Takbir
Dalam Shalat
Seluruh takbir dalam
shalat itu hukumnya sunat dan dianjurkan, berbeda dengan takbiratul ihram yang hukumnya adalah fardhu,
di mana takbiratul ihram adalah takbir
yang dilafalkan ketika memulai shalat. Sebelumnya pembahasan tersebut telah
kami singgung di awal bab ini. Semua takbir disyariatkan untuk imam, makmum dan
orang yang shalat munfarid, sehingga
tidak benar kalau dikatakan takbir itu hanya untuk imam saja. Alasannya karena
nash-nash yang ada, seluruhnya menyebutkan takbir dalam shalat secara umum,
tanpa ada pengkhususan (takhsis), dan
berbentuk mutlak tanpa ada pembatasan (taqyid),
karena itu tidak perlu diperhatikan pendapat yang mengkhususkan takbir ini
hanya untuk imam saja, tidak untuk makmum atau orang yang munfarid.
Disunahkan untuk menjahrkan takbir bagi imam, baik dalam shalat sirriyah ataupun shalat jahriyah. Adapun bagi makmum, mereka hendaknya
mensirrkan takbir, baik dalam shalat sirriyah ataupun shalat jahriyah. Sedangkan orang yang shalat munfarid hendaknya dia menjahrkan dalam shalat jahriyah, dan mensirrkan
dalam shalat sirriyah.
Bagi si mushalli, disyariatkan untuk bertakbir pada
setiap gerakan perpindahan (takbir intiqal)
dalam shalat, kecuali dua gerakan, yakni ketika bangkit dari ruku', yang
diucapkan adalah sami 'allahu liman hamidahu,
dan ketika menoleh ke kanan dan ke kiri di akhir shalat, di mana dia
mengucapkan assalamu'alaikum wa rahmatullah.
Jadi, takbir itu disyariatkan di setiap kali bangkit, turun, berdiri, duduk,
baik dalam shalat fardhu ataupun shalat nafilah,
baik bagi imam, makmum ataupun yang shalat munfarid,
baik laki-laki, perempuan ataupun anak-anak.
Seorang Muslim
bertakbir dua puluh dua takbir dalam shalat ruba'iyah
(shalat yang jumlah rakaatnya empat), dan sebelas takbir dalam shalat tsanaiyah (shalat yang berjumlah dua rakaat)
dan tujuh belas takbir dalam shalat tsulatsiyah
(shalat yang berjumlah tiga rakaat). Banyak hadits yang menyebutkan tentang
takbir. Kami pilihkan di antaranya:
1) Dari Ikrimah, ia
berkata: aku berkata kepada Ibnu Abbas ra.:
“Aku shalat dhuhur di
al-Bat-ha di belakang seorang tua yang pandir. Dia bertakbir dengan dua puluh
dua takbir, dan bertakbir jika sujud, dan jika mengangkat kepalanya. Dia
berkata: maka Ibnu Abbas berkata: Itulah shalat Abul Qasim Saw.” (HR. Ahmad)
Bukhari meriwayatkan
hadits ini dengan sedikit perbedaan.
2) Dari Ibnu Mas’ud
ra. ia berkata:
“Aku melihat
Rasulullah Saw. bertakbir pada setiap kali turun, bangkit, berdiri, dan duduk,
dan beliau Saw. mengucap salam ke sebelah kanan dan ke sebelah kirinya hingga
nampak putihnya dua pipi beliau Saw. Dan aku melihat Abu Bakar dan Umar
melakukan hal itu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, an-Nasai dan Ibnu Majah)
3) Dari Abu Hurairah
ra. ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. jika berdiri untuk shalat, beliau bertakbir ketika berdiri, kemudian
bertakbir ketika ruku’, lalu mengucapkan sami'allahu
liman hamidah ketika mengangkat tulang punggungnya dari ruku. Setelah
itu mengucapkan dan beliau dalam posisi berdiri: rabbana
lakal hamdu – Abdullah bin Shalih dari al-Laits berkata: wa lakal hamdu kemudian bertakbir hingga jatuh
bersujud, lalu bertakbir ketika mengangkat kepalanya, dan bertakbir ketika
bersujud. Setelah itu bertakbir ketika mengangkat kepalanya, dan melakukan hal
itu dalam shalat seluruhnya hingga beliau menyelesaikannya. Dan bertakbir
ketika bangkit dari dua rakaat setelah duduk.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
4) Dari Abu Bakar bin
Abdurrahman dan Abu Salamah:
“Sesungguhnya Abu
Hurairah bertakbir dalam setiap shalat fardhu dan selainnya. Dia bertakbir
ketika berdiri, kemudian bertakbir ketika ruku, lalu mengucapkan sami ’allahu liman hamidahu, setelah itu
mengucapkan: rabbana wa lakal hamdu
sebelum bersujud, kemudian mengucapkan Allahu
Akbar ketika jatuh bersujud, diikuti bertakbir ketika mengangkat
kepalanya, lalu bertakbir lagi ketika bersujud. Setelah itu bertakbir ketika
mengangkat kepalanya, kemudian bertakbir ketika berdiri dari duduk dalam dua
rakaat, dan beliau melakukan hal itu di setiap rakaat hingga menyelesaikan
shalatnya. Pada saat dia selesai dari shalatnya, dia kemudian berkata: “Dan
demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya aku adalah orang yang
paling mirip shalatnya di antara kalian dengan shalat Rasulullah Saw. Inilah
shalat beliau Saw. hingga beliau wafat” (HR. Abu Dawud)
Dalam hadits yang
pertama disebutkan: “Aku shalat dhuhur di al-Bat-ha di belakang seorang tua
yang pandir, dia bertakbir dengan dua puluh dua takbir”, “maka Ibnu Abbas
berkata: Itulah shalat Abul Qasim Saw.”, maka di dalam shalat ruba’iyah itu ada dua puluh dua takbir.
Dan dalam ucapan:
“bertakbir pada setiap kali turun, bangkit, berdiri, dan duduk, dan bersalam ke
sebelah kanan dan ke sebelah kirinya”, bertakbir dikecualikan dalam gerakan
salam.
Dalam hadits ketiga:
“kemudian mengucapkan sami 'allahu liman
hamidahu, ketika mengangkat tulang punggungnya dari ruku’ maka bertakbir
dikecualikan dalam gerakan bangkit dari ruku’.
Dalam hadits keempat
“bertakbir dalam setiap shalat fardhu dan selainnya,” ini menjadi dalil bahwa
takbir disyariatkan dalam seluruh shalat, baik yang fardhu ataupun yang nafilah.
Dalam hadits keempat:
“inilah shalat beliau Saw. hingga beliau wafat” menjadi dalil tetapnya hukum
takbir seluruhnya, dan tidak ada satupun yang dinasakh
darinya. Dalam hadits keempat: “kemudian mengucapkan Allahu Akbar ketika jatuh bersujud” menjadi dalil bahwa takbir
yang disebutkan dalam hadits adalah dengan redaksi “Allahu Akbar”, bukan yang lain.
Tirmidzi berkata:
“Inilah takbir yang diamalkan oleh para sahabat Nabi, di antaranya Abu Bakar,
Umar, Utsman dan Ali, dan selainnya, dan kalangan tabi'in setelahnya, dan
mayoritas para ahli fikih dan ulama.”
Meski demikian, takbir
ini hukumnya sunat saja bukan wajib. Telah diriwayatkan bahwa suatu kali
Rasulullah Saw. meninggalkan sebagian takbir, di mana hal ini menunjukkan tidak
wajibnya mengucapkan takbir. Abdullah bin Abdurrahman Ibnu Abza telah menyampaikan
dari ayahnya:
“Bahwa dia shalat
bersama Rasulullah Saw., dan beliau tidak bertakbir, yakni ketika turun dan
ketika bangkit.” (HR. Ahmad)
Abu Dawud meriwayatkan
hadits serupa dan memberikan komentar setelahnya: “Maksudnya jika mengangkat
kepalanya dari ruku dan akan bersujud, maka beliau tidak bertakbir. Dan jika
bangun dari sujud, maka beliau tidak bertakbir.” Ahmad meriwayatkan dari jalur
Imran bin Hushain ra. -dia telah ditanya siapa yang pertama meninggalkan
takbir- maka dia menjawab:
“Utsman bin Affan ra.,
ketika dia sudah tua dan suaranya sudah lemah, maka dia meninggalkannya.”
Seandainya takbir ini
hukumnya wajib, maka Utsman tidak akan meninggalkannya, dan hal itu didiamkan
oleh para sahabat.
Tinggal satu masalah
lagi, yaitu berdirinya seseorang dari makmum yang dekat dengan imam, di mana ia
mengeraskan suaranya dalam bertakbir agar bisa terdengar oleh para makmum
lainnya yang jauh dari imam –di mana mereka tidak bisa mendengar takbir imam-. Praktik
seperti ini boleh-boleh saja. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari
Jabir ra., bahwa dia berkata:
“Rasulullah Saw.
menderita sakit, lalu kami shalat di belakangnya dan beliau Saw. dalam keadaan
duduk. Abu Bakar memperdengarkan takbir beliau Saw. kepada orang-orang, lalu
beliau Saw. menoleh kepada kami dan melihat kami berdiri, kemudian beliau Saw.
memberi isyarat kepada kami, lalu kami pun duduk dan melaksanakan shalat dalam
keadaan duduk. Ketika bersalam, beliau Saw. berkata: “Hampir saja kalian tadi
melakukan apa yang dilakukan Bangsa Persia dan Romawi, mereka berdiri di
hadapan raja-raja mereka yang sedang duduk, maka janganlah kalian melakukannya,
ikutilah imam kalian, jika dia shalat secara berdiri maka shalatlah kalian
secara berdiri, dan jika dia shalat secara duduk maka shalatlah kalian secara
duduk.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan Ibnu Majah)
Muslim meriwayatkan
dari jalur Jabir satu riwayat yang lain dengan redaksi kalimat:
“Rasulullah Saw.
shalat mengimami kami, dan Abu Bakar ada di belakangya. Jika Rasulullah Saw.
bertakbir maka Abu Bakar bertakbir agar bisa memperdengarkannya kepada kami,
kemudian dia menyebutkan hadits Laits.”
Dengan demikian, jika
sang imam sakit atau suaranya pelan, maka seseorang boleh mengeraskan suaranya
mengulang takbir di belakang imam, agar bisa memperdengarkannya kepada makmum
yang lain, dan tidak ada masalah dalam hal itu. Akan tetapi, ini terjadi dalam
kondisi tidak ada pengeras suara di masjid. Jika sudah ada, maka suara imam
kalau disampaikan lewat pengeras suara bisa mencapai seluruh jamaah yang sedang
shalat
tanpa memerlukan lagi orang yang mengulang takbir imam di belakangnya, sehingga
dalam kondisi ini saya berpendapat bahwa mengulang takbir yang dilakukan oleh
orang kedua menjadi makruh, karena bisa membingungkan dan mengganggu makmum
yang lain ketika hal itu tidak diperlukan.
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar