Tindakan/Perbuatan
Kecil Dalam Shalat
Sesungguhnya syariat
yang mulia, walaupun telah mewajibkan khusyu, tetapi syariat itu bersifat luas
dengan memberi izin si mushalli
melakukan sejumlah tindakan/perbuatan dalam shalat, dengan syarat perbuatan
tersebut bersifat ringan atau kecil, tanpa memandangnya sebagai sesuatu yang
merusak kehusyuan atau menafikannya. Kami akan menyebutkan sejumlah perbuatan
tersebut, di antaranya:
1) Berjalan untuk satu keperluan
menghadang (oleh) si mushalli
Seseorang yang shalat
(al-mushalli) jika ada satu halangan
yang menghadangnya sehingga dia perlu untuk maju sedikit ke depan, atau mundur
sedikit ke belakang, atau bergeser sedikit ke kanan dan ke kiri di mana hal itu
mesti dilakukannya dengan tenang dan penuh ketundukan, dan dia tetap berada
dalam shalatnya, sementara itu, seluruh anggota tubuhnya tetap menghadap
kiblat. Dari Abu Hazim ia berkata:
“Mereka bertanya
kepada Sahal bin Saad: ”Dari apakah mimbar itu dibuat?” Ia berkata: “Tidak ada
lagi yang lebih mengetahui hal itu daripada aku. Mimbar itu dibuat dari kayu
murni dari hutan, dikerjakan oleh si fulan pelayan Rasulullah Saw., dan beliau
Saw. berdiri di atasnya ketika dikerjakan dan diletakkan, lalu beliau Saw.
menghadap kiblat, bertakbir dan berdirilah orang-orang di belakangnya. Kemudian
beliau Saw. membaca, dan ruku', maka orang-orang yang ada di belakangnya ikut
ruku'. Setelah itu beliau Saw. mengangkat kepalanya, kemudian mundur ke
belakang lalu bersujud di atas tanah. Beliau Saw. kembali ke mimbar, kemudian
ruku', lalu beliau Saw. mengangkat kepalanya, dan kembali mundur ke belakang
hingga sujud di atas tanah. Begitulah keadaannya.” (HR. Bukhari)
Rasulullah Saw. telah
menaiki mimbar dan shalat di atasnya, tetapi ketika beliau Saw. ingin bersujud
beliau mundur ke belakang, lalu turun ke tanah dan bersujud di atas tanah.
Setelah itu beliau maju dan kembali naik ke atas mimbar. Hal itu dilakukannya dalam
setiap rakaat. Beliau Saw. melakukan hal itu untuk mengajarkan shalat pada
orang-orang. Ini ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim
dari jalur Sahl bin Saad al-Anshari ra., di dalamnya disebutkan:
“...Lalu beliau Saw.
bersujud di bagian bawah mimbar, kemudian beliau Saw. kembali. Ketika selesai,
beliau Saw. menghadap pada orang-orang seraya berkata: “Wahai manusia,
sesungguhnya aku melakukan hal ini agar kalian mengikuti dan mempelajari
shalatku.”
Dari Aisyah ra., ia
berkata:
“Adalah Nabi Saw.
sedang shalat di rumah, dan pintu terkunci. Lalu aku datang, maka beliau
berjalan hingga membukakan (pintu) untukku, setelah itu beliau Saw. kembali ke
tempatnya. Dan Aisyah menyebutkan bahwa pintu itu ada di kiblat.” (HR. Ahmad,
Abu Dawud dan al-Baihaiqi)
An-Nasai meriwayatkan
hadits ini, di dalamnya disebutkan bahwa beliau Saw. sedang shalat tathawwu'. Dari Aisyah ra. ia berkata:
“Aku meminta pintu
dibukakan, dan Rasulullah Saw. dalam keadaan berdiri melaksanakan shalat. Lalu
beliau berjalan ke kiblat, bisa dari sebelah kanannya dan bisa juga dari
sebelah kirinya, hingga beliau membukakan pintu untukku. Setelah itu beliau
Saw. kembali ke tempat shalatnya.” (HR. Ahmad)
Tirmidzi, at-Thayalisi
dan al-Baihaqi meriwayatkan hadits ini dengan redaksi kalimat yang sedikit
berbeda, dan an-Nasai meriwayatkan dengan lafadz:
“Aku meminta dibukakan
pintu, dan Rasulullah Saw. sedang shalat tathawwu'.
Pintu itu ada di arah kiblat, maka beliau Saw. berjalan dari sebelah kanannya
atau sebelah kirinya, dan beliau membukakan pintu. Kemudian beliau Saw. kembali
ke tempat shalatnya.”
Ad-Daruquthni
meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:
“Adalah Rasulullah
Saw. sedang shalat, kemudian seseorang meminta pintu dibukakan. Maka beliau
Saw. membukakan untuknya pintu yang berada di kiblatnya, dari sebelah kanannya
atau dari sebelah kirinya. Dan beliau Saw. tidak membelakangi kiblat.”
2) Isyarat dua tangan dan
menggerakkannya
Seorang mushalli boleh untuk membalas salam
penghormatan dengan isyarat tangannya atau jarinya, atau bisa juga dengan
isyarat kepalanya, dan mengambil dengan tangannya sesuatu yang perlu
diambilnya, atau menggerakkan kedua tangannya untuk sesuatu yang perlu
disingkirkan. Dari Abdullah bin Umar ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
keluar menuju Quba dan shalat di sana. Dia (perawi) berkata: Lalu datanglah
orang-orang Anshar menemuinya dan mereka mengucap salam padanya, padahal ketika
itu beliau Saw. sedang shalat. Dia (perawi) berkata: aku bertanya pada Bilal:
“Bagaimana engkau melihat Raslullah Saw. membalasnya ketika mereka mengucap
salam padanya, padahal beliau Saw. sedang shalat?” Dia berkata: “dia (Bilal)
berkata: Beliau mengatakan begini, dan dia membentangkan telapak tangannya.”
Dan Ja’far bin Aun membentangkan telapak tangannya, di mana perut telapak
tangan tersebut berada di bawah dan punggung telapak tangan tersebut menghadap
ke atas.” (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi)
Dari Ibnu Umar ra. ia
berkata:
“Nabi Saw. memasuki
masjid Bani Amr bin Auf -yakni masjid Quba- lalu masuklah orang-orang dari
kalangan Anshar memberi salam kepadanya, Ibnu Umar berkata: Lalu aku bertanya
pada Shuhaib yang berada bersama beliau Saw.: Apa yang Rasulullah Saw. lakukan
jika beliau diberi salam, padahal beliau Saw. sedang shalat?” Maka dia berkata:
“Beliau memberi isyarat dengan tangannya.” (HR. Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah,
Ibnu Majah, ad-Darimi dan an-Nasai)
Dari Nafi,
“Bahwa Ibnu Umar
melewati seseorang, dan orang itu sedang shalat. Ibnu Umar mengucapkan salam
kepadanya, lalu orang itu membalasnya dengan omongan. Maka Ibnu Umar kembali
kepadanya dan berkata kepadanya: “Jika salah seorang dari kalian diberi salam
padahal dia sedang shalat, maka janganlah dia berbicara, hendaklah dia memberi
isyarat dengan tangannya.” (Riwayat Malik)
Dari Abu Hurairah dari
Abdullah bin Mas’ud ra., ia berkata:
“Ketika aku datang
dari Habsyah aku menemui Nabi Saw., dan beliau Saw. sedang shalat. Maka aku
mengucap salam kepadanya dan beliau memberi isyarat dengan kepalanya.” (HR.
al-Baihaqi)
Dari Shuhaib ra., ia
berkata:
“Aku melewati
Rasulullah Saw. dan beliau Saw. sedang shalat. Aku mengucap salam kepadanya,
dan beliau membalasnya dengan isyarat.”
Dia (perawi) berkata:
aku tidak mengetahuinya kecuali dia berkata: “isyarat dengan jarinya.” (HR. Abu
Dawud, Ahmad dan Ibnu Hibban)
Dari Abdullah bin
Abbas ra., ia berkata:
“Terjadi peristiwa
gerhana matahari di masa Rasulullah Saw., maka Rasulullah Saw. shalat. Beliau
berdiri lama ... kemudian beliau Saw. selesai (dari shalatnya), sedangkan
matahari telah tampak terang kembali. Rasulullah Saw. berkata: “Sesungguhnya
matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, di mana
keduanya tidak mengalami gerhana karena mati atau hidupnya seseorang. Oleh
karena itu, jika kalian melihat gerhana maka berdzikirlah kepada Allah.” Mereka
berkata: “Wahai Rasulullah, kami melihat engkau mengambil sesuatu di tempatku,
kemudian kami melihat engkau kembali ke belakang.” Nabi Saw. berkata:
“Sesungguhnya aku melihat Surga, lalu aku mengambil darinya setandan, dan
seandainya aku mendapatkannya niscaya kalian memakannya yang disisakan dunia.”
(HR. Bukhari)
Dari Jabir bin
Samurah:
“Rasulullah Saw.
shalat fajar mengimami kami, kemudian beliau Saw. mengulurkan tangannya. Maka
orang-orang bertanya kepadanya ketika beliau selesai dari shalatnya. Beliau
Saw. berkata: “Sesungguhnya setan melemparkan kepadaku percikan Neraka untuk
memalingkanku dari shalatku, maka aku pun memungutnya. Seandainya aku (mau)
menangkapnya, niscaya tidak akan lepas dariku hingga (bisa) diikat pada salah
satu tiang masjid untuk dilihat oleh anak-anak dari penduduk Madinah.” (HR.
Ahmad)
Dari Ibnu Abbas ra.,
ia berkata:
“Aku tidur di rumah
Maimunah, dan Nabi Saw. berada di sampingnya pada malam itu. Lalu beliau Saw.
berwudhu dan berdiri shalat. Aku berdiri di sebelah kirinya, kemudian beliau
Saw. memegangku dan menempatkanku berdiri di sebelah kanannya. Beliau Saw. shalat
tiga belas rakaat, kemudian tidur hingga nyenyak. Beliau Saw. jika tidur
(mulutnya berbunyi). Kemudian datanglah muadzin menemuinya, dan beliau Saw.
keluar, lalu shalat. Dan beliau Saw. tidak berwudhu.” (HR. Bukhari)
Maimunah adalah istri
Rasulullah Saw. sekaligus bibi Ibnu Abbas. Tentang hal itu ada penjelasan yang
disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas ra., ia
berkata:
“Aku tidur di rumah
bibiku, Maimunah. Lalu Nabi Saw. berdiri dan shalat pada sebagian malam. Aku
berdiri di sebelah kirinya, maka beliau Saw. memegang tanganku dan
menempatkanku berdiri di sebelah kanannya.”
Dari Aisyah Ummul
Mukminin ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
shalat di rumahnya dan beliau Saw. dalam keadaan sakit. Orang-orang shalat di
belakangnya dalam keadaan berdiri. Beliau Saw. memberi isyarat kepada mereka
agar mereka duduk. Ketika selesai, beliau Saw. berkata: “Sesungguhnya imam itu
dijadikan untuk diikuti, maka jika dia ruku' maka ruku’lah kalian, dan jika dia
bangkit maka bangkitlah kalian, dan jika dia shalat dengan duduk maka shalatlah
kalian dengan duduk.” (HR. Bukhari)
Al-Baihaqi
meriwayatkan hadits yang mirip dengan itu. Dari Asma bin Abu Bakar ra., ia
berkata:
“Aku mengunjungi
Aisyah istri Nabi Saw. ketika matahari mengalami gerhana, dan ternyata
orang-orang sedang berdiri melaksanakan shalat. Aisyah juga sedang berdiri
shalat, maka aku bertanya: “Ada apa dengan orang-orang itu?” Aisyah memberi
isyarat dengan tangannya ke langit, dan dia berkata: “Subhanallah” (Maha Suci Allah), maka aku bertanya: “Apakah ini
tanda?” Maka Aisyah memberi isyarat mengiyakan...” (HR. Bukhari)
Perbuatan shahabiyah
seperti Aisyah ra. ini yang telah diakui pemahaman agamanya, tentu telah
diketahui oleh beliau Saw.
3) Membunuh ular dan
kalajengking
Apabila seseorang
sedang shalat, lalu di hadapannya ada seekor ular, kalajengking, atau binatang
liar yang buas dan menyakitkan, maka dia boleh membunuhnya dan tetap berada
dalam shalatnya. Dari Aisyah ra. istri Nabi Saw., ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. shalat di rumah, lalu datang Ali bin Abi Thalib semoga Allah memuliakan
wajahnya, kemudian dia masuk. Ketika dia melihat Rasulullah Saw. sedang shalat,
dia berdiri di sampingnya dan ikut shalat. Dia (perawi) berkata: Lalu datanglah
kalajengking hingga berhenti di dekat Rasulullah Saw., kemudian kalajengking
itu meninggalkan beliau Saw. dan mengarah pada Ali. Tatkala Ali melihat hal itu
maka ia memukulnya dengan sandalnya, dan Rasulullah Saw. tidak memandang
perbuatannya (membunuh kalajengking itu) sebagai satu masalah.” (HR. al-Baihaqi
dan at-Thabrani)
Abu Hurairah ra.
meriwayatkan:
“Bahwa Nabi Saw.
memerintahkan untuk membunuh dua binatang hitam dalam shalat: kalajengking dan
ular.”
Ahmad, Tirmidzi, Ibnu
Khuzaimah dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits ini juga. Abu Dawud dan al-Baihaqi
meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:
“Bunuhlah oleh kalian
dua binatang hitam…”
4) Menggendong anak kecil
Orang yang shalat (al-mushalli) boleh untuk menggendong anak
kecil, laki-laki atau perempuan, pada punggungnya atau pada dua lengannya, atau
membawanya di depannya dan dia sedang melaksanakan shalat. Abu Qatadah
meriwayatkan:
“Bahwa Rasulullah Saw.
pernah shalat sambil menggendong Umamah, puteri dari Zainab binti Rasulullah
Saw. dan Abul Ash bin Rabi’ah. Jika beliau Saw. berdiri, beliau menggendongnya,
dan jika sujud, beliau meletakkannya. Dan jika berdiri, beliau Saw. kembali
menggendongnya.” (HR. Bukhari)
Dari Syaddad al-Laitsi
ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
keluar menemui kami dalam salah satu shalat sore hari, dhuhur atau ashar,
padahal beliau Saw. sedang menggendong Hasan atau Husain. Kemudian Nabi Saw.
maju ke depan dan meletakkannya. Lalu beliau bertakbir dan melaksanakan shalat.
Beliau Saw. melakukan salah satu sujud di dalam shalatnya dan beliau
memanjangkannya. Dia (perawi) berkata: Sesungguhnya aku mengangkat kepalaku,
ternyata anak kecil itu ada di atas punggung Rasulullah Saw. dan beliau dalam
keadaan bersujud, lalu aku kembali bersujud. Tatkala Rasulullah Saw. selesai
dari shalatnya, orang-orang bertanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya tadi
engkau bersujud dalam shalat dan memanjangkannya hingga kami menyangka telah
terjadi sesuatu, atau bahwasanya telah turun wahyu kepadamu.” Beliau berkata:
“Semua itu tidak terjadi, hanya saja anakku ini telah menunggangi punggungku
dan aku tidak ingin bersegera menghentikannya hingga dia merasa puas.” (HR.
Ahmad)
An-Nasai dan al-Hakim
meriwayatkan hadits ini juga.
5) Menoleh
Bagi mushalli boleh untuk melakukan perbuatan kecil
dan ringan yang tidak mempengaruhi dan mengganggu kekhusyu’an, di antaranya
adalah menoleh dalam shalat ke kiri atau ke kanan, asalkan tidak sampai pada
batasan melihat ke belakang. Sebelumnya, dalam bab “sifat shalat” pembahasan “pandangan
dalam shalat,” kami telah menyebutkan hadits al-Hakim dan Ibnu Khuzaimah yang
berbunyi:
“Adalah Rasulullah
Saw. melirik ke kanan dan ke kiri dalam shalatnya, dan beliau tidak memutar
lehernya ke belakang.”
Hadits ini
diriwayatkan juga oleh Ahmad dan Ibnu Hibban.
6) Menahan sesuatu yang lewat di
depan orang shalat
Di antara perbuatan
yang dibolehkan adalah menahan sesuatu yang lewat di depan orang shalat, baik
manusia atau binatang, di mana sebelumnya dalam bab “qiblat
dan sutrah”
telah kami sebutkan satu hadits Muslim yang berbunyi:
“Bahwa Rasulullah Saw.
berkata: “Jika salah seorang dari kalian shalat maka janganlah dia membiarkan
seorangpun lewat di depannya, dan hendaknya dia menahannya sebisa mungkin. Jika
enggan, maka hendaklah dia melawannya karena dia (yang lewat) itu adalah setan.”
Hadits Bukhari yang
berbunyi:
“Jika salah seorang
dari kalian shalat menghadap ke suatu yang (berguna) untuk menghalanginya dari
orang, sehingga jika ada seseorang yang lewat di depannya maka hendaklah dia
menahannya. Jika dia (yang lewat) itu enggan, maka hendaklah dia melawannya karena
sesungguhnya dia (yang lewat) itu adalah setan.”
Ini berkaitan dengan
manusia, dan dalam pembahasan “sutrah bagi imam” pasal “qiblat dan sutrah”
telah disebutkan hadits Abu Dawud yang berbunyi:
“Kami singgah bersama
Rasulullah Saw. di jalan sebuah gunung di daerah Adzakhir (suatu tempat di
antara dua tanah suci), kemudian tiba waktu shalat -dan beliau Saw. shalat
menghadap dinding-, lalu beliau Saw. menjadikannya sebagai kiblat dan kami
berada di belakangnya. Tiba-tiba datang seekor binatang ternak dan lewat di
depan beliau saw. Beliau Saw. terus-menerus menahannya hingga perutnya menempel
di dinding, dan hewan itu kemudian lewat di belakangnya, atau sebagaimana yang
dikatakan Musaddad.”
7) Meratakan tempat sujud
Di antara perbuatan
yang ringan dan dibolehkan adalah meratakan tempat sujud dan menyiapkannya
untuk bersujud. Muaiqib ra. telah meriwayatkan:
“Bahwa Nabi Saw.
bersabda: “Janganlah engkau mengusap tanah ketika engkau sedang shalat, tapi
kalau terpaksa maka hendaklah engkau melakukannya satu kali saja, untuk
meratakan kerikil.” (HR. Abu Dawud)
Ahmad, Tirmidzi, Ibnu
Khuzaimah dan Ibnu Majah serta Muslim meriwayatkan hadits ini dengan kalimat:
“Sesungguhnya
Rasulullah Saw. berkata kepada seseorang yang meratakan tanah ketika dia
bersujud dengan sabdanya: “Jika engkau memang terpaksa melakukannya, maka
lakukanlah satu kali saja.”
Dalam riwayat Muslim
yang lain disebutkan:
“Nabi Saw. menjelaskan
tentang menyapu di tempat sujud, yakni untuk meratakan kerikil. Beliau Saw.
bersabda: “Jika engkau terpaksa melakukannya, hendaklah engkau melakukannya
satu kali saja.”
Menyapu atau meratakan
kerikil satu kali saja dalam shalat, itu diperbolehkan dan tidak menjadi
masalah.
8) Tersenyum
Di antara perbuatan
yang diperbolehkan adalah tersenyum, tetapi tidak sampai pada batasan tertawa
tergelak dan terbahak-bahak. Dari Jabir ra. dari Nabi Saw. bersabda:
“Tersenyum itu tidak
memutuskan shalat, tetapi tertawa terbahak-bahaklah (yang memutuskan shalat).”
(HR. al-Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah)
Thabrani meriwayatkan
hadits ini dengan lafadz:
“Seringai itu tidak
memutuskan shalat, tetapi diputuskan oleh tertawa yang terbahak-bahak.”
9) Meludah dan membuang dahak
Dibolehkan juga
membuang ludah dan membuang dahak, asalkan dilakukan ke arah kiri atau ke bawah
kaki kiri saja. Abu Said al-Khudri ra. telah meriwayatkan:
“Bahwa beliau Saw.
melihat dahak di kiblat masjid, lalu beliau Saw. menggosoknya dengan kerikil.
Kemudian beliau Saw. melarang orang membuang dahak ke sebelah kanan atau ke
arah depan, hendaknya dia membuang dahaknya ke arah kiri atau ke bawah kakinya
yang sebelah kiri.” (HR. Muslim, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah dan Bukhari)
(secara umum adalah
diharamkan membuang dahak di lantai masjid maupun dindingnya. Dari Anas bin
Malik ra., ia berkata: Nabi Saw. bersabda:
“Orang yang membuang
dahak di dalam masjid itu sungguh telah melakukan kesalahan, dan kaffarahnya adalah ia harus mengubur
dahaknya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ahmad dan Abu Dawud)
Maka kafarahnya adalah membersihkan bekas dahaknya
di masjid)
10) Membetulkan pakaian
Membetulkan baju
dengan gerakan yang sedikit merupakan salah satu perbuatan yang dibolehkan.
Dari Wail bin Hujr ra. ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. jika memasuki (memulai) shalat, beliau Saw. mengangkat kedua tangannya,
kemudian bertakbir dan berselimut. Dan memasukkan kedua tangannya ke dalam
bajunya. Lalu beliau mengambil bagian bajunya yang sebelah kanan dengan tangan
kanannya. Dia (perawi) menyebutkan lanjutan hadits ini.” (HR. Ibnu Khuzaimah)
Muslim meriwayatkan
hadits ini dengan lafadz:
”...Ketika beliau Saw.
akan ruku', beliau Saw. mengeluarkan kedua tangannya dari bajunya…”
11) Membawa mushaf
Yang termasuk
perbuatan yang dibolehkan dalam shalat adalah membawa dan membaca mushaf. Ibnu
Abi Mulaikah telah meriwayatkan dari Aisyah ra. istri Nabi Saw.:
“Bahwa Aisyah telah
diimami oleh pembantunya yang bernama Dzakwan dengan membaca mushaf pada bulan
Ramadlan.” (Riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah)
Bukhari menyebutkan
hadits ini secara mu'allaq. Ibnu
at-Taimi meriwayatkan dari ayahnya:
“Bahwa Aisyah suka
membaca mushaf, dan dia sedang shalat.” (Riwayat Abdurrazaq)
Dalam kedua hadits
ini, walaupun merupakan perbuatan sahabat, dan perbuatan sahabat itu bukan
merupakan dalil syariat, tetapi boleh dan sah-sah saja untuk diikuti dan
diamalkan sebagai satu hukum syara. Ingatlah bahwa Aisyah itu dikenal
kepiawaiannya dalam pemahaman agama, selain itu, dia telah melakukan hal ini di
rumah Rasulullah Saw., sehingga sangat jauh kemungkinan hal itu terjadi tanpa
sepengetahuan dan persetujuan Rasulullah Saw.
12) Memisahkan antara dua orang
yang bertikai
Di antaranya adalah
memisahkan antara dua orang yang bertikai. Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata:
“Sesungguhnya
Rasulullah Saw. sedang shalat mengimami orang-orang, lalu datang dua orang
sahaya dari Bani Abdul Muthalib berkelahi. Rasulullah Saw. menahan keduanya dan
memisahkan salah satu dari yang lainnya...” (HR. Ibnu Khuzaimah, Abu Dawud dan
Ibnu Hibban)
Dalam riwayat Ibnu
Khuzaimah yang lain dari jalur Ibnu Abbas juga:
”...Dan datanglah dua
orang sahaya dari Bani Abdul Muthalib, keduanya memegang dua lutut Rasulullah
Saw., lalu beliau memisahkan di antara keduanya, dan beliau Saw. tidak
memutuskan shalatnya.” (HR. an-Nasai)
Dua belas perbuatan
tersebut dan yang semisalnya tidak menghilangkan kekhusyuan dan tidak merusak
shalat. Karena itu, harus diketahui bahwa khusyuk itu bukan berarti beku kaku
tidak bergerak sama sekali, tetapi khusyu’ itu memiliki pengertian diam tenang.
Kalaupun dia harus bergerak, itu pun dengan kadar seperlunya saja, tanpa
memain-mainkan atau banyak melakukan sesuatu sehingga sesuatu yang tidak perlu
itu menjadi dominan pada shalat. Dan si mushalli
tetap dalam keadaan tunduk sepenuhnya pada perintah Allah Swt. Seandainya dia
harus melakukan sesuatu, maka sesuatu itu dilakukan seperlunya, atau
menggerakkan sesuatu sekedarnya dan seharusnya.
Ketenangan itu
merupakan satu tuntutan pada seorang Muslim yang harus diwujudkan dalam
shalatnya, serta sepanjang dia berjalan menuju masjid untuk melaksanakan
shalat. Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika shalat telah
diserukan maka janganlah kalian mendatanginya dengan berlari. Datangilah shalat
itu dalam keadaan tenang, sehingga apa yang kalian dapatkan maka shalatlah
dengannya, dan apa yang luput darinya maka kalian sempurnakan. Karena salah
seorang dari kalian jika berjalan menuju shalat, maka dia berada dalam
(keadaan) shalat.” (HR. Muslim)
Bukhari, Abu Dawud,
dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits ini dengan lafadz: “Jika iqamat shalat telah
dikumandangkan,” tanpa kalimat “karena salah seorang dari kalian jika berjalan
menuju shalat maka dia berada dalam (keadaan) shalat.” Tambahan dalam hadits
ini, kalau diriwayatkan dari jalur yang shahih, maka tambahan tersebut bisa
diterima. Dalam riwayat Muslim lainnya yang berasal dari jalur Abu Hurairah
ra.:
“Jika seruan untuk
shalat telah dikumandangkan maka janganlah salah seorang dari kalian berlari
menujunya, tetapi hendaklah dia berjalan, dan harus dalam keadaan tenang dan
khusyu. Shalatlah apa yang engkau dapati, dan tunaikanlah apa yang luput
darimu.”
Berjalan itu tidak
meniadakan ketenangan itu sendiri, walaupun berupa gerakan yang banyak dan
bersambung. Sedangkan berlari yakni bergerak terburu-buru dalam berjalan, dan
yang semisalnya seperti berpacu berlari dan berbagai gerakan tambahan yang
menyertainya, maka hal itu meniadakan ketenangan. Dari Abu Qatadah ra. ia
berkata:
“Ketika kami shalat
bersama Nabi Saw., tiba-tiba beliau Saw. mendengar kegaduhan langkah kaki.
Tatkala beliau Saw. selesai shalat, beliau Saw. bertanya: “Ada apa dengan
kalian ini.” Mereka berkata: “Kami terburu-buru untuk shalat.” Maka beliau Saw.
berkata: “Janganlah kalian lakukan hal itu. Jika kalian berangkat untuk shalat,
maka kalian harus tenang. Apa yang kalian dapati maka shalatlah, dan apa yang
luput terlewati maka sempurnakanlah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketika orang-orang
tergesa-gesa dan terburu-buru maka perbuatan mereka menimbulkan kegaduhan.
Rasulullah Saw. melarang perbuatan seperti itu dan memerintahkan mereka untuk
tetap tenang, walaupun mereka belum memasuki shalat.
Berjalan untuk shalat
harus dilakukan dengan khusyuk dan tenang, tidak perlu berlari dan
terburu-buru, sehingga menimbulkan kegaduhan dan berbagai gerakan tambahan yang
tidak perlu, karena dia berada dalam keadaan shalat. Kaab bin 'Ujrah telah
meriwayatkan bahwa Raslullah Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian berwudhu lalu dia membaguskan wudhunya, kemudian keluar menuju
masjid, maka janganlah dia menyilangkan jari-jemarinya, karena sesungguhnya dia
dalam keadaan shalat.” (HR. Tirmidzi)
Ibnu Hibban
meriwayatkan hadits dan di dalamnya dinyatakan: “janganlah dia menyilangkan
tangannya.” Abu Dawud meriwayatkan hadits dan di dalamnya dinyatakan:
“janganlah dia menyilangkan kedua tangannya.” Berjalan tidak bertentangan
dengan ketenangan, maka gerakan kecil dalam shalat pun tidak bertentangan
dengan ketenangan. Yang berlawanan dengan ketenangan itu adalah (seperti)
mempermainkan sesuatu, bersenda-gurau, dan berbagai gerakan sia-sia serta
perbuatan yang tidak seharusnya. Jadi, khusyu’ itu adalah wajib dalam shalat.
Meskipun khusyu diwajibkan dan diharuskan untuk ditetapi, seorang mushalli bisa melakukan berbagai perbuatan
kecil atau ringan dengan pelan dan tenang, serta dilakukan seperlunya saja,
sehingga tidak ada dosa dalam hal itu. Semua ini berkaitan dengan khusyu dalam
gerak anggota badan.
Adapun khusyuk dalam
hati, maka sibuknya hati di dalam shalat karena salah satu urusan, dan
terbersitnya berbagai pemikiran ke dalam benaknya, hal itu tidak menafikan
kekhusyuan dalam hati. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah Saw.
bersabda:
“Sesungguhnya Allah azza wa jalla membiarkan apa yang terbersit
dalam hati-hati umatku ini, selama dia tidak melakukan atau mengucapkannya.”
(HR. Muslim)
Ibnu Khuzaimah telah
meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:
”...Selama dia tidak
mengucapkannya dan tidak melakukannya.”
Dari Uqbah ra. ia
berkata:
“Aku shalat ashar di
belakang Rasulullah Saw. di Madinah, lalu beliau bersalam, kemudian berdiri
dengan cepat dan melangkahi pundak orang-orang menuju salah satu kamar
istrinya. Orang-orang merasa kaget melihat beliau bergegas pergi seperti itu,
lalu beliau Saw. keluar menemui mereka dan melihat mereka masih heran karena
tindakannya itu. Maka beliau Saw. berkata: “Aku ingat ada bijih emas yang ada
pada kami, dan aku tidak suku benda itu membuatku gelisah, maka aku
memerintahkan untuk segera membagikannya.” (HR. Bukhari, Ahmad, dan an-Nasai)
Perkara ini merupakan
sesuatu yang sangat jelas dan terang sehingga tidak perlu dalil tambahan
lainnya.
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar