Bab: Sifat Shalat
Sub-Bab:
Tasyahud
dan Bentuk Duduknya
...
Duduk untuk bertasyahud di akhir rakaat kedua, dan di akhir
rakaat keempat dari shalat ruba'iyah,
atau di akhir rakaat ketiga dalam shalat tsulatsiyah,
di mana dua duduk ini telah disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Ahmad
dari jalur Ibnu Mas’ud ra.:
“…Beliau Saw. jika
duduk di pertengahan shalat dan di akhirnya di atas pangkal pahanya yang
sebelah kiri, mengucapkan: “Penghormatan hanya milik Allah...”
Tasyahud dalam
pertengahan shalat ini adalah tasyahud
awal, dan yang diakhirnya adalah tasyahud
akhir. Dua tasyahud ini hukumnya wajib,
sehingga keduanya atau salah satunya tidak boleh ditinggalkan. Dari Ibnu Mas’ud
ra. ia berkata:
“Kami mengucapkan
dalam shalat sebelum tasyahud
diwajibkan: “Keselamatan atas Allah, keselamatan atas Jibril dan Mikail. Maka
Rasulullah Saw. bersabda: Janganlah kalian mengucapkan seperti itu, karena
Allah Swt. itulah sumber keselamatan, tetapi ucapkanlah: “Penghormatan hanya
milik Allah, dan juga kebahagiaan dan kebaikan...” (HR. an-Nasai)
Hadits ini dishahihkan oleh ad-Daruquthni dan al-Baihaqi.
Di dalam hadits ini disebutkan: “sebelum tasyahud
diwajibkan”, dan ini merupakan dilalah
yang sangat jelas, di mana tasyahud
tersebut mencakup tasyahud awal dan tasyahud akhir. Ini diperkuat oleh hadits
an-Nasai yang menyebutkan: “maka ucapkanlah dalam setiap duduk.” Abdullah bin
Buhainah al-Asadi sekutu Bani Abdul Muthalib meriwayatkan:
“Bahwa Rasulullah Saw.
berdiri dalam shalat dhuhur, seharusnya beliau duduk. Ketika beliau
menyelesaikan shalatnya beliau sujud dua kali, dan bertakbir pada setiap sujud
tersebut. Beliau duduk sebelum bersalam, dan orang-orang melakukan sujud
tersebut bersama beliau sebagai pengganti bagian duduk yang terlupakan.” (HR.
Muslim dan Bukhari)
Kalimat: “Bahwa
Rasulullah Saw. berdiri dalam shalat dhuhur, seharusnya beliau duduk”, ini
adalah duduk untuk tasyahud awal,
sehingga menunjukkan bahwa duduk ini wajib. Dari Abdullah bin Mas’ud ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
memegang tangan Abdullah, lalu beliau Saw. mengajarinya bertasyahud dalam shalat. Beliau berkata:
Ucapkanlah: “Penghormatan untuk Allah ...dan bahwa Muhammad adalah hamba-Nya
dan utusan-Nya. Dia berkata: “Jika engkau menunaikan hal ini.” Atau dia
berkata: “Jika engkau melakukan hal ini maka engkau telah menunaikan shalatmu,
sehingga jika engkau ingin berdiri maka berdirilah, dan jika engkau ingin duduk
maka duduklah.” (HR. Ahmad)
Abu Dawud dan
ad-Darimi meriwayatkan hadits ini dengan redaksi yang hampir sama. Walaupun
begitu, para hafidz telah bersepakat bahwa kalimat yang terakhir ini adalah
sisipan dari ucapan Abdullah bin Mas’ud sendiri. Yang saya maksudkan adalah
ucapan: “Jika engkau menunaikan hal ini. Atau dia berkata: Jika engkau
melakukan hal ini maka engkau telah menunaikan shalatmu...” Ini bukan ucapan
Rasulullah saw. Ucapan ini adalah ucapan sahabat (qaul
shahabiy), dan ucapan sahabat itu adalah (kesimpulan) hukum syara yang
boleh untuk diambil dan diikuti. Diriwayatkan dari Abdullah, bahwa dia berkata:
“Adalah Nabi Saw.
mengajari kami bertasyahud sebagaimana
beliau Saw. mengajari kami satu surat dari al-Qur’an. Beliau Saw. berkata:
“Pelajarilah oleh kalian, sesungguhnya tidak ada shalat kecuali dengan tasyahud.” (HR. al-Bazzar)
Al-Haitsami mentsiqahkan para rijal
dari sanad hadits ini. Al-Baihaqi telah meriwayatkan dari Abdullah ra., ia
berkata:
“Tasyahud itu adalah kesempurnaan shalat.”
Abdurrazaq telah
meriwayatkan dari Umar bin Khaththab ra., ia berkata:
“Shalat itu tidak
boleh kecuali dengan tasyahud.”
Hadits ini
diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi. Ucapan Umar yang disatukan dengan ucapan
Ibnu Mas’ud menyatakan wajibnya tasyahud
dalam shalat. Dari keempat riwayat ini bisa diambil hukum wajibnya bertasyahud dalam shalat.
Dalam tasyahud awal, si mushalli duduk dengan menegakkan telapak kaki kanannya, di mana
bagian atas telapak kaki kanan tersebut dihadapkan ke arah kiblat dan
membentangkan (iftirasy) telapak kakinya
yang sebelah kiri untuk diduduki. Sedangkan untuk tasyahud
akhir, si mushalli duduk di atas pangkal
pahanya (tawarruk) sebelah kiri dengan
memajukan telapak kakinya yang sebelah kiri dan melipatnya di antara paha dan
betisnya, lalu dia duduk di atas pantatnya.
Dalam dua duduk ini
dia meletakkan telapak tangannya yang sebelah kanan di atas paha sebelah kanan,
dan telapak tangan sebelah kiri di atas paha sebelah kiri, dengan menguncupkan
jari-jemarinya di atas dua lututnya, seraya menggabungkan jari-jari tangan sebelah
kanan yakni kelingking, jari manis dan jari tengah, dan meletakkan ibu jarinya
di atas jari tengahnya, lalu mengacungkan telunjuknya dengan acungan yang
ringan dan lemah, -yakni menjadikannya miring sedikit-, dan hal ini terus
dilakukan hingga pertengahan doa. Inilah bentuk ideal untuk duduk tasyahud. Dari Wail bin Hujr ra., ia berkata:
“Aku tiba di Madinah,
aku berkata: aku mesti melihat shalat Rasulullah Saw. Ketika beliau duduk
–yakni untuk tasyahud-, beliau
menghamparkan telapak kaki kirinya dan meletakkan tangannya yang sebelah kiri
–yakni di atas pahanya sebelah kiri dan menegakkan telapak kaki kanannya.” (HR.
Tirmidzi)
An-Nasai meriwayatkan
hadits ini dengan redaksi:
“…Dan jika beliau Saw.
duduk dalam dua rakaat, beliau Saw. menidurkan telapak kakinya yang sebelah
kiri dan menegakkan telapak kakinya yang sebelah kanan, lalu meletakkan
tangannya yang sebelah kanan di atas pahanya yang sebelah kanan, dan menegakkan
jari-jarinya ketika berdoa, seraya meletakkan tangannya yang sebelah kiri di
atas pahanya yang sebelah kiri...”
Ahmad meriwayatkan
hadits ini dengan redaksi:
”...Kemudian beliau
Saw. duduk dan menghamparkan telapak kakinya yang sebelah kiri, lalu meletakkan
telapak tangannya yang sebelah kiri di atas pahanya dan lututnya yang sebelah
kiri, dan menjadikan batas sikunya yang sebelah kanan di atas pahanya yang sebelah
kanan. Kemudian beliau merapatkan jari-jarinya, membentuk lingkaran, lalu
mengangkat jarinya. Aku melihatnya menggerakkan jarinya itu dan berdoa.”
Dalam riwayat Ahmad
yang lain disebutkan :
”...Beliau membentuk
lingkaran dengan jari tengah dan ibu jarinya, lalu memberi isyarat dengan
telunjuknya.”
Ucapannya: “Aku
melihatnya menggerakkan jarinya itu dan berdoa, yakni menggerakkannya dari
tempatnya di antara jari-jarinya tersebut agar tegak terangkat. Ketika dia
telah menegakkannya beliau meneguhkannya dalam bentuknya itu sepanjang berdoa
tanpa mengembalikannya ke tempatnya semula, atau terus menggerakkannya
sebagaimana dilakukan oleh banyak orang. Gerakan jari telunjuk yang
terus-menerus ini sebenarnya tidak dituntut, dan ini bukan penerapan atau
pelaksanaan yang benar dari hadits Ahmad, melihat dilalah
hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Zubair ra.:
“Bahwa dia menyebutkan
Nabi Saw. memberi isyarat dengan jari telunjuknya jika beliau berdoa, dan
beliau Saw. tidak menggerak-gerakkannya. Ibnu Juraij berkata: Amr bin Dinar
berkata: Amir memberitahukanku dari ayahnya bahwa dia melihat Nabi Saw. berdoa
seperti itu.” (HR. Abu Dawud dan an-Nasai)
Abdurrazaq
meriwayatkan pertengahan pertama hadits ini. Dari Abu Humaid al-Sa’idi ra., ia
berkata:
“Aku adalah orang yang
paling hafal tentang shalat Rasulullah Saw. di antara kalian. Aku melihat
beliau Saw. jika bertakbir menjadikan dua tangannya setentang dengan dua
bahunya… dan jika beliau duduk dalam dua rakaat beliau duduk di atas telapak
kakinya yang sebelah kiri dan menegakkan yang sebelah kanan, dan jika duduk
dalam rakaat terakhir beliau Saw. memajukan telapak kaki kirinya dan menegakkan
telapak kaki kanannya, dan beliau duduk di atas pantatnya.” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat Ibnu
Khuzaimah disebutkan:
“Adalah Rasulullah
Saw. jika dalam rakaat (terakhir) yang di dalamnya shalat diselesaikan, beliau
Saw. memundurkan telapak kaki kirinya, dan mendudukkan pantatnya sebelah di
atas tanah secara tawarruk, kemudian
bersalam.”
Dari Abdullah bin
Zubair, ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. jika duduk dalam shalat, beliau menjadikan telapak kakinya yang sebelah
kiri di antara paha dan betisnya, dan menghamparkan telapak kaki sebelah
kanannya, lalu meletakkan tangannya yang sebelah kiri di atas lututnya yang
sebelah kiri, dan meletakkan tangannya yang sebelah kanan di atas paha sebelah
kanan. Dan beliau memberi isyarat dengan jarinya.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)
Dalam riwayat Muslim
yang lain disebutkan:
“Adalah Rasulullah
Saw. jika duduk berdoa, beliau meletakkan tangannya yang sebelah kanan di atas
pahanya yang sebelah kanan, dan tangannya yang sebelah kiri di atas pahanya
yang sebelah kiri, lalu memberi isyarat dengan jari telunjuknya, dan meletakkan
ibu jarinya di atas jari tengahnya, dan menutupkan telapak tangannya yang
sebelah kiri pada lututnya.”
Dari Nam'ir
al-Khuza’iy ra.:
“Bahwa ia melihat
Rasulullah Saw. dalam shalat meletakkan tangannya yang sebelah kanan di atas
pahanya yang sebelah kanan, dan mengangkat jari telunjuknya. Beliau Saw.
sedikit memiringkannya ketika beliau berdoa.” (HR.Ibnu Hibban, lbnu Khuzaimah,
an-Nasai dan Abu Dawud)
Dengan demikian,
seorang Muslim bertawarruk dalam duduk tasyahud akhir. Tawarruk
itu adalah duduk dengan meletakkan dua pantatnya di atas tanah, dan menjulurkan
kedua telapak kakinya ke satu arah yakni arah kanan. Duduk seperti ini
menyulitkan sebagian besar orang, sehingga siapa saja yang kesulitan dalam
duduk seperti ini maka tidak mengapa ia kembali pada bentuk duduk seperti duduk
tasyahud awal (iftirasy), yakni dengan menegakkan telapak kaki kanan dan
membentangkan telapak kaki kiri, lalu duduk di atas perut telapak kaki kiri.
Dan jika masih saja kesulitan dalam duduk ini maka tidak apa-apa baginya untuk
duduk dengan kaki bersilang di bawah paha (mutarabbi'),
karena agama itu memberikan kemudahan. Dari Abdullah bin Abdullah bin Umar,
bahwa dia memberitahunya:
““Sesungguhnya dia
melihat Abdullah bin Umar dalam keadaan menyilangkan kaki di bawah paha (mutarabbi') dalam shalat ketika duduk. Dia
berkata: maka aku melakukannya, dan aku saat itu masih muda belia. Lalu
Abdullah melarangku dan berkata: “Sesungguhnya sunat shalat itu adalah engkau
menegakkan telapak kakimu yang sebelah kanan dan membengkokkan telapak kakimu
yang sebelah kiri.” Aku bertanya kepadanya: ”Tetapi engkau melakukan seperti
itu.” Maka dia berkata: “Sesungguhnya kedua kakiku tidak sanggup menahan beban
tubuhku.” (HR. Malik dan Bukhari)
Dalam riwayat Malik
yang lain dari jalur al-Mughirah bin Hakim dikatakan: “Sesungguhnya aku
melakukan ini agar aku tidak merasa sakit.”
Dimakruhkan dalam
duduk tasyahud itu si mushalli bertopang pada satu atau kedua
tangannya, dengan meletakkan tangannya itu di atas tanah untuk menyangganya.
Dimakruhkan pula duduk di atas pantatnya dan menegakkan kedua betisnya serta
meletakkan kedua tangannya di atas tanah, berjongkok (duduk di atas pantat)
seperti jongkoknya anjing, monyet dan hewan buas lainnya. Ini adalah duduk
berjongkok yang dilarang, yang disebut sebagai tumit setan atau pengganti
syetan. Dari Ibnu Umar ra. ia berkata:
“Rasulullah Saw.
melarang seseorang bertopang pada dua tangannya dalam shalat.” (HR. Ibnu
Khuzaimah)
Ahmad meriwayatkan
hadits ini dengan redaksi:
“Rasulullah Saw.
melarang seseorang duduk dalam shalat dengan bertopang pada dua tangannya.”
Dalam riwayat Abu
Dawud disebutkan:
“Rasulullah Saw.
melarang seseorang duduk dalam shalat dengan bertopang pada tangannya.”
Ahmad meriwayatkan
dari jalur Ibnu Umar ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
melihat seseorang meletakkan tangannya (di sisinya sambil bertopang padanya)
dalam shalat, lalu beliau berkata: “Janganlah engkau duduk seperti itu,
sesungguhnya ini adalah duduknya orang-orang yang sedang disiksa.”
Abu Dawud meriwayatkan
dari Ibnu Umar ra.:
“Bahwa dia melihat
seseorang bertopang pada tangannya yang sebelah kiri, dan dia sedang duduk
dalam shalat -Harun bin Zaid berkata: bersandar pada sisi tubuhnya yang sebelah
kiri- maka dia berkata kepadanya: Janganlah engkau duduk seperti ini, karena
duduk seperti ini adalah duduk orang-orang yang sedang disiksa.”
Dari Aisyah ra., ia
berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. membuka shalat dengan takbir dan membaca alhamdu
lillahi rabbil ‘alamin, dan jika beliau ruku maka beliau tidak
menundukkan kepalanya dan juga tidak menegakkannya, tetapi dalam posisi di
antara keduanya, dan jika beliau mengangkat
kepalanya dari ruku' maka beliau Saw. tidak bersujud hingga tegak lurus dalam
berdiri, dan jika beliau mengangkat kepalanya dari sujud maka beliau tidak akan
bersujud hingga tegak lurus dalam duduk, dan mengucapkan tahiyat dalam setiap dua rakaat. Beliau
menghamparkan telapak kakinya yang sebelah kiri dan menegakkan telapak kakinya
yang sebelah kanan, dan beliau melarang dari tumit setan, dan melarang
seseorang membentangkan dua tangannya seperti iftirasynya
binatang buas, dan beliau menutup shalatnya dengan mengucap salam.” (HR.
Muslim)
Ahmad dan Abu Dawud
meriwayatkan hadits ini juga. Dalam riwayat Muslim yang lain disebutkan: “dan
Nabi Saw. melarang dari tumit syetan.” Begitu pula disebutkan dalam riwayat Abu
Dawud dan riwayat Ahmad. Dari Abu Hurairah ra. ia berkata:
“Kekasihku mewasiatkan
kepadaku tiga hal, dan melarangku dari tiga hal: Beliau mewasiatkan kepadaku
witir sebelum tidur, berpuasa tiga hari dalam setiap bulan, dan dua rakaat
dhuha. Dia berkata: dan dia melarangku dari tiga hal: menoleh, jongkok seperti jongkoknya
monyet, dan mematuk seperti patukan ayam (dalam shalat).” (HR. Ahmad)
Dalam riwayat Ahmad
yang lain disebutkan:
”...Dan dia melarangku
dari mematuk seperti patukan ayam, dan jongkok seperti jongkoknya monyet, dan
menoleh seperti menolehnya rubah.”
Disunatkan bertasyahud -baik yang awal ataupun yang akhir-
dengan mensirrkan bacaan dan tidak menjahrkannya, baik dalam shalat yang sirriyah ataupun dalam shalat yang jahriyah, baik imam, makmum ataupun orang yang
shalat sendirian. Ibnu Khuzaimah telah meriwayatkan bahwa Abdullah bin Mas'ud
ra. berkata:
“Adalah termasuk
sunnah, engkau menyembunyikan (merendahkan bacaan-pen) tasyahud.”
Abu Dawud meriwayatkan
hadits ini dengan redaksi:
“Adalah termasuk
sunnah, tasyahud itu disembunyikan
(dibaca dengan pelan).”
Dan disunatkan pula
dalam tasyahud, agar pandangan itu tidak
melampaui dua paha dan telunjuk. Dari Abdullah bin Zubair ra. ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. jika duduk dalam tasyahud
meletakkan tangannya yang sebelah kanan di atas pahanya yang sebelah kanan, dan
tangannya yang sebelah kiri di atas pahanya yang sebelah kiri, dan menunjuk
dengan jari telunjuknya dan pandangannya tidak melampaui tunjukannya itu.” (HR.
Ahmad)
An-Nasai meriwayatkan
hadits ini dengan redaksi yang sedikit berbeda, di dalamnya disebutkan:
“Dan berisyarat dengan
jari telunjuk, dan pandangannya tidak melampaui isyaratnya.”
Ibnu Khuzaimah
meriwayatkan hadits ini juga.
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar