BAB
KETUJUH
QUNUT
DAN KHUSYU DALAM SHALAT
Tamhid
Dalam bab sebelumnya
yang berjudul “sifat shalat” kami telah membahas beberapa unsur-unsur pembentuk
shalat yang berupa ucapan dan perbuatan. Dalam bab tersebut kami telah
menyebutkan serangkaian ucapan dan perbuatan, yang kesemuanya itu membentuk
shalat. Dalam bab ini, yang kami beri judul “Qunut dan Khusyu dalam Shalat”,
kami ingin membahas makna-makna dua istilah tersebut dan apa yang
ditunjukkannya. Kami ingin menjelaskan bahwa qunut -yang akan dibahas pada bab
ini- artinya menahan diri dari segala perkataan yang tidak disyariatkan, dan
bahwa khusyuk adalah menahan diri dari perbuatan yang tidak disyariatkan dalam
shalat. Kami akan mengawali dengan pembahasan qunut dan dalil-dalilnya,
kemudian kami akan memaparkan khusyu’ juga beserta dalil-dalilnya.
Qunut
Dalam Shalat
Makna asal qunut
adalah menetapi sesuatu (ad-dawam ‘ala as-syai).
Dari makna ini lahir beberapa makna yang lain. Adapun menurut istilah syariat,
yang dimaksud qunut adalah menetapi ketaatan pada Allah 'azza wa jalla. Allah Swt. berfirman:
“Dan barangsiapa di
antara kamu sekalian (isteri-isteri Nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya
dan mengerjakan amal yang saleh, niscaya Kami memberikan kepadanya pahala dua
kali lipat dan Kami sediakan baginya rezki yang mulia.” (TQS. al-Ahzab [33]:
31)
“Sesungguhnya Ibrahim
adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan
hanif, dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan
(Tuhan).” (TQS. an-Nahl [16]: 120)
“Mereka (orang-orang
kafir) berkata: ‘Allah mempunyai anak.’ Maha Suci Allah, bahkan apa yang ada di
langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya.” (TQS.
al-Baqarah [2]: 116)
Dan banyak lagi ayat
lainnya, semuanya memberi pengertian menetapi ketaatan pada Allah Swt., dan apa
yang dituntut oleh ketaatan tersebut (yaitu) berupa perasaan hina dan
ketundukan. Tetapi kata ini juga digunakan untuk makna lainnya dalam syariat.
Kadangkala ditetapkan
dan dimaksudkan untuk ‘doa’. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari
al-Barra bin Azib ra.:
“Bahwa Nabi Saw. berqunut pada shalat subuh dan maghrib” (HR.
Tirmidzi)
Dan hadits yang
diriwayatkan dari Anas bin Malik ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw. berqunut setelah ruku’
(dan dilakukan) selama sebulan, di mana beliau mendoakan keburukan atas
beberapa orang dari kalangan Arab. Kemudian beliau Saw. meninggalkannya.” (HR.
Ibnu Hibban)
Juga hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., bahwa dia berkata:
“Nabi Saw. berqunut selama sebulan berturut-turut pada
shalat dhuhur, ashar, maghrib, isya, dan subuh di akhir setiap shalatnya...”
(HR. Ibnu Khuzaimah)
Karena itulah disebut
dengan doa qunut.
Kadangkala qunut
ditetapkan dan dimaksudkan untuk pengertian “lama berdiri.” Di antaranya
dipahami dari hadits yang diriwayatkan dari Jabir ra., bahwa dia berkata:
“Rasulullah Saw.
ditanya: ”Shalat apakah yang paling utama?” Beliau Saw. berkata: “(Shalat yang)
berdirinya lama.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Ibnu Majah)
Thulul qunut artinya lama berdiri.
Kata qunut juga
ditetapkan dan dimaksudkan sebagai diam dan menahan diri dari perkataan. Itu
diambil dari hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Arqam ra., bahwa dia
berkata:
“Dulu kami berbicara
dalam shalat, seseorang mengajak berbicara pada temannya di mana dia berada di
sampingnya dalam shalat, hingga turunlah ayat: “Dan berdirilah kamu dalam
keadaan khusyu.” Lalu kami diperintahkan untuk diam dan kami dilarang
mengucapkan perkataan.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi)
Kalimat qanitin dalam ayat ini artinya diam dan
menahan diri untuk tidak bercakap dengan orang lain. Inilah makna yang
dimaksudkan dari qunut dalam ayat ini dengan melihat sebab-sebab turunnya ayat
ini. Makna ini pula yang menjadi objek pembahasan kami kali ini. Walaupun kami
mengambil makna ini, kami tidak akan melupakan makna umum qunut itu sendiri,
yakni menetapi ketaatan pada Allah Swt.
Qunut yang menjadi
objek pembahasan kami adalah menahan diri dari berbicara dengan orang lain dan
mengajaknya bercakap-cakap, dan membatasi diri dalam shalat hanya
bercakap-cakap dengan Allah Swt., tidak dengan selain-Nya. Itu dilakukan agar
shalat seluruhnya diperuntukkan bagi Allah. Ketaatan tetap hanya pada Allah,
dan penghambaan diri seluruhnya murni dipersembahkan bagi Allah Swt. Tuhan
semesta alam. Jadi, perkataan apapun dengan selain Allah, itu berarti telah
memutuskan diri dari ketaatan pada Allah, sehingga dapat dikatakan dia tidak
berqunut, yang membawa konsekuensi
kekurangan pada shalat. Dari Ammar bin Yasir ra. ia berkata: aku mendengar
Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya
seseorang itu selesai dari shalatnya, dan tidak ditulis untuknya kecuali
sepersepuluh shalatnya, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam,
seperlima, seperempat, sepertiga dan setengahnya.” (HR. Abu Dawud)
Ibnu Hibban
meriwayatkan dengan lafadz :
“Sesungguhnya
seseorang itu melakukan satu shalat, dan mungkin saja tidak ada yang diperoleh
dari shalatnya itu kecuali sepersepuluh, sepersembilan, seperdelapan,
sepertujuh, seperenam hingga sampai pada genapnya bilangan.”
Jika seorang Muslim
melakukan shalat, lalu dia melaksanakan seluruh kewajiban shalat dan tidak
melakukan keharaman, maka dia telah menghasilkan shalat yang sempurna. Dan jika
dia mengurangi sedikit kewajibannya atau melakukan keharaman maka dia telah menghasilkan
shalat yang kurang dengan ukuran sebanyak kewajiban yang dikuranginya atau
keharaman yang dilakukannya di dalam shalat, hingga dia shalat tetapi tidak
menghasilkan apa-apa kecuali hanya sepersepuluh shalat atau seperempatnya atau
setengahnya. Maka barangsiapa yang berbicara dengan orang lain padahal dia
dalam shalat maka dengan perkataannya itu dia telah memutus ketaatan pada Allah
sehingga berkuranglah shalatnya sesuai kadar ucapannya dan apa yang tidak boleh
dilakukannya, karena dia diperintahkan untuk menetapi ketaatan pada Allah,
hanya disibukkan dengannya dan tidak dengan ucapan-ucapan selainnya. Dari
Abdullah bin Mas'ud ra. ra ia berkata:
“Kami mengucapkan
salam kepada Rasulullah Saw. dan beliau dalam (keadaan) shalat lalu beliau
menjawab salam itu kepada kami. Ketika kami kembali dari sisi Najasyi (usai
berhijrah) kami bersalam kepadanya, tetapi beliau Saw. tidak menjawabnya. Maka
kami bertanya: “Wahai Rasulullah, dulu kami mengucap salam kepadamu dalam
shalat dan engkau membalasnya pada kami.” Beliau Saw. berkata: “Sesungguhnya di
dalam shalat itu benar-benar ada kesibukan.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ibnu Abi
Syaibah dan Ahmad)
Benar, orang yang
shalat itu sedang menyibukkan diri dengan bercakap-cakap dengan Allah Swt.
Perkara ini menjadi lebih jelas dengan hadits yang diriwayatkan dari jalur
Abdullah ra., ia berkata:
“Kami dulu mengucap
salam kepada Nabi Saw. ketika kami masih berada di Makkah sebelum kami
mendatangi negeri Habsyah. Saat kami pulang dari negeri Habsyah, kami
mendatangi beliau Saw. dan mengucapkan salam kepadanya, tetapi beliau Saw.
tidak membalasnya. Lalu orang yang berada di dekat dan sedikit jauh dari kami
mencegah kami, hingga mereka menyelesaikan shalat. Maka aku bertanya kepadanya,
dan beliau Saw. berkata: “Sesungguhnya Allah azza
wa jalla akan menjadikan urusan yang dikehendaki-Nya, dan sesungguhnya
Dia Swt. telah menjadikan sebagian urusan-Nya itu adalah agar kita tidak
berbicara dalam shalat.” (HR. Ahmad)
Abu Dawud, Ibnu
Hibban, an-Nasai, dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan hadits ini dengan redaksi
kalimat yang berbeda. Abu Ya'la dan Abdun bin Humaid meriwayatkan hadits ini,
dan di dalamnya disebutkan: ”...dan jika kalian berada dalam shalat maka
diamlah dan janganlah kalian berbicara.” Ucapan, “maka diamlah dan janganlah
berbicara,” merupakan dilalah yang
sangat jelas bahwa qunut itu berarti diam dan menahan diri dari berbicara.
Seorang qanit artinya adalah orang yang tidak
berbicara dalam shalatnya kecuali dengan perkataan yang disyariatkan, berupa qira’ah (membaca al-fatihah dan surat/ayat
al-Qur’an) dan dzikrullah. Dari Muawiyah bin al-Hakam al-Sulami ra. ia berkata:
“Ketika aku shalat
bersama Rasulullah Saw. tiba-tiba salah seorang dari mereka bersin, lalu saya
mengucapkan: Yarhamukallah (semoga Allah
Swt. merahmatimu), maka orang-orang melemparkan pandangannya padaku, lalu aku
berkata: “Celaka, mengapa kalian memandangku?” Mereka memukulkan tangannya pada
paha-paha mereka. Ketika aku melihat mereka mendiamkanku, aku diam. Tatkala
Rasulullah Saw. telah shalat. Demi ayah dan ibuku, aku tidak pernah melihat
seorang guru pun sebelum dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya dari
beliau Saw., dan demi Allah, beliau Saw. tidak membentakku, tidak memukulku dan
tidak mencaciku. Dia (perawi) berkata: Sesungguhnya shalat ini tidak layak di
dalamnya sedikitpun ada perkataan yang ditujukan untuk manusia, semata-mata
hanya tasbih, takbir dan bacaan
al-Qur'an, atau sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah Saw.” (HR. Muslim,
Ahmad, ad-Darimi dan an-Nasai)
Abu Dawud meriwayatkan
hadits ini, di dalamnya disebutkan:
“Sesungguhnya di dalam
shalat ini tidak halal ada perkataan manusia sedikitpun, semata-mata hanya
tasbih, takbir dan bacaan al-Qur’an, atau sebagaimana yang diucapkan oleh
Rasulullah Saw.”
Kalimat dalam hadits
ini: “ketika aku melihat mereka mendiamkanku, aku diam”, nampak jelas ada
sesuatu yang dibuang atau kesamaran. Dalam riwayat Ibnu Hibban ditemukan lafadz
yang bisa menghilangkan kesamaran ini:
“Ketika aku melihat
mereka mendiamkanku agar aku diam maka aku pun diam.”
Dan dalam riwayat
at-Thahawi ditemukan lafadz: “ketika aku melihat mereka mendiamkanku, akupun
diam.”
Shalat itu ibadah, dan
ibadah itu seluruhnya hanya kepada Allah Swt. Perkataan yang diucapkan di
dalamnya adalah bacaan, dzikir, doa, tasbih, takbir, dan semua itu ditujukan
kepada Allah Swt. Dengan sendirinya, apapun yang tidak disyariatkan di dalam
shalat, dan yang ditujukan pada selain Allah, maka tidak layak dilakukan di
dalam shalat, dengan melihat dilalah
dalam riwayat hadits yang pertama. Dan haram hukumnya berdasarkan dilalah hadits yang kedua. Keduanya
menunjukkan wajibnya berqunut.
Berdasarkan hal ini, maka menjawab doa orang yang bersin dan membalas salam
pada orang-orang, serta berbicara dengan mereka, bagaimanapun juga tetap
diharamkan dan tidak boleh dilakukan sepanjang shalat. Cukuplah kita mengingat
hadits yang telah kami sebutkan dalam pembahasan “hukum takbiratul ihram” yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra.,
bahwa dia berkata: “Rasulullah Saw. bersabda:
“Kunci shalat adalah
bersuci, tahrimnya adalah takbir, dan tahlilnya (yang menghalalkannya) adalah
mengucapkan salam.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Di dalam hadits ini
ada kalimat: “tahrimnya adalah takbir”,
di mana pengertiannya adalah bahwa masuknya seseorang ke dalam shalat dengan
takbir menjadikan seluruh perkataan selain perkataan shalat itu diharamkan.
Hukum ini bersifat umum, mencakup shalat fardhu dan juga shalat nafilah, mencakup juga imam, orang yang shalat
munfarid dan makmum.
Perkataan dalam shalat
itu ada dua jenis: jenis yang disyariatkan dan ditentukan, seperti membaca
al-fatihah, takbir, tasbih dan tasyahud;
dan jenis yang disyariatkan tetapi tidak ditentukan, seperti doa-doa dalam
ruku’, sujud dan duduk, dan seperti berdzikir kepada Allah dengan dzikir yang
disunatkan dan dianjurkan.
Mengenai jenis
pertama, maka ini termasuk ucapan yang membentuk rangkaian shalat. Dan jenis
yang kedua adalah ucapan dan perkataan yang diizinkan di dalam shalat, yang
bukan termasuk ucapan yang membentuk rangkaian shalat tadi. Artinya, walaupun
itu diucapkan atau tidak, diperbanyak atau tidak, maka shalatnya tetap
terlaksana sesuai kondisi dan bentuk yang seharusnya.
Dalam bab sebelumnya
telah kami paparkan doa, ta'awwudz dan
dzikir yang boleh diucapkan dalam shalat, bahkan sangat dianjurkan, karenanya
kami tidak akan mengulangnya di sini. Yang ingin kami tambahkan di sini adalah
bahwa termasuk ucapan dan doa yang diidzinkan itu adalah ucapan yang menyertai
bacaan al-Qur’an, di mana seorang yang shalat (al-mushalli)
jika membaca al-Qur'an dalam shalatnya maka dia bisa berhenti pada beberapa
ayat Allah untuk berdoa dan berta’awwudz
sesuai dengan ayat yang dibacanya. Dari Hudzaifah ra. ia berkata:
“Pada suatu malam aku
shalat bersama Rasulullah, beliau tidak melewati satu ayat tentang rahmat
kecuali beliau berhenti padanya dan memintanya. Dan beliau tidak melewati satu
ayat tentang adzab kecuali beliau berhenti padanya dan meminta perlindungan darinya.”
(HR. Ibnu Khuzaimah)
Dari Hudzaifah ra., ia
berkata:
“Pada suatu malam aku
shalat bersama Rasulullah Saw. Beliau Saw. mulai membaca surat al-Baqarah, lalu
aku bergumam: Beliau akan ruku’ ketika sudah seratus ayat, tetapi beliau
melewatinya, lalu aku pun berkata: Beliau shalat dengan surat itu dalam satu rakaat,
dan beliau melewatinya, lalu aku berkata lagi: Beliau akan ruku’ setelah
menyelesaikan surat itu, tetapi kemudian beliau memulai surat an-Nisa dan
membacanya, kemudian memulai surat Ali Imran dan membacanya, beliau membaca
ketiga surat itu secara bersambung. Jika melewati satu ayat yang di dalamnya
ada tasbih maka beliau bertasbih, jika melewati ayat berisi permohonan maka
beliau memohon, dan jika melewati satu ayat tentang minta perlindungan maka
beliau meminta perlindungan, kemudian beliau ruku...” (HR. Muslim)
Hadits ini telah kami
sebutkan dalam pembahasan “bacaan al-Qur’an yang ditambahkan pada al-fatihah
dalam shalat”.
Doa-doa dan ta’awwudz ini termasuk dalam kategori dzikir
kepada Allah Swt. Dalam riwayat Abu Dawud dari jalur Muawiyah bin al-Hakam
as-Sulami disebutkan:
“Sesungguhnya shalat
itu semata-mata hanya untuk membaca al-Qur’an dan berdzikir kepada Allah. Dan
jika engkau di dalamnya maka jadikanlah itu sebagai keadaanmu.”
Ucapan beliau Saw.:
“semata-mata hanya” berfaidah untuk membatasi (al-hashr),
di mana perkataan hanya dibatasi dengan membaca al-Qur’an dan dzikir pada Allah
Swt., tidak boleh lebih dari itu. Rasulullah Saw. sendiri telah dilarang untuk
berbicara dengan orang dalam shalat, maka kita pun demikian. Dari Jabir bin
Abdullah ra. ia berkata:
“Rasulullah Saw.
mengutusku dan beliau berangkat ke Bani Musthaliq. Aku menemuinya, dan beliau
Saw. sedang shalat di atas untanya. Aku mengajaknya berbicara, tetapi beliau
Saw. memberi isyarat dengan tangannya seperti ini -Zuhair memberi isyarat
dengan tangannya-. Kemudian aku mengajaknya berbicara lagi, tapi beliau Saw.
berkata padaku seperti ini -Zuhair memberi isyarat dengan tangannya ke arah
tanah-, dan aku mendengarnya membaca sambil memberi isyarat dengan kepalanya.
Tatkala selesai, beliau Saw. berkata: “Apakah engkau telah melaksanakan tugas
yang engkau aku utus? Karena tidak ada yang menghalangiku untuk berbicara
denganmu kecuali aku sedang dalam shalat...” (HR. Muslim, Ahmad dan Abu Dawud)
Inilah dalil yang dilalahnya qath’iy,
yang menunjukkan berbicara dengan manusia itu dilarang sepanjang shalat.
Tentang ucapan pada
diri sendiri, maka tidak apa-apa, asalkan ucapan tersebut termasuk dzikir
kepada Allah Swt. Seandainya si mushalli
itu bersin dalam shalatnya maka tidak apa-apa dia mengucapkan: “Alhamdulillah” (segala puji bagi Allah), atau
“Alhamdulillah 'ala kulli hal” (segala
puji bagi Allah dalam segala keadaan). Seandainya dia mendengar suara
halilintar, padahal dia sedang shalat, maka tidak apa-apa dia mengucapkan: “Ya
Allah, janganlah Engkau binasakan kami dengan kemarahan-Mu, dan janganlah
Engkau hancurkan kami dengan siksa-Mu, dan maafkanlah kami sebelum itu.” Dan
seandainya dia mendengar suara angin ribut, padahal dia sedang shalat maka
tidak apa-apa baginya mengucapkan: “Ya Allah, jadikanlah ini angin biasa,
janganlah Engkau jadikan ini sebagai angin kencang penyebab bencana”, atau yang
lainnya yang masih dianggap sebagai doa dan dzikir kepada Allah. Dari Rifa’ah
ra. ia berkata:
“Aku shalat di
belakang Rasulullah Saw., kemudian aku bersin dan aku berkata: “Segala puji
bagi Allah, dengan pujian sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya, pujian yang
penuh barakah dan diberkahi, sebagaimana disukai dan diridhai oleh Tuhan kami.”
Tatkala Nabi Saw. selesai shalat, beliau berkata: “Siapakah yang berbicara
dalam shalat tadi.” Tidak seorangpun yang menyahut. Kemudian beliau Saw.
bertanya untuk kedua kalinya: “Siapakah yang berbicara dalam shalat tadi.”
Tidak ada seorangpun yang menyahut. Setelah itu beliau bertanya untuk ketiga
kalinya, maka berkatalah Rifa'ah bin Rafi bin Afra: “Aku wahai Rasulullah.”
Beliau berkata: “Apa yang engkau ucapkan?” Dia berkata: aku berkata: “Segala
puji bagi Allah, dengan pujian yang banyak, pujian yang penuh barakah dan
diberkahi, sebagaimana Tuhan kami menyukai dan meridhai.” Maka Nabi Saw.
berkata: “Demi Dzat yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, sungguh puji-pujian
tersebut telah diperebutkan oleh tiga puluh lima malaikat, siapakah di antara
mereka yang bisa membawanya naik.” (HR. Tirmidzi)
An-Nasai meriwayatkan
hadits ini juga dengan redaksi yang sedikit berbeda.
Ada dua kondisi di
mana perkataan yang ditujukan kepada orang lain boleh diucapkan. Keduanya
disebutkan dalam beberapa hadits yang isinya membolehkan perkataan dalam dua
kondisi tersebut dan mengecualikannya dari kewajiban qunut dan diam. Jadi,
hanya dibatasi pada dua kondisi itu saja, tidak boleh yang lainnya atau meng-qiyas-kannya dengan yang lain. Perkataan yang
diucapkan itu layak untuk shalat, berupa bacaan al-Qur'an dan dzikir saja,
tidak yang lain. Dua kondisi tersebut adalah: kondisi mengingatkan bacaan pada
imam, dan kondisi perlunya si mushalli
mengingatkan yang lain terhadap kesalahan yang dilakukannya.
Apabila seseorang
mengimami orang-orang dalam shalat jahriyah,
lalu dia salah membaca al-Qur’an, atau dan tidak bisa meneruskan hafalannya
sehingga dia berhenti membaca, maka para makmum di belakangnya bisa
mengingatkannya dengan membaca ayat atau beberapa ayat yang salah atau
terlupakan tersebut, sehingga imam belum bisa menyebutkannya, dan tidak
menambah bacaan dengan sesuatupun. Namun, jika imam salah dalam beberapa
perbuatan shalat, seperti duduk di akhir rakaat pertama, atau hendak bangkit
dari rakaat kedua tanpa duduk terlebih dahulu, maka para jamaah hendaknya
bertasbih dengan mengucapkan: Subhanallah
(Maha Suci Allah) jika mereka laki-laki, dan bertepuk tangan jika mereka
perempuan.
Begitu pula mereka
bertasbih jika (imam) tertimpa sesuatu di sepanjang shalatnya. Dalil bolehnya
mengucapkan perkataan pada orang lain dalam kondisi pertama adalah hadits yang
diriwayatkan oleh al-Musawwar bin Yazid al-Maliki, ia berkata:
“Aku menyaksikan
Rasulullah Saw. membaca dalam shalat, lalu dia meninggalkan sesuatu alias tidak
membacanya. Maka seseorang berkata kepadanya: "Wahai Rasulullah, engkau
teiah meninggalkan (tidak membaca) ayat ini dan ini.” Rasulullah Saw. berkata:
“Mengapa engkau tidak mengingatkan ayat itu kepadaku?” (HR. Abu Dawud dan Ibnu
Hibban)
Dalam riwayat Ibnu
Hibban yang lain dari jalur al-Musawwar bin Yazid disebutkan dengan lafadz:
“Beliau berkata,
”Mengapa engkau tidak mengingatkan ayat itu kepadaku?” Dia berkata: “Aku
menyangka bahwa ayat itu telah dinasakh.”
Beliau Saw. berkata: “Sesungguhnya ayat itu belum dinasakh.”
Dan hadits yang
diriwayatkan Ibnu Umar ra.:
“Bahwa Nabi Saw.
melakukan shalat, lalu ada ayat yang terlupakan sehingga beliau merasa bingung.
Ketika selesai, beliau Saw. bertanya kepada Ubay: “Apakah engkau ikut shalat
bersama kami?” “Ya.” Beliau Saw. berkata: “Apa yang menghalangimu untuk
mengingatkan ayat itu kepadaku?” (HR. Ibnu Hibban)
Abu Dawud meriwayatkan
hadits yang sama tetapi tidak menyebutkan “mengingatkan ayat itu kepadaku.” Dan
hadits yang diriwayatkan al-Hakim dengan sanad yang shahih dari Anas ra., bahwa
ia berkata:
“Kami suka
mengingatkan bacaan imam di masa Rasulullah Saw.”
Dalil yang membolehkan
melontarkan perkataan pada orang lain dalam kondisi kedua adalah hadits yang
diriwayatkan Sahl bin Saad as-Sa’idiy ra., dari Nabi Saw. beliau berkata:
“Barangsiapa yang
terjadi sesuatu dalam shalatnya, maka hendaklah dia mengucapkan: Subahanallah. Sesungguhnya bertepuk tangan itu
hanya untuk wanita, dan bertasbih itu hanya untuk laki-laki.” (HR. Ahmad dan
at-Thahawi)
Ibnu Hibban
meriwayatkan dari jalur Sahal bin Saad ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
pergi menemui Bani Amr bin Auf untuk menyelesaikan persengketaan di antara
mereka dan tibalah waktu shalat. Lalu Bilal datang menemui Abu Bakar Shidiq
ra., seraya berkata: “Maukah engkau shalat mengimami orang-orang, (kalau mau)
maka aku akan beriqamat?” Dia berkata:
“Ya.” Abu Bakar pun shalat. Kemudian datang Rasulullah Saw. dan orang-orang
tetap dalam (kondisi) shalat. Lalu beliau Saw. lewat hingga sampai di shaf
pertama. Orang-orang bertepuk tangan, tetapi Abu Bakar tidak menoleh dalam
shalatnya. Ketika orang-orang semakin riuh bertepuk, Abu Bakar menoleh. Maka
Rasulullah Saw. melihat dan memerintahkannya “tetaplah di tempatmu”. Abu Bakar
mengangkat kedua tangannya seraya memuji Allah Swt. karena apa yang
diperintahkan Rasulullah Saw. tersebut kepadanya. Setelah itu Abu Bakar mundur
hingga sejajar dalam barisan, dan Nabi Saw. maju dan (melanjutkan) shalat. Usai
shalat beliau Saw. berkata: “Wahai Abu Bakar, apa yang mencegahmu untuk diam di
tempatmu ketika aku memerintahkanmu?” Abu Bakar berkata: “Ibnu Abi Quhafah
tidak memiliki hak untuk shalat di depan Rasulullah Saw.” Rasulullah Saw.
berkata: “Mengapa aku melihat kalian memperbanyak tepuk tangan? Barangsiapa
yang terjadi sesuatu dalam shalatnya maka hendaklah dia bertasbih, karena
sesungguhnya jika tasbih dilafalkan maka hendaklah dia ditoleh (dipedulikan),
dan sesungguhnya bertepuk tangan itu hanya untuk kaum wanita.”
Dalam riwayat Ibnu
Hibban lainnya, dari jalur Sahal bin Saad:
“…Kemudian beliau
berkata kepada orang-orang: “Apabila terjadi sesuatu dalam shalat kalian, maka
hendaklah kaum lelaki bertasbih dan kaum wanita bertepuk tangan.”
Dari Abu Hurairah ra.,
ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Tasbih itu untuk
laki-laki dan bertepuk tangan itu untuk wanita.” (HR. Muslim, Ahmad, Ibnu
Majah, Ibnu Hibban dan at-Thahawi)
Dalam riwayat Muslim
lainnya dan an-Nasai ada tambahan: “dalam shalat” di bagian akhirnya.
Saya ulangi pernyataan
saya bahwa ucapan dalam dua kondisi ini semata-semata dilakukan dengan ucapan
yang termasuk kategori ucapan shalat yang disyariatkan atau diizinkan, yakni
termasuk ucapan yang digunakan untuk menyeru Allah Rabbil ‘alamin, bukan ucapan yang biasa digunakan untuk menyeru
manusia. Jadi, tatkala seseorang merasa perlu untuk menyeru orang lain maka dia
tidak boleh mengatakan apapun selain hanya bertasbih saja, dan tasbih itu
sendiri termasuk ucapan yang dilafalkan dalam shalat. Seseorang yang merasa
perlu untuk mengingatkan bacaan imam, tidak lebih hanya membaca ayat yang
terlupakan imam itu saja atau salah dalam membacanya, tanpa perlu tambahan
apapun yang termasuk ucapan manusia dalam dua kondisi ini.
Selain itu, qunut itu
wajib untuk ditetapi. Qunut dalam arti: diam dan menahan diri dari berbicara
pada orang lain. Yang didiamkan itu atau tidak boleh dilontarkan itu adalah
ucapan. Yang dimaksud ucapan adalah lafadz yang memiliki huruf, sehingga sesuatu
yang tidak berhuruf bukan termasuk ucapan, sehingga tidak dilarang, dan tidak
akan menafikan qunut itu sendiri. Karena itu, menangis, walaupun itu terdapat
suara yang bisa terdengar, ini bukanlah ucapan, sehingga tidak dilarang.
Mutharrif bin Abdullah telah meriwayatkan dari ayahnya, bahwa dia berkata:
“Aku menemui
Rasulullah Saw. dan beliau sedang shalat, dan di dadanya ada suara mendidih
seperti mendidihnya (air) dalam periuk, karena menangis.” (HR. Ahmad, Abu Dawud
dan an-Nasai)
Ali ra. berkata:
“Tidak ada seorang
ksatria penunggang kuda pada Perang Badar selain al-Miqdad, dan sungguh aku
telah menyaksikan bahwa pada malam harinya tidak ada seorangpun dari kami yang
bangun untuk shalat selain Rasulullah Saw. Beliau berada di bawah sebuah pohon
dan bershalat sambil menangis hingga pagi hari.” (HR. Ibnu Hibban dan Ahmad)
Dalil-dalil tentang
kebolehan menangis dalam shalat itu sangat banyak dan terkenal.
Tiupan dalam shalat
walaupun dengan suara yang bisa didengar, itu juga tidak diharamkan, karena
tiupan itu bukanlah ucapan walaupun keluar dengan huruf sekalipun. Abdullah bin
Amr ra. menyebutkan sifat shalat Rasulullah Saw. pada waktu gerhana matahari:
“Dan beliau Saw.
sampai meniup di atas tanah dan menangis ketika beliau sedang bersujud dalam
rakaat kedua, dan beliau mengucapkan: “Wahai Tuhanku, mengapa Engkau menyiksa
mereka padahal aku masih ada di antara mereka? Tuhanku mengapa Engkau menyiksa
kami padahal kami masih meminta ampunan kepada-Mu.” Lalu beliau mengangkat
kepala, dan matahari telah nampak bersinar kembali...” (HR. Ahmad)
Abu Dawud meriwayatkan
hadits yang di dalamnya disebutkan.:
”…Kemudian beliau
meniup di akhir sujudnya dan mengucapkan: uf…uf… lalu berkata: “Tuhanku, bukankah Engkau
telah berjanji kepadaku bahwa Engkau tidak akan menyiksa mereka ketika aku
masih ada bersama mereka? Bukankah Engkau telah berjanji kepadaku bahwa Engkau
tidak akan menyiksa mereka ketika mereka beristighfar meminta ampunan?” Lalu
Rasulullah Saw. selesai dari shalatnya, dan matahari telah tampak dan terang.”
Inilah dua dalil yang
menunjukkan bolehnya meniup dalam shalat. Satu dalil tentang mutlaknya tiupan
tersebut, dan satu dalil lain menunjukkan tiupan dengan dua huruf. Karena itu,
apa yang akan dikatakan oleh orang yang berpendapat haramnya mengeluarkan suara
apapun, walaupun dengan dua huruf, di mana mereka menganggapnya sebagai ucapan?
Benar, kami mengatakan
haramnya ucapan dengan dua huruf, bahkan kami menyatakan haramnya ucapan dengan
satu huruf sekalipun, misalnya mengucapkan kata perintah: qi (jagalah), fi
(penuhilah) dan ‘i (sadarilah), yang
berasal dari kata kerja waqa (menjaga), wafa (memenuhi), wa’a
(menyadari). Selama huruf tersebut telah keluar, maka hal itu termasuk ucapan.
Apabila yang keluar itu adalah suara yang bukan termasuk kategori ucapan, lalu
apa dalil mereka sampai mengharamkannya? Suara ini telah keluar dengan dua
huruf: “uf…uf…”,
dan keluar berulang, sehingga menjadi empat huruf, dikeluarkan oleh Rasulullah
Saw. yang mulia. Maka setelah ini, apakah mereka masih memiliki alasan yang
lain?
Berdehem walaupun
dengan suara yang bisa didengar, dan walaupun keluar dengan satu huruf, dua
huruf atau bahkan tiga huruf (ehm), maka
ini bukanlah ucapan, sehingga ia tidak termasuk sesuatu yang diharamkan. Dengan
alasan ini pun sebenarnya sudah cukup, tetapi kami memiliki nash-nash yang
menunjukkan kebolehan berdehem. Dari Ali ra., ia berkata:
“Aku memiliki satu
waktu dari Rasulullah, di mana aku bisa mengunjunginya saat itu. Jika aku
mengunjunginya, aku meminta idzin, sehingga jika kudapati beliau Saw. sedang
shalat maka beliau berdehem, lalu aku pun masuk. Dan jika kudapati beliau Saw.
selesai dari shalat maka beliau Saw. langsung mengijinkan aku.” (HR. an-Nasai)
Yang serupa dengan
tiupan, deheman, dan tangisan adalah rintihan, keluhan kesakitan, dan bunyi
nafas di tenggorokan. Karena dalil yang ada menunjukkan haramnya ucapan,
sedangkan ucapan itu sendiri telah diketahui dan dimaklumi, maka selain dari
ucapan ini tidak termasuk dalam keharaman yang disebutkan dalam dalil tersebut.
Terkait dengan ucapan
atau perkataan pada orang-orang dalam shalat; apakah ini termasuk hal-hal yang
membatalkan shalat -sehingga berakibat wajibnya mengulang shalat-, ataukah
hanya satu bentuk keharaman saja -di mana pelakunya akan berdosa dan berkurang
shalatnya- tetapi tidak wajib mengulang shalat? Ibnu al-Mundzir menyatakan:
“Para ahli ilmu telah bersepakat bahwa orang yang berbicara dalam shalatnya
secara sengaja dan dia tidak ingin memperbaiki shalatnya maka shalatnya itu
rusak, dan mereka berbeda pendapat terkait ucapan orang yang lalai dan bodoh.”
Tirmidzi menyatakan: “Yang dipraktekkan oleh ahli ilmu adalah mereka berkata:
jika seseorang itu berbicara secara sengaja dalam shalat ataupun lupa maka dia
harus mengulang shalatnya.” Sebagian orang menyatakan: jika seseorang berbicara
dengan sengaja dalam shalat maka dia harus mengulangnya, dan jika berbicara
karena lupa atau bodoh maka shalatnya tetap sah. An-Nawawi telah
menghubungkannya pada jumhur ulama.
Mereka yang menyatakan
batalnya shalat orang yang berbicara telah berdalil dengan ucapan Rasulullah
saw:
“Sesungguhnya shalat
ini tidak layak di dalamnya sedikitpun ada perkataan yang ditujukan untuk
manusia.”
Ini adalah ujung
hadits yang diriwayatkan Muslim dan yang lainnya dari jalur Muawiyah bin
al-Hakam, yang sebelumnya telah kami sebutkan. Mereka menyatakan ketika
perkataan tidak layak diucapkan dalam shalat, artinya perkataan tersebut
merusak shalat. Jika merusaknya berarti telah membatalkannya, sehingga wajib
untuk mengulangnya. Sekelompok orang dari mereka berpegang pada kaidah bahwa
apa yang diharamkan dalam shalat itu membatalkannya (ma yuhramu fis shalat yubthiluha).
Kami katakan kepada
mereka: kami lebih puas dengan pernyataan bahwa perkataan dalam shalat tidak
layak diucapkan di dalamnya, dan hukumnya haram saja alias tidak boleh. Namun,
kami menyatakan hal ini semata-mata hanya berpijak pada dilalah nash-nash saja, dan tidak melampauinya dengan
menggunakan berbagai asumsi atau premis-premis yang tidak dikandung nash
tersebut. Karena itu, dari mana mereka bisa sampai berpendapat bahwa setiap
yang diharamkan dalam shalat itu membatalkannya, dan dari mana mereka
mendapatkan bahwa sesuatu yang tidak layak dalam shalat itu membatalkannya?
Tatkala mereka
berpegang pada kaidah bahwa sesuatu yang diharamkan dalam shalat, atau bahwa
meninggalkan satu kewajiban dalam shalat itu membatalkan, maka ini juga salah.
Yang benar adalah bahwa tidak ada yang membatalkan shalat kecuali dengan
meninggalkan salah satu syarat shalat, atau meninggalkan salah satu rukun
shalat, sehingga selain itu tidak akan membatalkan shalat dan tidak merusaknya.
Saya tidak ingin memasuki pembahasan ilmu ushul lebih dalam lagi -dalam masalah
itu- karena tempatnya bukan di sini. Saya hanya ingin membantah mereka dengan
hadits yang diriwayatkan Muawiyah bin al-Hakam:
“Tiba-tiba salah
seorang dari mereka bersin, lalu aku mengucapkan: “Yarhamukallah” (semoga Allah Swt. merahmatimu)... beliau Saw.
berkata: “Sesungguhnya shalat ini, tidak layak di dalamnya sedikitpun ada
perkataan yang ditujukan untuk manusia.”
Muawiyah telah
berbicara, lalu Rasulullah Saw. memberitahukannya bahwa perkataan dalam shalat
itu tidak layak diucapkan. Dalam riwayat Abu Dawud:
“Sesungguhnya ini
adalah shalat, tidak halal di dalamnya ada sedikitpun perkataan manusia ini.”
Artinya, beliau Saw.
hanya memberitahukan keharaman apa yang telah dilakukannya, tidak lebih dari
itu. Beliau Saw. tidak memintanya mengulang shalat, sehingga hal ini
menunjukkan bahwa shalatnya tidak batal karena melakukan satu keharaman. Nash
ini tidak boleh ditakwilkan dengan menyatakan bahwa walaupun nash ini tidak
menyebutkan permintaan pada Muawiyah untuk mengulang shalat, tetapi hal itu
tidak menghalangi kemungkinan beliau Saw. telah meminta Muawiyah mengulang
shalat. Kami katakan kepada mereka: ini adalah dalil yang jelas bahwa perkataan
itu haram, dan bahwa sesuatu yang haram dalam shalat itu tidak membatalkannya
dan tidak merusaknya. Dan ini cukup menjadi bantahan pada salah salah satu dari
dua istidlal ini.
Istidlal (penarikan kesimpulan) mereka yang
pertama, bahwa apa yang disebutkan dalam hadits: “Sesungguhnya ini adalah
shalat, tidak layak di dalamnya sedikitpun ada perkataan manusia ini”,
menunjukkan fasadnya shalat orang yang
berbicara. Hal ini telah dibantah oleh hadits Muawiyah bin al-Hakam, karena
Rasulullah Saw. mendengar percakapan Muawiyah dalam shalat. Lalu beliau Saw.
memberitahukannya bahwa dia telah melakukan perbuatan haram, dan bahwa dia telah
melakukan sesuatu yang tidak layak dalam shalat. Cukup dengan penjelasan ini
saja, tidak ditambah dengan perintah wajibnya mengulang shalat, sehingga
pernyataan wajibnya mengulang merupakan perkataan yang diada-adakan yang
dikaitkan pada Rasulullah Saw., dan ini tidak boleh.
Mengenai pernyataan
mereka bahwa omongan yang diucapkan karena ketidaktahuan tidak membatalkan
shalat. Bahwa Muawiyah telah mengucapkan sesuatu dalam keadaan tidak tahu, dan
orang yang tidak tahu itu dimaafkan, maka hal itu juga dapat dibantah. Bahwa
yang membatalkan shalat dengan meninggalkan salah satu syarat atau salah satu
rukun tidak menjadikan pelakunya -yang tidak tahu itu- bisa lolos dari batalnya
shalat sehingga wajib mengulang shalat. Ini karena, siapa yang shalat tanpa
wudhu, baik karena tidak tahu atau lupa; atau siapa yang shalat sebelum masuk
waktunya, baik karena tidak tahu atau lupa; atau siapa yang shalat lalu dia
tidak ruku’, baik karena tidak tahu atau lupa, maka shalatnya batal, dan wajib
untuk diulang. Ketidaktahuan dan kelalaiannya itu tidak berguna baginya, di
sini. Berdasarkan hal ini, kami katakan bahwa Muawiyah bin al-Hakam, seandainya
dia melakukan sesuatu yang membatalkan shalat -baik karena ketidaktahuan atau
lupa-, maka shalatnya itu menjadi batal, dan saat itu Rasulullah Saw. akan
menyuruhnya mengulang shalat. Namun, ketika kita dapati bahwa Rasulullah Saw.
tidak memerintahkannya mengulang shalat, maka hal itu menunjukkan bahwa omongan
bukanlah sesuatu yang membatalkan shalat. Abu Hurairah telah meriwayatkan:
“Bahwa Nabi Saw.
berbicara dalam shalat karena lupa, lalu beliau Saw. berpegang pada rakaat
shalat yang telah dilakukannya.” (HR. Thabrani)
Ucapan: “lalu Nabi
Saw. berpegang pada rakaat shalat yang telah dilakukannya” setelah beliau
berbicara karena lupa, tanpa ragu lagi menunjukkan bahwa omongan karena lupa
tidak membatalkan shalat. Hadits ini semakin menguatkan pemahaman yang kami
pegang bahwa Muawiyah bin Hakam tidak diperintah untuk mengulang shalat.
Kami juga memiliki
hadits Dzul Yadain, yang termasuk salah satu hadits yang shahih dan masyhur, di
mana hadits ini diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan Ibnu
Majah dari jalur Abu Hurairah ra., dan diriwayatkan pula oleh Muslim, Ahmad,
Abu Dawud dan Ibnu Majah dari jalur Imran bin al-Hushain, juga diriwayatkan
Ibnu Majah dari jalur Ibnu Umar, serta diriwayatkan Muslim dan Tirmidzi dari
jalur Abu Hurairah dengan redaksi yang berbeda dengan sebelumnya. Kami cukup
menyebutkan riwayat yang terakhir: Dari Abu Hurairah ra. ia berkata:
“Rasulullah Saw.
shalat ashar mengimami kami, lalu beliau bersalam dalam dua rakaat. Maka Dzul
Yadain berkata: “Apakah shalat ashar ini telah diqashar
wahai Rasulullah, ataukah engkau lupa?” Rasulullah Saw. berkata; “Semua itu
tidak terjadi.” Ia berkata: “Sungguh salah satunya telah terjadi wahai
Rasulullah.” Maka Rasulullah Saw. menghadap kepada orang-orang, dan bertanya:
“Apakah benar (pembicaraan) Dzul Yadain ini?” Mereka berkata: “Ya wahai
Rasulullah.” Rasulullah Saw. menyempurnakan rakaat yang tersisa dari shalat
tersebut, kemudian sujud dua kali, dan beliau dalam keadaan duduk setelah
mengucapkan salam.” (HR. Muslim dan Tirmidzi)
Di sini Rasulullah
Saw. berbicara setelah mengucap salam dari dua rakaat shalat ashar, dan kaum
Muslim pun berbicara. Setelah itu Rasulullah Saw. berdiri menyempurnakan rakaat
yang tersisa dari shalatnya sebagai penyambung dua rakaat awal dengan dua rakaat
terakhir, dan kita tidak melihat beliau Saw. memulai shalatnya dengan
mengumumkan batalnya shalat sebelumnya. Bagi siapa saja yang ingin menyatakan
bahwa beliau Saw. berbicara dalam keadaan lupa, dan siapa saja yang ingin
menyatakan bahwa beliau Saw. berbicara dalam keadaan tidak tahu, maka kami
katakan: seandainya omongan itu termasuk salah satu yang membatalkan shalat,
niscaya Rasulullah Saw. akan mengajarkannya pada para sahabatnya dengan
pelajaran praktis, lalu beliau Saw. mengulangi shalat tersebut sebagai imam
bersama mereka. Dan ketika kita melihat beliau Saw. tidak melakukan itu, di
mana beliau Saw. berpegang pada rakaat yang telah dilakukannya seraya
menyempurnakan shalatnya, maka hal itu menjadi petunjuk yang sangat jelas
sekali bahwa omongan itu bukan termasuk unsur yang membatalkan shalat.
Kami juga memiliki
hadits tentang orang yang buruk dalam shalatnya. Hadits ini pun termasuk hadits
shahih yang masyhur, di mana hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim,
Ahmad, Abu Dawud dan selainnya dari jalur Abu Hurairah ra.:
“Bahwa Nabi Saw.
memasuki masjid, lalu masuklah seseorang dan ia pun melakukan shalat. Setelah
itu dia datang dan mengucap salam pada Nabi saw. Nabi Saw. membalas salamnya,
lalu beliau berkata: ”Kembalilah dan shalatlah, karena engkau belum shalat.”
Sampai tiga kali, lalu lelaki itu berkata: “Demi Dzat yang mengutusmu membawa
kebenaran, aku tidak dapat melakukan sesuatu yang lebih baik selainnya. Maka
ajarilah aku.” Beliau Saw. berkata: ”Apabila engkau berdiri untuk shalat maka
bertakbirlah, kemudian bacalah ayat
al-Qur'an yang mudah yang engkau bisa. Lalu ruku’lah hingga engkau thuma’ninah dalam keadaan ruku. Setelah itu
bangkitlah hingga engkau berdiri dengan lurus, kemudian sujudlah hingga engkau thuma'ninah dalam keadaan sujud. Lalu
bangkitlah hingga engkau thuma'ninah
dalam keadaan duduk. Kemudian sujudlah hingga engkau thuma'ninah dalam keadaan sujud. Lakukan itu semuanya dalam
shalatmu.”
Perhatikan, bagaimana
Rasulullah Saw. memerintahkan orang itu kembali sampai tiga kali, sambil
mengatakan bahwa dia belum shalat. Artinya, shalat orang tersebut bathil.
Mengapa beliau Saw. sampai menyuruh orang itu kembali sampai tiga kali, dan
beliau Saw. sama sekali tidak menyuruh Muawiyah bin al-Hakam untuk kembali?
Beliau Saw. tidak akan mendiamkan Muawiyah dan tidak menyuruhnya mengulang
shalatnya seandainya shalat yang dia lakukan itu bathil. Dan ketika kita
melihat beliau Saw. mendiamkannya, maka hal itu menunjukkan sahnya shalat
Muawiyah. Adanya fakta di mana beliau Saw. memberitahu Muawiyah bahwa dia hanya
melakukan keharaman saja dalam shalatnya, maka hal itu jelas menunjukkan: bahwa
melakukan keharaman dalam shalat tidak membatalkan shalat.
Jadi, apa yang
dipandang oleh kelompok tadi bahwa omongan yang terjadi karena ketidaktahuan
itu tidak membatalkan shalat, dan hanya omongan yang disengaja saja yang
membatalkan shalat, maka (dalam hal ini kami sampaikan sebagai bantahan pada
mereka) yang membatalkan shalat itu bisa terjadi dalam dua kondisi, yakni baik
disengaja dan tidak tahu dengan melihat dilalah
hadits orang yang buruk dalam shalatnya, di mana orang tersebut shalat sampai
tiga kali dalam kondisi tidak mengetahui hal-hal yang membatalkan shalat. Namun
ketidaktahuan itu tidak berguna baginya dan shalatnya tetap batal.
Hadits ini juga
menunjukkan dengan sangat tegas bahwa hal-hal yang membatalkan shalat itu tetap
saja akan membatalkan, sama saja baik dilakukan dalam kondisi mengetahui
(sengaja) ataupun tidak tahu. Karena itu, seandainya omongan itu termasuk
hal-hal yang membatalkan shalat niscaya hal itu akan membatalkan shalat
Muawiyah bin al-Hakam. Karena ketidaktahuan saja tidak cukup jika terkait
dengan hal-hal yang membatalkan shalat. Apabila kita sudah mengetahui bahwa
Rasulullah Saw. telah membatalkan shalat orang yang buruk dalam shalatnya,
walaupun orang tersebut shalat dalam keadaan tidak tahu, dan kita pun
mengetahui bahwa beliau Saw. tidak membatalkan shalat Muawiyah bin al-Hakam
yang berbicara dalam keadaan tidak tahu, maka kita bisa memahami bahwa apa yang
dilakukan oleh orang yang buruk shalatnya dalam hadits di atas itu tidak
diragukan lagi berbeda dengan apa yang dilakukan Muawiyah bin al-Hakam.
Perbedaan ini tidak menunjukkan apapun selain bahwa orang yang buruk shalatnya
itu telah melakukan sesuatu yang membatalkan shalat, dan bahwa Muawiyah bin
al-Hakam tidak melakukan sesuatu kecuali keharaman, yang tidak sampai pada
derajat yang membatalkan shalat.
Ini memberi pengertian
bahwa omongan atau perkataan itu tidak termasuk hal-hal yang membatalkan
shalat, dan bahwa melakukan keharaman dalam shalat itu tidak membatalkan
shalat.
Dengan demikian jelas,
bahwa berbagai istidlal (penarikan
kesimpulan) yang digunakan oleh kelompok tersebut tidak benar, dan pendapat
yang dikatakan oleh mereka bahwa omongan itu membatalkan shalat, ini pendapat
yang tidak benar. Karenanya, kita hanya bisa nyatakan bahwa omongan itu hanya
termasuk sesuatu yang diharamkan dalam shalat saja. Melakukan sesuatu yang
haram dalam shalat itu hanya mengurangi nilai shalat saja, tidak
membatalkannya.
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar