Pengertian Darurat Menurut Bahasa Dan Istilah
MENUJU ISLAM KAAFFAH: MASIHKAH
BERALASAN DENGAN DARURAT?
Kewajiban utama seorang muslim adalah menjalankan perintah Allah secara
menyeluruh. Al-Quran telah menyatakan hal ini dengan sangat jelas.
“Wahai
orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh.
Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan
itu musuh yang nyata bagi kamu.” [Al-Baqarah:208]
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menyatakan:
“Allah swt telah memerintahkan hamba-hambaNya yang mukmin dan
mempercayai RasulNya agar mengadopsi sistem keyakinan Islam (‘aqidah)
dan syari’at Islam, mengerjakan seluruh perintahNya dan meninggalkan
seluruh laranganNya selagi mereka mampu.” [Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu
Katsir I/247]
Imam al-Nasafiy menyatakan bahwa, ayat ini merupakan perintah untuk senantiasa berserah diri dan taat kepada Allah swt atau Islam. Kata “kaaffah” adalah haal dari dhamir “udkhulu” , dan bermakna “jamii’an” (menyeluruh)[Imam al-Nasafiy, Madaarik al-Tanzil wa Haqaaiq al-Ta’wiil, I/112]
Imam Qurthubiy menjelaskan bahwa, lafadz “kaaffah” merupakan “haal” dari dhamiir “mu’miniin’. Makna “kaaffah” adalah “jamii’an” [Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy, III/18]
Diriwayatkan
dari Ikrimah bahwa, ayat ini diturunkan pada kasus Tsa’labah, ‘Abdullah
bin Salam, dan beberapa orang Yahudi. Mereka mengajukan permintaan
kepada Rasulullah saw agar diberi ijin merayakan hari Sabtu sebagai hari
raya mereka. Selanjutnya, permintaan ini dijawab oleh ayat tersebut di
atas.
Imam Thabariy menyatakan
: “Ayat di atas merupakan perintah kepada orang-orang beriman untuk
menolak selain hukum Islam; perintah untuk menjalankan syari’at Islam
secara menyeluruh; dan larangan mengingkari satupun hukum yang merupakan
bagian dari hukum Islam.” [Imam Thabariy, Tafsir Thabariy, II/337]
Ayat
di atas merupakan penjelasan yang sangat gamblang, bahwa kaum mukmin
diperintahkan untuk menjalankan perintah Allah secara menyeluruh.
Anehnya
ada sebagian kaum muslim enggan atau bahkan bersikap apriori terhadap
“Islam kaaffah”. Tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa,
memberlakukan Islam secara kaaffah merupakan sebuah kemustahilan dan
utopia belaka.
Sebagian
lagi beralasan bahwa, mereka tidak memiliki kemampuan untuk menjalankan
syari’ah Islam secara kaaffah. Akibatnya, mereka tetap saja bergelimang
dengan aktivitas-aktivitas haram dengan dalih tidak mampu dan darurat.
Lalu,
bagaimana kita menyikapi persepsi-persepsi semacam ini? Lalu, batasan
apa saja yang menjadikan seorang muslim diperbolehkan untuk melakukan
“tindak menyimpang dari hukum Islam”. Apa ukuran mampu dan tidak mampu
itu? Apa ukuran darurat dan tidak darurat itu?
Apa Darurat Itu?
Secara literal/bahasa beberapa ‘ulama mendefinisikan dharurat (darurat) sebagai berikut; Al-Jurjani menyatakan:
“Darurat itu berasal dari kata al-dharar yang bermakna sesuatu yang
turun tanpa ada yang bisa menahannya.” [Al-Jurjani, al-Ta’riifaat, hal.120]
Imam Ibnu Mandzur berkata: “Makna dari idhthiraar ialah, membutuhkan sesuatu”. [Ibnu Mandzur, Lisaan al-‘Arab].
Al-Laits menyatakan : idhthaara bermakna, bahwa seseorang itu benar-benar membutuhkan sesuatu.”
Dalam kamus Muhith disebutkan bahwa, makna dari idhthiraar adalah al-ihtiyaaj ila al-syaai (membutuhkan sesuatu).
Secara syar’iy yang disebut dengan darurat adalah sebagai berikut:
Al-Hamawiy dalam catatan pinggir atas Kitab Al-Asybah wa al-Nadzaair, mendefinisikan darurat:
”Sebuah
keadaan di mana seseorang berada dalam suatu batas apabila ia tidak
melanggar sesuatu yang diharamkan maka ia bisa mengalami kematian atau
nyaris mati.”
Sebagian ulama madzhab Maliki menyatakan:
“Darurat
adalah mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau
sekedar sangkaan kuat.” [Syarah Kabiir Ma’a Hasyiyaat al-Dasuqiy, jilid
II/85]
Menurut ‘ulama madzhab Hanafi,
makna dharurat yang berkaitan dengan rasa lapar, ialah seandainya
seseorang tidak mau mengkonsumsi barang yang diharamkan dikhawatirkan ia
bisa mati atau setidaknya ada anggota tubuhnya yang akan menjadi cacat.
Seorang yang dipaksa akan dibunuh atau dipotong salah satu anggota
tubuhnya, apabila tidak mau memakan atau meminum sesuatu yang
diharamkan, itu berarti ia sedang dalam keadaan dharurat. …Tetapi, kalau
ancamannya tidak terlalu berat, seperti hanya dipenjara setahun atau
dihukum dengan diikat, namun tetap diberi makan dan minum, itu berarti
ia masih punya pilihan. Dengan kata lain ia tidak sedang dalam keadaan
dharurat. [Dr. ‘Abdullah Ibn Mohammad Ibn Ahmad al-Thariqiy, al-Idlthiraar Ila al-Ath’imah wa al-Adwiyah al-Muharramaat. Lihat pula Kasyful Asraar, jilid IV, hal.1517]
Dalam kitab Ahkaam al-Quran, Abu Bakar al-Jash-shash disebutkan, bahwa
makna dharurat adalah rasa takut seseorang kepada bahaya yang dapat
melenyapkan nyawa, atau bisa mencelakai salah satu anggota tubuhnya,
karena ia tidak mau makan atau meminum sesuatu yang diharamkan. [Abu Bakar al-Jash-shash, Ahkaam al-Quran jilid I, hal.159]
Walhasil, selama kita masih memiliki pilihan dan tidak berada dalam
kondisi darurat sebagaimana definisi di atas, maka kita diharamkan sama
sekali untuk melanggar aturan Allah swt, meninggalkan kewajiban maupun
mengerjakan tindak yang diharamkan Allah swt.
Memahami Istitha’ah (Kemampuan)
Benar, Al-Quran telah mengkaitkan antara kewajiban untuk menjalankan hukum Islam dengan kemampuan (istitha’ah).
“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dan dengarlah serta taatlah…” [al-Thaghabun:16]
Ayat ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa, kewajiban untuk
menjalankan perintah Allah akan gugur jika kita tidak memiliki
kemampuan. Sebab, Allah swt mengkaitkan kewajiban untuk mengerjakan
perintahNya dengan kemampuan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw
bersabda, ‘
“Jika
aku memerintahkan kepada kalian suatu perkara, maka kerjakanlah apa
yang kalian mampu.” [lihat catatan pinggir dalam, Al-Hafidz Suyuthiy,
al-Asybah wa al-Nadzaair]
Atas dasar itu, apa yang kita tidak mampu mengerjakannya maka kita tidak diwajibkan untuk memikulnya.
Ibadah
haji adalah wajib. Namun, bagi mereka yang tidak mampu secara finansial
maupun fisik, diberi keringanan untuk tidak melaksanakan ibadah
tersebut. Begitu pula zakat dan puasa. Zakat hanya diwajibkan bagi orang
yang memiliki kemampuan secara finansial dan telah terpenuhi
syarat-syaratnya. Puasa diwajibkan bagi mereka yang mampu
melaksanakannya. Orang sakit, maupun orang yang sudah tua renta diberi
keringanan untuk tidak mengerjakan ibadah tersebut.
Ulama fiqh membagi istitha’ah (kemampuan) menjadi tiga.
- Kemampuan secara materi (istitha’ah maaliyah)
- Kemampuan secara fisik (istitha’ah jasadiyah)
- Kemampuan secara pemikiran (istitha’ah fikriyah)
Kemampuan materi adalah kemampuan material yang memungkinkan seseorang mengerjakan perintah Allah swt.
Apabila
perintah disertai dengan syarat istitha’ah maaliyyah, maka siapa saja
yang tidak memiliki kemampuan maaliyah, maka ia diberi keringanan untuk
tidak melaksanakan kewajiban tersebut. Contohnya, ibadah haji, zakat,
dan lain-lain. Orang yang tidak memiliki kemampuan keuangan, maka
dirinya diberi keringanan untuk tidak melaksanakan ibadah tersebut.
Kemampuan
fisik, adalah kemampuan dari sisi fisik yang memungkinkan seseorang
mengerjakan perintah Allah swt. Contohnya ibadah haji, jihad, dan lain
sebagainya. Ibadah haji tidak dibebankan bagi orang yang tidak memiliki
kemampuan fisik yang prima. Demikian juga jihad. Jihad tidak dibebankan
kepada orang yang sakit, anak kecil maupun tua renta.
Kemampuan
fikriyah, adalah kemampuan dari sisi pemikiran yang memungkinkan
seseorang mengerjakan perintah Allah swt. Contohnya, ijtihad. Ijtihad
adalah suatu aktivitas menggali hukum yang memerlukan kemampuan secara
pemikiran. Orang bodoh yang tidak memahami Islam dengan benar tidak
dibebani untuk melakukan ijtihad. Ijtihad hanya diwajibkan bagi
orang-orang yang memiliki kemampuan pemikiran.
Akan
tetapi, jika kita mencermati nash-nash syari’at, kita akan mendapatkan
bahwa, kemampuan (istitha’ah) selalu dikaitkan dengan perintah untuk
menjalankan hukum Allah.
Berbeda
dengan konteks meninggalkan larangan Allah. Setiap orang pasti mampu
meninggalkan perbuatan yang diharamkan oleh Allah. Oleh karena itu,
dalam konteks meninggalkan larangan Allah, al-Quran tidak mengkaitkannya
dengan istitha’ah (kemampuan). Sebab, setiap orang pasti mampu
meninggalkan larangan Allah. Atas dasar itu, tidak ada alasan bagi
seseorang untuk tidak meninggalkan zina, riba, maupun perbuatan yang
dilarang oleh Allah.
Meskipun
demikian, seluruh penjelasan di atas tidak boleh dipersepsi bahwa ada
ajaran Islam yang tidak bisa dipikul oleh umat manusia. Sebab, taklif
(ajaran Islam) yang dibebankan kepada kita merupakan taklif yang seluruh
manusia bisa memikulnya. Allah swt berfirman, artinya:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” [Al-Baqarah:286].
Ayat
ini merupakan bukti nyata bahwa, Islam merupakan ajaran yang mudah, dan
seluruh manusia pasti bisa memikulnya. Kita sama sekali tidak boleh
mempersepsi ada sebagian ajaran Islam yang manusia tidak sanggup untuk
memikulnya, meskipun dalam pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan
istitha’ah. Menuju Islam kaaffah merupakan kewajiban setiap muslim.
Menuju Islam kaaffah adalah perkara yang mudah dan pasti bisa diwujudkan
dalam kenyataan hidup kita, selama kita memahami thariqah (jalan) untuk
menuju ke sana. Bagi orang yang memahami bagaimana cara menuju Islam
kaaffah, maka perjuangan untuk merealisasikannya bukanlah sesuatu yang
susah dan mustahil. Hanya orang yang tidak tahu jalan menuju ke sana
saja yang akan menyatakan susah dan utopis. Atas dasar itu, kewajiban
yang tahu adalah memberi tahu yang tidak tahu.
Pengertian Darurat Menurut Bahasa Dan Istilah - Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar