Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 02 November 2017

Puasa Sunnah Sehari Setelah Tidak Puasa Sehari



Puasa Sehari, Setelah Berbuka Sehari

Sesungguhnya puasa sunat yang paling utama adalah puasa sehari dan berbuka sehari, dan inilah yang dilakukan oleh Nabi Dawud ‘alaihis salam. Tidak ada puasa yang lebih utama darinya selain puasa fardhu. Seorang Muslim tidak boleh melakukan lebih dari puasa tersebut, dengan alasan dan kondisi apapun juga. Banyak nash yang menyebutkan dan menjelaskan keutamaan puasa tersebut, dan melarang puasa yang melebihinya. Saya sebutkan sejumlah nash, sebagai berikut:

1. Dari Abdullah bin Amr ra., ia berkata: Rasulullah Saw. berkata kepadaku:

“Rasulullah Saw. berkata kepadaku: Puasa yang paling disukai Allah Swt. adalah puasa Dawud. Dia biasa berpuasa sehari dan berbuka sehari. Dan shalat yang paling disukai Allah Swt. adalah shalat Dawud, dia biasa tidur setengah malam, kemudian shalat malam sepertiganya, lalu tidur seperenamnya.” (HR. Bukhari [3420], Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ahmad, ad-Darimi dan Ibnu Majah)

2. Dari Abdullah bin Amr ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. diberitahu bahwa aku berucap: Demi Allah, aku akan terus berpuasa setiap hari, dan akan terus bangun untuk shalat pada setiap malam selama aku hidup. Maka aku berkata kepadanya: Sungguh aku telah mengucapkan sumpah itu. Beliau Saw. berkata: “Sesungguhnya engkau tidak akan mampu melakukan hal itu, berpuasalah lalu berbukalah, bangun malamlah lalu tidurlah, dan berpuasalah tiga hari dari satu bulan, karena sesungguhnya kebaikan itu dilipatgandakan sepuluh kali, dan itu (jika dilakukan) akan menyamai puasa sepanjang tahun.” Aku berkata: Sesungguhnya aku mampu (melakukan) lebih dari itu. Beliau Saw. berkata: “Berpuasalah sehari dan berbukalah dua hari.” Aku berkata: Sesungguhnya aku mampu (melakukan) lebih dari itu. Beliau Saw. berkata: “Berpuasalah sehari dan berbukalah sehari, dan itulah puasa Dawud ‘alaihis salam dan menjadi puasa paling utama.” Aku berkata: Sesungguhnya aku mampu (melakukan) lebih dari itu. Maka Nabi Saw. bersabda: “Tidak ada puasa yang lebih utama dari itu.” (HR. Bukhari [1976], Muslim, Abu Dawud, an-Nasai dan Ahmad)

Dalam riwayat kedua Bukhari [1980], Muslim dan an-Nasai dari jalur yang sama, disebutkan dengan redaksi:

“Tidak ada puasa di atas puasa Dawud ‘alaihis salam selama setengah tahun, puasalah sehari dan berbukalah sehari.”

Dalam riwayat Ahmad [6867] dari jalur yang sama disebutkan dengan redaksi:

“Beliau Saw. berkata: “Lakukanlah puasa Dawud alaihis salam, dan janganlah menambahinya.” Aku berkata: Wahai Rasulullah, bagaimanakah puasa Dawud itu? Beliau Saw. berkata: “Dia biasa berpuasa sehari dan berbuka sehari.”

3. Dari Abdullah bin Amr ra., ia berkata:

“Ayahku menikahkanku dengan seorang perempuan yang memiliki kedudukan tinggi, dan dia membuat perjanjian dengan menantu perempuannya itu. Lalu dia bertanya tentang suaminya, maka sang mantu berkata: Lelaki yang paling baik adalah lelaki yang belum pernah menginjak alas tidur milik kami, dan tidak pernah memeriksa tirai milik kami sejak kami mendatanginya. Setelah peristiwa itu lewat dalam waktu lama, dia menceritakannya kepada Nabi Saw. Maka Nabi Saw. berkata: “Pertemukanlah aku dengannya.” Kemudian aku menemui beliau Saw. Beliau Saw. bertanya: “Bagaimana engkau berpuasa?” Dia berkata: Setiap hari. Beliau Saw. bertanya: “Bagaimana engkau mengkhatamkan (bacaan al-Qur'an)?” Dia berkata: Setiap malam. Beliau Saw. berkata: “Berpuasalah tiga hari dalam setiap bulan, dan tamatkanlah al-Qur’an dalam setiap bulan.” Dia berkata: aku berkata: Aku mampu melakukan lebih dari itu. Nabi Saw. berkata: “Berpuasalah tiga hari dalam satu jumat (setiap minggu, pen.).” Dia berkata: Aku mampu melakukan lebih dari itu. Beliau Saw. berkata: “Berbukalah dua hari dan berpuasalah sehari.” Dia berkata: aku berkata: Aku mampu melakukan lebih dari itu. Beliau Saw. berkata: “Lakukanlah puasa yang paling utama, puasa Dawud alaihis salam, yakni puasa satu hari dan berbuka satu hari, dan tamatkanlah bacaan al-Qur'an pada setiap 7 malam sebanyak 1 kali.” Seandainya dahulu aku menerima rukhshah Rasulullah Saw. itu, (sementara) sekarang aku telah tua dan telah lemah...” (HR. Bukhari [5052], an-Nasai, at-Thahawi, dan Ibnu Hiban)

Dalam riwayat Ahmad [6477] disebutkan dengan lafadz:

“Ketika wanita itu masuk menemuiku, aku sudah tidak berhajat kepadanya, karena kekuatanku tercurah untuk ibadah puasa dan shalat.”

Kalimat:

“Dan tidak pernah memeriksa tirai milik kami.”

Al-Kanfu artinya: tirai. Ucapan ini dilontarkan sebagai kiasan bahwa sang suami tidak pernah menjima’ isterinya, sebagaimana ditafsirkan oleh riwayat Ahmad selanjutnya:

“Aku sudah tidak berhajat kepadanya.”

Adapun ucapan:

“Seandainya aku menerima rukhshah Rasulullah Saw. itu.”

Ini berarti bahwa Abdullah ketika telah tua dan lemah, menemui kesulitan dan kepayahan yang amat sangat dalam berpuasa satu hari dan berbuka satu hari, sehingga dia berkhayal seandainya dulu dia menerima tawaran Rasulullah Saw. yang lebih ringan daripada yang dijalaninya sekarang. Hal itu ditafsirkan oleh sebuah riwayat Muslim [2729] dari jalur yang sama, dengan redaksi:

“Berpuasalah sehari dan berbukalah sehari, dan itulah puasa Dawud alaihis salam, dan inilah puasa yang paling setimbang. Dia berkata: aku berkata: Sesungguhnya aku mampu berpuasa lebih dari itu. Rasulullah Saw. berkata: “Tidak ada puasa yang lebih utama dari itu.” Abdullah bin Amr berkata: Sungguh aku menerima tawaran tiga hari yang dulu pernah disodorkan oleh Rasulullah Saw. itu lebih aku sukai melebihi kecintaanku pada keluargaku dan hartaku.”

Walaupun nash-nash di atas jelas menyebutkan puasa Dawud sebagai puasa yang paling utama, sebagai puasa yang paling dicintai Allah Swt., di mana tidak ada puasa yang lebih utama darinya, dan tidak ada sesuatu yang melebihinya, disertai dengan perintah Nabi Saw. untuk tidak menambahnya, tetapi Abu Hamid al-Ghazali dan selainnya berpendapat bahwa puasa ad-dahru (yakni puasa setiap hari sepanjang tahun), itu lebih utama daripada puasa Dawud.
Menurutnya, semakin banyak amalnya maka semakin banyak pula pahalanya. Pendapat seperti ini jelas gugur. Kalau seperti itu kaidahnya, niscaya kita akan mengatakan bahwa berthawaf di sekitar Ka’bah pada saat haji sebanyak sepuluh kali atau dua puluh kali, itu lebih utama daripada thawaf tujuh kali. Dan akan kita katakan pula bahwa mabit di Mina lebih dari tiga hari itu lebih utama, sa’i (berlari kecil) antara Shafa dan Marwah sebanyak dua puluh kali itu lebih utama. Begitu seterusnya, sampai kita membuka pintu-pintu setan mencelakakan diri kita dengan kaidah yang salah seperti itu, yang akhirnya menenggelamkan diri kita ke dalam sikap berlebihan, dan menjauhkan kita dari petunjuk Nabi Saw. Bahkan menjauhkan kita sama sekali dari syariat yang ditetapkan Allah Swt.
Di sisi lain, Ibnu Hazm berkata: jika Rasulullah Saw. mengabarkan bahwa tidak ada sesuatu yang lebih utama dari itu, maka benarlah bahwa orang yang berpuasa lebih dari itu akan kehilangan keutamaannya, dan jika telah hilang keutamaannya maka tanpa ragu lagi batallah tambahan itu, sehingga menjadi amal perbuatan yang sia-sia, tak berpahala, bahkan akan mengurangi pahala, sehingga benarlah bahwa hal itu tidak dibolehkan sama sekali.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam