13. Tartib (Berurutan)
Tartib merupakan
fardhu wudhu yang keenam. Dalam persoalan ini para imam terbagi menjadi dua
kelompok. As-Syafi’i, Ahmad, Abu Tsur, Abu Ubaid, dan Ibnu Qudamah berpendapat
bahwa tartib dalam wudhu itu wajib hukumnya.
Sedangkan an-Nakha’iy,
Makhul, Abu Hanifah, Dawud, Malik, at-Tsauri, Ibnu al-Musayyab, az-Zuhri, Atha,
dan al-Hasan berpendapat bahwa tartib itu tidak wajib hukumnya. Pendapat yang
benar adalah tartib dalam wudhu itu wajib hukumnya. Kita akan mulai membahas
dan mendiskusikannya untuk menjelaskan kebenaran pendapat tersebut.
Mereka yang
berpendapat tartib (berurutan) dalam wudhu itu wajib telah berargumentasi
dengan beberapa dalil berikut:
1. Firman Allah Swt.:
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki.” (TQS. al-Maidah [5]: 6)
2. Dari Humran pelayan Utsman ra.:
“Bahwasanya dia
melihat Utsman meminta bejana berisi air untuk wudhu, lalu dia menuangkannya ke
atas dua telapak tangannya tiga kali, lalu dia mencuci kedua telapak tangannya,
memasukkan tangan kanannya ke dalam wadah, lalu dia berkumur-kumur, memasukkan
air ke dalam hidung, lalu mengeluarkannya. Kemudian dia membasuh wajahnya tiga
kali dan dua tangannya hingga ke siku sebanyak tiga kali, kemudian dia mengusap
kepalanya, membasuh kakinya hingga mata kaki sebanyak tiga kali. Setelah itu
dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang berwudhu seperti
wudhuku ini, kemudian dia melaksanakan shalat dua rakaat, di mana dia tidak
berbicara pada dirinya dalam melaksanakan keduanya, niscaya dosa-dosanya yang
telah lalu diampuni.” (HR. Muslim, Bukhari dan Abu Dawud)
Hadits ini telah kami
sebutkan sebelumnya.
3. Dari Amr bin 'Abasah, dia berkata:
“Wahai Nabiyullah,
terangkanlah perkara wudhu kepadaku. Beliau Saw. bersabda: “Tidaklah salah
seorang dari kalian mendekati air wudhunya, lalu ia berkumur-kumur dan beristinsyaq (memasukkan air kedalam hidung),
lalu mengeluarkannya kembali, melainkan dosa-dosa dari wajahnya, bibirnya dan
hidungnya akan berguguran. Kemudian, tidaklah dia membasuh wajahnya sebagaimana
yang diperintahkan Allah, melainkan dosa-dosa dari wajahnya akan berguguran
bersama air yang menetes dari ujung-ujung janggutnya. Kemudian tidaklah dia
membasuh dua tangannya hingga siku, melainkan dosa-dosa kedua tangannya akan
gugur bersama air yang menetes dari ujung jemarinya. Dan tidaklah dia mengusap
kepalanya melainkan dosa-dosa kepalanya akan gugur bersama air yang menetes
dari ujung-ujung rambutnya. Kemudian tidaklah dia membasuh kedua kakinya hingga
dua mata kaki kecuali dosa-dosa kedua kakinya akan gugur bersama air dari
ujung-ujung jari kakinya.” (HR. Muslim)
Ahmad meriwayatkan
hadits ini, dan di dalamnya disebutkan:
“Kemudian tidaklah dia
membasuh kedua kakinya hingga dua mata kaki sebagaimana yang diperintahkan
Allah melainkan…”
Ayat al-Qur'an di atas
menunjukkan bahwa tartib dalam berwudhu itu wajib hukumnya. Allah Swt.
memasukkan bagian yang diusap di antara dua bagian yang dibasuh, dan orang Arab
tidak akan memisahkan satu padanan dari padanannya kecuali untuk menunjukkan
satu pengertian. Dan tidak ada pengertian yang lain di sini selain urutan
perbuatan (at-tartib).
Jika dikatakan bahwa
pemisahan ini mengandung pengertian anjuran untuk tartib (berurutan), bukan
mewajibkan, maka kami katakan sesungguhnya ayat al-Qur’an ini datang untuk
menjelaskan perkara yang diwajibkan dalam wudhu saja, tidak menyebutkan
perkara-perkara yang disunahkan dalam wudhu.
Tartib itu bisa
ditemukan dalam penjelasan wudhu yang mencukupi (mujzi), maka ini menjadi qarinah untuk melahirkan pengertian wajib,
kemudian setiap orang yang menceritakan cara wudhu Rasulullah Saw.
menceritakannya secara berurutan, dan inilah yang menjelaskan perkara yang
disebutkan secara global oleh ayat al-Qur’an.
Dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Utsman ra. di atas, nampak jelas adanya urutan basuhan
(tartib). Begitu pula dalam hadits Amr bin Abasah, dan banyak lagi selain
keduanya yang juga menyampaikan urutan dimaksud. Dalam hadits-hadits ini nampak
jelas adanya keharusan untuk melakukan basuhan secara berurutan (tartib) dengan
adanya kata depan tsumma (kemudian).
Sebagaimana dimaklumi, kata depan ini memberi pengertian urutan. Di dalam
hadits Utsman disebutkan:
“Kemudian dia
memasukkan tangan kanannya ke dalam wadah, lalu dia berkumur-kumur, ...kemudian
dia membasuh wajahnya… kemudian dia mengusap kepalanya, kemudian membasuh kedua
kakinya…”
Begitu pula dalam
hadits Amr bin Abasah:
“Kemudian ketika dia
membasuh wajahnya… kemudian ketika dia membasuh dua tangannya… kemudian ketika
dia mengusap kepalanya… kemudian ketika dia membasuh kedua kakinya…”
Begitu pula dengan
hadits-hadits lain yang juga telah kami sebutkan. Hadits-hadits ini tidak cukup
mengurutkan basuhan wudhu dengan kata tsumma,
melainkan memberi tambahan keterangan dengan kalimat:
“Barangsiapa yang
berwudhu seperti wudhuku ini…”
Ini merupakan nash
dari Rasulullah Saw. tentang tata cara berwudhu, karena kata nahwa (seperti) mengandung pengertian tata
cara, di mana membasuh wajah, kedua tangan, kedua kaki itu merupakan tata cara,
mengusap kepala termasuk tata cara, dan urutan basuhan (tartib) juga termasuk
dalam tata cara, sehingga tidak bisa dikeluarkan dari pengertian seperti itu
kecuali dengan dalil. Faktanya tidak ada dalil di sini.
Rasulullah Saw.
membasuh wajahnya, dan setelah membasuh wajah, beliau Saw. membasuh kedua
tangannya, setelah membasuh kedua tangannya, beliau Saw. mengusap kepalanya,
dan setelah mengusap kepalanya, beliau Saw. membasuh kedua kakinya, lalu beliau
Saw. bersabda: “Berwudhulah kalian seperti ini.” Artinya, berwudhulah kalian
dengan tata cara seperti ini. Seandainya salah seorang dari kita “mengusap”
wajahnya, maka ini telah menyalahi tata cara, seandainya “membasuh” kepalanya
juga dipandang menyalahi tata cara, seandainya membasuh kedua kakinya sebelum
wajahnyapun menyalahi tata cara sehingga wudhunya menjadi tidak sah. Kemudian
hadits Amr bin Abasah menyebutkan kalimat:
“Sebagaimana
diperintahkan oleh Allah.”
Di dua tempat, yakni:
“Kemudian tidaklah dia
membasuh wajahnya sebagaimana yang diperintahkan Allah ...kemudian tidaklah dia
membasuh kedua kakinya hingga mata kaki sebagaimana yang diperintahkan oleh
Allah azza wa jalla...”
Walaupun nash ini
secara tegas menjelaskan tata cara perbuatan itu sendiri bukan sedang
menjelaskan urutannya, tetapi nash ini pun sebenarnya mengandung pengertian
urutan perbuatan yang harus dilakukan tersebut, karena basuhan dan usapan itu
semata-mata berdasarkan perintah Allah. Dan Allah Swt. -yang memerintahkan
perbuatan-perbuatan ini berikut tata caranya- telah mengurutkan
perbuatan-perbuatan itu sendiri di dalam ayat al-Quran, di mana Allah Swt.
memerintahkan dan mewajibkan empat perbuatan.
Rasulullah Saw. pun
memerintahkan untuk melakukannya, dan tidak cukup sekedar melakukan, melainkan
Allah Swt. memerintahkan melakukan perbuatan-perbuatan tersebut dengan tata
cara tertentu.
Maka datanglah
perbuatan Rasulullah Saw. untuk merealisasikan perintah Allah Swt. tersebut.
Beliau Saw. mengurutkannya seperti urutan yang disebutkan ayat al-Qur’an pada
setiap wudhu yang beliau Saw. lakukan.
Tata cara ini tidak
pernah tertinggal, sehingga menunjukkan bahwa beliau Saw. menetapi tata cara
tersebut dan mewajibkannya.
Misalnya, Rasulullah
Saw. berwudhu setiap kali hendak shalat, kemudian Buraidah meriwayatkan:
“Bahwasanya Nabi Saw.
melakukan beberapa shalat pada hari penaklukan dengan satu kali wudhu dan
mengusap dua khuffnya. Maka Umar berkata
padanya: Hari ini engkau melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak engkau
lakukan? Beliau Saw. menjawab: “Aku melakukannya secara sengaja wahai Umar.”
(HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan
bahwa beliau Saw. tidak ingin membingungkan kaum Muslim seolah wudhu itu wajib
untuk setiap kali shalat ketika beliau Saw. berwudhu untuk setiap kali shalat.
Untuk menghilangkan keraguan ini dan menafikan kewajiban tersebut maka beliau
Saw. melakukan wudhu di luar kebiasaannya itu -yakni biasanya berwudhu untuk
setiap shalat menjadi hanya berwudhu sekali saja untuk beberapa shalat- pada
saat penaklukan kota Makkah.
Persoalan urutan
perbuatan pun seperti itu. Rasulullah Saw. senantiasa mengurutkan perbuatan
dalam setiap wudhunya hingga beliau Saw. meninggal, maka ini menunjukkan bahwa
urutan perbuatan (tartib) itu hukumnya wajib. Ketika dinyatakan ada riwayat
bahwa Rasulullah Saw. berwudhu dengan cara yang berbeda dengan urutan ini,
seperti yang disebutkan dalam hadits berikut:
1. Dari al-Miqdam bin
Ma’di Kariba, dia berkata:
“Rasulullah Saw.
disodori air wudhu, lalu beliau Saw. berwudhu. Beliau Saw. membasuh dua telapak
tangannya tiga kali, kemudian membasuh wajahnya tiga kali, kemudian membasuh
lengannya tiga kali-tiga kali, lalu beliau berkumur dan beristinsyaq (memasukkan air ke hidung lalu
mengeluarkannya kembali) sebanyak tiga kali, dan mengusap kepalanya dan dua
telinganya, bagian luar dan dalamnya, dan mencuci kedua kakinya tiga kali.”
(HR. Ahmad)
Ini hadits dhaif.
2. Dari Abdullah bin
Muhammad bin Aqil, dari Rubayyi' binti Mu’awwidz bin Afraa, dia berkata:
“Rasulullah Saw.
pernah mendatangi kami, lalu Rubayyi menceritakan kepada kami bahwa beliau Saw.
bersabda: “Tuangkanlah air wudhu untukku.” Lalu Rubayyi menceritakan wudhu
Rasulullah saw. Dia berkata: Beliau Saw. membasuh dua telapak tangannya tiga
kali, membasuh wajahnya tiga kali, berkumur, beristinsyaq
satu kali, membasuh dua tangannya tiga kali-tiga kali, mengusap kepalanya dua
kali, dimulai dari bagian akhir kepalanya, kemudian bagian depannya, dan dua
telinganya, bagian luar dan dalamnya, kemudian membasuh dua kakinya tiga
kali-tiga kali.” (HR. Abu Dawud)
Ad-Daruquthni,
at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad meriwayatkan hadits yang hampir sama.
Ini hadits dhaif.
3. Dari Utsman ra.,
dia berkata:
“Kemarilah kalian, aku
akan tunjukkan kepada kalian cara wudhu Rasulullah Saw. Kemudian dia membasuh
wajahnya dan dua tangannya sampai ke dua sikunya, hingga dia menyentuh pangkal
lengan atasnya. Kemudian dia mengusap kepalanya, lalu mengusapkan dua tangannya
pada dua telinga dan janggutnya, kemudian dia membasuh dua kakinya.” (HR.
ad-Daruquthni)
Ini hadits dhaif.
Mereka mengatakan
bahwa hadits pertama menetapkan berkumur-kumur dan beristinsyaq itu dilakukan setelah membasuh wajah dan membasuh dua
tangan. Hadits kedua menetapkan bahwa berkumur-kumur dan beristinsyaq itu dilakukan setelah membasuh
wajah. Hadits ketiga menjadikan mengusapkan kedua telapak tangan pada janggut
itu setelah mengusap kepala. Ini jelas bertentangan dengan ketentuan tartib
(urutan basuhan). Tentu saja, ketika pernyataan seperti itu dilontarkan, maka
kami bantah dengan pernyataan berikut:
Hadits yang pertama
diriwayatkan oleh Hariz dari Abdurrahman bin Maisarah al-Hadhrami. Ibnu
al-Madini mengomentari Abdurrahman ini: Dia seorang perawi yang tidak dikenal,
tidak ada yang meriwayatkan hadits darinya selain Hariz.
Karena itu hadits ini
adalah hadits dhaif yang tidak layak
digunakan sebagai hujjah, sehingga harus ditolak.
Hadits kedua
diriwayatkan oleh lima penyusun kitab hadits (Abu Dawud, ad-Daruquthni,
at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad), tetapi semua riwayat yang ditakhrij oleh kelimanya itu berporos pada
Abdullah bin Muhammad bin Aqil yang dikomentari oleh as-Syaukani: Nama perawi
tersebut diperdebatkan.
Abbas bin Yazid
berkata: “Wanita ini (Rubayyi') yang bercerita bahwa Nabi Saw. mengawali dengan
wajah sebelum berkumur-kumur dan beristinsyaq.
Sedangkan Ahlul Badar di antaranya adalah Utsman dan Ali menceritakan bahwa
Nabi Saw. mengawali dengan berkumur-kumur dan beristinsyaq
sebelum wajah, dan sahabat lainnya seperti itu. Besar kemungkinan (redaksi) ini
berasal dari Abdullah bin Muhammad bin Aqil, bukan berasal dari wanita
tersebut.”
Ibnu Hibban
berkomentar tentang Abdullah bin Muhammad bin Aqil ini: Dia seorang yang buruk
hafalan, suka menyampaikan hadits yang berbeda dengan Sunnah yang sebenarnya,
sehingga kabar (hadits) yang berasal darinya harus dijauhi.
Abu Zur’ah menyatakan:
Keberadaan namanya dalam suatu rangkaian sanad diperselisihkan.
Bukhari berkata: Dia
seorang perawi yang bersahaja dalam haditsnya.
Ibnu Khuzaimah
berkata: Haditsnya tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
Dengan demikian,
hadits Ibnu Aqil ini bisa saja dijadikan hujjah, dengan syarat tidak menyalahi
hadits yang diriwayatkan para perawi yang tsiqah.
Dan dalam hadits ini dia telah menyalahi para perawi yang tsiqah, sehingga hadits ini harus dibuang.
Mengenai hadits
ketiga, di dalam sanadnya ada Muhammad bin Ishaq, dia seorang yang dhaif jika meriwayatkan hadits secara 'an'anah (dari seseorang, dari seseorang).
Dalam hadits ini dia meriwayatkannya secara ‘an'anah,
sehingga hadits ini dipandang dhaif.
Selain itu juga
bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan Utsman sendiri yang diriwayatkan
dengan sanad yang shahih, di mana dalam
sanad yang shahih Utsman menyebutkan
bahwa ini adalah wudhu Rasulullah Saw.
Dalam hadits yang ini
juga Utsman menyebutkan bahwa ini adalah wudhu Rasulullah Saw. Ketika perawinya
satu tetapi ada perbedaan di antara dua riwayatnya, maka yang harus dijadikan
pegangan adalah riwayat yang shahih,
sedangkan riwayat yang dhaif dan
bertentangan dengan yang shahih harus
dibuang.
Tiga hadits ini ada
yang dhaif dan juga tidak shahih, semuanya bertentangan dengan
hadits-hadits shahih sehingga tidak akan
kuat melawan hadits-hadits shahih.
Saya tidak ingin
melontarkan pernyataan yang disampaikan oleh sebagian orang, bahwa perbedaan
urutan itu bisa terjadi dalam perkara wudhu yang memang disunahkan, karena
tartib (urutan basuhan) itu merupakan fardhu wudhu. Saya tidak sependapat
dengan pernyataan seperti itu, karena tartib (urutan basuhan) itu berlaku dalam
perkara fardhu dan sunah wudhu. Wudhu itu adalah ibadah. Ibadah apapun, baik
fardlu ataupun sunah, jika ingin dilakukan maka wajib dilakukan sesuai tata
caranya dengan tidak membedakan antara yang wajib dengan yang sunah.
Shalat dhuhur itu
empat rakaat, shalat istisqa itu dua
rakaat, shalat dhuhur itu fardhu, shalat istisqa itu sunah, ketika ingin
dilaksanakan maka shalat dhuhur wajib dilaksanakan empat rakaat dan shalat istisqa wajib dilaksanakan dua rakaat, dan
tentunya harus dilaksanakan dengan tata cara yang sudah ditentukan. Seperti itu
pula seluruh ibadah yang sudah ditetapkan tata caranya, harus dilaksanakan
dengan cara mematuhi tata caranya.
Di dalam wudhu
terdapat beberapa perkara yang fardhu, dan ada pula perkara yang sunah. Jika
yang sunah itu ingin dilaksanakan maka harus dilakukan sesuai tata caranya,
sehingga ketika dilakukan tidak sesuai tata caranya maka pelakunya justru akan
berdosa. Pilihannya hanya dua, melaksanakan sunah-sunah wudhu itu sebagaimana
yang disampaikan nash atau tidak melakukannya sama sekali.
Adapun dalil yang
digunakan oleh mereka yang mengatakan tartib itu tidak wajib, adalah hadits
yang diriwayatkan dari Ali ra., dia berkata:
“Aku tidak peduli
ketika melaksanakan wudhu dengan anggota wudhu manakah aku memulai.” (Riwayat
Ibnu Abi Syaibah, ad-Daruquthni dan al-Baihaqi)
“Tidak mengapa engkau
memulai dengan kedua kakimu sebelum kedua tanganmu dalam berwudhu.” (Riwayat
Ibnu Abi Syaibah, ad-Daruquthni dan al-Baihaqi)
Ini hadits dhaif.
Maka kami katakan:
pertama, sesungguhnya hadits yang pertama adalah qaul
shahabiy (perkataan sahabat), dan
perkataan sahabat itu bukan dalil.
Kedua, di dalam hadits
ini ada Abdullah bin Amr bin Hindin, yang dikomentari oleh ad-Daruquthni: dia
perawi yang dhaif.
Setelah meriwayatkan
hadits ini al-Baihaqi menyatakan: Demi Allah, aku tahu bahwa hadits ini munqathi'… Auf mengatakan bahwa dia tidak
mendengar hadits dari Ali ra.
Dengan demikian,
hadits tersebut dhaif sehingga tidak
layak digunakan sebagai dalil.
Telah diriwayatkan
dari Ali ra. bahwasanya dia berkata:
“Aku tidak peduli
andai aku memulakan yang kiri sebelum yang kanan ketika aku berwudhu.” (HR.
ad-Daruquthni dan al-Baihaqi)
Hadits ini juga dhaif walaupun maknanya bisa diterima, karena
di dalam sanadnya terdapat nama Ziyad,
pelayan Bani Makhzum, yang dikomentari oleh Yahya bin Ma’in: haditsnya tidak
dipandang.
Hadits kedua ini pun qaul shahabiy,
sebagaimana telah kami katakan bahwa perkataan sahabat itu bukan dalil, selain
memang hadits ini adalah hadits dhaif.
Ad-Daruquthni
mengomentari hadits ini: hadits ini mursal dan tidak bisa dibuktikan keshahihannya.
Al-Baihaqi menukil
pernyataan ad-Daruquthni tersebut dan menambahkan: hal ini karena Mujahid tidak
bertemu dengan Abdullah bin Mas'ud.
Dengan demikian hadits
ini dhaif, karena terkategorikan hadits munqathi' sehingga tidak layak digunakan
sebagai dalil.
Jadi, nampak jelas
bahwa tartib (urutan basuhan) dalam wudhu itu wajib hukumnya, tidak ada
perbedaan antara fardhu dan sunah wudhu, dan melakukan sesuatu yang menyalahi
urutan tersebut dipandang berdosa dan tidak boleh hukumnya.
Penting dicatat bahwa
menyalahi tartib dalam fardhu-fardhu wudhu itu berbeda dengan menyalahi tartib
dalam sunah-sunahnya dari sisi cukup terlaksana atau tidaknya wudhu tersebut.
Menyalahi tartib dalam fardhu-fardhu wudhu itu selain berdosa, juga membatalkan
wudhu, karena ini sama dengan tidak melakukan fardhu wudhu sebagaimana
mestinya, sehingga sama dengan tidak melakukan fardhu-fardhu wudhu.
Sedangkan menyalahi
tartib dalam sunah-sunah wudhu hanya berdosa saja, ini sama artinya dengan
melakukan sunah-sunah wudhu tidak sebagaimana mestinya. Karena melakukan
sunah-sunah wudhu itu bukan satu kewajiban/keharusan dan bukan termasuk bagian
dari wudhu yang mencukupi, maka menyalahi tartib dalam sunah-sunah wudhu itu
tidak mempengaruhi wudhu dari sisi cukup terlaksana atau tidaknya wudhu
tersebut.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar