7. Seorang yang junub tidak boleh menyentuh
mushaf. Hadits berikut menjelaskan persoalan tersebut: Dari Abu Bakar bin
Muhammad bin Amr bin Hazm dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi Saw.:
“Bahwasanya Nabi Saw.
menuliskan surat ketetapan untuk Penduduk Yaman, yang di dalamnya terdapat
beberapa perkara yang wajib, sunah dan diyat. Ketetapan tersebut dibawa serta
oleh Amr bin Hazm, lalu dia menyebutkan hadits tersebut. Di dalamnya disebutkan:
Al-Qur'an tidak disentuh kecuali oleh orang yang suci. (HR. Baihaqi,
ad-Daruquthni, al-Hakim dan at-Thabrani)
Hadits tersebut dihasankan oleh al-Hazimi. Hadits ini dikritik
dan dilemahkan oleh sejumlah perawi hadits, tetapi di sisi lain juga dishahihkan dan diterima oleh banyak perawi.
Ibnu Hajar
mengomentari hadits tersebut: Surat ketetapan yang dibawa Amr bin Hazm itu
diterima oleh banyak orang.
Ibnu Abdil Barr
berkata: Surat ketetapan tersebut hampir mirip hadits mutawatir, karena
diterima oleh banyak orang.
Ya’qub bin Sufyan
berkata: Aku tidak mengetahui kitab (surat ketetapan) yang lebih shahih dari surat ketetapan ini, karena para
sahabat Nabi dan tabi’in merujuk padanya, seraya meninggalkan pendapat mereka.
Al-Hakim berkata: Umar
bin Abdul Aziz dan az-Zuhri telah bersaksi bahwa kitab atau ketetapan tersebut shahih adanya.
Cukuplah kiranya Umar
bin Abdul Aziz dan az-Zuhri sebagai saksi keabsahan hadits ini, sehingga hadits
tersebut layak dijadikan sebagai hujjah.
Tinggallah kini sudut
pandang dilalah-nya. As-Syaukani
mengomentari kata thahir (suci) ini
dengan mengatakan: “Sebenarnya lafadz musytarak
ini bersifat global, sehingga tidak bisa ditentukan maknanya hingga ada lafadz
lain yang menjelaskannya. Dan di sini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa
maksudnya tidaklah seperti itu, berdasarkan hadits “orang mukmin itu tidak
najis”. Ketika diterima asumsi tidak ada dalil yang menghalangi maksud hadits
tersebut, niscaya penentuan dengan salah satu makna kontroversial ini sama
dengan sebagai tarjih tanpa dalil yang
mentarjih. Dan penentuan lafadz ”thahir” tersebut untuk seluruh maknanya sama
saja dengan menggunakan lafadz musytarak
pada seluruh maknanya, dan justru di sinilah persoalannya. Ketika diterima
pendapat yang membolehkan menggunakan lafadz musytarak
dengan seluruh maknanya sebagai pendapat yang tepat, tentunya keliru juga,
karena adanya penghalang yakni hadits 'orang mukmin itu tidak najis'.”
As-Syaukani memandang
lafadz thahir sebagai lafadz musytarak, sehingga harus ada dalil yang
menentukan maksudnya, karena lafadz tersebut mencakup orang mukmin, orang yang
bersuci dari junub, orang yang berwudhu, dan orang yang membersihkan najis dari
tubuhnya. Semua pengertian ini dicakup oleh lafadz thahir (suci). Karena itu harus diketahui makna yang mana yang
dimaksud oleh hadits ini. Inilah ringkasan pernyataan as-Syaukani ketika dia
menolak hadits ini sebagai hujjah atas
persoalan yang sedang kami bahas ini. Dia serupa dengan mereka yang menolak
hadits ini dijadikan sebagai hujjah.
Maka kami bantah pendapatnya itu dengan mengatakan:
Adalah benar bahwa
kata thahir (suci) mencakup beberapa
makna yang seluruhnya sudah disebutkan, tetapi mestinya ada qarinah yang bisa menentukan makna mana yang
dimaksud, atau mengalihkan lafadz tersebut dari satu atau beberapa makna
tertentu. Tidak mungkin di dalam hadits ini atau dalam hadits-hadits lainnya
tidak ada qarinah. Ketika hadits ini
hampir mencapai derajat mutawatir karena sedemikian populernya dan diterima
banyak orang, baik dari kalangan sahabat atau non-sahabat, maka tidak mungkin
di dalamnya atau dalam hadits-hadits lainnya tidak ada qarinah yang menentukan makna yang dimaksud.
Sebab terdapat fakta
bahwa mereka menerima hadits tersebut, ini menunjukkan bahwa mereka
mengambilnya sekaligus mengamalkannya, bukan sekedar menunjukkan dan
mendengarnya saja tetapi bingung memahaminya. Tidak mungkin hadits ini bisa
populer dan diterima seperti itu seandainya memiliki makna muhtamal dan dilalah
yang global lagi samar, asumsi seperti itu tertolak. Kaum Muslim telah
bersepakat atau hampir bersepakat, bahwa pengertiannya adalah al-Qur'an tidak
boleh disentuh kecuali oleh orang yang suci dari dua hadats, yakni hadats besar
dan hadats kecil. Bahkan para imam yang membolehkan orang yang tidak punya
wudhu menyentuh mushaf sekalipun tidak memungkiri penafsiran ini. Mereka hanya
menolak dan mendhaifkan hadits ini,
sehingga mereka tidak berhujjah
dengannya.
Salah satu makna
lafadz at-thaahir adalah al-mukmin
(orang yang beriman), ketika disandarkan pada hadits:
“Orang mukmin itu
tidak najis.”
Sebagaimana dinyatakan
oleh as-Syaukani, adalah benar adanya. Akan tetapi qarinah telah mengalihkannya dari makna ini. Hadits Amr bin Hazm
ini berisi pernyataan Rasulullah Saw. yang dikirimkan untuk penduduk negeri
Yaman, dan mereka adalah Muslim; maksudnya penduduknya itu suci. Hadits ini
merupakan seruan pada mereka, sehingga ketika lafadz at-thahir ini ditafsirkan dengan kata mukmin, maka pengertian
hadits tersebut akan seperti ini:
‘Wahai orang-orang
yang suci, tidak ada seorangpun di antara kalian yang boleh menyentuh mushaf
kecuali jika suci.’
Bentuk mufradnya adalah:
‘Janganlah engkau
menyentuh mushaf wahai orang suci, kecuali jika engkau suci.’
Ini merupakan
penakwilan yang rusak sehingga harus ditolak. Karena andai saja makna ini yang
dimaksudkan Rasulullah Saw., yakni seandainya maksud beliau Saw. adalah
al-Qur’an itu tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang beriman,
niscaya beliau Saw. akan mengatakan:
‘Al-Qur'an tidak boleh
disentuh oleh orang musyrik, atau mushaf tidak boleh disentuh oleh orang
kafir.’
Ketika beliau Saw.
tidak menggunakan ungkapan seperti itu, maka menunjukkan bahwa hadits tersebut
memiliki makna yang lain.
Bahwa salah satu makna
lafadz at-thahir adalah orang yang
membersihkan najis, sebagaimana yang dikatakan as-Syaukani, maka ini pun benar.
Tetapi masalah membersihkan najis itu ada dua macam, bukan satu macam. Orang
yang membersihkan najis dari badannya disebut mutathahhir
dan thaahir, dan orang yang membersihkan
najis dari pakaiannya juga disebut thaahir
dan mutathahhir. Apakah pengertian yang
dimaksud hadits ini adalah orang yang membersihkan najis yang pertama ataukah
yang kedua? Tidak ada sahabat dan tabi’in yang mengatakan bahwa dalam menyentuh
mushaf itu perlu mensucikan badan dan baju, atau mensucikan salah satunya
dengan alasan hadits ini. Kaum Muslim, baik salaf
maupun khalaf, telah sepakat tidak
menggunakan makna atau pengertian tersebut terhadap hadits ini, sehingga ketika
as-Syaukani menyampaikan beberapa kemungkinan pengertian ini semata-mata
bersifat teoritis belaka.
Selain itu, di hadapan
kita ada sejumlah nash yang memerintahkan mensucikan (membersihkan) badan dan
pakaian dari najis. Nash-nash tersebut menyebutkan dengan jelas salah satu
kondisi yang dimaksudnya dari dua kategori membersihkan najis tersebut. Ayat al-Qur'an
menyatakan:
“Dan pakaianmu
bersihkanlah.” (TQS. al-Muddatsir [74]: 4)
Ayat tersebut jelas
menyebutkan pakaian. Hadits Nabi Saw. menyatakan:
“Bagaimana dengan
madzi yang mengenai bajuku? Maka beliau Saw. berkata: Engkau cukup menciduk air
setelapak tangan, lalu mengucurkannya ke atas bajumu itu.” (HR. at-Thabrani)
Hadits tersebut
menyebutkan baju atau pakaian sebanyak dua kali. Hadits yang lain menyatakan:
“Kemudian cucilah
madzi itu (supaya hilang) dari kemaluan dan dua testismu.” (HR. Abu Dawud)
Hadits tersebut
menyebutkan bagian badan yang dimaksudnya. Ada hadits yang menyatakan:
“Wanita itu bertanya:
Baju salah seorang dari kami terkena darah haid.” (HR. Muslim)
Hadits tersebut tidak
mengatakan:
Salah seorang dari
kami terkena darah haid.
Hadits lain
mengatakan:
“Wanita tersebut
bertanya kepada Aisyah tentang darah haid yang mengenai bajunya.”
Hadits lain
mengatakan:
“Maka cucilah bagian
baju yang terkena darah tersebut.”
Demikianlah, hadits
tersebut menyebutkan tempat yang terkena najis dan menyatakannya dengan lafadz
yang jelas. Siapa saja yang menelaah dan mengetahui nash-nash ini, niscaya akan
memahami bahwa thaharah (bersuci) itu
tidak bermakna mencuci atau membersihkan najis, kecuali jika disertai qarinah yang mengarahkannya pada pengertian
menghilangkan najis. Dengan persepsi seperti inilah kita harus memahami hadits
yang sedang kita bahas.
Lafadz at-thaahir dalam hadits tersebut tidak mungkin
ditafsirkan dengan al-mu'min (orang yang beriman) dan al-mutathahhir min an-najasah (orang yang membersihkan najis),
sehingga lafadz at-thaahir tersebut
hanya ditafsirkan dengan orang yang menghilangkan hadats besar dan kecil saja,
sehingga hadits tersebut memerintahkan (membersihkan diri dari) salah satu
hadats tersebut atau keduanya sekaligus, tidak ada kemungkinan yang ketiga.
Ketika kita berhasil
memahami poin ini, maka kita akan melihat bahwa sebenarnya masalah ini mudah
dan berdekatan, karena kedua makna tersebut saling berkaitan dan tidak terlalu
jauh. Di antara keduanya juga ada pemisah yang tidak terlalu lebar, tidak seperti
antara hadats dengan mu'min, atau antara mu'min dengan mutathahhir min an-najasah (orang yang membersihkan najis).
Hadats besar dan
hadats kecil merupakan satu kategori atau satu jenis. Karena itulah keduanya
disebut hadats besar dan hadats kecil, karena keduanya sama-sama hadats, dan
seseorang otomatis berhadats kecil saat mengalami hadats besar. Ketika hendak
memerintahkan keduanya, syara
mengatakan: Bersucilah kalian atau hilangkanlah hadats, misalnya. Adapun ketika
hendak memerintahkan salah satunya, maka syara
menyebutkannya secara spesifik: Berwudhulah kalian untuk menghilangkan hadats
kecil, dan hilangkanlah karena merupakan hadats besar, begitu seterusnya.
Ketika hadits tersebut menyatakan:
“Wahai orang yang
beriman, janganlah kamu menyentuh mushaf kecuali telah bersuci, atau kecuali
kamu dalam keadaan suci.”
Lafadz suci tersebut
harus diarahkan pada dua hadats tersebut, tidak boleh diarahkan pada salah satu
hadats saja, kecuali jika ada qarinah,
dan di sini tidak ada qarinah yang
mengarahkannya untuk satu hadats saja.
Di sini tidak ada qarinah yang mengarahkan lafadz thaharah itu pada thaharah yang tidak utuh sempurna. Berdasarkan paparan di atas,
kita mendapatkan pendapat yang rajih,
bahwa menyentuh mushaf tidak boleh dilakukan kecuali oleh orang yang bersih
dari dua hadats, hadats besar dan hadats kecil. Inilah pendapat jumhur imam dan
fuqaha.
Saya ingin menunjukkan
bahwa sejumlah fuqaha ternyata tidak hanya berargumentasi dengan hadits Amr bin
Hazm di atas. Mereka juga berargumentasi dengan ayat al-Qur’an. Mereka
menyatakan bahwa ayat 77-80 surat al-Waqiah:
“Sesungguhnya al-Quran
ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak disentuh kecuali oleh
mereka yang disucikan. Diturunkan dari Rabbil
‘alamiin.”
(Mereka mengatakan)
ayat “tidak disentuh kecuali oleh mereka yang disucikan” menunjukkan bahwa
seorang Muslim harus bersuci ketika hendak menyentuh al-Qur’an. Mereka
mengatakan bahwa ayat-ayat tersebut diawali dengan lafadz: al-Qur'an itu bacaan
yang mulia, kemudian setelahnya disebutkan tiga karakter al-Qur’an yakni:
"terdapat pada kitab yang mulia”, “tidak disentuh kecuali oleh mereka yang
disucikan”, dan “diturunkan dari Rabbul alamin.”
Mereka (menyatakan seperti itu karena) menjadikan dhamir
(kata ganti) dalam frase yamassuhu kembali
pada kata al-Qur’an, sehingga mereka menganggap ayat-ayat ini menjadi dalil
atau argumentasi pendapat mereka.
Menurut hemat saya,
ayat-ayat ini tidak menunjukkan pendapat mereka, sehingga sebaiknya mereka
cukup berargumentasi dengan hadits Amr bin Hazm saja. Dalam mengambil
kesimpulan dari ayat ini, Ibnu Taimiyah telah melontarkan pendapat yang cukup
aneh, dia menyatakan: Sesungguhnya dilalah
isyarah dari ayat ini menunjukkan hukum
“tidak boleh menyentuh al-Qur'an”. Ketika Allah Swt. mengabarkan bahwa shuhuf yang disucikan yang berada di langit
itu tidak disentuh kecuali oleh mereka yang disucikan, maka shuhuf yang ada di tangan kita ini pun tidak
boleh disentuh kecuali oleh orang yang suci.
Ibnu Taimiyah mengakui
bahwa ayat-ayat ini tidak menunjukkan pendapat yang dilontarkannya, kecuali
dengan dilalah isyarah, karena sebenarnya nampak nyata bahwa ayat-ayat ini
menunjukkan yang menyentuh mushaf itu
adalah malaikat yang disucikan, bukan manusia yang suci.
Ibnu Taimiyah telah
keliru ketika tidak berpijak pada madlul
(maksud dan pengertian) ayat-ayat ini. Dia malah melakukan analogi (qiyas) yang
tidak shahih, ketika dia menganalogikan
kesucian manusia dengan malaikat.
Telah dimaklumi bahwa isyarah itu memiliki satu bab di dalam ushul
fiqih yang mereka sebut dengan mafhum isyarah. Dan di sini mafhum tersebut tidak bisa diamalkan, karena tidak ada seorang
ahli ushul pun yang menganalogikan manusia dengan malaikat, sehingga pernyataan
Ibnu Taimiyah tersebut jelas merupakan pendapat yang asing dan lemah.
Dengan mengkaji ayat
surat al-Waqi’ah tersebut kita melihat bahwa ayat:
“Tidak disentuh
kecuali oleh mereka yang disucikan.”
Ini berbicara tentang al-kitab al-maknun
(kitab yang terpelihara) yang ada di langit, yang disentuh oleh malaikat yang
disucikan. Ayat ini tidak berbicara tentang al-Qur’an yang disentuh oleh kaum
Muslim yang suci. Alasannya adalah sebagai berikut:
Telah dimaklumi dalam
Bahasa Arab, bahwa dhamir (kata ganti)
itu kembali pada kata benda yang paling dekat (isim
aqrab) yang layak dirujuknya. Dhamir
itu bisa kembali pada kata benda yang lebih jauh (isim
ab'ad) jika isim aqrab-nya tidak
layak menjadi tempat kembalinya, atau terdapat qarinah
yang menetapkan bahwa isim ab’ad itulah
yang menjadi tempat kembalinya dhamir
tersebut.
Selain dalam dua
kondisi ini, prinsip dhamir harus
seperti yang telah kami sebutkan. Dalam ayat-ayat di atas, dhamir yamassuhu (dhamir mudzakkar ghaib/kata ganti ketiga tunggal laki-laki) ini
didahului oleh dua isim, yakni lafadz
“al-Qur’an” dan lafadz “Kitab”. Lafadz “al-Qur’an” adalah kata benda yang jauh
(isim ab'ad), sedangkan lafadz “Kitab”
adalah kata benda yang dekat (isim aqrab).
Dan dhamir mudzakkar
ghaib tersebut layak dikembalikan pada
lafadz “al-kitab”, dan al-kitab ini merupakan lafadz isim yang lebih dekat (aqrab).
Pada prinsipnya memang
dhamir yamassuhu harus dikembalikan pada
kata “al-kitab” beradasarkan dua sebab ini, karena memang tidak ada qarinah yang mengarahkan tempat kembalinya dhamir tersebut pada lafadz al-Qur’an. Bahkan qarinah yang ada justru menegaskan bahwa
tempat kembalinya dhamir tersebut adalah
lafadz “Kitab”, sehingga ayat-ayat tersebut memiliki pengertian: Sesungguhnya
ini merupakan bacaan al-Qur’an yang terdapat dalam kitab, dan kitab ini tidak
disentuh kecuali oleh mereka yang disucikan. Sedangkan ayat terakhir:
“Diturunkan dari Rabbil 'alamiin.”
Ayat ini menjadi sifat
bagi lafadz “al-Qur'an”, bukan sifat bagi lafadz “al-kitab”, dengan qarinah adanya lafadz tanziil (diturunkan). Pengertian lafadz ini tidak layak
digunakan sebagai sifat bagi al-kitab yang disimpan dan dipelihara, karena al-kitab al-maknun itu tidak diturunkan, yang
diturunkan itu adalah al-Qur’an, sehingga ayat “diturunkan dari Rabbul alamin” menjadi sifat bagi lafadz
“al-Qur’an”, bukan menjadi sifat bagi lafadz “al-kitab
al-maknun”.
Sebelumnya kami telah
mengatakan: bahkan qarinah yang ada
justru menegaskan bahwa tempat kembalinya dhamir
tersebut adalah lafadz “al-Kitab”, maka di sini kami katakan bahwa qarinah tersebut adalah lafadz: al-muthahharun. Lafadz ini merupakan sebutan
untuk malaikat, bukan sebutan untuk manusia. Agar kita bisa memahami dalil yang
menunjukkan hal tersebut, sebaiknya kita mencermati beberapa ayat al-Qur'an
berikut:
1. Firman Allah Swt.
dalam surat al-Baqarah ayat 25:
“Dan untuk mereka di
dalamnya ada isteri-isteri yang suci, dan mereka kekal di dalamnya.”
2. Firman Allah Swt.
dalam surat Ali Imran ayat 15:
“Mereka kekal di
dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan
Allah.”
3. Firman Allah Swt.
dalam surat an-Nisa ayat 57:
“Mereka di dalamnya
mempunyai isteri-isteri yang suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yang
teduh lagi nyaman.”
4. Firman Allah Swt.
dalam surat Abasa ayat 12, 13 dan 14:
“Maka barangsiapa yang
menghendaki, tentulah ia memperhatikannya; di dalam kitab-kitab yang
dimuliakan; yang ditinggikan lagi disucikan; di tangan para penulis (malaikat)
yang mulia lagi berbakti.
5. Firman Allah Swt.
dalam surat al-Bayyinah ayat 2:
“(Yaitu) seorang Rasul
dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan
(Al-Qur’an).
6. Firman Allah Swt.
dalam surat al-Waqi’ah ayat 79:
“Tidak menyentuhnya
kecuali orang-orang yang disucikan.”
Kita akan melihat
bahwa ayat yang pertama menyebut wanita penghuni Surga sebagai muthahharah (wanita yang suci), begitu pula
ayat kedua dan ketiga.
Sedangkan ayat yang
keempat menyebutkan shuhuf sebagai
sesuatu yang disucikan (muthahharahi),
begitu pula dengan ayat kelima.
Sedangkan ayat keenam
menyebut mereka yang menyentuhnya itu adalah muthahharun
(yang disucikan).
Ketika diteliti, kita
akan menemukan adanya titik persamaan (qasim
musytarak) di antara lafadz-lafadz ini, yakni bahwa pensucian ini hanya
dilakukan oleh Allah Swt. tanpa campur tangan pihak lain. Isteri-isteri di
Surga disucikan Allah Swt., sehingga mereka suci selamanya; shuhuf disucikan Allah Swt; para malaikat
disucikan Allah Swt; di mana para isteri, shuhuf
dan malaikat itu tidak ikut campur mensucikan atau membersihkan dirinya,
sehingga sifat atau karakter yang ada disebutkan dengan lafadz seperti itu.
Kemudian mari kita
lihat dua ayat al-Qur'an berikut:
1. Firman Allah Swt.
dalam surat al-Baqarah ayat 222:
“Apabila mereka telah
suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang
yang mensucikan diri.”
2. Firman Allah Swt.
dalam surat at-Taubah ayat 108:
“Di dalam masjid itu
ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bersih.”
Kita melihat ayat yang
pertama menyebutkan kaum wanita di dunia dengan lafadz: tathahharna, dan isim fa’il
dari lafadz tathahhara adalah mutathahhir. \Ayat tersebut menyebutkan kaum
Muslim dengan lafadz al-mutathahhirun.
Sedangkan ayat kedua
menyebutkan kaum lelaki yang membersihkan diri sebagai al-muththahhirin, dengan mentasydid
huruf tha yang diberi harakat fathah,
dan juga mentasydid huruf ha yang diberi harakat
kasrah.
Dengan mencermati
lafadz-lafadz ini, kita akan melihat ada titik persamaan di antara
lafadz-lafadz tersebut, yakni bersuci yang dilakukan oleh manusia itu sendiri,
dan ini diungkapkan dengan lafadz-lafadz al-muththahhirin,
al-mutathahhirin, dan tathahharna, dan isim
fa'il-nya adalah mutathahhiratun, yakni orang yang membersihkan dirinya disebut mutathahhir atau muththahhir,
tidak disebut muthahhar; dan mereka yang
disucikan Allah Swt. tidak seorangpun yang disebut mutathahhir atau muththahhir,
melainkan disebut muthahhar atau muthahharun.
Begitulah, perbedaan
tersebut sangat jelas sekali, sehingga setiap yang disucikan atau dibersihkan
Allah Swt. tanpa bantuan pihak lain itu adalah muthahhar,
dan setiap yang mensucikan atau membersihkan dirinya itu adalah mutathahhir atau muththahhir.
Inilah beberapa lafadz yang digunakan al-Qur’an, dan dengan menerapkannya
terhadap ayat surat al-Waqi’ah kita akan melihat bahwa firman Allah Swt.:
“…muththahharuun”
Maksudnya adalah
mereka yang disucikan Allah Swt., sehingga jelaslah maksud lafadz ini adalah
malaikat, bukan manusia.
Berdasarkan semua
paparan di atas, jelaslah yang dimaksud ayat surat al-Waqi'ah adalah para
malaikat, bukan manusia. Makna inilah yang cenderung dipilih Imam Malik, yang
disebut-sebut oleh al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya: Pendapat inilah yang
dipilih oleh Malik, di mana dia berkata: Pendapat terbaik yang pernah aku
dengar tentang firman Allah Swt.: laa
yamassuhuu illal muththahharuun adalah sama dengan ayat yang ada dalam
surat Abasa wa tawalla:
“Maka barangsiapa yang
menghendaki, tentulah ia memperhatikannya; di dalam kitab-kitab yang
dimuliakan; yang ditinggikan lagi disucikan; di tangan para penulis (malaikat);
yang mulia lagi berbakti.” (TQS. Abasa [80]: 12-16)
Maksudnya adalah kata muthahharin tersebut artinya adalah malaikat
yang disifati dengan “makhluk yang disucikan” yang disebutkan dalam surat
Abasa.
Di antara mereka yang
menafsirkan laa yamassuhuu illal muththahharuun
adalah para malaikat, dan al-kitab al-maknun
adalah kitab yang berada di langit, di mana nama-namanya dicantumkan at-Thabari
dalam kitab tafsirnya adalah Ibnu Abbas, Mujahid, ad-Dhahhak, Jabir bin Zaid,
Ibnu Nahik, Said bin Jubair, Ikrimah dan Abul Aliyah.
Sebelumnya telah kami
sebutkan bahwa Ibnu Taimiyah melontarkan pendapat yang sama, walaupun berbeda
dengan mereka dalam kesimpulan yang diambilnya. Dengan demikian, jelas bahwa di
dalam ayat al-Qur’an tidak terdapat dilalah
yang menunjukkan bahwa menyentuh mushaf itu perlu berwudhu, sehingga (untuk
menetapkan menyentuh mushaf mesti berwudhu) cukup dengan hadits Amr bin Hazm
saja.
Para ulama telah
bersepakat bahwa orang yang berhadats besar tidak boleh menyentuh mushaf, dan
tidak ada yang berbeda pendapat dalam masalah tersebut selain Dawud.
Adapun mereka yang
mensyaratkan dalam menyentuh mushaf itu harus suci dari dua hadats sekaligus
adalah: Ali, Ibnu Mas’ud, Saad, Said, Ibnu Umar, Hasan, Atha, Thawus, al-Qasim
bin Muhammad, Malik, az-Zuhri, al-Hakam, Hammad, as-Syafi’i, ashhabur ra'yi dan Ahmad.
Ibnu Qudamah berkata:
“Kami tidak mengetahui orang yang berbeda pendapat dengan mereka ini, kecuali
hanya Dawud saja, di mana dia membolehkan menyentuh mushaf tanpa berwudhu. Dia
berhujjah bahwasanya Nabi Saw.
menuliskan ayat di dalam surat yang dikirimkannya kepada Kaisar. Al-Hakam dan
Hammad membolehkan menyentuh mushaf dengan punggung telapak tangan, karena alat
untuk menyentuh itu adalah bagian dalam telapak tangan, sehingga larangan dipahami
seperti itu.”
Al-lakam dan Hammad
termasuk orang yang menyatakan ketidakbolehan menyentuh mushaf (tanpa
berwudhu), tetapi keduanya membatasi larangan menyentuh itu dengan bagian dalam
telapak tangan saja, bukan dengan punggung telapak tangan.
Adapun dalil Dawud itu
lemah sekali, karena kita sedang membahas menyentuh mushaf, bukan sedang
membahas menyentuh kertas yang di dalamnya ada ayat al-Qur’an atau sebagian
ayat al-Qur’an. Mushaf itu adalah satu kata yang memiliki arti tertentu (dilalah ma'lumah). Ketika sesuatu itu
dipandang sebagai mushaf, maka sesuatu itu haram disentuh tanpa berwudhu, dan
ketika dipandang bukan mushaf maka sah-sah saja untuk disentuh.
Karena itu kitab-kitab
tafsir dan kitab-kitab fiqih boleh disentuh, walaupun di dalamnya banyak ayat
al-Qurlan, karena kitab-kitab tersebut bukan mushaf.
Begitu pula surat
Rasulullah Saw. kepada Heraklius, itu bukan mushaf sehingga boleh disentuh.
Seluruh perbincangan kita ini adalah terkait menyentuh mushaf, bukan yang lain.
Karena itu pula jika
aktivitasnya tidak dianggap sebagai menyentuh maka boleh dilakukan secara
mutlak, seperti melihat mushaf, membawanya dengan gantungan, menyentuhnya
dengan kayu/tongkat, maka semua itu boleh. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah
dan Ibnu Qudamah, dan pendapat seperti ini diriwayatkan dari al-Hasan, Atha,
Thawus, as-Sya’biy, al-Qasim, al-Hakam, Abu Wail dan Hammad.
Tetapi tindakan
seperti itu dilarang oleh al-Auza’iy, Malik dan as-Syafi’i, karena ketiganya
menganalogikan membawa dengan menyentuh, dan beralasan sebagai pengagungan
terhadap al-Qur’an. Tetapi analogi (qiyas) mereka ini tidak bisa dibenarkan,
karena membawa al-Qur’an dengan gantungan dan menyentuhnya menggunakan kayu
tidak memiliki kesamaan ‘illat dengan
menyentuh.
Lagi pula keduanya
merupakan perbuatan yang tidak menafikan pengagungan terhadap al-Qur'an.
Sedangkan dalam kasus
pelajar sekolah yang menyentuh mushaf (tanpa kondisi suci), terdapat dua
pendapat, tetapi menurut saya pendapat yang paling rajih adalah tetap dilarang, kecuali jika mereka belum baligh
maka tidak apa-apa, karena mereka belum terkena taklif (ghair mukallaf).
Bacaan: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar