Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 03 Februari 2013

Pengertian Darurat Menurut Bahasa Dan Istilah

Pengertian Darurat Menurut Bahasa Dan Istilah



MENUJU ISLAM KAAFFAH: MASIHKAH
BERALASAN DENGAN DARURAT?

Kewajiban utama seorang muslim adalah menjalankan perintah Allah secara menyeluruh. Al-Quran telah menyatakan hal ini dengan sangat jelas.

“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh.  Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kamu.” [Al-Baqarah:208]

Dalam  menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menyatakan: “Allah swt telah memerintahkan hamba-hambaNya yang mukmin dan mempercayai RasulNya agar mengadopsi sistem keyakinan Islam (‘aqidah) dan syari’at Islam, mengerjakan seluruh perintahNya dan meninggalkan seluruh laranganNya selagi mereka mampu.” [Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir I/247]

Imam al-Nasafiy menyatakan bahwa, ayat ini merupakan perintah untuk senantiasa berserah diri dan taat kepada Allah swt atau Islam. Kata “kaaffah” adalah haal dari dhamir “udkhulu” , dan bermakna “jamii’an” (menyeluruh)[Imam al-Nasafiy, Madaarik al-Tanzil wa Haqaaiq al-Ta’wiil, I/112]

Imam Qurthubiy menjelaskan bahwa, lafadz “kaaffah” merupakan “haal” dari dhamiir “mu’miniin’. Makna “kaaffah” adalah “jamii’an” [Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy, III/18]

Diriwayatkan dari Ikrimah bahwa, ayat ini diturunkan pada kasus Tsa’labah, ‘Abdullah bin Salam, dan beberapa orang Yahudi. Mereka mengajukan permintaan kepada Rasulullah saw agar diberi ijin merayakan hari Sabtu sebagai hari raya mereka. Selanjutnya, permintaan ini dijawab oleh ayat tersebut di atas.

Imam Thabariy menyatakan : “Ayat di atas merupakan  perintah kepada orang-orang beriman untuk menolak selain hukum Islam; perintah untuk menjalankan syari’at Islam secara menyeluruh; dan larangan mengingkari satupun hukum yang merupakan bagian dari hukum Islam.” [Imam Thabariy, Tafsir Thabariy, II/337]

Ayat di atas merupakan penjelasan yang sangat gamblang, bahwa kaum mukmin diperintahkan untuk menjalankan perintah Allah secara menyeluruh.

Anehnya ada sebagian kaum muslim enggan atau bahkan bersikap apriori terhadap “Islam kaaffah”. Tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa, memberlakukan Islam secara kaaffah merupakan sebuah kemustahilan dan utopia belaka.
Sebagian lagi beralasan bahwa, mereka tidak memiliki kemampuan untuk menjalankan syari’ah Islam secara kaaffah. Akibatnya, mereka tetap saja bergelimang dengan aktivitas-aktivitas haram dengan dalih tidak mampu dan darurat.
Lalu, bagaimana kita menyikapi persepsi-persepsi semacam ini? Lalu, batasan apa saja yang menjadikan seorang muslim diperbolehkan untuk melakukan “tindak menyimpang dari hukum Islam”. Apa ukuran mampu dan tidak mampu itu? Apa ukuran darurat dan tidak darurat itu?

Apa Darurat Itu?

Secara literal/bahasa beberapa ‘ulama mendefinisikan dharurat (darurat) sebagai berikut; Al-Jurjani menyatakan: “Darurat itu berasal dari kata al-dharar yang bermakna sesuatu yang turun tanpa ada yang bisa menahannya.” [Al-Jurjani, al-Ta’riifaat, hal.120]

Imam Ibnu Mandzur berkata: “Makna dari idhthiraar ialah, membutuhkan sesuatu”. [Ibnu Mandzur, Lisaan al-‘Arab].

Al-Laits menyatakan : idhthaara bermakna, bahwa seseorang itu benar-benar membutuhkan sesuatu.”

Dalam kamus Muhith disebutkan bahwa, makna dari idhthiraar adalah al-ihtiyaaj ila al-syaai (membutuhkan sesuatu).

Secara syar’iy yang disebut dengan darurat adalah sebagai berikut:

Al-Hamawiy dalam catatan pinggir atas Kitab Al-Asybah wa al-Nadzaair, mendefinisikan darurat:

”Sebuah keadaan di mana seseorang berada dalam suatu batas apabila ia tidak melanggar sesuatu yang diharamkan maka ia bisa mengalami kematian atau nyaris mati.”

Sebagian ulama madzhab Maliki menyatakan:

“Darurat adalah mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau sekedar sangkaan kuat.” [Syarah Kabiir Ma’a Hasyiyaat al-Dasuqiy, jilid II/85]

Menurut ‘ulama madzhab Hanafi, makna dharurat yang berkaitan dengan rasa lapar, ialah seandainya seseorang tidak mau mengkonsumsi barang yang diharamkan dikhawatirkan ia bisa mati atau setidaknya ada anggota tubuhnya yang akan menjadi cacat. Seorang yang dipaksa akan dibunuh atau dipotong salah satu anggota tubuhnya, apabila tidak mau memakan atau meminum sesuatu yang diharamkan, itu berarti ia sedang dalam keadaan dharurat. …Tetapi, kalau ancamannya tidak terlalu berat, seperti hanya dipenjara setahun atau dihukum dengan diikat, namun tetap diberi makan dan minum, itu berarti ia masih punya pilihan. Dengan kata lain ia tidak sedang dalam keadaan dharurat. [Dr. ‘Abdullah Ibn Mohammad Ibn Ahmad al-Thariqiy, al-Idlthiraar Ila al-Ath’imah wa al-Adwiyah al-Muharramaat. Lihat pula Kasyful Asraar, jilid IV, hal.1517]

    Dalam kitab Ahkaam al-Quran, Abu Bakar al-Jash-shash disebutkan, bahwa makna dharurat adalah rasa takut seseorang kepada bahaya yang dapat melenyapkan nyawa, atau bisa mencelakai salah satu anggota tubuhnya, karena ia tidak mau makan atau meminum sesuatu yang diharamkan. [Abu Bakar al-Jash-shash, Ahkaam al-Quran  jilid I, hal.159]

    Walhasil, selama kita masih memiliki pilihan dan tidak berada dalam kondisi darurat sebagaimana definisi di atas, maka kita diharamkan sama sekali untuk melanggar aturan Allah swt, meninggalkan kewajiban maupun mengerjakan tindak yang diharamkan Allah swt.

Memahami Istitha’ah (Kemampuan)

    Benar,  Al-Quran telah mengkaitkan antara kewajiban untuk menjalankan hukum Islam dengan kemampuan (istitha’ah).

    “Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dan dengarlah serta taatlah…” [al-Thaghabun:16]

    Ayat ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa, kewajiban untuk menjalankan perintah Allah akan gugur jika kita tidak memiliki kemampuan. Sebab, Allah swt mengkaitkan kewajiban untuk mengerjakan perintahNya dengan kemampuan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda, ‘

    “Jika aku memerintahkan kepada kalian suatu perkara, maka  kerjakanlah apa yang kalian mampu.” [lihat catatan pinggir dalam, Al-Hafidz Suyuthiy, al-Asybah wa al-Nadzaair]

Atas dasar itu, apa yang kita tidak mampu mengerjakannya maka kita tidak diwajibkan untuk memikulnya.

Ibadah haji adalah wajib. Namun, bagi mereka yang tidak mampu secara finansial maupun fisik, diberi keringanan untuk tidak melaksanakan ibadah tersebut. Begitu pula zakat dan puasa. Zakat hanya diwajibkan bagi orang yang memiliki kemampuan secara finansial dan telah terpenuhi syarat-syaratnya. Puasa diwajibkan bagi mereka yang mampu melaksanakannya. Orang sakit, maupun orang yang sudah tua renta diberi keringanan untuk tidak mengerjakan ibadah tersebut.

    Ulama fiqh membagi istitha’ah (kemampuan) menjadi tiga.

  1. Kemampuan secara materi (istitha’ah maaliyah)
  2. Kemampuan secara fisik (istitha’ah jasadiyah)
  3. Kemampuan secara pemikiran (istitha’ah fikriyah)

Kemampuan materi adalah kemampuan material yang memungkinkan seseorang mengerjakan perintah Allah swt.
Apabila perintah disertai dengan syarat istitha’ah maaliyyah, maka siapa saja yang tidak memiliki kemampuan maaliyah, maka ia diberi keringanan untuk tidak melaksanakan kewajiban tersebut. Contohnya, ibadah haji, zakat, dan lain-lain. Orang yang tidak memiliki kemampuan keuangan, maka dirinya diberi keringanan untuk tidak melaksanakan ibadah tersebut.

Kemampuan fisik, adalah kemampuan dari sisi fisik yang memungkinkan seseorang mengerjakan perintah Allah swt. Contohnya ibadah haji, jihad, dan lain sebagainya. Ibadah haji tidak dibebankan bagi orang yang tidak memiliki kemampuan fisik yang prima. Demikian juga jihad. Jihad tidak dibebankan kepada orang yang sakit, anak kecil maupun tua renta.

Kemampuan fikriyah, adalah kemampuan dari sisi pemikiran yang memungkinkan seseorang mengerjakan perintah Allah swt. Contohnya, ijtihad. Ijtihad adalah suatu aktivitas menggali hukum yang memerlukan kemampuan secara pemikiran. Orang bodoh yang tidak memahami Islam dengan benar tidak dibebani untuk melakukan ijtihad. Ijtihad hanya diwajibkan bagi orang-orang yang memiliki kemampuan pemikiran.

Akan tetapi, jika kita mencermati nash-nash syari’at, kita akan mendapatkan bahwa, kemampuan (istitha’ah) selalu dikaitkan dengan perintah untuk menjalankan hukum Allah.

Berbeda dengan konteks meninggalkan larangan Allah. Setiap orang pasti mampu meninggalkan perbuatan yang diharamkan oleh Allah. Oleh karena itu, dalam konteks meninggalkan larangan Allah, al-Quran tidak mengkaitkannya dengan istitha’ah (kemampuan). Sebab, setiap orang pasti mampu meninggalkan larangan Allah. Atas dasar itu, tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak meninggalkan zina, riba, maupun perbuatan yang dilarang oleh Allah.

Meskipun demikian, seluruh penjelasan di atas tidak boleh dipersepsi bahwa ada ajaran Islam yang tidak bisa dipikul oleh umat manusia. Sebab, taklif (ajaran Islam) yang dibebankan kepada kita merupakan taklif yang seluruh manusia bisa memikulnya. Allah swt berfirman, artinya:

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” [Al-Baqarah:286].

Ayat ini merupakan bukti nyata bahwa, Islam merupakan ajaran yang mudah, dan seluruh manusia pasti bisa memikulnya. Kita sama sekali tidak boleh mempersepsi ada sebagian ajaran Islam yang manusia tidak sanggup untuk memikulnya, meskipun dalam pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan istitha’ah. Menuju Islam kaaffah merupakan kewajiban setiap muslim. Menuju Islam kaaffah adalah perkara yang mudah dan pasti bisa diwujudkan dalam kenyataan hidup kita, selama kita memahami thariqah (jalan) untuk menuju ke sana. Bagi orang yang memahami bagaimana cara menuju Islam kaaffah, maka perjuangan untuk merealisasikannya bukanlah sesuatu yang susah dan mustahil. Hanya orang yang tidak tahu jalan menuju ke sana saja yang akan menyatakan susah dan utopis. Atas dasar itu, kewajiban yang tahu adalah memberi tahu yang tidak tahu.

Pengertian Darurat Menurut Bahasa Dan Istilah - Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam