SIAPA YANG BERHAK MENGELUARKAN HUKUM ATAS PERBUATAN
DAN BENDA?
SIAPAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN AL-HAKIM?
Maksud dari dikeluarkannya suatu hukum adalah
menentukan sikap manusia atas suatu perbuatan. Apakah dia akan mengerjakannya
atau akan meninggalkannya, atau memilih (salah satu) di antara keduanya. Begitu
pula atas suatu benda, apakah akan mengambilnya atau meninggalkannya, atau akan
memilih (salah satu) di antara keduanya.
Semuanya tergantung pada pandangan manusia terhadap
sesuatu; apakah perkara tersebut baik atau buruk; atau tidak baik dan juga
tidak buruk.
Berdasarkan hal ini maka obyek pengeluaran
suatu hukum atas perbuatan atau benda adalah menetapkan hasan (baik) dan qabih (buruk)nya suatu
perbuatan atau benda. Penetapan tersebut bisa ditinjau
dari tiga aspek, yaitu:
- Dari aspek fakta.
- Dari aspek kesesuaian atau tidaknya dengan tabi’at manusia.
- Dari aspek pahala dan siksa, atau dari aspek pujian dan celaan.
Untuk aspek pertama dan kedua, maka penetapan dan
pengeluaran suatu hukum diserahkan kepada manusia itu sendiri, yakni kepada
akalnya. Contohnya, akal manusia menetapkan bahwa ilmu itu baik, dan bodoh itu
buruk; karena berdasarkan kenyataan ilmu dan bodoh itu memperlihatkan adanya
kesempurnaan atau kekurangan. Akal juga mampu menetapkan bahwa menyelamatkan
orang yang tenggelam itu baik, dan membiarkannya celaka adalah buruk; karena
tabiat manusia cenderung untuk menyelamatkan orang yang akan binasa.
Sedangkan aspek ketiga, yakni aspek pahala dan siksa,
maka penetapannya hanya bisa dilakukan oleh Allah Swt, yakni Syâri’. Seperti,
iman itu baik dan kufur itu buruk, ta’at itu baik dan maksiat itu buruk.
Terhadap perkara-perkara ini akal tidak mampu mengeluarkan hukum. Karena akal
didefinisikan sebagai pemindahan (pencerapan) atas fakta yang telah diindera ke
dalam otak dibarengi dengan adanya informasi sebelumnya yang akan menafsirkan
fakta tersebut, kemudian mengkaitkan antara fakta dengan informasi. Berdasarkan
definisi di atas maka akal tidak akan mampu mengeluarkan hukum atas sesuatu
yang tidak bisa diindera, seperti petunjuk (huda),
kesesatan (dhalal), halal, haram, ta’at,
maksiat, dan sejenisnya. Menentukan apakah suatu perbuatan itu diridhai Allah
sehingga akan diberikan pahala, atau dibenci Allah sehingga akan dikenakan
siksa, adalah di luar kemampuan akal, kecuali jika telah ada berita (informasi)
dari Allah.
Itulah dalil aqli
tentang penetapan hasan dan qabih. Sedangkan dilihat dari aspek dalil
syar’i, maka syara telah menjadikan penetapan hasan
dan qabih terbatas pada perintah
syara semata, yaitu perintah Allah dan Rasul-Nya. Hal ini bisa dijelaskan
dengan mengambil nash-nash dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
Allah Swt berfirman:
Maka demi Tuhanmu,
mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim
dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan
dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya. (TQS. an-Nisa [4]: 65)
Katakanlah: ‘Jika
kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu’. (TQS. Ali Imran
[3]: 31)
Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya). (TQS. an-Nisa [4]: 59)
Dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri diantara mereka tentulah orang-orang
yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka
(Rasul dan ulil amri). (TQS. an-Nisa [4]:
83)
Maka hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau
ditimpa azab yang pedih. (TQS. an-Nuur
[24]: 63)
Rasulullah Saw. bersabda:
Barangsiapa yang membuat
sesuatu (perkara) baru dalam urusan kami ini, yang tidak berasal darinya, maka
hal itu tertolak. (Shahih Bukhari-Kitab as-Shulhu-no: 2499; Shahih
Muslim-Kitab al-Aqdliyah-no: 3242, 3243; Sunan Abu Daud-Kitab as-Sunnah-no:
3990; Sunan Ibnu Majah-Muqaddimah-no: 14; Musnad Ahmad-sisa bagian
Musnadal-Anshar-no: 23975, 24298, 24840, 24955, 25124.)
Tidak beriman salah
seorang di antara kalian sehingga aku lebih dicintai daripada keluarganya,
hartanya dan seluruh manusia (Sunan an-Nasa’i-Iman dan Syariat-no: 4928, para
perawinya tsiqah; AbuDaud-Muqaddimah-66; Ibnu Majah-Muqaddimah-66;
ad-Darami-ar-Riqaaq-2624; Ahmad: 12349, 13402; Bukhari dan Muslim menggunakan
lafadz:
--arab--
Bukhari-al-Iman-14; Muslim-al-Iman-62, 63.)
Dari penuturan di atas jelas bahwa yang memiliki
wewenang untuk mengeluarkan hukum atas perbuatan dan benda adalah syara, bukan
akal. Hal itu dilihat dari aspek pahala dan siksa atas suatu perbuatan. Dalam
perkara ini tidak dikecualikan dua aspek yang telah dijelaskan sebelumnya,
karena akal mampu menetapkan baik dan buruknya suatu perbuatan atau benda
dilihat berdasarkan faktanya dan dari aspek kesesuaian atau tidaknya dengan
tabi’at manusia. Sedangkan dari aspek pahala dan siksa, akal tidak akan mampu mengeluarkan
hukum karena hal ini termasuk ke dalam aspek ketiga sebagaimana yang telah
dijelaskan. Anda mampu menetapkan berdasarkan akal bahwa ilmu itu baik, akan
tetapi menetapkan bahwa ilmu itu berpahala atau membawa implikasi pada siksaan
tidak mampu ditentukan oleh akal. Yang mampu menentukannya adalah syara. Anda
dengan akal mampu menetapkan bahwa menolong orang tenggelam itu adalah
(perbuatan) baik, akan tetapi menetapkan bahwa menolong orang yang tenggelam
itu akan mendapatkan pahala, tidak bisa ditentukan oleh akal, tetapi ditentukan
oleh syara. Ini telah dijelaskan dalam pembahasan aspek yang ketiga. Dengan
demikian, yang mempunyai wewenang mengeluarkan hukum atas perbuatan atau benda
adalah syara semata, bukan akal.
dari Tasir al-Wushul-ila al-Ushul, Syaikh 'Atho' bin Khalil Abu ar-Rasythah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar