BAB
KEDELAPAN
PERBUATAN
DAN PERKATAAN SETELAH SHALAT
Pertama:
Perbuatan yang Dilakukan Setelah Shalat
A. Duduk sesaat setelah selesai
shalat
Seorang mushalli jika telah menyelesaikan shalatnya
dengan mengucapkan salam
dianjurkan untuk diam sejenak di tempat shalatnya, karena di dalamnya terdapat
pahala. Dan pahalanya ini tidak akan terputus kecuali jika ia bangkit dari
tempat duduknya atau batal wudhunya. Hal ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa ia berkata: aku mendengar Rasulullah
Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian melakukan shalat, kemudian duduk di atas tempat shalatnya, maka
malaikat akan terus-menerus berdoa untuknya: Ya Allah, ampunilah dia, Ya Allah,
rahmatilah dia, selama dia tidak (belum) berhadats.
(HR. Ibnu Khuzaimah dan al-Bukhari)
Dalam riwayat lain
hadits Ibnu Khuzaimah:
“Selama dia belum berhadats atau bangkit.”
Juga berdasarkan
hadits lain yang diriwayatkan Abu Abdurrahman -namanya adalah Abdullah bin
Hubaib bin Rabiah as-Sulami- ia berkata: aku mendengar Rasulullah Saw.
bersabda:
“Sesungguhnya seorang
hamba jika duduk di tempat shalatnya setelah selesai shalat, maka malaikat akan
berdoa untuknya, dan doa mereka untuknya adalah: Ya Allah, ampunilah dia. Ya
Allah, rahmatilah dia. Dan jika dia duduk menunggu shalat maka malaikat akan
berdoa untuknya: Ya Allah, ampunilah dia. Ya Allah, rahmatilah dia.” (HR.
Ahmad)
Dengan besarnya
kebaikan dan keutamaan karena memperoleh doa dari para malaikat Allah Swt.,
maka hendaknya seorang Muslim lebih terdorong untuk berusaha memperoleh doa
malaikat dengan cara memperbanyak diam di tempat seusai shalat. Dan lebih
dianjurkan lagi dilakukan usai shalat fajar. Berdiam di tempat shalat yang
terbaik adalah orang yang shalat itu berdiam di tempat shalatnya hingga
matahari terbit atau sedikit meninggi. Dari Samak bahwa ia bertanya kepada
Jabir bin Samurrah:
“Apa yang dilakukan
Rasulullah Saw. jika beliau shalat subuh? Maka ia menjawab: “Beliau seringkali
duduk di tempat duduknya jika telah selesai shalat subuh hingga matahari
terbit.” (HR. Ibnu Khuzaimah)
Hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim menggunakan redaksi:
“Beliau tidak suka
bangkit dari tempat shalat yang beliau gunakan untuk shalat subuh atau shalat al-ghadat hingga matahari terbit. Apabila
matahari telah terbit maka beliau pun bangkit.”
Dalam hadits lain yang
diriwayatkan oleh Muslim dari jalur Jabir bin Samurah:
“Bahwa Nabi Saw. jika
selesai shalat al-fajar beliau duduk di tempat shalatnya hingga matahari
benar-benar telah terbit.”
Hasanan maksudnya adalah benar-benar telah
terbit, yakni matahari tersebut telah terbit dan meninggi.
Hendaknya seorang
Muslim memperpanjang diam di tempat shalat sebisa mungkin, kecuali jika ada
keperluan yang menuntutnya untuk pergi. Seandainya ia seorang imam bagi jamaah
kaum Muslim, maka hendaknya dia segera pergi tanpa berlama-lama diam di tempat
shalat, apalagi jika imam jamaah itu adalah Khalifah kaum Muslim atau seorang wali, di mana adat yang berlaku menunjukkan
bahwa orang-orang tidak boleh pergi sebelum sang imam pergi. Karena itu,
hendaknya sang imam mempercepat diri untuk bangkit pergi agar tidak menyulitkan
orang-orang. Kaum Muslim di zaman Rasulullah Saw. tidak pergi membubarkan diri
sebelum mereka melihat beliau Saw. bangkit pergi. Ini sebagai bentuk
penghormatan dan penghargaan pada Rasulullah Saw. Begitu pula yang dilakukan
para Khalifah Khulafaur Rasyidin.
Kadang-kadang Rasulullah Saw. mempercepat diri untuk bangkit pergi, dan
begitulah yang dilakukan oleh para Khalifahnya. Ummu Salamah ra. telah
meriwayatkan:
“Bahwa Nabi Saw. jika
mengucapkan salam maka beliau berdiam sejenak di tempat shalatnya.” (HR.
Bukhari dan Ahmad)
Dari Anas ra. ia
berkata:
“Aku bershalat di
belakang Nabi Saw. Tatkala beliau selesai bersalam sejenak langsung berdiri.
Kemudian aku shalat di belakang Abu Bakar, maka jika telah bersalam beliau
bangkit melompat, seolah-olah beliau bangkit dari radhafah
(tempat yang dipanasi api).” (HR. Abdur Razaq)
Perkataan bangkit dari
radhafah, yakni bangkit secara cepat
seolah-olah beliau duduk di atas sesuatu yang dipanaskan oleh api. Dalam
kondisi seperti ini, seorang imam bisa saja bangkit pergi dari tempat shalatnya
agar orang-orang (makmum) segera membubarkan diri, kemudian ia duduk kembali.
Bagi seorang mushalli dianjurkan untuk tidak meninggalkan
tempat duduknya sebelum dia berdiam diri sejenak, yang cukup baginya untuk
mengucapkan: “Astagfirullah” (aku
memohon ampun kepada Allah) sebanyak tiga kali, dan “Allahumma antas salam wa minkas salam tabarakta ya dzal jalali wal
ikram” (ya Allah, Engkaulah sumber kesejahteraan, dari Engkaulah segala
kesejahteraan, Maha Suci Engkau wahai Dzat pemilik keagungan dan kemuliaan).
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Tsauban ra. ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. jika telah selesai dari shalatnya beliau beristighfar sebanyak tiga kali
dan mengucapkan: “Ya Allah, Engkaulah sumber kesejahteraan, dari Engkaulah
segala kesejahteraan, Maha Suci Engkau wahai Dzat pemilik keagungan dan
kemuliaan.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Hadits ini
diriwayatkan pula oleh Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan an-Nasai dengan redaksi: Ya Dzal jalali wal ikram (wahai Dzat yang
memiliki keagungan dan kemuliaan), yakni dengan adanya tambahan Ya (wahai). Begitu pula hadits yang
diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, tetapi dengan redaksi yang berbeda, di mana
beliau tidak mencantumkan kalimat Allahumma
(Ya Allah) di awal doa tersebut. Dari Aisyah ra. ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. tidak duduk setelah bersalam kecuali untuk sekedar mengucapkan: Allahumma antas salam (Ya Allah, Engkaulah
sumber kesejahteraan).” (HR. Ibnu Hibban)
Begitu pula
disyariatkan bagi seorang imam untuk diam sejenak di tempatnya setelah dia
shalat, dalam rangka mendapatkan doa malaikat yang mendoakan rahmat dan
ampunan. Juga disyariatkan bagi para makmum untuk diam sejenak bersamanya.
Duduk sejenak ini disyariatkan pula bagi para imam dan makmum, karena sebab
yang kedua, yakni memberi kesempatan kepada kaum wanita untuk meninggalkan
tempat shalat sebelum bubarnya kaum lelaki, sebagai bentuk menjaga dan
memelihara kehormatan mereka. Dari Ummu Salamah ra.:
“Bahwa kaum wanita di
masa Rasulullah Saw. jika beliau Saw. bersalam menyelesaikan shalat wajib, maka
kaum wanita berdiri, sedangkan Rasulullah Saw. tetap dalam posisi duduknya,
begitu pula kaum lelaki yang shalat bersamanya. Apa yang dikehendaki Allah, jika
Rasulullah Saw. bangkit, maka bangkit pulalah kaum lelaki.” (HR. Ahmad,
an-Nasai, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan as-Syafi'i)
Dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari dari Ummu Salamah disebutkan dengan redaksi:
“Adalah Rasulullah
Saw. jika telah bersalam, maka kaum wanita berdiri ketika beliau selesai
mengucapkan salamnya, lalu beliau diam sejenak sebelum bangkit. Ibnu Syihab
berkata: lalu ditampakkanlah hikmahnya dan Allah lebih mengetahui, bahwa
diamnya beliau itu agar kaum wanita bisa bubar pulang agar tidak berpapasan
dengan kaum lelaki yang bubar dari shalat.”
Dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dari jalur Ummu Salamah:
“Adalah Rasulullah
Saw. jika bersalam maka beliau diam sejenak, dan orang-orang memandang bahwa
hal itu (dilakukan) agar kaum wanita bisa selesai membubarkan diri sebelum kaum
lelaki.”
Hadits ini dan hadits
lain sebelumnya terkait dengan pahala dan hikmah berdiam sejenak setelah
shalat. Adapun pahala dzikir setelah shalat, maka imam yang bersegera bangkit,
bangkitnya yang cepat itu tidak menghalanginya dari dzikir, jika
memungkinkannya untuk melakukan dzikir di tempat lain yang ditujunya, atau ia
kembali dari shalat menuju ke rumahnya atau ke tempat tujuan lainnya. Sebab,
dzikir kepada Allah dianjurkan dalam berbagai kondisi.
Dan jika imam duduk
setelah shalat -dengan duduk yang lama atau sebentar-disunahkan baginya untuk
menghadapkan diri dan wajahnya kepada para makmum, terutama makmum yang ada di
sebelah kanan dirinya, lalu dia menghadapkan diri ke arah mereka. Dari Samurrah
bin Jundab ra. ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. jika telah selesai melaksanakan suatu shalat, beliau menghadapkan diri ke
arah kami.” (HR. Bukhari)
Dari al-Barra ra. ia
berkata:
“Jika kami shalat di
belakang Rasulullah Saw. kami suka sekali untuk berada di sebelah kanannya,
karena beliau akan menghadap ke arah kami (yang berada di sebelah kanan). Ia
(perawi) berkata: lalu aku mendengar beliau berkata: “Ya Allah, peliharalah
diriku dari siksamu pada hari Engkau bangkitkan, atau Engkau kumpulkan
hamba-hamba-Mu.” (HR. Muslim)
Hadits ini
diriwayatkan pula oleh Abu Dawud tanpa ada penyebutan doa di ujung haditsnya.
Dari Yazid bin al-Aswad ra. ia berkata:
“Aku bershalat di
belakang Rasulullah saw. Jika beliau selesai dari shalatnya maka beliau
berbalik arah (duduknya).” (HR. Abu Dawud)
Hadits ini
diriwayatkan pula oleh an-Nasai dengan redaksi:
“Sesungguhnya dia
telah shalat subuh bersama Rasulullah Saw. Tatkala selesai shalat, beliau Saw.
berbalik arah.”
Ungkapan: insharafa, berarti selesai shalat. Sedangkan
kata inharafa, berarti merubah arahnya,
ketika shalat menghadap ke arah kiblat, menjadi ke arah orang-orang (para
makmum).
B. Pergi ke sebelah kanan dan
kiri
Siapa saja yang telah
menyelesaikan shalatnya dan duduk sejenak untuk dzikir dan berdoa, kemudian
bangkit meninggalkan tempat shalat, maka dia boleh memilih antara pergi ke
sebelah kanan atau sebelah kiri. Seorang Muslim boleh pergi ke arah yang
dikehendakinya, dan tidak dibatasi harus pergi ke arah tertentu. Dari Aisyah
ra. bahwa ia berkata:
“Aku melihat
Rasulullah minum dalam keadaan berdiri dan duduk, dan bershalat dengan
telanjang kaki atau mengenakan sandal, lalu pergi ke sebelah kanan atau
kirinya.” (HR. al-Nasai dan Thabrani)
Dan Hulb ra.
meriwayatkan:
“Adalah Rasulullah
Saw. seringkali mengimami kami, lalu beliau pergi ke arah keduanya seluruhnya,
ke arah kanan dan juga kiri.” (HR. Tirmidzi)
Abu Dawud dan Ibnu
Hibban meriwayatkan dengan redaksi:
“Beliau seringkali
pergi ke arah kedua sisinya.”
Tirmidzi berkata:
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwa ia berkata: “Jika keperluannya dari
sebelah kanan, maka beliau pergi ke sebelah kanan, dan jika keperluannya dari
sebelah kiri, maka beliau pergi ke arah kirinya.”
Abu Dawud meriwayatkan
dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata:
“Janganlah salah
seorang dari kalian memberikan bagian dari shalatnya kepada setan dengan
(memandang) untuk tidak pergi (meninggalkan tempat shalat) kecuali ke sebelah
kanannya, padahal aku sungguh telah melihat Rasulullah Saw. lebih banyak pergi
ke sebelah kirinya. Umarah berkata: aku mengunjungi kota Madinah setelahnya,
dan aku melihat tempat perginya Nabi adalah ke arah kirinya.”
Muslim meriwayatkan
hadits ini dengan redaksi:
”Janganlah salah
seorang dari kalian memberikan satu bagian dirinya kepada setan, di mana dia
menganggap bahwa yang wajib atasnya adalah tidak pergi (meninggalkan tempat
shalat) kecuali ke sebelah kanannya, padahal yang paling sering kulihat dari
Rasulullah Saw. (adalah bahwa beliau) pergi (meninggalkan tempat shalat) ke
sebelah kirinya. ”
Saya menduga kuat
bahwa ungkapan: “padahal yang paling sering kulihat dari Rasulullah Saw.
(adalah bahwa beliau) pergi (meninggalkan tempat shalat) ke sebelah kirinya.”
Maksudnya adalah bahwa beliau Saw. pada umumnya atau biasanya pergi
meninggalkan tempat shalat lebih banyak ke sebelah kiri dibandingkan ke sebelah
kanan, mengingat ada penjelasan lain bahwa perginya beliau Saw. tidak selalu ke
arah kanan, sebagaimana hal itu dinyatakan sejumlah orang. Dalilnya adalah
pernyataan Anas ra.:
“Yang paling sering
aku lihat dari Rasulullah Saw. (adalah bahwa beliau) pergi (meninggalkan tempat
shalat) ke sebelah kanannya.” (HR. Muslim, Ibnu Hibban dan an-Nasai)
Dalam satu riwayat
Bukhari –di mana beliau ada orang yang paling teliti dalam menetapi kata-kata
yang ada dalam suatu hadits- disebutkan seperti ini:
“Janganlah kalian
menjadikan sesuatu bagian untuk setan dari shalatnya, di mana dia memandang
bahwa menjadi satu keharusan atasnya untuk tidak pergi kecuali ke sebelah
kanannya, padahal aku melihat Nabi Saw. seringkali pergi (meninggalkan tempat
shalat) ke sebelah kirinya.”
Dalam hadits ini jelas
disebutkan “seringkali pergi (meninggalkan tempat shalat) ke sebelah kirinya”,
dan lafadz ini jelas lebih teliti dibandingkan riwayat Muslim, Ibnu Hibban dan
an-Nasai; “padahal yang paling sering aku lihat dari Rasulullah Saw. (adalah
bahwa beliau) pergi (meninggalkan tempat shalat) ke sebelah kirinya. ”
Sebenarnya ada peluang
untuk mengkompromikan antara riwayat yang menyebutkan: “yang paling sering
kulihat (adalah bahwa beliau Saw.) pergi (meninggalkan tempat shalat) ke
sebelah kirinya” dengan riwayat “yang paling sering kulihat adalah bahwa beliau
Saw. pergi (meninggalkan tempat shalat) ke sebelah kanannya” dengan menyatakan
bahwa perawi riwayat yang pertama menyebutkan apa yang disaksikannya. Hal ini
terjadi dalam shalat-shalat yang beliau Saw. lakukan di masjidnya -di Madinah-,
di mana kamar-kamar dari isteri-isteri beliau Saw. terletak di sebelah kiri
masjid, sehingga beliau Saw. pergi meninggalkan tempat shalat ke sebelah kiri.
Ibnu Mas’ud telah menukil persaksiannya mengenai alasan arah kepergian beliau
Saw. ke sebelah kiri. Ada satu riwayat dalam Shahih Ibnu Hibban, dengan jelas
disebutkan:
“Sesungguhnya
Rasulullah Saw. biasanya pergi ke sebelah kirinya, menuju kamar-kamar (para
isterinya).”
Perawi dari riwayat
yang kedua -yang menyebutkan apa yang disaksikannya-, bahwa dia melihat
Rasulullah Saw. seringkali pergi meninggalkan tempat shalat ke sebelah
kanannya, maka saya menduga kuat hal itu terjadi ketika beliau Saw. tidak
shalat di masjidnya di Madinah, atau ketika beliau Saw. tidak hendak pergi
menuju kamar-kamar isterinya setelah shalat, sehingga beliau Saw. pergi
meninggalkan tempat shalat ke sebelah kanan. Ini karena beliau Saw. sangat
mendahulukan sebelah kanan dalam seluruh perkaranya. Walaupun begitu, perkara
ini jelas dilapangkan.
C. Pemisah antara shalat wajib
dan shalat sunat
Dianjurkan bagi
seorang mushalli, ketika dia
menyelesaikan shalat wajib dan akan melaksanakan beberapa shalat sunah setelah
dhuhur, maghrib dan isya, atau shalat nafilah
lainnya, agar tidak melakukan shalat-shalat sunat ini di tempat yang
digunakannya untuk melakukan shalat wajib. Sebaiknya dia bergeser ke depan atau
ke belakang dari posisinya semula, atau menjauh ke arah kanan atau kiri. Ini
berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin Sabith, ia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian melakukan shalat wajib, lalu ingin melakukan shalat sunat, maka
hendaklah ia maju ke depan sedikit atau mundur ke belakang sedikit, atau
bergeser ke kanan atau ke kiri.” (HR. Abdur Razaq)
Dan jika dia tetap
ingin melakukan shalat sunat tersebut di tempat yang digunakannya untuk
melakukan shalat wajib, maka hendaklah ia keluar dari tempat shalat tersebut.
Setelah keluar dari (tempat tersebut) kemudian dia kembali lagi, atau hendaknya
ia berbicara dengan orang lain sebelum melakukan shalat sunat. Dengan salah
satu dari keduanya, dia bisa memisahkan antara shalat wajib dan shalat sunat.
Dari Saib bin Yazid, ia berkata:
“Aku shalat Jum'at
bersama Muawiyah di dalam rumah yang luas (istana). Ketika beliau bersalam aku
berdiri dari tempatku, kemudian melakukan shalat sunat. Saat beliau masuk,
beliau memanggilku dan berkata: Jangan lakukan kembali hal seperti itu. Apabila
engkau shalat Jumat maka janganlah engkau menyambungnya dengan shalat lain
hingga engkau berbicara atau keluar, karena sesungguhnya Nabi Saw. telah
memerintahkan hal itu. Janganlah engkau menyambung satu shalat dengan shalat
lainnya hingga engkau keluar atau berbicara.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud,
Ibnu Khuzaimah)
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar