Sujud
Sahwi: Hukum dan Sebabnya
Sujud sahwi hukumnya
fardhu atau wajib bagi orang yang meninggalkan hal-hal yang fardhu atau yang
wajib dalam shalatnya, baik shalat yang wajib ataupun shalat tathawwu’; dan menjadi sunah hukumnya apabila
dia meninggalkan sesuatu yang disunahkan dalam shalatnya. Jika yang
ditinggalkannya itu adalah rukun shalat maka batallah shalatnya, dan tidak bisa
diganti dengan sujud sahwi, sehingga dia harus mengulangnya. Ini adalah
pendapat yang rajih dalam perkara ini. Sujud sahwi dilakukan untuk menambal
kekurangan dalam satu perkara, atau menjadi jalan keluar jika ada kelebihan
akibat lupa melakukan ini dan itu. Namun, jika kekurangan tersebut adalah
sesuatu yang wajib, atau tambahan tersebut adalah sesuatu yang wajib tetapi
dilakukan secara sengaja, maka sujud sahwi tidak bisa menjadi pengganti dalam
dua kondisi seperti ini, sehingga pelakunya tetap berdosa.
Jadi, sujud sahwi
tidak bermanfaat dan tidak disyariatkan kecuali ketika kekurangan atau
kelebihan tersebut dilakukan karena lupa saja, sehingga sujud tersebut dinamai sujud as-sahwi (sujud karena lupa). As-Sahwi dan an-nisyan
itu artinya sama saja, yakni lupa. Mengenai kelebihan dalam sesuatu yang wajib
atau kekurangan dalam sesuatu yang wajib, jika dilakukan karena lupa, maka
disyariatkan pada si mushalli untuk
melakukan sujud sahwi. Hal ini telah ditetapkan oleh syariat. Sujud sahwi di
sini dianggap sebagai penghilang dosa yang bisa memalingkannya dari keharaman.
Abu Said al-Khudri meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. berkata:
“Jika salah seorang
dari kalian ragu dalam shalatnya dan tidak tahu berapa rakaat shalatkah yang
telah dia lakukan, apakah tiga atau empat, maka hendaklah dia membuang keraguan
itu. Dan hendaklah berpijak pada apa yang dianggapnya yakin benar, kemudian bersujud
dua kali sebelum dia bersalam. Dan jika shalat lima rakaat maka dua sujud
tersebut menggenapkannya. Jika dia shalat genap empat rakaat maka dua sujud
tersebut untuk menundukkan setan.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim dan
Ibnu Hibban)
Dari Abdullah bin
Buhainah al-Asadi sekutu Bani Abdul Muthalib:
“Bahwa Rasulullah Saw.
berdiri dalam shalat dhuhur, dan seharusnya beliau duduk. Ketika beliau selesai
dari shalatnya, beliau sujud dua kali dan bertakbir pada setiap sujud tersebut,
dan beliau duduk sebelum bersalam. Orang-orang melakukan sujud tersebut bersama
beliau sebagai pengganti duduk yang terlupakan.” (HR. Muslim, Bukhari, an-Nasai
dan Ibnu Hibban)
Dalam hadits yang
pertama, sujud sahwi yang dilakukan ketika shalat ruba’iyah
(empat rakaat) dilakukan menjadi lima rakaat, itu akan mengembalikan shalat
tersebut menjadi genap. Dilakukannya sujud sahwi ini, yakni mengembalikan
shalat tersebut kepada asalnya menjadi sesuatu yang diwajibkan, karena tanpa
sujud sahwi shalat ruba’iyah tersebut
tetap lima rakaat atau ganjil, sehingga sujud sahwi bisa menghilangkan celah
tersebut, koreksi atas shalat tersebut bisa dilakukan, dan semua itu tidak ragu
lagi menjadi satu hal yang diwajibkan.
Hadits kedua yang
menyatakan: “beliau sujud dua kali ...menjadi pengganti bagian duduk yang
terlupakan”, duduk di sini adalah duduk tasyahud
awal. Dan duduk seperti ini adalah sesuatu yang wajib dalam shalat tsulatsiyah (tiga rakaat) dan ruba'iyah (empat rakaat) sebagaimana kami
telah jelaskan dalam bab “sifat shalat” pada pembahasan “tasyahud dan bentuk duduknya”. Hadits ini
memandang sujud sahwi sebagai pengganti duduk tasyahud
awal, yang hukumnya wajib, dalam arti, sujud tersebut menggugurkan dosa yang
timbul akibat meninggalkan sesuatu yang wajib.
Dari dua hadits ini
kita bisa memahami wajibnya sujud sahwi ketika meninggalkan sesuatu yang wajib,
dan ketika kita sampai pada pemahaman seperti ini lalu kita analogikan pada
sesuatu yang mandub (sunat) maka jelas bahwa sujud sahwi dengan
sebab meninggalkan sesuatu yang mandub
menjadi mandub pula. Karena, yang
mengganti sesuatu yang wajib itu adalah sesuatu yang wajib juga, maka yang
mengganti posisi yang mandub itu adalah mandub juga. Jadi, tidak bisa dikatakan bahwa
meninggalkan kefardhuan dengan sebab lupa bukanlah suatu keharaman dan tidak
akan mengakibatkan dosa. Bagaimana mungkin Anda bisa menyusun satu pemahaman
melalui pernyataan seperti ini? Jawabannya adalah bahwa yang meninggalkan
kefardhuan dengan sebab lupa memang tidak berdosa dan tidak dipandang melakukan
keharaman selama dia lupa. Akan tetapi, setelah ingat dan tidak lupa lagi maka
ketika itulah dia berdosa jika dia tidak memperbaiki apa yang dilupakannya itu.
Seseorang yang lupa atas suatu kefardhuan dalam shalat, dia tidak berdosa
selama dia lupa, dan tidak wajib baginya melakukan sujud sahwi kecuali jika dia
ingat saja. Karena itu, barangsiapa yang meninggalkan kefardhuan karena lupa
maka dia tidak berdosa. Kemudian apabila dia ingat (bahwa ada kewajiban
tertentu yang ditinggalkan), saat itulah dia berdosa jika dia tidak
melakukannya dan melakukan sujud sahwi untuk itu. Ini merupakan perkara yang
sangat jelas yang tidak perlu penjelasan lain yang lebih dari itu.
Sujud sahwi
disyariatkan ketika ada tambahan dalam jumlah rakaat, kekurangan dari jumlah
rakaat, ada keraguan dalam jumlah rakaat yang telah dilakukannya, dan ketika
meninggalkan sesuatu yang wajib dalam shalat -hal ini kami kemukakan di awal
pembahasan- seperti meninggalkan tasyahud
awal. Dalam beberapa kondisi seperti ini, sujud sahwi menjadi sesuatu yang
wajib dilakukan.
Sujud sahwi dianjurkan
ketika meninggalkan sesuatu yang mandub
(sunat) -hal ini sebelumnya telah kami
paparkan- seperti meninggalkan doa dalam ruku dan sujud, meninggalkan qunut
dalam witir, meninggalkan takbir selain takbiratul
ihram, meninggalkan shalawat ibrahimiyah, dan berbagai perkara sunat lainnya dalam shalat.
Sebelumnya telah kami
sebutkan hadits Abu Said al-Khudri ra. yang diriwayatkan oleh Muslim maupun
lainnya:
“Jika salah seorang
dari kalian ragu dalam shalatnya dan tidak tahu berapa rakaat shalatkah yang
telah dia lakukan, apakah tiga atau empat, maka hendaklah dia membuang keraguan
itu, dan hendaklah berpijak pada apa yang dianggapnya yakin benar, kemudian bersujud
dua kali sebelum dia bersalam. Dan jika shalat lima rakaat maka dua sujud
tersebut menggenapkannya, dan jika dia shalat genap empat rakaat maka dua sujud
tersebut untuk menundukkan setan.”
Ini adalah dalil sujud
sahwi ketika ada keraguan dalam jumlah rakaat shalat, sebagaimana disebutkan
dalam hadits Abdullah bin Buhainah ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
berdiri dalam shalat dhuhur dan seharusnya beliau duduk. Ketika beliau selesai
dari shalatnya, beliau sujud dua kali dan bertakbir pada setiap sujud tersebut,
dan beliau duduk sebelum bersalam. Orang-orang melakukan sujud tersebut bersama
beliau sebagai pengganti duduk yang terlupakan.” (HR. Muslim, Bukhari, an-Nasai
dan Ibnu Hibban)
Ini adalah dalil sujud
sahwi ketika meninggalkan sesuatu yang wajib dalam shalat, seperti duduk untuk tasyahud awal. Dari Abdullah ra., ia berkata:
“Nabi Saw. shalat
dhuhur lima rakaat. Maka mereka (para sahabat) bertanya: “Apakah ada tambahan
rakaat dalam shalat ini?” Beliau bertanya: “Apakah itu?” Mereka berkata:
“Engkau shalat lima rakaat.” Lalu beliau melipat kakinya dan bersujud dua
kali.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ahmad meriwayatkan
hadits yang sama dengan tambahan: “lalu beliau Saw. bersalam”, dan dalam
riwayat yang ketiga dari Ahmad:
“Bahwa Nabi Saw.
shalat dhuhur atau ashar lima rakaat, kemudian beliau melakukan dua kali sujud
sahwi. Setelah itu Rasulullah Saw. berkata: ”Ini adalah dua sujud bagi siapa
saja dari kalian yang menduga bahwa dia telah melebihi atau mengurangi (sesuatu
dalam shalatnya).”
Dari Imran bin Hushain
ra.:
“Bahwa Nabi Saw.
bersalam pada tiga rakaat shalat ashar, kemudian beliau berdiri dan masuk
(dalam riwayat Muslim disebutkan beliau masuk ke dalam kamar). Lalu seseorang
berdiri menghampirinya, orang tersebut bernama al-Khirbaq, kedua tangannya
cukup panjang, lalu dia berkata: “Wahai Rasulullah.” Beliau Saw. keluar
menemuinya, dan orang itu menceritakan pada beliau Saw. apa yang telah
dilakukannya. Beliau datang seraya bertanya: “Apakah ini benar?” Mereka
berkata: “Ya.” Maka beliau Saw. shalat satu rakaat yang telah ditinggalkannya
itu kemudian bersalam, lalu beliau sujud dua kali kemudian bersalam.” (HR.
Ahmad, Muslim, Abu Dawud, an-Nasai dan lbnu Majah)
Inilah dalil-dalil
disyariatkannya sujud sahwi ketika ada tambahan atau kekurangan.
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar