (yang ditinggalkannya karena) nifas.” (HR. Abu Dawud)
Matan hadits ini
tertolak.
Mengenai Ijma Sahabat,
ini cukup menjadi dalil bahwa batas maksimal masa nifas itu 4O (empat puluh)
hari. Satu dalil ini saja sudah cukup untuk membantah pendapat kelompok
pertama.
Begitu pula hadits
Ummu Salamah yang pertama, memiliki dilalah
yang jelas bahwa masa nifas itu 40 (empat puluh) hari. Perkataan Ummu Salamah
itu dihukumi marfu’ karena dia berkata: Para wanita yang nifas menunggu di masa
Rasulullah Saw., di mana dia telah menyandarkan perbuatan itu kepada masa
Rasulullah Saw. Penyandaran inilah yang menjadikan hadits tersebut bisa
dihukumi marfu’ sebagaimana dinyatakan oleh mayoritas ahli hadits dan ahli
ushul.
Adapun pihak yang
melontarkan pendapat yang pertama, mereka menyatakan alasan seperti itu dengan
dalih investigasi fakta (istiqra), dan
dengan membantah hadits Ummu Salamah yang kedua, di mana mereka menyatakan
bahwa matan hadits tersebut munkar. Hal ini karena menurut mereka para isteri
Nabi Saw. itu tidak ada seorangpun di antara mereka yang melahirkan dan
mengalami masa nifas ketika mereka hidup bersama dan menjadi isteri Nabi,
selain Khadijah, padahal Khadijah itu isteri beliau Saw. sebelum hijrah. Karena
itu ucapan Ummu Salamah ini -menurut mereka- tidak memiliki arti apapun.
Perihal alasan istiqra, maka ini tidak memberikan faidah
apapun bagi mereka, karena bidang yang mereka bahas berbeda dengan yang
seharusnya dibahas. Hal ini karena mereka mengkaitkan hukum-hukum nifas dengan
hasil kajian mereka terhadap nifas yang dijalani kaum wanita dari sisi darah
nifas yang paling banyak keluar pada kaum wanita dengan tanpa pertimbangan yang
lain. ini jelas suatu kekeliruan, sehingga menyebabkan mereka salah pula
menetapkan hukumnya. Sebab syariat itu sendiri telah menetapkan persoalan ini
dengan jelas dan pasti.
Syariat menyatakan
bahwa hukum nifas itu paling lama empat puluh hari sebagaimana ditetapkan oleh
Ijma Sahabat -Ijma Sahabat itu merupakan dalil syar'i- juga sebagaimana
disebutkan dalam hadits.
Ketika syariat
menetapkan hal itu, seharusnya mereka tidak terus-menerus membahas waktu
keluarnya darah nifas yang lebih dari empat puluh hari jika mereka ingin
mengkaitkannya dengan hukum nifas, karena syariat sudah menetapkannya. Jika
mereka hanya ingin mengetahui masa nifas yang lebih dari empat puluh hari dari
sisi fakta saja dengan tanpa mengkaitkannya dengan hukum nifas, maka tidak
menjadi masalah. Sayangnya mereka malah membahas batas maksimal nifas, lalu
mereka melihat ada sejumlah wanita yang masa nifasnya lebih dari lima puluh
hari, bahkan ada yang enam puluh dan tujuh puluh hari, kemudian mereka
menyatakan bahwa seorang wanita tidak boleh shalat, puasa dan bersetubuh selama
waktu yang panjang tersebut. Pernyataan mereka ini keliru, karena jelas-jelas
bertentangan dengan syara, di mana syara telah mengkaitkan ketetapan empat puluh
hari sebagai batas maksimal masa nifas. Ketika syara
mengkaitkan batas maksimal nifas dengan empat puluh hari, maka
mengkaitkannya dengan lima puluh, enam puluh dan tujuh puluh hari, itu sama
dengan tindakan menasakh (menghapus) syara, padahal mereka tidak punya hak untuk menasakh syara.
Adapun ketika mereka
menolak hadits kedua dari Ummu Salamah yang di dalamnya disebutkan:
“Wanita dari kalangan
isteri Nabi Saw.”
Mereka menyebut matan
hadits ini munkar, dan walaupun as-Syaukani berusaha menakwilkan hadits ini
dengan mengatakan: Kaum wanita Nabi itu lebih umum dari isteri-isteri Nabi,
karena bisa mencakup anak-anak perempuan Nabi dan kerabat wanita lainnya. Maka
saya lebih setuju untuk menolak hadits ini. Saya tidak tertarik dengan
penakwilan as-Syaukani, sehingga hadits ini harus ditolak dan tidak layak
digunakan sebagai hujjah. Tetapi
penolakan terhadap hadits ini tetap tidak bisa membantu mereka, karena matan
hadits yang pertama tidak mungkin dibantah lagi.
Alasannya karena
wanita-wanita nifas di dalam hadits tersebut tidak ditaqyid dengan qayid
isteri Rasulullah Saw. (seperti yang tercantum dalam hadits nomor tiga). Dan
ketika hadits tersebut shahih dan sharih (jelas) maka kita tidak boleh
meninggalkan hadits tersebut, dan tidak boleh pula menggunakan akal dalam suatu
perkara yang dijelaskan oleh nash. Artinya kita tidak boleh berijtihad dalam
perkara yang sudah diterangkan oleh nash.
Meski begitu masih
tersisa beberapa pertanyaan yang harus dijawab, yakni: apakah syara menetapkan batasan 40 (empat puluh) hari
dengan pandangan bahwa darah tidak akan keluar lebih dari 40 (empat puluh)
hari? Ataukah syara telah menetapkan
batasan 40 (empat puluh) hari tetapi sekaligus syara
mengetahui bahwa pada sebagian wanita ada yang sampai mengeluarkan darah
lebih dari 40 (empat puluh) hari sehingga syara
memaafkan tambahan atau kelebihan ini? Apakah tambahan dari 40 (empat
puluh) hari ini merupakan nifas yang dimaafkan, ataukah dia sesuatu yang lain?
Pendapat yang rajih menurut saya adalah: bahwa darah nifas
secara riil tidak lebih dari 40 (empat puluh) hari. Jika darah tersebut
terus-menerus keluar lebih dari itu, maka darah tersebut bisa berupa darah
penyakit, alias darah istihadhah,
-terputusnya pembuluh darah akibat sesuatu yang dialami pada saat bersalin,
berupa kejang otot dan syaraf- dan bisa juga karena berbarengan dengan
datangnya waktu haid, di mana saat itu darah tersebut keluar berwarna hitam
seperti umumnya darah haid. Dalam kondisi seperti ini darah tersebut dikatakan
sebagai haid, dan dia dihukumi sebagai wanita yang sedang haid. Tidak perlu
dikatakan lagi bahwa dia dalam kondisi nifas, karena dia sebenarnya berada
dalam kondisi haid, sehingga wanita tersebut tidak perlu shalat setelah
selesainya masa nifas 40 (empat puluh) hari. Wanita tersebut tetap tidak dalam
keadaan suci dan tidak perlu shalat hingga berakhirnya masa haid.
Ini tidak bertentangan
dengan penetapan batas waktu nifas selama 40 (empat puluh) hari yang sudah kami
jelaskan, karena darah yang keluar lebih dari 40 hari tersebut bukan darah
nifas.
Imam Ahmad berkata:
“Ketika darah tersebut terus keluar (setelah 40 hari), jika muncul di hari-hari
atau masa haidnya seperti biasa, maka wanita tersebut tidak boleh shalat dan
tidak boleh disetubuhi suaminya. Tetapi jika darah tersebut keluar bukan di masa
haidnya, maka dipandang sebagai darah istihadhah,
sehingga dia boleh disetubuhi suaminya. Dia harus berwudhu untuk setiap kali
hendak shalat, dan tetap harus berpuasa jika memasuki bulan Ramadhan dan tidak
mengqadha.”
Pernyataan Ahmad ini
merupakan ringkasan pendapat yang sangat baik, dan Ahmad sendiri sebagaimana
telah kami jelaskan adalah salah seorang yang menyatakan 40 (empat puluh) hari
sebagai batas maksimal masa nifas.
Inilah batas maksimal
masa nifas. Sedangkan batas minimal masa nifas, maka Muhammad bin Hasan dari
kalangan ulama Hanafiyah dan Abu Tsur berkata: Batas minimalnya adalah satu
jam. Abu Ubaid berkata: Batas minimalnya adalah dua puluh lima hari.
Sedangkan para imam
yang empat, at-Tsauri dan al-Auza'iy berkata: Jika wanita tersebut tidak
melihat darah maka hendaknya dia mandi dan shalat. Artinya mereka tidak
menetapkan batas minimal masa nifas. Inilah pendapat yang benar. Hal ini karena
syara tidak menetapkan batas minimal
tertentu yang harus dijadikan rujukan.
Seandainya seorang
wanita melahirkan, lalu darah berhenti keluar setelah tiga hari, maka saat itu
si wanita harus mandi dan shalat. Bahkan seandainya dia melahirkan lalu darah
serta-merta berhenti keluar, maka dia harus bangkit, mandi dan shalat.
Diriwayatkan bahwa
seorang wanita telah melahirkan pada masa Rasulullah Saw., tetapi wanita
tersebut tidak melihat darah sehingga dipanggil dzatul
jufuf. Dan ini termasuk kondisi yang jarang terjadi tentunya.
Namun jika darah
keluar selama sepuluh hari misalnya, lalu berhenti selama sepuluh hari, maka
wanita tersebut harus mandi dan shalat saat itu. Tetapi jika setelah berhenti
sepuluh hari itu darah kembali keluar, maka itu merupakan darah nifas, si
wanita harus berhenti shalat selama darah tersebut keluar, dan jika berhenti
keluar maka si wanita harus mandi dan kembali shalat.
Saya merasa heran
ketika melihat para imam membahas dan memperselisihkan persoalan ini. Malik
berkata: Jika seorang wanita melihat darah setelah dua atau tiga hari, maka itu
adalah nifas. Ketika jarak antara keduanya terlalu lama, maka darah tersebut
adalah darah haid. Para sahabat as-Syafi’i berkata: Jika seorang wanita melihat
darah satu hari satu malam setelah suci lima belas hari, maka di dalamnya ada
dua pendapat: pertama adalah darah haid, kedua adalah darah nifas. Dari Ahmad
dinukil dua riwayat: pertama adalah haid, dan kedua adalah darah nifas. Saya
tidak mengetahui apa hikmah dari perbedaan pendapat seperti ini.
Apa arti dari
memandang suatu darah itu termasuk haid atau nifas? Karena jika haid itu
memiliki hukum yang berbeda dengan hukum nifas, tentu persoalan seperti ini
harus diperhatikan. Namun ketika (sebenarnya) tidak ada perbedaan antara darah
haid dan nifas, maka untuk apa hal seperti itu dibahas dan diperdebatkan?
Tinggallah kini poin
terakhir yang diperselisihkan oleh para fuqaha, yakni: ketika seorang wanita
melahirkan anak kembar, maka bagaimana masa nifasnya mesti diperhitungkan?
Apakah awal dan akhir nifasnya itu disandarkan pada anak yang pertama, ataukah
masa awal nifas disandarkan pada anak yang pertama sedangkan masa akhir nifas
disandarkan pada anak yang terakhir? Ataukah awal dan akhir masa nifas itu
disandarkan pada anaknya yang terakhir?
Malik, Abu Hanifah dan
Ahmad (dalam satu riwayat darinya) berpendapat bahwa awal dan akhir nifas
disandarkan pada anak yang pertama. Mereka beralasan: ketika jangka waktu nifas
itu berakhir sejak melahirkan anak yang pertama, maka yang sesudahnya itu bukanlah
nifas, karena darah yang keluar setelah kelahiran pertama merupakan darah pasca
melahirkan sehingga dipandang sebagai nifasnya seorang diri, dan kelahiran yang
lain disandarkan padanya, sebab awal nifas disandarkan pada kelahiran yang
pertama maka begitu pula dengan akhir nifasnya. Abul Khaththab dan as-Syarif
Abu Ja’far dari kalangan Hanabilah berkata: Awal nifas itu disandarkan pada
kelahiran yang pertama, sedangkan akhir nifas disandarkan pada anak yang kedua.
Keduanya berkata: Ketika anak yang kedua lahir maka masa nifas belum selesai
sebelum nifas dari anak kedua itu selesai, karena itulah masa nifas menjadi
lebih dari empat puluh hari bagi orang yang melahirkan anak kembar. Al-Qadhi
Abul Hasan dari kalangan Hanabilah dan Zufar dari kalangan Hanafiyah berkata:
Masa nifas itu disandarkan pada anak kedua saja, karena masa nifas itu ada masa
yang berkaitan dengan kelahiran, sehingga awal dan akhir nifas disandarkan pada
anak
kedua sebagai masa 'iddah. Sedangkan
para sahabat imam as-Syafi'i terbagi menjadi tiga pendapat seperti di atas.
Pendapat yang tepat
menurut saya adalah yang menyatakan bahwa nifasnya itu dimulai dengan kelahiran
anak yang pertama. Ini nampak jelas sekali. Pada prinsipnya nifas anak yang
pertama inilah yang menjadi patokan awal dan akhir masa nifas. Tidak ada sesuatupun
yang membatalkan atau merubah awal nifasnya ini sehingga terus berlangsung.
Tetapi kemudian akhir masa nifas ini tertimpa nifas yang lain karena lahirnya
bayi yang lain, karena yang kedua ini pun sama-sama bayi, sehingga sama-sama
memiliki awal dan akhir masa nifas. Awal nifas anak kedua ini menyatu dengan
nifas saudaranya (anak pertama), sedangkan akhir masa nifasnya tidak dirubah
oleh sesuatupun. Adapun akhir nifas anak yang pertama itu bergabung dengan
nifas anak yang kedua. Dengan demikian, nifas wanita yang melahirkan anak
kembar dimulai dari permulaan nifas anak pertama, dan selesai pada akhir nifas
anak kedua.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar