Khusyu
Dalam Shalat
Khusyu berarti berdiam
diri penuh kehinaan dan ketundukan. Allah Swt. berfirman:
“Dan kamu akan melihat
mereka dihadapkan ke neraka dalam keadaan tunduk karena (merasa) hina. Mereka
melihat dengan pandangan yang lesu.” (TQS. as-Syura [42]: 45)
“(Dalam keadaan)
pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan
sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam
keadaan sejahtera.” (TQS. al-Qalam [68]: 43)
Nu’man bin Basyir ra.
meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
”...Sesungguhnya Allah
Swt. jika memperlakukan sesuatu dari mahluknya maka makhluk itu akan tunduk
kepada-Nya…” (HR. an-Nasai)
Shalat itu adalah
ucapan dan perbuatan, dan seluruhnya diperuntukkan bagi Allah Swt. Tuhan
semesta alam, sehingga semestinya tidak ada yang diucapkan di dalamnya kecuali
sesuatu yang disyariatkan dan ditujukan kepada Allah Swt. Di dalamnya tidak
boleh dilakukan kecuali perbuatan yang disyariatkan di dalam shalat, selain apa
yang dikecualikan oleh nash-nash yang membolehkannya. Selain itu hukumnya
adalah haram, dan termasuk dalam kategori apa yang diucapkan oleh Nabi Saw.
dalam hadits yang diriwayatkan Ali bin Abi Thalib ra. Dia berkata: Rasulullah
Saw. bersabda:
“Kunci shalat adalah
bersuci, tahrimnya adalah takbir, dan tahlilnya adalah mengucapkan salam.” (HR.
Ahmad dan Tirmidzi)
Hadits ini telah kami
sebutkan dalam pembahasan “hukum takbiratul
ihram” dan pembahasan “qunut
dalam shalat”, sehingga dengan takbir
dalam shalat menjadikan seluruh ucapan dan seluruh perbuatan yang tidak
disyariatkan dalam shalat itu hukumnya haram.
Syariat telah
mendorong untuk khusyu’ dalam shalat, menganjurkannya, dan menjelaskan
keutamaannya dalam berbagai nash yang bisa kami sebutkan berikut ini. Di
antaranya adalah firman Allah Swt.:
“Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam
shalatnya.” (TQS. al-Mukminun [23]: 1-2)
“Jadikanlah sabar dan
shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat,
kecuali bagi orang-orang yang khusyu’ (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa
mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (TQS.
Al-Baqarah [2]: 45-46)
Dari Utsman ra.:
“...Lalu dia meminta
air untuk berwudhu, seraya berkata: aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
“Tidaklah salah seorang Muslim datang padanya waktu shalat wajib, lalu dia
membaguskan wudhunya, khusyu’nya, dan ruku’nya, kecuali shalat itu menjadi
penebus dosa-dosa yang dia lakukan sebelumnya, selain dosa-dosa besar yang
dilakukannya, dan ini untuk sepanjang masa seluruhnya.” (HR. Muslim)
Dari Ubadah bin Shamit
ra., ia berkata: aku bersaksi bahwa aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
“Lima shalat yang
telah diwajibkan Allah Swt. Barangsiapa yang membaguskan wudhunya dan
melaksanakan shalat pada waktunya, serta menyempurnakan ruku' dan khusyunya,
maka baginya ada janji dan Allah Swt. untuk mengampuninya. Dan barangsiapa
tidak melakukan (hal itu) maka baginya tidak ada janji dari Allah Swt. Jika
menghendaki, Dia Swt. akan mengampuninya, dan jika menghendaki, Dia Swt. akan
menyiksanya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Para ahli fikih telah
berbeda pendapat tentang hukum khusyu dalam shalat. Sebagian besar mereka
memilih sunat dan anjuran saja, dan sebagian yang lain memilih wajib dan inilah
yang benar. Agar jelas bagi kita aspek yang benar dalam masalah ini hendaknya kita
memperhatikan nash-nash yang berkaitan dengan perkara ini.
a. Dari Abu Hurairah
ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
ketika dulu shalat, beliau Saw. mengangkat pandangannya ke langit. Lalu
turunnya ayat: (Yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya. Kemudian
beliau Saw. menundukkan kepalanya.” (HR. al-Hakim)
Hadits ini telah kami
sebutkan dalam pembahasan “memandang
dalam shalat”.
b. Firman Allah Swt.:
“Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam
shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan)
yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang
menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang
mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang
melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang
dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara shalatnya. Mereka
itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi Surga
Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (TQS. al-Mukminun [23]: 1-11)
c. Dari Jabir bin
Samurrah ra., ia berkata:
“Dahulu, jika kami
shalat bersama Rasulullah Saw., kami mengucapkan: assalamu'alaikum
warahmatullah, assalamu’alaikum
warahmatullah, dan dia memberi isyarat dengan tangan ke dua sisinya.
Maka Rasulullah Saw. bertanya: “Mengapa kalian memberi isyarat dengan
tangan-tangan kalian seperti ekor unta liar yang tidak mau diam?...” (HR.
Muslim)
Sebelumnya hadits ini
telah disebutkan dalam pembahasan “qunut dalam shalat”, dan Muslim meriwayatkan
hadits kedua dari Jabir bin Samurrah ra., bahwa ia berkata:
“Rasulullah Saw.
keluar melihat kami, dan beliau berkata: ”Mengapa aku melihat kalian mengangkat
kedua tangan kalian seolah-olah ekor unta liar? Diamlah kalian ketika sedang
shalat...”
Sebelumnya hadits ini
pun telah disebutkan dalam pembahasan “qunut dalam shalat.”
Dalil yang pertama
menunjukkan wajibnya khusyu, yang sebelumnya pernah kami paparkan dalam
pembahasan “melihat dalam shalat”, terkait haramnya memandang ke langit, yang
tidak perlu lagi kami ulang di sini. Dahulu Rasulullah Saw. suka menengadah ke
langit dalam shalatnya, lalu turunlah firman Allah: (Yaitu) orang-orang yang
khusyu, dalam shalatnya (TQS. al-Mukminun: 2), di mana beliau Saw. memahami
dari ayat ini bahwa khusyuk itu menuntutnya untuk tidak mengangkat pandangan.
Karenanya, beliau Saw. kemudian menundukkan kepalanya. Ini menunjukkan bahwa
khusyu’ itu bertentangan dengan mengangkat pandangan, dan mengangkat pandangan
bertentangan dengan khusyu. Selama mengangkat pandangan itu merupakan sesuatu
yang diharamkan, maka khusyu dengan merendahkan pandangan menjadi sesuatu yang
diwajibkan.
Dalil yang kedua
menjadi bukti lain adanya kewajiban khusyu, di mana Allah Swt. menggambarkan
kaum mukminin -jika mereka melakukan ini dan ini-, serta mereka mewujudkan
khusyu, akan termasuk orang-orang yang bisa meraih kebahagiaan. Allah Swt.
memberi kabar gembira kepada mereka akan mewarisi Surga firdaus, dan ini
melahirkan pengertian bahwa siapa saja yang ingin selamat -dengan memperoleh
kebahagiaan dan memasuki tingkatan Surga tertinggi- maka dia harus khusyu dalam
shalatnya, berpaling dan membersihkan diri dari perkataan dan perbuatan yang
sia-sia, menjaga kemaluannya, memelihara amanat dan janji, serta memelihara
shalatnya.
Apabila dia
meninggalkan salah satu perbuatan itu maka dia tidak berhak mendapatkan
kebahagiaan maupun masuk ke dalam Surga firdaus. Artinya, bahwa orang yang
tidak khusyu tidak akan dijamin mendapatkan kebahagiaan dan memasuki Surga
firdaus. Jadi, setelah semua ini sedemikian jelas, apakah masih ada orang yang
menduga bahwa khusyu itu bukan satu kewajiban?
Sesungguhnya
kebahagiaan dan memasuki Surga firdaus itu merupakan kemenangan terbesar, dan
kemenangan terbesar itu memerlukan harga yang paling besar. Dan harga terbesar
tidak akan berwujud perbuatan yang disunatkan. Harga terbesar hanya akan
berasal dari sesuatu yang diwajibkan. Oleh karena itu, kami mendapati bahwa
semua yang disebutkan dalam ayat-ayat di atas adalah termasuk kewajiban,
sehingga khusyu itu merupakan sesuatu yang wajib.
Adapun dalil ketiga,
maka ini selaras bahkan menguatkan pendapat yang menyatakan wajibnya khusyu, di
mana Rasulullah Saw. telah melarang kaum Muslim menggerakkan tangan ketika
mengucap salam dan keluar dari shalat dengan bentuk larangan yang keras. Beliau
Saw. telah bertanya kepada mereka dengan pertanyaan kritis, dan menyerupakan
tangan-tangan mereka dengan ekor-ekor unta. Kemudian beliau Saw. melarang
mereka dengan kalimat yang jelas dan tegas: “diamlah kalian.” Dengan adanya
kenyataan ini, sulit untuk dikatakan bahwa hal ini adalah suatu perkara yang
dimakruhkan saja, sehingga tidak ada lagi kemungkinan selain bahwa hal itu
merupakan larangan dari satu perbuatan yang diharamkan, yang bertolak belakang
dengan kekhusyuan. Dengan demikian, terbukti bahwa khusyu dalam shalat itu
wajib hukumnya.
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar