Kedua: Orang Kafir Masuk Islam
Pembahasan ini
mencakup orang kafir yang baru pertama masuk Islam, dan orang yang masuk Islam
setelah murtad, baik laki-laki ataupun perempuan. Para imam berbeda pendapat
terkait mandinya orang kafir ketika masuk Islam. Mereka terbagi menjadi tiga
pendapat besar:
1. Abu Hanifah dan
as-Syafi’i dalam satu riwayat darinya berpendapat: orang kafir yang masuk Islam
secara umum disunahkan untuk mandi. Dalam satu riwayat dari Abu Hanifah
dikatakan mandi itu wajib bagi orang kafir yang sudah junub saja, tetapi belum
mandi junub saat dia masih kafir, sehingga ketika dia sudah mandi junub (saat
masih kafir) maka tidak wajib mandi (saat masuk Islam).
2. As-Syafi’i dalam
riwayat keduanya berpedapat bahwa orang kafir itu wajib mandi ketika dia junub,
baik dia sudah atau belum mandi sebelumnya.
3. Sedangkan Ahmad,
Malik, Abu Tsur dan as-Syaukani berpendapat orang kafir itu mutlak harus mandi,
baik yang sudah junub ataupun belum junub, sudah mandi dari junubnya ataupun
belum mandi.
Dengan mencermati tiga
pendapat ini, kita akan melihat bahwa tema pembicaraan berkisar pada persoalan
janabah orang kafir.
Pendapat yang pertama
telah menggeneralisir hukum sunah mandi bagi orang kafir. Ketika mandi itu
sendiri merupakan hukum syara dan
pembebanan hukum (taklif), dan ketika anak kecil itu tidak terkategorikan orang
yang mukallaf, maka kita berketetapan bahwa anjuran mandi itu digeneralisir
hanya untuk orang kafir yang baligh, tidak ragu lagi orang kafir yang baligh
itu telah junub, sehingga pendapat yang pertama telah menggeneralisir orang
kafir yang junub. Di dalam riwayat Abu Hanifah dari pendapat yang pertama,
jelas nampak bahwa pembahasan mandi difokuskan pada masalah janabah (junub).
Pendapat kedua juga
jelas, tema pembahasannya adalah janabah orang kafir.
Sedangkan pendapat
ketiga difokuskan pada apakah dia sudah junub ataukah belum. Ketika positif
alias sudah junub, maka jelas pendapat ketiga ini semisal dengan pendapat
kedua, dan ketika negatif alias belum junub, maka pendapat ketiga ini
mengeluarkan fokus pembahasan dari persoalan junub walaupun tetap berkaitan
dengannya.
Penelitian ini
menghantarkan kita pada kesimpulan bahwa mandi di sini adalah mandi junub yang
harus dilakukan orang kafir ketika masuk Islam, seandainya tidak junub maka
tidak perlu mandi. Pembahasan ini sudah semestinya dibatasi hanya pada orang
kafir yang baligh saja, tidak mencakup anak-anak orang kafir, karena
sebagaimana telah kami singgung sebelumnya bahwa mandi itu adalah taklif, dan
orang kafir yang masih anak-anak itu tidak terkena taklif (ghair mukallaf).
Semua nash yang ada
dalam persoalan ini harus diarahkan pada orang yang sudah baligh saja, tidak
ada satu nash pun yang memerintahkan orang kafir yang masih anak-anak untuk
mandi ketika mereka hendak masuk Islam.
Dengan menerima
pendapat ini kita katakan, bahwa penganut pendapat ketiga keliru ketika mereka
menyatakan, “atau yang belum junub” karena maksud ucapan seperti ini adalah
anak kecil, padahal sudah menjadi prinsip agar tidak memasukkan anak kecil
dalam pembahasan ini. Ketika mereka menetapkan mandi itu wajib, maka tidak
dibenarkan mewajibkan sebuah taklif pada anak kecil (yang belum baligh).
Disebut keliru karena
ada kategori negatif (belum junub) yang kami tunjukkan di atas.
Ketika kita
mengeluarkan kategori negatif (ketidakjunuban) dari pembahasan ini, maka yang
tersisa hanyalah pernyataan bahwa ketiga pendapat ini berporos pada janabah
orang kafir. Ini yang pertama.
Yang kedua, riwayat
dari Abu Hanifah dalam pendapat yang pertama juga mengandung kekeliruan yang
nyata. Dikatakan keliru karena menganggap mandinya orang kafir itu sebagai
mandi yang syar'i, padahal menjadi satu ma'lumat yang tidak boleh hilang dari
benak seorang faqih, bahwa mandi itu adalah ibadah, dan ibadah itu tidak sah
bila dilakukan orang kafir.
Pada prinsipnya, mandi
orang kafir itu tidak dipandang sebagai mandi yang syar'i, terlebih lagi mandi
itu memerlukan niat, di mana orang kafir hanya melakukan mandi dalam rangka
menjaga kebersihan saja, bukan dalam rangka ibadah yang harus disertai dengan
niat. Sekalipun ada orang yang mengatakan bahwa orang kafir ahli kitab itu
mandi dengan niat dan mereka mandi dalam rangka ibadah (ta'abudi), maka kita
katakan bahwa Islam tidak menganggap ibadah yang mereka lakukan sebagai ibadah
yang syar’i.
Adalah benar bahwa
Islam mengakui penganut agama lain dengan segala hak mereka untuk beribadah.
Tetapi pengakuan ini hanya mengandung pengertian bahwa Islam mengizinkan mereka
untuk beribadah, dan tidak menghalangi mereka dari beribadah.
Pengakuan ini tidak
berarti Islam menganggap ibadah yang mereka lakukan itu sebagai sesuatu yang
sah menurut syara, yang bisa
menghasilkan dampak seperti ibadah kita yang kita lakukan.
Seharusnya Abu Hanifah
dan mereka yang sependapat dengan beliau tidak menetapkan adanya natijah
(akibat) apapun di atas ibadah yang batil. Ketika mandinya orang kafir itu
tidak bernilai apapun, maka kita menganggap mandi dan tidak mandinya mereka itu
sama saja, tanpa perbedaan sama sekali.
Dengan menerima
pendapat seperti ini kita bisa mengatakan bahwa yang tersisa dari riwayat Abu
Hanifah adalah konsep yang mewajibkan mandi bagi orang yang sudah junub, dan
pendapat ini mencakup pendapat ketiga.
Di hadapan kita saat
ini tinggallah dua pendapat saja yang mesti diketahui dan didiskusikan:
pendapat pertama menyatakan seorang kafir ketika masuk Islam itu disunahkan
mandi, sedangkan pendapat kedua menyatakan seorang kafir ketika masuk Islam
diwajibkan untuk mandi.
Agar kita bisa
mengetahui pendapat mana yang shahih di
antara keduanya itu, maka kita harus menelaah nash-nash yang berkaitan dengan
persoalan ini. Nash-nash tersebut adalah:
1. Dari Abu Hurairah ra.:
“Bahwasanya Tsumamah
bin Utsal atau Utsalah masuk IsIam, lalu Rasulullah Saw. bersabda: “Bawalah
orang ini menuju kebun bani fulan, lalu perintahkanlah dia untuk mandi.” (HR.
Ahmad, Abdurrazaq, al-Baihaqi, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)
2. Dari Khalifah bin Hushain bin Qais bin
Ashim, dari ayahnya:
“Bahwasanya kakeknya
masuk Islam pada masa Nabi Saw., lalu beliau Saw. memerintahkannya untuk mandi
dengan air dan daun bidara.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, at-Tirmidzi, dan
Ibnu Hibban)
3. Dalam Sirah Ibnu Hisyam yang diriwayatkan
Muhammad bin Ishaq disebutkan kisah masuk Islamnya Usaid bin Hudhair. Usaid
bertanya: Apa yang kalian lakukan ketika hendak masuk ke dalam agama ini?
Mushab bin Umair dan As'ad bin Zurarah berkata: Engkau harus mandi, bersuci,
membersihkan bajumu, kemudian bersaksilah terhadap kebenaran ini dengan
sebenarnya, kemudian engkau shalat.
Kita cukup menggunakan
tiga nash ini saja, seraya membuang dua hadits yang diriwayatkan at-Thabrani
tentang masuk Islamnya Watsilah dan Qatadah ar-Rahawi, satu hadits yang
diriwayatkan al-Hakim tentang masuk Islamnya Aqil bin Abi Thalib, karena tiga
hadits ini memiliki sanad yang dhaif
sebagaimana disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar, sehingga ketiganya tidak
layak digunakan sebagai hujjah.
Dalam hadits yang
pertama terdapat perintah untuk mandi dari Rasulullah Saw. kepada orang yang
masuk Islam, yakni Tsumamah.
Ketika kita merujuk
bagian awal hadits yang terdapat dalam kitab as-Shahihain (Shahih
Bukhari dan Muslim-pen.) kita akan
melihat bahwa Tsumamah ini sebelumnya sudah pergi dan sudah mandi, kemudian dia
kembali lalu masuk Islam di hadapan Rasulullah Saw. Ini mengandung arti bahwa
Tsumamah sudah mandi sebelum mengucapkan dua kalimat syahadat. Dilalah hadits yang terdapat dalam kitab as-Shahihain
ini tidak berbeda dengan dilalah yang
ada dalam nash yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abdurrazaq, al-Baihaqi, Ibnu
Hibban dan Ibnu Khuzaimah, karena tidak mungkin Tsumamah itu mandi tanpa
perintah dari Rasulullah Saw. atau tanpa perintah dari sahabat beliau Saw. dan
persetujuan beliau Saw., sehingga mandi yang dilakukannya didahului oleh
perintah syar’i. Inilah yang bisa disimpulkan dari riwayat Ahmad dan selainnya.
Dalam hadits kedua
terdapat perintah untuk mandi dari Rasulullah Saw. kepada orang yang masuk
Islam, yakni Qais bin Ashim. Saya tidak sependapat dengan orang yang menyatakan
bahwa perintah itu mengandung pengertian wajib kecuali jika ada qarinah yang merubahnya menjadi sunah atau
mubah, karena jika sependapat seperti itu tentunya persoalan ini sudah selesai,
dan nampak jelas bahwa mandi tersebut wajib hukumnya. Saya sependapat dengan
orang yang mengatakan bahwa perintah itu mengandung pengertian tuntutan yang
mutlak, dan qarinahlah yang merubahnya
menjadi wajib, sunah atau mubah.
Berdasarkan hal itu
maka saya katakan: di dalam dua hadits ini terdapat perintah, dan di dalam
perintah itu mengandung pengertian tuntutan, karena itu harus dicari qarinah yang akan menetapkan hukum yang
dihasilkan.
Ternyata qarinah yang menetapkan perintah yang ada
dalam dua hadits tersebut mengandung pengertian wajib adalah terdapat dalam
hadits Sirah Ibnu Hisyam. Hadits ini walaupun mauquf
sampai pada dua sahabat, tetapi berhukum marfu’,
karena tidak mungkin dua orang sahabat melontarkan pernyataan seperti itu
berdasarkan ijtihad dan bersumber dari pemikiran mereka sendiri. Hadits ini
menyebutkan:
“Engkau harus mandi,
bersuci, membersihkan dua bajumu, kemudian bersaksilah terhadap kebenaran ini
dengan sebenarnya, kemudian engkau shalat.”
Dari hadits ini kita
bisa mengambil beberapa pelajaran:
1. Pendapat ini sebagai bantahan pada mereka
yang menggugurkan kewajiban mandi junub dari orang kafir ketika dia masuk
Islam, di mana mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan Ahmad dari jalur
Amr bin al-Ash bahwasanya Rasulullah Saw. berkata padanya:
“Sesungguhnya Islam
menghapus dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya.”
Karena hadits Amr ini
bersifat umum, sedang dua hadits yang kami pegang bersifat khusus. Tentunya
sudah diketahui bahwa kita harus memprioritaskan dan mengamalkan yang khusus
ketimbang yang umum.
2. Hadits ini menjadi dalil bahwa mandi
tersebut adalah mandi dari janabah, karena hadits tersebut memerintahkan
beberapa amalan (aktivitas) sebelum shalat dilakukan. Hadits tersebut
memerintahkan mandi, bersuci, mencuci baju dan mengucap syahadat, harus dilakukan
sebelum shalat, sehingga hadits ini menunjukkan orang kafir tidak boleh shalat
kecuali setelah mandi, bersuci, mencuci baju dan masuk Islam.
Ketika perintah mandi
dihubungkan dengan perintah shalat, maka ini menunjukkan bahwa mandi tersebut
adalah mandi janabah, atau bila dihubungkan dengan kaum wanita itu sama dengan
mandi dari haid.
Ketika kita mengetahui
bahwa mandi junub dan mandi haid itu menjadi syarat sahnya shalat maka kita
akan memahami bahwa mandi tersebut hukumnya wajib.
3. Tuntutan kepada orang kafir ketika masuk
Islam untuk mencuci bajunya menunjukkan bahwa orang kafir tersebut dituntut
untuk melaksanakan aktivitas bersuci secara lengkap sempurna sebelum
melaksanakan shalat. Bersuci yang lengkap sempurna itu adalah mandi janabah,
membersihkan baju dan badan dari najis, sedangkan berwudhu tentunya sudah
termasuk ke dalam mandi, sebab kalau tidak termasuk ke dalamnya niscaya
disebutkan hadits tersebut.
Ini mengandung arti
bahwa orang kafir diwajibkan untuk melakukan berbagai prasyarat shalat sebelum
melaksanakannya. Perintah pada orang kafir untuk mencuci bajunya menjadi
argumentasi kuat untuk membantah mereka yang mengatakan bahwa orang kafir tidak
diwajibkan melakukan apapun ketika keIslamannya. Mereka berargumentasi dengan
hadits:
“Sesungguhnya Islam
menghapus dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya.”
Sebab jika hadits ini
diamalkan atau digunakan dalam persoalan ini, niscaya orang kafir tersebut
tidak akan diperintahkan untuk mandi, bersuci dan mencuci bajunya. Padahal
kepada Rasulullah Saw. sendiri ketika turun risalah dan perintah berdakwah,
beliau Saw. diperintahkan Allah Swt.:
“Dan pakaianmu
bersihkanlah.” (TQS. al-Muddatsir [74]: 4)
Berdasarkan tiga poin
alasan ini kami katakan: sesungguhnya mandi tersebut adalah mandi junub, dan
mandi tersebut tidak gugur dari orang kafir ketika dia masuk Islam. Ketika
mandi tersebut adalah mandi junub, maka perintah yang terdapat di dalam dua
hadits Rasulullah Saw. di atas harus dipahami sebagai sebuah kewajiban. Jika
demikian halnya maka nampak jelas alasan dan kesimpulan yang benar dalam
persoalan ini.
Adapun pernyataan
mereka yang mensunahkan mandi: “Sesungguhnya dari sekian banyak orang kafir
yang masuk Islam tidak diriwayatkan bahwa mereka telah mandi, lalu mereka
diperintahkan kembali untuk mandi. Dan hal ini menjadi dalil bahwa mandi
tersebut (mandi saat masuk Islam) itu tidak wajib, hukumnya hanya sunah saja,”
padahal jelas di dalam hadits-hadits tersebut mengandung pengertian wajib.
Dengan demikian, jelas dan tidak diragukan lagi bahwa mandi yang dilakukan
orang kafir ketika masuk Islam itu adalah wajib hukumnya.
Tinggallah kini satu
poin lagi, yakni pernyataan dari sebagian mereka bahwa mencukur rambut bagi
orang kafir ketika masuk Islam itu disunahkan. Mereka berargumentasi dengan
hadits Utsaim bin Kulaib, dari ayahnya, dari kakeknya:
“Bahwasanya dia datang
menemui Nabi Saw., lalu dia berkata: Aku hendak masuk Islam. Maka Nabi Saw.
berkata kepadanya: “Buanglah rambut kekufuran darimu.” Dia berkata: Lalu aku
bercukur. Dia berkata: Kemudian ada orang lain yang memberitahuku bahwasanya Nabi
Saw. berkata pada yang lain: “Buanglah rambut kekufuran darimu dan
berkhitanlah.” (HR. Abu Dawud, at-Thabrani dan Ahmad)
Maka kami katakan:
hadits ini adalah hadits dhaif, karena
di dalamnya terdapat seorang perawi yang tidak diketahui identitasnya (majhul). Ibnu Juraij telah menyamarkan orang
yang menyampaikan hadits ini kepadanya dari Utsaim, dan tidak ada satu hadits
pun dari jalur yang shahih yang bisa
dijadikan hujjah bahwa orang kafir itu
harus mencukur rambutnya ketika masuk Islam.
Bacaan: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar