1. Istighfar
Disunahkan
beristighfar seusai shalat, dan disunahkan pula bilangannya sebanyak 3 kali.
Dari Ibnu Mas’ud ra. ia berkata:
“Adalah Nabi Saw.
sangat menyukai berdoa sebanyak tiga kali dan beristighfar sebanyak tiga kali.”
(HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Istighfar bisa
dilafalkan dengan redaksi kalimat manapun, seperti mengucapkan: astaghfirullah (aku memohon ampunan kepada
Allah) dan mengulanginya sebanyak tiga kali, atau mengucapkan: “aku mohon
ampunan kepada Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, yang hidup kekal lagi
terus-menerus mengurus (makhluk-Nya), dan aku kembali kepada-Nya” dan mengulanginya
sebanyak tiga kali, atau mengucapkan: “Ya Allah, Engkaulah Tuhanku, tidak ada
tuhan selain Engkau, Dzat yang telah menciptakanku, sedang aku adalah hamba-Mu,
dan aku berusaha meraih janji-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari
keburukan apa yang kulakukan, dan aku kembali kepada-Mu dengan nikmat-Mu
kepadaku sedang aku kembali kepada-Mu dengan membawa dosaku, maka ampunilah
aku, karena tidak ada yang mengampuni dosa melainkan Engkau.” Dan mengulanginya
sebanyak tiga kali. Bentuk istighfar yang terakhir ini merupakan bentuk
istighfar yang paling baik, dan disebut sebagai sayyidul
istighfar (penghulu istighfar). Dari Tsauban ra., ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. jika Beliau selesai dari shalatnya beliau beristighfar sebanyak tiga kali,
dan kemudian berkata: “Ya Allah, Engkau adalah Dzat pemilik kesejahteraan, dari
Engkaulah kesejahteraan, Maha suci Engkau Dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan...”
(HR. Muslim)
Ahmad, Ibnu Khuzaimah
dan an-Nasai meriwayatkan dengan lafal: “wahai Dzat yang memiliki keagungan dan
kemuliaan”, yakni adanya tambahan “ya.” Sebelumnya telah diuraikan dalam
pembahasan duduk sejenak setelah shalat dalam bab ini. Zaid pelayan Rasulullah Saw.
meriwayatkan bahwa dia mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
mengucapkan: "aku meminta ampunan kepada Allah Dzat yang hidup kekal lagi
terus-menerus mengurus makhluk-Nya, dan aku bertaubat kepada-Nya, maka
diampunilah dosanya, walaupun dia lari dari medan perang.” (HR. Abu Dawud)
Dari Syidad bin Aus
ra., dari Nabi Saw.:
“Sayyidul istighfar adalah engkau mengatakan:
“Ya Allah, Engkaulah Tuhanku, tidak ada tuhan selain Engkau, Dzat yang telah
menciptakanku, sedang aku adalah hamba-Mu, dan aku berusaha meraih janji-Mu
semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan apa yang Kulakukan, dan aku
kembali kepada-Mu dengan nikmat-Mu kepadaku, sedang aku kembali kepada-Mu
dengan membawa dosaku, maka ampunilah aku, karena sesungguhnya tidak ada yang
mengampuni dosa melainkan Engkau.” (HR. Bukhari, Ahmad dan Ibnu Majah)
Setelah beristighfar
dianjurkan untuk mengucapkan: Ya Allah, Engkau adalah Dzat pemilik
kesejahteraan, dari Engkaulah kesejahteraan, Maha Suci Engkau wahai Dzat yang
memiliki keagungan dan kemuliaan...” Ini berdasarkan hadits Tsauban, dan
berdasarkan hadits yang diriwayatkan Aisyah ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
jika telah bersalam dari shalatnya beliau mengucapkan: “Ya Allah, Engkau adalah
Dzat pemilik kesejahteraan, dari Engkaulah kesejahteraan, Maha Suci Engkau
wahai Dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan...” (HR. Ahmad dan Muslim)
2. Isti’adzah (memohon
perlindungan)
Seorang Muslim
dianjurkan untuk meminta perlindungan kepada Allah Swt. dari sejumlah keburukan
setelah dia mengakhiri shalatnya. Walaupun ta'awudz
itu dianjurkan setiap waktu, akan tetapi usai shalat lebih dianjurkan lagi dan
lebih mudah diijabah. Dari Abu Umamah
ra., ia berkata:
“Beliau Saw. ditanya:
“Wahai Rasulullah, doa apakah yang paling didengar? Beliau Saw. menjawab:
”Sepertiga malam terakhir dan setelah selesai shalat wajib.” (HR. Tirmidzi)
Bentuk ta'awwudz setelah shalat bisa diucapkan dalam
dua bentuk berikut ini:
1. Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari kekufuran, kefakiran dan siksa kubur.
2 . Ya Allah,
sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kekikiran, dan aku berlindung
kepada-Mu dari keleMahan hati, dan aku berlindung kepada-Mu dari
dikembalikannya aku pada kehinaan, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah
dunia, dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur.
Dari Abu Bakrah ra.:
“Bahwa Nabi Saw.
seringkali mengucapkan dalam ujung setiap shalatnya: “Ya Allah, sesungguhnya
aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran, kefakiran dan siksa kubur.” (HR.
Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Tirmidzi, dan an-Nasai)
Dari Mush’ab bin Saad
dan Amr bin Maimun al-Azadiy, keduanya berkata:
“Saad seringkali
mengajari anak-anaknya beberapa kalimat sebagaimana guru mengajari muridnya. Ia
berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Saw. seringkali berta'awudz dengan kalimat-kalimat berikut pada ujung shalatnya:
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kekikiran, dan aku
berlindung kepada-Mu dari keleMahan hati, dan aku berlindung kepada-Mu dari
dikembalikannya aku ini pada kehinaan, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah
dunia, dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur.” (HR. Ibnu Khuzaimah,
Ahmad, Bukhari dan Tirmidzi)
Dan banyak sekali
hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw. tentang meminta perlindungan
kepada Allah Swt. dari berbagai keburukan, yang jumlahnya hampir tidak
terhitung yang dibaca setelah shalat. Saya sebutkan di antaranya: (berlindung
dari) kemalasan, qadha yang buruk, kemalangan, kegembiraan musuh, beratnya
cobaan, keleMahan, kepikunan, terjerumus perbuatan dosa, kebangkrutan,
keburukan apa yang diciptakan Allah, beban utang dan dikuasai orang jahat,
keburukan kekayaan, kefakiran, kekurangan dan kehinaan, hilangnya nikmat dan
hilangnya rasa sehat, sergapan amarah, dan seluruh kemarahan Allah, perpecahan,
kemunafikan dan buruknya akhlak, kelaparan dan pengkhianatan, ilmu yang tidak
bermanfaat, hati yang tidak khusyu, hasrat yang tidak pernah kenyang dan doa
yang tidak dikabulkan, keburukan pendengaran, keburukan penglihatan, keburukan
lisan, keburukan hati dan keburukan derita (cobaan), kekalahan, jatuh,
tenggelam dan kebakaran, tertimpa bahaya akibat setan, dan kematian ketika lari
dari medan perang, kematian karena disengat, penyakit kusta, gila, lepra dan
penyakit lainnya, akhlak, keinginan dan perbuatan munkar.
Saya tidak akan
menyebutkan semua hadits yang mengandung istiadzah
yang saya sebutkan di atas, karena saya hanya akan menyebutkan beberapa isti’adzah yang ada dalam beberapa nash, yang
dilafalkan setelah shalat saja. Dan saya ingatkan, bahwa saya telah menyebutkan
sejumlah ta'awudz dalam pembahasan “do'a
dan ta’awudz di akhir shalat” pada bab “sifat
shalat” adalah ta’awudz yang mesti
diucapkan dalam shalat, bukan setelah shalat. Hanya Allah Swt. yang mengetahui
hikmah dalam mengkhususkan sebagian ta'awudz
dalam shalat, dan sebagian yang lain di penghujung shalat, serta sebagian
lainnya secara mutlak (kapanpun waktunya).
Ibadah itu sendiri
bersifat tauqifiy, yang harus dilakukan
sesuai dengan nash yang ada. Tetapi ucapan saya ini bukan berarti bahwa berta’awudz setelah shalat tidak boleh kecuali
dengan apa yang disebutkan hadits-hadits ini secara mutlak. Yang saya maksudkan
adalah bahwa berta’awudz dengan
menggunakan apa yang ada dalam nash di setiap akhir shalat itu lebih utama dan
lebih baik daripada selainnya.
3. Tasbih, tahmid, takbir dan
tahlil
4. Membaca ayat al-Qur'an
Membaca al-Qur’an
merupakan salah satu cara taqarrub yang paling agung di sisi Allah Swt. Saya di
sini tidak bermaksud menjelaskan topik ini lebih jauh, karena topik ini di luar
pembahasan kita. Pembahasan kita saat ini adalah “apa yang diucapkan setelah
shalat.” Kalaupun ingin sedikit berkomentar tentang pembahasan ini, maka
disunahkan untuk membaca al-Qur'an seluruhnya (menamatkannya) dalam satu bulan.
Ini membaca al-Qur'an yang paling ideal. Dan jika seorang Muslim ingin
menambahnya dan ia memiliki kemampuan, kesehatan dan waktu luang, maka dia
tidak boleh di atas tiga hari. Artinya, dia tidak membaca al-Qur’an seluruhnya
kurang dari tiga hari. Kita kembali pada pembahasan kita. Disunahkan bagi
seorang Muslim -jika dia telah shalat dan duduk berdzikir- untuk membaca
sebagai berikut: 1) Ayat kursi, yakni ayat 255 dari surat al-Baqarah.
2) Surat al-falaq.
3) Surat an-nas.
4) Maha Suci Tuhanmu
yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan
dilimpahkan atas para Rasul. Dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian
alam. (TQS. as-Shaffat: 180482)
Ini adalah
bacaan-bacaan yang disebutkan dalam beberapa nash. Bagi siapa yang ingin
menambahnya maka pintu itu tetap terbuka. Terkait khusus dengan surat
al-ikhlas, maka sebagian orang telah memasukkan surat ini ke dalam kategori al-mu'awidzat, di mana mereka berpendapat membaca
surat ini dilakukan bersama dengan al-mu'awwidzatain
(al-falaq dan an-nas) dengan menggunakan dalil satu hadits dhaif yang
diriwayatkan oleh Thabrani. Mengenai bacaan-bacaan yang saya singgung di atas
telah disebutkan dalam beberapa hadits berikut: Dari Abu Umamah ra. ia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
membaca ayat kursi di setiap akhir shalat wajib, maka tidak ada yang
menghalanginya untuk masuk Surga kecuali kematian.” (HR. Thabrani, an-Nasai dan
Ibnu Hibban)
Dari Hasan bin Ali ra.
ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
membaca ayat kursi pada setiap akhir shalat wajib, maka ia berada di dalam
jaminan Allah hingga shalat berikutnya.” (HR. Thabrani)
Dari Uqbah bin Amir
ra. ia berkata:
“Rasulullah Saw.
memerintahkan aku untuk membaca al-mu'awwidzat
pada setiap akhir shalat.” (HR. an-Nasai, Ahmad, Abu Dawud, Thabrani dan Ibnu
Khuzaimah)
Ibnu Hibban
meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:
“Bacalah oleh kalian al-mu’awwidzat pada setiap akhir shalat.”
Dalam riwayat an-Nasai
dan Tirmidzi disebutkan dengan kata al-mu’awwidzatain
(dua surat, yakni al-falaq dan an-nas). Kata al-mu’awwidzat
yang diucapkan dalam bentuk jamak ini digunakan sebagai dalil oleh sebagian
orang untuk membaca surat al-ikhlash, al-falaq dan an-nas, karena surat-surat
berjumlah tiga. Sementara itu, sebagian lainnya berpegang pada kata al-mu'awwidzatain -dalam bentuk tatsniyah-, sehingga mereka menyatakan untuk
membaca surat al-falaq dan an-nas saja, dan inilah yang shahih. Alasannya,
karena menjadi bagian gaya bahasa Arab bahwa penyebutan kata dalam bentuk jamak
kadang-kadang ditujukan untuk bentuk satu (munfarid)
dan dua (tatsniyah). Misalnya Umru’ul
Qais dalam mu’allaqatnya menceritakan
tentang kuda: yang menggelincirkan anak yang ringan itu dari
punggung-punggungnya. Padahal kuda hanya mempunyai satu punggung saja. Allah
Swt. berfirman:
“Kemudian
malaikat-malaikat memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat
di mihrab...” (TQS. Ali Imran [3]: 39)
Padahal, yang
memanggil di sini hanya Jibril seorang diri. Allah Swt. berfirman:
“(Yaitu) orang-orang
(yang mentaati Allah dan Rasul), yang kepada mereka ada orang-orang yang
mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang
kamu, karena itu takutlah kepada mereka...” (TQS. Ali Imran [3]: 173)
Padahal, yang
mengatakan di sini adalah seorang laki-laki saja yang berasal dari Bani
Khuza’ah.
Jadi, hadits di atas
berpijak pada kaidah ini, di mana Rasulullah Saw. menyebutkan lafadz al-mu'awwidzat dalam bentuk jamak untuk al-mu'awwidzatain (yakni al-falaq dan an-nas),
dua surat inilah yang dimaksudkannya. Karena itu, maka surat al-ikhias tidak
termasuk dalam kata yang beliau ucapkan, sehingga tidak termasuk surat yang
harus dibaca. Dari Abu Said al-Khudri ra., ia berkata:
“Aku mendengar Nabi
Saw. tidak hanya sekali mengucapkan pada akhir shalatnya (ketika beliau Saw.
selesai dari shalat): “Maha Suci Tuhanmu yang mempunyai keperkasaan dari apa
yang mereka katakan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para Rasul. Dan segala
puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam.” (TQS. As-Shaffat: 180-182).” (HR.
Ibnu Abi Syaibah dan Tirmidzi)
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar