Tata
Cara Sujud Sahwi
Sujud sahwi adalah dua
sujud biasa yang dilakukan secara berturut-turut dan di dalamnya ada dzikir.
Kedua sujud ini sama persis dengan sujud dalam shalat dan di antaranya ada
duduk, ada takbir yang diucapkan ketika akan bersujud. Dan ketika bangkit dari sujud
ini, kemudian diikuti dengan duduk sebentar lalu bersalam ke kanan dan kemudian
ke kiri tanpa bertasyahud terlebih
dahulu. Dua sujud ini dilakukan sebelum bersalam dari shalat, ini hukum
asalnya. Tetapi boleh pula dua sujud ini dilakukan setelah bersalam. Semua itu
disebutkan dalam beberapa nash yang bisa kami sebutkan sebagai berikut:
1) Dari Abu Hurairah
ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya salah
seorang dari kalian jika berdiri shalat, maka setan datang kepadanya lalu
membingungkannya, hingga dia tidak tahu sudah berapa rakaatkah dia telah
shalat. Jika salah seorang dari kalian mendapati hal seperti itu maka hendaklah
dia bersujud dua kali dan dia dalam posisi duduk.” (HR. Muslim, Ahmad,
an-Nasai, dan Tirmidzi)
2) Dari Abu Hurairah
ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
mengimami kami shalat di waktu sore, bisa shalat dhuhur atau bisa juga shalat
ashar, lalu beliau bersalam dalam dua rakaat. Setelah itu beliau mendekati
batang kurma di kiblat masjid, lalu beliau bersandar padanya dalam keadaan
marah. Di dalam (kumpulan) kaum itu ada Abu Bakar dan Umar, keduanya takut
untuk berbicara, lalu orang-orang pertama yang keluar dari masjid berkata:
“Shalat telah diringkas.” Maka Dzul Yadain berdiri dan bertanya: “Wahai
Rasulullah, apakah shalat telah diqashar
ataukah engkau lupa?” Nabi Saw. memandang ke kiri dan ke kanan, lalu bertanya:
“Apa yang dikatakan oleh Dzul Yadain ini?” Mereka berkata: ”Dia benar, engkau
tidak shalat kecuali dua rakaat saja.” Lalu beliau Saw. shalat dua rakaat
kemudian bersalam, setelah itu beliau bertakbir dan bersujud, lalu bertakbir
dan bangkit (duduk), kemudian bertakbir dan sujud, kemudian bertakbir dan
bangkit (duduk). Ia (perawi) berkata: Dan aku diberi kabar dari Imran bin
Hushain bahwa dia berkata: Dan beliau bersalam.” (HR. Muslim, Bukhari, Ahmad,
an-Nasai dan Tirmidzi)
Abu Dawud meriwayatkan
hadits ini dengan redaksi:
”...Lalu beliau Saw.
shalat dua rakaat yang tersisa, kemudian bersalam, setelah itu bertakbir dan
bersujud seperti sujudnya atau lebih lama, kemudian bangkit dan bertakbir, lalu
bertakbir dan sujud seperti sujudnya atau lebih lama, kemudian bangkit dan bertakbir...”
3) Dari Abdullah bin
Buhainah ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
mengimami kami shalat dari sebagian shalat dengan dua rakaat, kemudian beliau
berdiri dan tidak duduk. Maka orang-orang berdiri bersamanya. Ketika beliau
Saw. selesai dari shalatnya dan kami melihat beliau bersalam, maka (lalu)
beliau bertakbir dan bersujud dua kali dan beliau dalam posisi duduk sebelum
bersalam, setelah itu bersalam.” (HR. Muslim, Bukhari, Ahmad, Abu Dawud dan
an-Nasai)
4) Dari Abu Said
al-Khudri, ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian ragu dalam shalatnya dan tidak tahu berapa rakaat shalatkah yang
telah dia lakukan, apakah tiga atau empat, maka hendaklah dia membuang keraguan
itu, dan hendaklah berpijak pada apa yang dianggapnya yakin benar, kemudian bersujud
dua kali sebelum dia bersalam. Dan jika shalat lima rakaat maka dua sujud
tersebut menggenapkannya, dan jika dia shalat genap empat rakaat maka dua sujud
tersebut untuk menundukkan setan.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim dan
Ibnu Hibban)
Sebelumnya hadits ini
telah kami sebutkan.
Hadits yang keempat
ini memiliki redaksi perintah agar bersujud sebelum bersalam, dan hadits yang
ketiga di dalamnya ada perbuatan Rasulullah Saw. seperti itu. Dua hadits ini
menunjukkan bawah sujud sahwi itu dilakukan sebelum salam, ini yang pertama. Adapun
yang kedua, adalah bahwa sujud sahwi itu hakikatnya merupakan bagian dari
shalat dan menjadi penyempurna shalat, dan bukan sesuatu shalat lain yang
terpisah. Karenanya, sujud sahwi itu menjadi bagian yang menyatu dengan shalat
tersebut, bukan sesuatu di luar shalat. Selama sujud sahwi ini bagian dari
shalat, maka menurut hukum asalnya dilakukan sebelum bersalam, hal ini sama
seperti semua bagian shalat yang lain. Jadi, kami katakan: menurut hukum
asalnya, sujud sahwi itu dilakukan sebelum bersalam. Yang mendorong kami
menyatakan hal ini dan memegang pendapat seperti ini adalah adanya pendapat
lain yang menyatakan bahwa sujud sahwi dilakukan setelah salam dan (mereka
mengaku) memiliki dalil-dalil yang kuat dan shahih pula, sehingga pendapat ini
tanpa ragu lagi memiliki kedudukan dan dianggap mu'tabar.
Seandainya tidak ada pendapat seperti ini niscaya kami memegang pendapat bahwa
pendapat yang benar itu hanya satu, tidak ada yang lain. Karena itu, kami cukup
menyatakan: bahwa menurut hukum asalnya sujud sahwi itu dilakukan sebelum
salam, akan tetapi boleh pula dilakukan setelah salam. Dalil-dalil dari mereka
yang berpendapat bahwa sujud sahwi itu dilakukan setelah salam adalah sebagai
berikut:
a. Dari Abdullah ra.:
“Bahwa Nabi Saw. sujud
sahwi dua kali setelah bersalam atau setelah ada percakapan.” (HR. Muslim)
b. Dari Abdullah ra.,
ia berkata:
“Nabi Saw.
melaksanakan shalat -Ibrahim berkata: aku tidak tahu apakah beliau melebihkan
atau mengurangi-, ketika bersalam ditanyakan kepadanya: “Wahai Rasulullah,
apakah ada sesuatu yang baru dalam shalat ini?” Beliau bertanya: “Apakah itu?”
Mereka berkata: ”Engkau shalat begini dan begini.” Lalu beliau Saw. melipat dua
kakinya dan menghadap kiblat, kemudian sujud dua kali dan bersalam. Tatkala
beliau menghadapkan wajahnya kepada kami, beliau Saw. berkata: “Seandainya ada
sesuatu yang baru dalam shalat ini niscaya aku mengabarkannya pada kalian,
tetapi sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, di mana aku
bisa lupa sebagaimana kalian juga bisa lupa, dan jika aku lupa maka ingatkanlah
aku, dan jika salah seorang dari kalian ragu dalam shalatnya maka hendaklah dia
mematut dan memilih yang (diduga) benar, lalu dia sempurnakan shalatnya,
kemudian bersalam dan bersujud dua kali.” (HR. Bukhari, Ahmad, Abu Dawud,
an-Nasai dan Ibnu Majah)
Muslim meriwayatkan
hadits ini dengan redaksi:
”...Dan jika salah
seorang dari kalian merasa ragu dalam shalatnya maka hendaklah dia mematut dan
memilih mana yang benar, lalu dia sempurnakan shalatnya kemudian sujud dua
kali.”
Dengan membuang
“kemudian bersalam” yang ada dalam riwayat Bukhari.
c. Hadits no. 2 di
atas, di dalamnya disebutkan:
“Lalu beliau Saw.
shalat dua rakaat, kemudian bersalam dan bertakbir…”
Dalil-dalil mereka ini
sebanding kekuatannya dengan dalil-dalil dari pendapat yang saya pandang lebih rajah. Andai saja sujud sahwi bukan bagian
dari shalat dan menjadi penyempurnanya, niscaya saya akan menyatakan kepada
Anda dengan memberi pilihan di antara pendapat yang ini dengan pendapat yang
itu. Oleh karena itulah saya menyatakan: menurut hukum asalnya sujud sahwi itu
dilakukan sebelum bersalam, akan tetapi boleh pula dilakukan setelah bersalam,
dalam arti bahwa yang paling utama adalah sujud sahwi itu dilakukan sebelum
bersalam.
Sejumlah fuqaha
memiliki beragam pendapat dalam masalah ini. Ada yang mengatakan bahwa sujud
sahwi itu wajib dilakukan sebelum salam saja, ada yang mengatakan wajib
dilakukan setelah salam saja, ada yang mengatakan dilakukan sebelum salam
ketika terjadi kekurangan dalam shalat dan dilakukan setelah salam ketika ada
tambahan, ada yang mengatakan bahwa setiap hadits dari hadits-hadits di atas
bisa digunakan, dan berbagai pendapat lainnya. Dan yang paling sedikit dari
semua itu adalah yang menyatakan boleh memilih antara bersujud sebelum salam
dan setelahnya, sehingga orang yang meneliti nash-nash ini dengan baik niscaya
akan mengambil pendapat yang terakhir.
Itu terjadi karena
semua hadits di atas shahih, dan tidak ada nasakh
di dalamnya. Dilalahnya juga jelas,
tidak ada kemungkinan penakwilan. Seandainya saya tidak mengatakan bahwa sujud
sahwi itu bagian dari shalat -sehingga tidak menjadikan saya berpendapat untuk
mengutamakan sujud sahwi sebelum salam-, niscaya saya mengambil pendapat ini
(semata-mata boleh memilih). Bagaimanapun juga kedua pendapat ini memiliki
derajat yang berdekatan.
Sekarang kita beranjak
ke masalah tasyahud dalam sujud sahwi.
Sejumlah orang menyatakan tentang wajibnya tasyahud
setelah dua sujud sahwi. Mereka berargumentasi dengan sejumlah hadits. Yang sanadnya paling kuat dan dilalahnya paling jelas adalah hadits yang
diriwayatkan Imran bin Hushain ra.:
“Bahwa Nabi shalat
mengimami mereka, kemudian lupa, lalu beliau Saw. bersujud dua kali sujud.
Setelah itu bertasyahud kemudian
bersalam.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, al-Hakim dan Ibnu Hibban)
Hadits-hadits lain
selain hadits ini adalah dhaif sehingga
tidak layak diperhitungkan. Hadits ini, walaupun dishahihkan oleh sejumlah orang, tetapi juga telah didhaifkan oleh beberapa orang lainnya, di
antaranya oleh al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dan Ibnu Hajar, sehingga saya tidak
melihat hadits ini layak untuk dijadikan dalil. Jadi, yang tersisa tinggal
nash-nash yang mengatakan sujud sahwi itu dilakukan tanpa disertai tasyahud. Selain itu, sujud sahwi itu adalah
bagian dari shalat, dan shalat apapun hanya ditutup dengan satu tasyahud saja, sehingga shalat ini tidak
memerlukan tasyahud yang kedua, kecuali
jika nash-nash yang shahih menyatakan hal itu. Namun, faktanya tidak ada nash
yang shahih yang menyatakan seperti itu.
Akhirnya saya nyatakan
sebagai berikut: jika si mushalli lupa
untuk duduk bertasyahud, kemudian
memungkinkan baginya untuk melakukannya sebelum dia bangun dan dia berhenti di
tengah-tengah (menjelang berdiri), maka lakukanlah tasyahud itu. Tetapi jika dia telah berdiri dan tegak lurus,
maka tidak sah baginya untuk kembali duduk. Dia tinggal menyempurnakan
shalatnya dan bersujud di akhir shalat dengan sujud sahwi. Ini berdasarkan
riwayat dari Abdurrahman bin Syimasah, bahwa dia berkata:
“Uqbah bin Amir shalat
mengimami kami, lalu dia berdiri dan seharusnya dia duduk. Maka orang-orang di
belakangnya berucap: Subhanallah, tetapi
dia tidak duduk. Ketika dia selesai dari shalatnya dia bersujud dua kali, lalu
dia duduk dan berkata: "Sesungguhnya aku mendengar kalian mengucapkan subhanallah, tetapi bagaimana aku bisa duduk,
dan itu tidak termasuk sunnah. Sesungguhnya yang termasuk sunnah itu adalah apa
yang telah aku lakukan…” (Riwayat Ibnu Hibban, al-Hakim dan al-Baihaqi)
Yang
Harus Dilakukan Ketika Bimbang dalam Bilangan Rakaat Shalat
Ketika timbul rasa
bimbang di tengah-tengah shalat mengenai jumlah rakaat yang telah
dilaksanakannya, maka wajib bagi orang yang bimbang tersebut untuk mematut dan
memilih mana yang paling benar dan paling yakin. Jika dia sampai pada kedua hal
tersebut maka dia berpijak pada kesimpulannya, lalu menyempurnakan shalatnya
disertai sujud sahwi dua kali. Jika dia tidak sampai pada kesimpulan mana yang
benar dan yang yakin, tetap saja ada keraguan apakah dia telah shalat dua
ataukah tiga rakaat, atau apakah dia telah shalat tiga ataukah empat rakaat,
maka dia harus mengambil yang lebih sedikit dari dua hal tersebut, yakni
mengambil yang dua dan membuang yang ketiga, atau mengambil yang tiga dan
membuang yang keempat, kemudian dia berpijak pada hal tersebut dan
menyempurnakan shalatnya. Setelah itu dia sujud sahwi
dua kali juga.
Sebelumnya telah kami
sebutkan satu hadits dari Bukhari maupun lainnya dari jalur Abdullah ra., dan
di dalamnya disebutkan:
“…Dan jika salah
seorang dari kalian merasa ragu dalam shalatnya maka hendaklah dia mematut dan
memilih yang benar, dan kemudian menyempurnakan shalatnya...”
Disebutkan pula dalam
hadits Muslim dan selainnya dari jalur Abu Said al-Khudri ra., dan di dalamnya
disebutkan:
“Jika salah seorang
dari kalian ragu dalam shalatnya dan tidak tahu berapa rakaat shalatkah yang
telah dia lakukan, apakah tiga atau empat, maka hendaklah dia membuang keraguan
itu, dan hendaklah berpijak pada jumlah yang dianggapnya yakin benar, kemudian
bersujud dua kali sujud...”
Keraguan dan
tersembunyinya kebenaran adalah berasal dari perbuatan setan dan bisikannya,
sebagaimana disebutkan dalam hadits yang sebelumnya juga telah kami sebutkan.
Dari Abu Hurairah ra. yang diriwayatkan oleh Muslim dan selainnya:
“Sesungguhnya salah
seorang dari kalian jika berdiri shalat, maka setan datang kepadanya, lalu
mengaburkannya hingga dia tidak tahu sudah berapa rakaatkah dia shalat...”
Agar seorang Muslim
bisa terlindung dari godaan setan ini, maka saya tuturkan kepada Anda sekalian
satu hadits dari Utsman bin Abil Ash, bahwa dia berkata:
“Wahai Rasulullah,
setan membuat penghalang antara aku dengan shalatku dan dengan bacaanku. Beliau
Saw. berkata: “Itulah setan yang dinamai Khanzab. Jika engkau merasakannya maka
berta'awudzlah (meminta perlindungan)
kepada Allah darinya, dan meludahlah ke sebelah kirimu tiga kali.” Dia berkata:
lalu aku lakukan hal itu, dan Allah azza wa
jalla mengusirnya dariku.” (HR. Ahmad)
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar