Mengucapkan
Salam Dalam Shalat
Jika mushalli selesai dari tasyahud yang wajib, dan dari mengucapkan shalawat kepada
Rasulullah Saw. dan berta'awwudz serta
berdoa -yang hukumnya sunat dan dianjurkan-, maka dia bisa keluar dari
shalatnya dengan mengucap salam ke sebelah kanan, ini hukumnya wajib; dan
mengucap salam ke sebelah kiri, ini hukumnya sunat dan dianjurkan saja. Dari
Ali bin Abi Thalib ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Kunci shalat adalah
bersuci, tahrimnya adalah takbir, dan tahlilnya (yang menghalalkannya) adalah
mengucapkan salam.” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Abu Dawud)
Hadits ini sebelumnya
telah disebutkan dalam pembahasan “hukum takbiratul
ihram.” Ucapan: “tahrimnya adalah
takbir”, artinya bahwa seluruh perbuatan dan ucapan selain perbuatan dan ucapan
shalat menjadi haram hukumnya dengan bertakbiratul
ihram. Sedangkan ucapan: “tahlilnya
adalah salam”, artinya seluruh yang diharamkan sepanjang shalat, baik perbuatan
ataupun ucapan, kembali menjadi halal dengan mengucap salam. Makna ini sendiri
membentuk satu indikasi wajibnya mengucap salam. Namun, saya tidak menemukan
satu hadits atau satu atsar yang menyebutkan Rasulullah Saw. dan para sahabat
telah keluar dari shalatnya tanpa menutupnya dengan salam, sehingga mengucap
salam itu menjadi wajib, dan shalat tidak ditutup kecuali dengannya, dan tidak
boleh meninggalkannya.
Mengucap salam itu ada
dua: pertama ke sebelah kanan, kedua ke sebelah kiri. Pada keduanya ada ucapan:
assalamu 'alaikum wa rahmatullah. Dari
Saad ra. ia berkata:
“Aku melihat
Rasulullah Saw. mengucap salam ke sebelah kanan dan ke sebelah kiri hingga aku
melihat pipinya yang putih.” (HR. Muslim, Ibnu Abi Syaibah, dan Ahmad)
Dan Abdullah bin
Mas’ud meriwayatkan
“Bahwa Nabi Saw.
mengucap salam ke sebelah kanan dan ke sebelah kirinya: assalamu 'alaikum wa rahmatullah, assalamu
'alaikum wa rahmatullah, hingga terlihat atau kami melihat dua pipinya
yang putih.” (HR. Ahmad)
Tirmidzi, Ibnu Hibban,
Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan hadits serupa dengan
redaksi yang beragam. Dan an-Nasai meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:
“Aku melihat
Rasulullah Saw. bertakbir ketika beliau turun, bangkit, berdiri dan duduk, dan
mengucap salam ke sebelah kanan dan ke sebelah kirinya: assalamu 'alaikum wa rahmatullah, assalamu
'alaikum wa rahmatullah, hingga terlihat putih pipinya, dan aku melihat
Abu Bakar dan Umar ra. melakukan hal itu.”
Ibnu Abi Syaibah
meriwayatkan dari jalur al-Barra ra.:
“Bahwa Nabi Saw.
bersalam ke sebelah kanan dan ke sebelah kiri, (dan mengucap) assalamu 'alaikum wa rahmatullah hingga
terlihat putih pipinya.”
An-Nasai meriwayatkan:
“Abdullah bin Umar
ditanya tentang shalat Rasulullah Saw., lalu ia berkata: Allah Akbar setiap kali beliau turun, Allah Akbar setiap kali setiap kali beliau
bangkit, kemudian mengucapkan: assalamu
'alaikum wa rahmatullah ke sebelah kanannya, dan assalamu 'alaikum wa rahmatullah ke sebelah kirinya.”
Semua nash ini
menunjukkan dengan jelas disyariatkannya mengucap salam ke sebelah kanan dan ke
sebelah kiri. Juga menunjukkan bahwa mengucapkan salam dilakukan dalam bentuk: assalamu 'alaikum wa rahmatullah, ke kanan dan
ke kiri.
Mengucap salam ke
sebelah kanan hukumnya wajib, sedangkan mengucap salam ke sebelah kiri hukumnya
sunat dan dianjurkan saja. Dalil atas hal itu adalah hadits yang diriwayatkan
Aisyah ra. tentang sifat shalat Rasulullah Saw., ia berkata:
”...Kemudian beliau
duduk, bertasyahud dan berdoa, kemudian
mengucap salam satu kali: assalamu 'alaikum.
Beliau mengeraskan suaranya hingga membangunkan kami…” (HR. Ahmad)
Hadits yang
diriwayatkan dari Anas bin Malik ra., bahwa dia berkata: “Adalah Rasulullah
Saw., Abu Bakar dan Umar ra. memulai dengan membaca alhamdu lillahi rabbil ‘alamin dan mengucapkan salam satu kali.”
(HR. al-Bazzar). Al-Haitsami berkata: “para perawi hadits ini adalah perawi
yang shahih”, dan hadits yang diriwayatkan Anas ra.:
“Bahwa Nabi Saw.
bersalam satu kali” (HR. Ibnu Abi Syaibah)
Adanya fakta Nabi Saw.
keluar dari shalat dan bertahlil dengan
satu kali salam tanpa salam yang kedua ke sebelah kiri menunjukkan dengan jelas
tidak wajibnya salam kedua ke sebelah kiri, sehingga jika tahlil shalat tidak terlaksana kecuali dengan
dua salam, maka tidak mungkin Rasulullah Saw. keluar dari shalat dengan hanya
mengucap satu kali salam saja.
Kami tambahkan pula
bahwa selama salam yang kedua itu tidak wajib, dan selama Rasulullah Saw. dan
para sahabat itu hampir tidak meninggalkannya, maka kami nyatakan hal itu
sebagai sesuatu yang sunat dan sangat dianjurkan, dan kami membatasi yang
wajibnya hanya pada salam yang pertama saja ke sebelah kanan.
Banyak riwayat
menyebutkan beberapa bentuk salam. Dan riwayat yang paling banyak dan sanadnya paling shahih adalah: “assalamu ‘alaikum wa rahmatullah”, sehingga
saya melihat untuk mengambilnya dan mengamalkannya, serta meninggalkan
selainnya berdasarkan dalil-dalil yang telah saya sebutkan. Ada pula riwayat
lain yang menyebutkan bentuk salam: “assalamu
'alaikum wa rahmatullah wa barakatuh” diucapkan sekali dalam salam yang
pertama, dan sekali yang lain dalam salam yang kedua.
Dari Wail ra. ia
berkata:
“Aku shalat bersama
Nabi Saw. dan beliau bersalam ke sebelah kanannya: assalamualaikum wa rahmatullah wa barakatuh, dan ke sebelah
kirinya: assalamu 'alaikum wa rahmatullah.”
(HR. Abu Dawud)
Ini dalam salam
pertama.
Abdullah ra.
meriwayatkan:
“Bahwa Nabi Saw.
bersalam ke sebelah kanannya dan ke sebelah kirinya hingga terlihat putihnya
pipi beliau Saw.: assalamu ‘alaikum wa
rahmatullah, assalamu 'alaikum wa
rahmatullah wa barakatuh” (HR. Ibnu Hibban)
Dan ini dalam salam
kedua. Akan tetapi sanad dua hadits ini memiliki derajat di bawah sanad
hadits-hadits sebelumnya, dari segi kekuatan dan keshahihannya.
Ada pula riwayat yang
menyebutkan bentuk: “assalamu 'alaikum”
saja tanpa “wa rahmatullah” dan tanpa “wa barakatuh.” Sebelumnya telah kami sebutkan
satu hadits Aisyah ra. yang diriwayatkan oleh Ahmad, di dalamnya disebutkan:
”…Kemudian mengucap
salam satu kali: assalamu 'alaikum...”
Dan hadits Jabir bin
Samurrah ra., ia berkata:
“Kami mengucapkan di
belakang Rasulullah Saw. jika kami bersalam: assalamu
'alaikum. Salah seorang dari kami memberi isyarat dengan tangannya ke
sebelah kanannya dan ke sebelah kirinya…” (HR. Ahmad)
An-Nasai dan Abu Dawud
meriwayatkan dengan redaksi yang hampir sama. Tetapi riwayat-riwayat ini
berhadapan dengan riwayat Muslim yang di dalamnya disebutkan:
“Adalah kami jika kami
melaksanakan shalat bersama Rasulullah Saw. kami mengucapkan: assalamu 'alaikum wa rahmatullah, assalamu 'alaikum wa rahmatullah. Dan dia
(melakukan itu) sambil memberi isyarat dengan tangannya ke kedua sisinya.”
Insya Allah hadits ini
secara sempurna akan kami sebutkan di depan. Muslim di sini telah menyebutkan
bentuk salam yang pertama: “assalamu 'alaikum
wa rahmatullah”. Tetapi saya berpendapat bahwa yang meriwayatkan bentuk
“assalamu 'alaikum” dalam beberapa
riwayat tadi perhatiannya tertuju pada pembahasan memberi isyarat tangan ketika
mengucap salam, tidak tertuju pada pembahasan bentuk salam, sehingga cukup
menyebut: assalamu 'alaikum, mungkin ini
ringkasnya. Karena itu saya ulangi dan saya katakan: sesungguhnya yang paling
utama dan paling afdhal adalah mengucap salam ke sebelah kanan dan sebelah kiri
dengan bentuk: “assalamu 'alaikum wa
rahmatullah.” Perkara ini tetap (dipakai secara) luas bagi kaum Muslim,
sehingga boleh-boleh saja bagi mereka untuk bersalam dengan bentuk salam yang
manapun.
Tatkala mengucap salam
disunahkan untuk sungguh-sungguh dalam menoleh ke kanan dan kiri, sehingga
tampak sisi pipinya bagi orang yang duduk di belakangnya. Ini dilakukan dengan
menyampaikan pandangan ke arah terjauh sebelah kanan dan terjauh sebelah kiri,
tetapi pandangan tersebut tanpa melampaui hingga ke belakang -sebagaimana
dilakukan oleh sekelompok orang, di mana hal itu bukan keharusan dan tidak ada
asalnya. Sebelumnya telah kami sebutkan satu hadits: “hingga aku melihat putih
pipinya”, “hingga terlihat atau kami melihat putih dua pipinya”, “hingga
terlihat putih pipinya…” Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan:
“Bahwa Nabi Saw.
mengucap salam ke sebelah kanannya: assalamu
'alaikum wa rahmatullah, dan ke sebelah kirinya seperti itu, hingga
tampak pada mereka sisi wajahnya” (HR. at-Thabrani)
Disunahkan pula dalam
mengucap salam itu secara cepat dalam bersalam dan meringankannya, tanpa
memanjangkan atau melamakannya. Ini berbeda dengan apa yang dilakukan banyak
imam dan orang shalat saat ini. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari
Abu Hurairah ra., bahwa dia berkata: “mempercepat
salam itu sunat.” Tirmidzi meriwayatkannya secara mauquf pada Abu Hurairah. Ahmad dan Abu Dawud
meriwayatkan hadits ini secara marfu
pada Nabi Saw., tetapi yang mauquf lebih
shahih. Sebab, Abu Dawud setelah meriwayatkan hadits ini dia berkata: “aku
mendengar Abu Umair Isa bin Yun us al-Fakhuri ar-Ramli berkata: Tatkala
al-Faryabi pulang dari Makkah, dia meninggalkan kemarfu'an
hadits ini dan berkata: Ahmad bin Hanbal telah melarangnya memarfu’kan hadits ini.” Al-Faryabi adalah salah
seorang perawi hadits Abu Dawud dan Ahmad, sehingga hadits ini mauquf pada Abu Hurairah ra., tetapi seorang
sahabat jika menyatakan bahwa melakukan sesuatu itu adalah sunat maka hal
tersebut dihukumi marfu’.
Tidak disyariatkan
menggerakkan kedua tangan ketika mengucap salam, tidak dengan melambaikannya
pada setiap salam dan juga tidak memukulkannya pada kedua paha beberapa
pukulan, sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan Syiah al-Ja’fariyah. Dari
Jabir bin Samurrah ra., ia berkata:
“Adalah kami jika kami
shalat bersama Rasulullah Saw. kami mengucapkan: assalamu
'alaikum wa rahmatullah, assalamu
'alaikum wa rahmatullah, dan memberikan isyarat dengan tangan ke dua
sisi. Maka Rasulullah Saw. berkata: “Untuk apa kalian memberikan isyarat dengan
dua tangan kalian, itu seolah-olah ekor unta liar yang tidak mau diam?
Sesungguhnya cukup bagi kalian meletakkan tangannya di atas pahanya, kemudian
mengucap salam kepada saudaranya yang berada di sebelah kanannya dan di sebelah
kirinya.” (HR. Muslim)
An-Nasai meriwayatkan
hadits ini dengan redaksi:
“Mengapa mereka itu
memberi isyarat dengan tangan-tangan mereka seperti ekor unta liar? Apakah
tidak cukup dengan meletakkan tangannya di atas pahanya, kemudian dia bersalam
pada saudaranya yang berada di sebelah kanannya dan di sebelah kirinya?”
Dalam riwayat Muslim
dan Abu Dawud yang lain disebutkan dengan redaksi, dari Jabir bin Samurrah ia
berkata:
“Rasulullah Saw.
keluar menemui kami, maka ia berkata: “Mengapa aku melihat kalian mengangkat
tangan-tangan kalian seperti ekor unta yang tidak mau diam? Diamlah kalian
ketika dalam shalat…”
Ahmad meriwayatkan
hadits ini dengan redaksi:
“Mengapa orang-orang
itu memberikan isyarat dengan tangan-tangan mereka seperti ekor unta liar yang
tidak mau diam? Apakah salah seorang dari kalian tidak bisa diam dan memberikan
isyarat dengan tangannya di atas pahanya, kemudian mengucap salam pada temannya
yang berada di sebelah kanannya dan di sebelah kirinya?”
As-Syumus adalah unta yang tidak mau diam,
bahkan menggerakkan ekor dan kakinya secara terus-menerus. Dengan demikian,
memberi isyarat dengan dua tangan dan melambaikan tangan itu terlarang
dilakukan ketika mengucap salam. Dan dalam pembahasan “mengangkat kedua tangan
dalam shalat” kami telah menuturkan satu hadits Ahmad dari jalur Ali bin Abi
Thalib ra.:
“Dan beliau tidak
mengangkat kedua tangannya dalam bagian manapun dari shalatnya ketika beliau
dalam keadaan duduk.”
Jadi, isyarat,
acungan, lambaian, dan mengangkat kedua tangan, itu tidak disyariatkan dan
terlarang dilakukan ketika mengucap salam, selama si mushalli dalam posisi duduk. Untuk menghimpun semua yang
dilarang tersebut maka cukuplah ucapan beliau Saw.: “Diamlah kalian ketika
dalam shalat”, “tidakkah salah seorang dari kalian bisa diam?” Diam menjadi
sesuatu yang dituntut dan disyariatkan, dan menyalahi hal itu dilarang. Tidak
ada pengecualian atas semua itu selain ketika menggerakkan ibu jari selama
duduk tasyahud dan berdoa dalam posisi
meletakkan kedua tangan di atas dua paha. Rincian hal ini telah dipaparkan
dalam pembahasan “tasyahud dan bentuk duduknya.”
Mengucap salam
diwajibkan atas imam dan atas orang yang shalat sendirian, juga diwajibkan atas
para makmum, sehingga ucapan salam imam saja tidak cukup bagi para makmum. Dari
‘Itban ra., ia berkata:
“Kami shalat bersama
Nabi Saw. lalu kami mengucap salam ketika beliau mengucap salam.” (HR. Bukhari)
An-Nasai meriwayatkan
hadits ini dengan redaksi:
“…Lalu Rasulullah Saw.
berdiri dan kami berbaris di belakangnya, kemudian beliau Saw. mengucap salam
dan kami pun mengucap salam ketika beliau bersalam.”
Bacaan: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar