Ada beberapa perbuatan
yang dilarang oleh syariat dilakukan di dalam shalat dan disebutkan dalam nash.
Di antara larangan tersebut ada yang bersifat tidak pasti (ghair jazim), sehingga dikategorikan sebagai
perbuatan yang dimakruhkan dalam shalat. Tetapi ada juga yang bersifat pasti (jazim) sehingga dikategorikan sebagai
perbuatan yang diharamkan dalam shalat. Selain itu, ada beberapa keadaan -yang
disebutkan oleh nash- di mana syariat melarang shalat dilakukan saat keadaan
tersebut terjadi, dengan larangan yang tidak pasti. Artinya, ada kondisi-kondisi
dimakruhkannya shalat saat itu.
Pertama-tama saya akan
memaparkan dan merinci perbuatan yang dimakruhkan dalam shalat, kemudian
penjelasan tentang kondisi-kondisi dimakruhkannya shalat saat itu, dan akhirnya
saya akan menjelaskan perbuatan-perbuatan yang diharamkan.
1. Perbuatan yang dimakruhkan
dalam shalat
Pada pembahasan
sebelumnya, kami telah menjelaskan perbuatan-perbuatan yang dimakruhkan, dan
kami akan menyebutkan kembali di sini tanpa mengulang lagi pembahasannya,
kemudian kami akan menceritakan beberapa perbuatan yang dimakruhkan yang masih
tersisa dengan maksud menghimpun semua perbuatan yang dimakruhkan tersebut
dalam satu tempat, agar lebih mudah mempelajari dan memahaminya.
Perbuatan-perbuatan
yang dimakruhkan -dan telah kami sebutkan sebelumnya- adalah:
1) Bertolak pinggang:
yakni meletakkan dua tangan pada dua pinggang. Lihat kembali pembahasan
“meletakkan dua tangan
dalam shalat” pada bab “sifat shalat.”
2) Isytimalus shima, yaitu si mushalli menyelimuti tubuhnya dengan suatu
kain, di mana dia tidak mengangkat satu sisi pun darinya, dan tidak menyisakan
lubang pada kain tersebut untuk mengeluarkan dua tangannya. Lihat kembali
pembahasan “pakaian
dalam shalat” pada bab “hal-ihwal orang shalat.”
3) Menutup mulut
dengan kain atau semisalnya. Lihat kembali pembahasan “pakaian dalam shalat”
pada bab “hal-ihwal orang shalat.”
4) Bertopang pada dua
tangan. Lihat kembali pembahasan “tasyahud
dan bentuk duduknya” pada bab “sifat shalat.”
5) Menahan kain, yaitu
menyatukan dan menghimpun seluruh ujungnya dengan dua tangan untuk menahannya
agar tidak jatuh ke tanah ketika bersujud. Lihat pembahasan “pakaian dalam
shalat” pada bab “hal-ihwal orang shalat.”
6) Menahan rambut yang
panjang, yaitu menjalin dan diikat untuk mencegahnya agar tidak jatuh ke tanah
ketika bersujud. Lihat pembahasan “pakaian dalam shalat” pada bab “hal-ihwal
orang shalat.” Saya ingin menambahkan beberapa dalil atas pembahasan sebelumnya,
berupa hadits yang diriwayatkan Abu Said al-Maqbari ra.:
“Bahwa dia melihat Abu
Rafi, pelayan Nabi Saw., melewati Hasan bin Ali. Saat itu Hasan sedang shalat
dengan mengikatkan kedua jalinan rambutnya di tengkuknya, lalu Abu Rafi
mengurainya. Maka Hasan menoleh kepadanya dalam keadaan marah. Kemudian Abu
Rafi berkata: “Tetaplah dalam shalatmu dan jangan marah, karena aku mendengar
Rasulullah Saw. bersabda: “Inilah boncengan setan” -tempat duduk setan. Yang
dia maksud adalah ikatan dua jalinan rambut tersebut.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Abu
Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
Ad-Dhafr dan al-‘aqishah
adalah rambut yang dijalin atau dipintal. Ada lagi hadits yang diriwayatkan
Kuraib, pelayan Ibnu Abbas:
“Bahwa Abdullah bin
Abbas melihat Abdullah bin al-Harits sedang shalat, dan rambutnya dipintal di
bagian belakangnya. Lalu Ibnu Abbas berdiri di belakangnya dan mengurainya.
Orang-orang selainnya menyetujui tindakan Ibnu Abbas tersebut. Ketika selesai,
Abdullah bin al-Harits mendatangi Ibnu Abbas dan bertanya: Apa yang engkau
lakukan dengan rambutku? Ibnu Abbas berkata: aku mendengar Rasulullah Saw.
bersabda: “Sesungguhnya hal seperti ini adalah seperti orang yang shalat
sedangkan kedua tangannya terikat di belakang pundak.” (HR. Abu Dawud, Muslim,
Ahmad, an-Nasai dan Ibnu Hibban)
7) Menjalinkan jari
jemari. Seorang yang shalat dimakruhkan menjalinkan jari-jemarinya sepanjang
shalatnya, sejak dia keluar dari rumahnya hingga dia selesai dari shalatnya.
Makruh baginya menjalin jari-jemarinya ketika dia berangkat ke masjid, dan
begitu pula ketika dia berdiam di masjid (sedang shalat atau menunggu shalat),
dan tentu saja ketika dia sedang melaksanakan shalat itu sendiri. Dalam ketiga
kondisi ini dimakruhkan menjalinkan jari-jemari. Dari Abu Umamah al-Khayyat:
“Bahwa Kaab bin Ujrah
bertemu dengannya. Ketika itu dia hendak berangkat ke masjid, dia berkata: Lalu
dia mendapatiku dalam keadaan menjalinkan tanganku satu sama lain. Dia (
peraawi) berkata: maka dia melepaskan dua tanganku dan melarangku berbuat itu. Dia
berkata: Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: “Jika salah seorang dari kalian
berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, kemudian dia keluar dengan sengaja hendak
pergi ke masjid, maka janganlah dia menjalinkan tangannya, karena dia dalam
keadaan shalat.” (HR. Ibnu Hibban)
Ahmad dan Ibnu
Khuzaimah meriwayatkan bagian akhir hadits ini saja, tetapi keduanya
menyebutkan nama Abu Tsumamah. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Abul Qasim
Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian berwudhu di rumahnya, kemudian dia pergi ke masjid, sungguh dia
dalam keadaan shalat hingga dia pulang, maka janganlah dia melakukan seperti
ini. Abu Hurairah kemudian menjalinkan jari-jemarinya.” (HR. al-Hakim dan Ibnu
Khuzaimah)
Sebelumnya, dalam
pembahasan “adab masjid” pada bab “masjid dan tempat-tempat shalat”, kedua
hadits ini telah disebutkan sebagai dalil makruhnya menjalinkan jari-jemari
sepanjang perjalanan berangkat ke masjid.
Dari Kaab bin ‘Ujrah
ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw. masuk
dan bertemu denganku, dan aku saat itu sedang menjalinkan jari-jemariku. Maka
beliau Saw. berkata kepadaku: “Wahai Kaab, jika engkau berada di masjid, maka
janganlah engkau menjalinkan jari-jemarimu, karena engkau dalam keadaan shalat
sepanjang engkau menunggu shalat.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Dari Abu Said
al-Khudri, bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian berada di masjid, maka janganlah dia menjalinkan jari-jemarinya,
karena tasybik (menjalinkan jari-jemari
itu) berasal dari setan, dan sesungguhnya kalian senantiasa dalam keadaan
shalat selama dia berada di masjid hingga keluar darinya.” (HR. Ahmad)
Hadits ini telah kami
sebutkan dalam pembahasan “adab masjid” pada bab “masjid dan tempat-tempat
shalat.” Dua hadits ini menjadi dalil makruhnya menjalinkan jari-jemari selama
berdiam di dalam masjid.
Ibnu Majah
meriwayatkan dari jalur Kaab bin 'Ujrah ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
melihat seseorang menjalinkan jari-jemarinya dalam shalat, maka beliau Saw.
melepaskan jalinan jari-jemari itu.”
Ini menjadi dalil
makruhnya menjalinkan jari-jemari ketika melaksanakan shalat, selain nash-nash
sebelumnya yang menyebutkan bahwa orang yang: “pergi ke masjid, sungguh dia
dalam keadaan shalat”, “dan kalian senantiasa dalam keadaan shalat selama dia
berada di masjid”, “jika engkau berada di masjid, maka janganlah engkau
menjalinkan jari-jemarimu, karena engkau dalam keadaan shalat sepanjang engkau
menunggu shalat.”
8) Menyapu tempat
sujud lebih dari satu kali. Ini bisa terjadi jika seorang Muslim melaksanakan
shalat di tempat yang tanahnya kasar (tidak rata), berkerikil, dan sebagainya,
kemudian dia hendak bersujud, maka boleh baginya untuk menyapu atau meratakan tempat
dahinya itu dengan tangannya satu kali saja, dan dimakruhkan bila lebih dari
itu. Dari Muaiqib ra., bahwa Nabi Saw. bersabda:
“Janganlah engkau
menyapu ketika engkau sedang shalat, dan jika engkau terpaksa melakukannya,
maka ratakanlah kerikil itu satu kali.” (HR. Abu Dawud)
Ahmad, Tirmidzi, Ibnu
Khuzaimah dan Ibnu Hibban meriwayatkan hadits ini juga. Muslim meriwayatkan
hadits ini dengan lafadz:
“Bahwa Rasulullah Saw.
berkata pada seseorang yang meratakan tanah ketika bersujud, beliau bersabda:
“Jika engkau terpaksa melakukannya, maka lakukan satu kali saja.”
Muslim memiliki
riwayat yang lain:
“Nabi Saw. menjelaskan
tentang meratakan kerikil di masjid, beliau Saw. bersabda: “Jika engkau
terpaksa melakukannya, hendaklah engkau melakukannya satu kali saja.”
Seluruh riwayat ini
telah kami sebutkan dalam pembahasan “perbuatan
kecil” sebelumnya.
9) Memandang sesuatu
yang bisa melalaikan mushalli dari
shalatnya. Seorang Muslim diperintahkan untuk menghadirkan di dalam benak hati
dan menyibukkan diri hanya dengan shalat saja, tidak dengan yang lain. Sabda
Rasulullah Saw.: “sesungguhnya di dalam shalat itu niscaya terdapat kesibukan”,
ini adalah ujung hadits yang diriwayatkan Muslim, Abu Dawud, Ibnu Abi Syaibah,
Ahmad, dan hadits ini telah disebutkan secara lengkap dalam pembahasan “qunut
dalam shalat.” Berdasarkan hadits yang diriwayatkan ‘Uqbah bin Amir al-Juhani
ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Tidaklah salah
seorang berwudhu dan membaguskan wudhunya, lalu dia bershalat dua rakaat sambil
menghadapkan hati dan wajahnya pada dua rakaat tersebut kecuali wajib baginya
untuk memasuki Surga.” (HR. Abu Dawud)
Jika seorang mushalli melihat dan memandang suatu benda
atau suatu perkara, lalu pandangannya itu menyibukkan dirinya dari shalatnya,
maka pandangannya ini menjadi makruh. Dari Aisyah ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
berdiri shalat dengan mengenakan satu baju yang bergambar lalu beliau Saw.
memandang gambar-gambar tersebut. Ketika beliau Saw. telah menyelesaikan
shalatnya beliau bersabda: “Kembalikanlah baju ini pada Abu Jaham bin
Hudzaifah, dan tukarlah dengan pakaian bulu kasar yang tidak bergambar karena
baju ini telah melalaikan aku dari shalatku tadi.” (HR. Muslim)
Sebelumnya hadits ini
telah disebutkan dalam pembahasan “tempat-tempat
yang diharamkan shalat di dalamnya” pada bab “masjid dan tempat-tempat shalat.”
Karena itu, pada zaman modern sekarang ini, dimakruhkan si mushalli memandang layar televisi, atau
mendengar suara radio, karena melihat televisi dan mendengar suara radio bisa
sangat menyibukkan benak hati kita dari shalat.
2. Beberapa keadaan yang
dimakruhkan shalat di dalamnya
1) Shalat di depan
makanan itu dimakruhkan. Jika seorang Muslim akan melakukan shalat apapun, lalu
dihidangkan padanya makanan, maka hendaknya dia mendahulukan makan dan
menunaikan kebutuhannya dengan tenang, kemudian setelah itu dia shalat, bukan
sebaliknya. Anas bin Malik ra. telah meriwayatkan dari Nabi Saw.:
“Apabila makanan telah
dihidangkan dan panggilan shalat telah dikumandangkan, maka hendaklah kalian
mendahulukan makan.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ibnu Khuzaimah)
Ahmad meriwayatkan
hadits ini dari jalur Aisyah. Dari Ibnu Umar ra. ia berkata:
“Jika makanan salah
seorang dari kalian telah dihidangkan dan iqamat shalat telah dikumandangkan,
maka hendaklah kalian mendahulukan makan, dan jangan terburu-buru hingga
selesai darinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Khuzaimah
meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:
“Jika salah seorang
dari kalian telah dihidangi makanan, maka janganlah terburu-buru hingga dia
bisa menunaikan keperluan makannya, walaupun iqamat shalat telah
dikumandangkan.”
2) Shalat sambil
menahan kencing atau buang air besar, itu dimakruhkan. Orang yang menahan
kencing disebut haqin, dan orang yang
menahan buang air besar disebut haqib.
Seorang Muslim disunatkan untuk terlebih dahulu menyelesaikan keperluannya di
kamar kecil, kemudian baru pergi shalat. Dari Aisyah ra., ia berkata: aku
mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
“Tidak ada shalat di
hadapan makanan, dan tidak ada shalat bila dia ditahan oleh buang air besar
atau kecil.” (HR. Muslim, Ahmad dan Ibnu Khuzaimah)
Dari Abdullah bin
al-Arqam ra., ia berkata: aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika waktu shalat
telah tiba dan ingin buang air besar, maka dahulukan membuang air besar.” (HR.
Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Majah)
Ahmad meriwayatkan
hadits ini dengan lafadz:
“Jika salah seorang
dari kalian ingin pergi ke kamar kecil (buang air besar atau kecil) dan iqamat
shalat telah dikumandangkan, maka dahulukan pergi ke kamar kecil.”
Tsauban ra.
meriwayatkan dari Rasulullah Saw., berkata:
“Seseorang dari
kalangan kaum Muslim tidak boleh berdiri shalat sambil menahan kencing, hingga
dia membuangnya.” (HR. Ibnu Majah)
Ibnu Majah
meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
bersabda: “Salah seorang dari kalian tidak boleh berdiri untuk shalat jika dia
merasa kesakitan (karena menahan buang air besar atau kecil).”
Kalimat yang ada dalam
hadits Aisyah: “Tidak ada shalat di hadapan makanan, dan tidak ada shalat bila
dia ditahan oleh buang air besar atau kecil”, tidak memiliki pengertian
menafikan shalat atau menafikan keabsahan shalat, tetapi pengertiannya adalah
janganlah kalian shalat, karena huruf lam
di sini berfungsi sebagai la nahiyah
(larangan) bukan nafiyah (menafikan),
dengan melihat dilalah hadits-hadits
yang lain.
3) Shalat ketika badan
terasa sangat lelah karena kerja berat, atau ketika lemah dan mengantuk itu
dimakruhkan. Seorang Muslim disunahkan untuk shalat dalam keadaan kuat dan
memiliki vitalitas, hal ini agar dia melaksanakan shalat dalam bentuk yang
paling sempurna dan utama. Dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian mengantuk dan dia sedang shalat maka hendaklah dia tidur, agar
hilang rasa kantuknya, karena jika salah seorang dari kalian shalat dalam
keadaan mengantuk maka dia tidak akan menyadari (apa yang dibacanya). Mungkin
saja dia bermaksud meminta ampunan tetapi malah mencaci dirinya sendiri.” (HR.
Bukhari, Muslim, Ahmad, Malik dan Tirmidzi)
Dari Anas bin Malik
ra., ia berkata:
“Nabi Saw. masuk, dan
ternyata ada tali yang terbentang di antara dua tiang, maka beliau bertanya:
‘Tali apakah ini?” Mereka berkata: "Tali ini milik Zainab, jika dia merasa
lemah maka dia mengikatkan diri dengannya.” Maka Nabi Saw. berkata: “Tidak,
lepaskanlah oleh kalian. Hendaknya salah seorang dari kalian shalat dalam
keadaan kuat, dan jika merasa lemah maka duduklah.” (HR. Bukhari, Muslim,
Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai)
3. Perbuatan yang diharamkan
dalam shalat
Dalam pembahasan
sebelumnya kami telah menyebutkan sejumlah perbuatan yang diharamkan dalam
shalat, maka di sini kami ingin menunjukkan kembali perbuatan-perbuatan
tersebut tanpa perlu mengulang pembahasannya, kemudian kami akan membahas
sejumlah perbuatan yang diharamkan lainnya, dengan maksud menghimpun seluruh
perbuatan yang diharamkan dalam shalat dalam satu tempat pembahasan. Berikut
ini beberapa perbuatan yang diharamkan yang telah kami bahas sebelumnya:
1) Menengok (iltifat) dalam shalat. Yang kami maksud adalah
memutar leher dan pandangan ke belakang, di mana pandangan si mushalli melewati arah kiblat. Lihat
pembahasan “melihat dalam shalat” pada bab “sifat shalat.”
2) Mengangkat
pandangan ke langit. Lihat pembahasan “melihat
dalam shalat” pada bab “sifat shalat”, dan lihat pula pembahasan “khusyu
dalam shalat” pada bab “qunut dan khusyu dalam shalat.”
3) Banyak melakukan
sesuatu dan mempermainkan sesuatu yang tidak perlu dalam shalat. Yang kami
maksud perbuatan yang banyak adalah segala sesuatu yang tidak bisa
dikategorikan sebagai perbuatan kecil. Yang kami maksud dengan memain-mainkan
sesuatu yang sia-sia adalah gerakan-gerakan dan perbuatan-perbuatan yang tidak
perlu dilakukan oleh si mushalli.
Gerakan dan perbuatan tersebut dilakukan si mushalli
semata sebagai hiburan/permainan dan sebagai sikap tidak mengindahkan
ketenangan dan kekhusyuan shalat. Lihat pembahasan “perbuatan kecil” yang telah
kami bahas sebelumnya.
Sekarang kami ingin
membahas beberapa perbuatan yang diharamkan lainnya:
4) Tertawa tergelak.
Yaitu tertawa dengan suara yang terdengar (nyaring). Perbuatan perbuatan ini
diharamkan dalam shalat dan bisa menafikan sifat khusyu. Tindakan ini serupa
dengan perbuatan yang banyak atau memainkan sesuatu yang sia-sia. Ketiga perbuatan
ini haram hukumnya. Telah diriwayatkan dari Jabir ra. dari Nabi Saw. bahwa
beliau Saw. bersabda:
“Tersenyum itu tidak
memutuskan shalat, tetapi tertawa keraslah (yang bisa memutuskan shalat).” (HR.
Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah)
Thabrani telah
meriwayatkan dengan kalimat:
“Seringai itu tidak
memutuskan shalat, tetapi tertawa dengan suara keras bisa memutuskan shalat.”
Kata al-kasyaru, artinya adalah menampakkan gigi
dengan senyuman (seringai). Hadits ini telah diriwayatkan oleh Abdur Razaq
secara mauquf pada Jabir, dan al-Baihaqi
telah merajihkan kemauqufannya pada Jabir juga, tetapi Thabrani
berkata ketika meriwayatkan hadits ini: “Tidak ada yang meriwayatkan secara marfu dari Sufyan kecuali Tsabit.” Dengan
demikian, maka Thabrani telah menetapkan bahwa hadits ini merupakan riwayat
yang marfu sehingga bisa diterima.
Hadits ini telah kami sebutkan dalam pembahasan “perbuatan kecil” pada paparan
sebelumnya.
5) Meludah dan
membuang dahak ke arah kiblat atau ke sebelah kanan. Barangsiapa yang meludah
ke depannya dalam shalat, yakni ke arah kiblat, atau membuang dahak ke arah
kiblatnya, atau melakukan hal itu ke sebelah kanannya, maka dia telah melakukan
kesalahan dan mengerjakan satu perbuatan yang diharamkan. Tetapi jika ia
meludah atau membuang dahak ke arah kiri atau di bawah kaki kirinya, maka dia
telah melakukan suatu perbuatan yang dibolehkan, sehingga tidak menjadi masalah
baginya (dengan
kafarat membersihkan bekas dahaknya di masjid). Abdullah bin Umar ra. telah meriwayatkan:
“Bahwa Rasulullah Saw.
melihat ludah di tembok arah kiblat, maka beliau Saw. menggosoknya, kemudian
beliau menghadap ke arah orang-orang dan berkata: “Jika salah seorang dari
kalian melakukan shalat, maka janganlah ia meludah ke arah depannya (kiblat), karena
sesungguhnya Allah Swt. ada di depannya ketika dia shalat.” (HR. Bukhari,
Muslim dan Malik)
Darimi meriwayatkan
dengan redaksi:
“Ketika Nabi Saw.
berkhutbah, beliau melihat dahak di arah kiblat, lalu beliau Saw. marah kepada
para penghuni masjid dan berkata: “Sesungguhnya Allah Swt. ada di depan setiap
diri kalian ketika orang itu melakukan shalat, maka janganlah dia meludah.” Atau
beliau Saw. bersabda: “Maka janganlah dia meludah.” Kemudian beliau
memerintahkan untuk menggosok tempatnya, atau memerintahkan untuk melumurinya
dengan zafran atau kunyit.”
Dari Anas bin Malik
ra., ia berkata: Nabi Saw. bersabda:
“Sesungguhnya seorang
mukmin jika ia berada dalam shalatnya maka semata-mata ia sedang bermunajat
pada Tuhannya, maka janganlah ia membuang dahak ke depannya atau ke sebelah
kanannya, tetapi hendaklah ia meludah ke sebelah kirinya atau ke bawah
kakinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ahmad meriwayatkan
dari Anas bin Malik ra., ia berkata: Nabi Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian sedang shalat, maka sesungguhnya ia sedang bermunajat pada
Tuhannya, maka janganlah salah seorang dari kalian meludah ke sebelah
kanannya.” Ibnu Ja'far berkata: Janganlah dia meludah ke depan atau sebelah
kanannya, tetapi hendaklah dia meludah ke sebelah kirinya atau di bawah
kakinya.”
Sahlah as-Saib bin
Khallad ra. berkata:
“Bahwa seseorang telah
mengimami orang-orang dan ia meludah ke arah kiblat. Rasulullah Saw.
melihatnya, maka Rasulullah Saw. berkata ketika orang itu selesai dari
shalatnya: “Janganlah dia shalat mengimami kalian.” Setelah itu orang tersebut
hendak shalat mengimami mereka lagi, maka mereka mencegahnya dan
memberitahukannya tentang ucapan Rasulullah Saw. Orang tersebut menceritakan
kejadian itu kepada Rasulullah Saw., maka beliau Saw. berkata: “Ya”. Dan aku
(perawi) mengira bahwa beliau Saw. berkata: “Engkau telah menyakiti Allah azza wa jalla.” (HR. Ahmad)
Abu Dawud telah
meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:
“Sesungguhnya engkau
telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya.”
Dari Abu Said
al-Khudri ra., ia berkata:
“Bahwa Nabi Saw.
menyukai al-arajin ( kayu-kayu dari
pohon kurma), dan salah satu dari keduanya senantiasa ada di tangannya, lalu
beliau Saw. masuk ke dalam masjid dan melihat dahak di kiblat masjid. Maka
beliau Saw. menggosoknya. Kemudian beliau menghadapkan wajah pada orang-orang
dalam keadaan marah, seraya berkata: “Apakah salah seorang dari kalian merasa
senang jika wajahnya diludahi? Jika salah seorang dari kalian sedang menghadap
kiblat sesungguhnya dia sedang menghadap pada Allah Swt., dan malaikat ada di
sebelah kanannya, maka janganlah dia meludah ke sebelah kanannya dan ke arah
kiblatnya, dan hendaknya dia meludah ke sebelah kirinya atau di bawah kakinya.
Jika dia terburu-buru, maka hendaklah dia melakukannya seperti ini.” Ibnu
'Ajlan menggambarkan kepada kami tentang hal itu: yakni dia meludah ke bajunya,
kemudian ditutupi satu sama lain.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hibban)
Kata al-‘arajin: artinya kayu-kayu dari pohon
kurma. Dari Ibnu Umar ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Orang yang membuang
dahaknya ke arah kiblat, maka dia akan dibangkitkan pada Hari Kiamat dengan
dahak di wajahnya.” (HR. Ibnu Khuzaimah)
Ibnu Khuzaimah juga
meriwayatkan dari jalur Hudzaifah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
meludah ke arah kiblat, maka dia datang pada Hari Kiamat dengan ludah berada di
antara dua matanya.”
Dalam hadits pertama
disebutkan: “Jika salah seorang dari kalian melakukan shalat, maka janganlah ia
meludah ke arah depannya (kiblat), karena sesungguhnya Allah Swt. ada di
depannya ketika dia shalat", dan dalam hadits kedua disebutkan:
“Sesungguhnya seorang mukmin jika ia berada dalam shalatnya maka semata-mata ia
sedang bermunajat pada Tuhannya, maka janganlah ia membuang dahak ke depannya
atau ke sebelah kanannya”, dan dalam hadits ketiga disebutkan: “maka
sesungguhnya ia sedang bermunajat pada Tuhannya, maka janganlah salah seorang
dari kalian meludah ke sebelah kanannya. Ibnu Ja'far berkata: Janganlah dia
meludah ke depan atau sebelah kanannya", dan dalam hadits keempat
disebutkan. “Dan ia meludah ke arah kiblat,… Engkau telah menyakiti Allah azza wa jalla", dan dalam hadits kelima
disebutkan: “kemudian beliau menghadapkan wajah pada orang-orang dalam keadaan
marah, seraya berkata: Apakah salah seorang dari kalian merasa senang jika
wajahnya diludahi? Jika salah seorang dari kalian sedang menghadap kiblat
sesungguhnya dia sedang menghadap pada Allah Swt., dan malaikat ada di sebelah
kanannya," dan dalam hadits keenam disebutkan: “orang yang membuang
dahaknya ke arah kiblat, maka dia akan dibangkitkan pada Hari Kiamat dengan
dahak di wajahnya”, dan dalam hadits ketujuh disebutkan: “Barangsiapa yang
meludah ke arah kiblat, maka dia datang pada Hari Kiamat dengan ludah itu di
antara dua matanya.” Apakah ada perbuatan selainnya yang diharamkan dalam
shalat yang begitu keras larangannya dan lebih pasti melebihi larangan meludah
dan membuang dahak ke arah kiblat dan ke sebelah kanan?
Ini semua berlaku bagi
orang yang tidak membawa sapu tangan atau kertas tissue.
Namun, jika dia membawa sapu tangan atau kertas tissue,
maka hendaklah dia meludah dan membuang dahaknya ke dalamnya dan dia tetap
dalam shalatnya, tanpa perlu memutar dan menundukkan lehernya ke kanan atau ke
depan.
Inilah
perbuatan-perbuatan yang diharamkan dalam shalat yang disebutkan dalam
hadits-hadits Nabi Saw. yang mulia, di mana kami cukupkan pembahasannya sampai
di sini, tanpa perlu membahas beberapa perbuatan yang dipandang sebagian ahli
fikih sebagai perbuatan yang dimakruhkan atau diharamkan -tanpa mereka mampu
menyebutkan dalilnya dan nash-nashnya-, seperti: pengharaman makan dan minum,
makruhnya shalat di mihrab, makruhnya memejamkan kedua mata, dan sebagainya.
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar