Shalawat Kepada
Rasulullah Saw.
Disunatkan bagi
seorang Muslim untuk bershalawat kepada Rasulullah Saw. dalam shalatnya. Dari
Abu Mas’ud ‘Uqbah bin Amir ra., ia berkata:
“Seseorang datang
menghadap hingga duduk tepat di hadapan Rasulullah Saw., dan kami ada di
samping beliau Saw. Laki-laki itu berkata: “Wahai Rasulullah, mengenai salam
maka kami telah mengetahuinya, lalu bagaimana kami bershalawat kepadamu jika
kami melakukan shalat, padahal Allah saja bershalawat kepadamu?” Dia (perawi)
berkata: Kemudian Rasulullah Saw. terdiam hingga kami suka jika laki-laki
tersebut tidak menanyai beliau terkait perkara itu. Setelah itu beliau Saw.
bersabda: “Jika kalian bershalawat kepadaku maka ucapkanlah: “Ya Allah,
curahkan shalawat atas Muhammad, Nabi yang ummi, dan atas keluarga Muhammad
sebagaimana engkau mencurahkan shalawat atas Ibrahim dan atas keluarga Ibrahim.
Dan curahkanlah barakah atas Muhammad, Nabi yang ummi, dan atas keluarga
Muhammad sebagaimana engkau mencurahkan barakah atas Ibrahim dan keluarga
Ibrahim. Sesungguhnya engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.” (HR. Ibnu Khuzaimah)
Ahmad dan al-Hakim
meriwayatkan hadits yang mirip. Ucapan: mengenai salam maka kami telah
mengetahuinya, yakni ucapan yang dilafalkan dalam tasyahud:
”keselamatan bagimu wahai Nabi dan rahmat dan barakah-Nya (tercurah padamu).”
Sedangkan ucapan: maka bagaimana kami bershalawat kepadamu jika kami melakukan
shalat, maka hal ini menunjukkan disyariatkannya shalawat dalam shalat ini,
tanpa ada pembatasan di bagian manakah dari shalat tersebut, karena tidak ada
satu nash pun yang shahih atau hasan yang menunjukkan penetapan satu tempat
atau bagian dalam shalat untuk bershalawat kepada Rasulullah Saw.
Adapun hadits yang
diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan al-Hakim dari jalur Ibnu Mas’ud ra. dari
Rasulullah Saw., bahwa beliau bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian telah bertasyahud dalam
shalat maka ucapkanlah: Ya Allah curahkanlah shalawat atas Muhammad dan
keluarga Muhammad, dan curahkanlah barakah atas Muhammad dan keluarga Muhammad,
dan rahmatilah Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana engkau mencurahkan
shalawat, barakah dan rahmat pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya
Engkau Mahaterpuji lagi Mahamulia.”
Maka hadits ini
walaupun di dalamnya terdapat penentuan tempat pengucapan shalawat kepada
Rasulullah Saw., di mana tempatnya itu adalah setelah tasyahud, tetapi hadits ini dalam sanadnya
ada perawi majhul seorang laki-laki dari
Bani al-Harits sehingga hadits ini dhaif dan tidak layak diperhitungkan.
Mengenai hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari ucapan Abdullah bin Mas’ud
ra.: “Seorang laki-Iaki bertasyahud,
kemudian di bershalawat atas Nabi, kemudian berdoa untuk dirinya sendiri”, maka
hadits ini juga walaupun di dalamnya terdapat penentuan tempat pengucapan
shalawat ibrahimiyah dalam shalat tetapi
ini adalah ucapan sahabat (qaul shahabiy),
dan ucapan shahabat bukanlah dalil hukum syara. Ucapan sahabat semata-mata
hanya hukum syara yang bersifat ijtihadi,
sehingga boleh saja untuk diikuti. Karena itu kita tidak memiliki satu nash pun
yang mu’tabar yang menentukan tempat
pengucapan shalawat ibrahimiyah dalam
shalat. Apa yang biasa dilakukan oleh kaum Muslim dengan mengucapkan shalawat
ini setelah tasyahud akhir, dan mereka
menyepakati perkara ini, maka hal ini hanyalah perkara yang dinukil kepada kita
secara praktis dari satu generasi ke generasi, dan itu adalah mutawatir.
Shalawat atas
Rasulullah Saw. tidak memiliki bentuk tertentu yang harus ditetapi, karena ada
beberapa bentuk shalawat yang diriwayatkan dari berbagai jalur yang shahih dan
hasan, di mana setiap bentuk ini boleh dan sah digunakan. Sejumlah bentuk telah
disebutkan dinisbatkan kepada Rasulullah Saw. dari beberapa jalur dari sahabat
Rasulullah Saw., tetapi ada juga beberapa bentuk yang disebutkan dari jalur
satu orang sahabat dari mereka. Telah diriwayatkan dari Kaab bin ‘Ujrah ra.
lebih dari tiga bentuk shalawat. Yang serupa adalah dari jalur Abu Humaid
as-Sa’idiy ra., dan yang lebih banyak lagi adalah dari jalur Abu Mas’ud
al-Anshari ‘Uqbah bin Amir ra. Semua jalur ini shahih dan hasan sehingga layak
untuk dijadikan hujjah. Seorang Muslim
berhak memilih di antara berbagai bentuk shalawat ini. Dalilnya adalah hadits
yang diriwayatkan Abu Hurairah ra. dari Nabi Saw., beliau bersabda:
“Barangsiapa yang
senang ditimbang dengan timbangan paling sempurna jika bershalawat kepada kami ahlul bait, maka ucapkanlah: “Ya Allah,
curahkanlah shalawat atas Muhammad, Nabi (kami) dan istri-istrinya yang
merupakan ummahatul mukminin, dan
keturunannya serta ahli baitnya,
sebagaimana Engkau mencurahkan shalawat atas Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha
Terpuji lagi Maha Mulia.” (HR. Abu Dawud)
Ucapan: “Barangsiapa
yang ingin ditimbang dengan timbangan paling sempurna”, ini menjadi dalil
adanya perbedaan bentuk. Seandainya tidak seperti itu, atau seandainya shalawat
itu tidak diucapkan dalam beberapa bentuk, maka tidak akan ada ucapan seperti ini.
Semua bentuk ini diriwayatkan dan dinisbatkan kepada Rasulullah Saw., sehingga
membuat kita tenang ketika menetapkan disyariatkan berbagai bentuk shalawat
ini, dan ini tidak menghalangi kita mengambil bentuk yang paling kuat dilihat
dari segi sanad. Bentuk yang paling kuat
dilihat dari segi sanad, tidak ragu lagi
adalah bentuk yang disepakati periwayatannya oleh dua orang syeikh, yakni
Bukhari dan Muslim. Kedua syeikh ini telah menyepakati dua bentuk shalawat,
yaitu:
a. Ya Allah, curahkan
shalawat atas Muhammad, dan atas keluarga Muhammad sebagaimana Engkau
mencurahkan shalawat atas Ibrahim dan atas keluarga Ibrahim. Sesungguhnya
Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia, dan curahkanlah barakah atas Muhammad, dan
atas keluarga Muhammad sebagaimana Engkau mencurahkan barakah atas lbrahim dan
keluarga lbrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.
b. Ya Allah,
curahkanlah shalawat atas Muhammad, istri-istrinya dan keturunannya,
sebagaimana Engkau mencurahkan shalawat atas keluarga Ibrahim, dan curahkanlah
barakah atas Muhammad, istri-istrinya dan keturunannya, sebagaimana Engkau
mencurahkan barakah atas keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan
Maha Mulia.
Yang paling utama
adalah memilih salah satu dari dua bentuk ini. Bentuk yang pertama diriwayatkan
dari Kaab bin Ujrah ra., bahwa dia berkata:
“Kami bertanya kepada
Rasulullah Saw. dan kami berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimanakah bershalawat
atasmu sebagai ahlul bait, karena Allah
telah mengajari kami bagaimana kami mengucapkan salam atas kalian?” Beliau
berkata: “Ucapkanlah: Ya Allah, curahkan shalawat atas Muhammad, dan atas
keluarga Muhammad sebagaimana Engkau mencurahkan shalawat atas Ibrahim dan atas
keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia dan
curahkanlah barakah atas Muhammad, dan atas keluarga Muhammad sebagaimana
Engkau mencurahkan barakah atas Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya
Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ahmad meriwayatkan
hadits ini dengan menyebutkan: “atas keluarga lbrahim” di kedua tempat tersebut
tanpa menyebutkan Ibrahim di dalamnya.
Bentuk kedua telah
diriwayatkan dari Abu Humaid al-Sa’idiy ra., bahwa dia berkata:
“Mereka (para sahabat)
berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimanakah kami bershalawat atasmu?” Maka
Rasulullah Saw. berkata: “Ucapkanlah: Ya Allah, curahkanlah shalawat atas
Muhammad, istri-istrinya dan keturunannya, sebagaimana Engkau mencurahkan
shalawat atas keluarga Ibrahim, dan curahkanlah barakah atas Muhammad,
istri-istrinya dan keturunannya, sebagaimana Engkau mencurahkan barakah atas
keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.” (HR.
Bukhari, Muslim, Malik, an-Nasai dan Abu Dawud)
Berikut ini adalah
bentuk-bentuk shalawat ma’tsurah
lainnya.
1) “Ya Allah, curahkan
shalawat atas Muhammad, Nabi yang ummi, dan atas keluarga Muhammad sebagaimana
engkau mencurahkan shalawat atas Ibrahim dan atas keluarga Ibrahim, dan
curahkanlah barakah atas Muhammad, Nabi yang ummi, dan atas keluarga Muhammad
sebagaimana engkau mencurahkan barakah atas Ibrahim dan keluarga Ibrahim.
Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.” Bentuk ini telah disebutkan
dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah dari jalur Abu Mas’ud ‘Uqbah bin
Amir ra., ia berkata:
“Seseorang datang
menghadap hingga duduk tepat di hadapan Rasulullah Saw., dan kami ada di
samping beliau Saw. Laki-laki itu berkata: “Wahai Rasulullah, mengenai salam
maka kami telah mengetahuinya, lalu bagaimana kami bershalawat kepadamu jika
kami melakukan shalat, padahal Allah saja bershalawat kepadamu?” Dia (perawi)
berkata: Kemudian Rasulullah Saw. terdiam hingga kami suka jika laki-laki
tersebut tidak menanyai beliau terkait perkara itu. Setelah itu beliau Saw.
bersabda: “Jika kalian bershalawat kepadaku maka ucapkanlah: Ya Allah, curahkan
shalawat atas Muhammad, Nabi yang ummi, dan atas keluarga Muhammad sebagaimana
Engkau mencurahkan shalawat atas Ibrahim dan atas keluarga Ibrahim, dan
curahkanlah barakah atas Muhammad, Nabi yang ummi, dan atas keluarga Muhammad
sebagaimana Engkau mencurahkan barakah atas Ibrahim dan keluarga Ibrahim.
Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.” (HR. Ibnu Khuzaimah)
Sebelumnya, hadits ini
telah kami sebutkan. Ahmad dan al-Hakim meriwayatkan hadits ini dengan redaksi
kalimat yang hampir serupa.
2) “Ya Allah,
curahkanlah shalawat atas Muhammad, hamba-Mu dan utusan-Mu, sebagaimana Engkau
curahkan shalawat atas Ibrahim, dan curahkanlah barakah atas Muhammad dan
keluarga Muhammad sebagaimana Engkau mencurahkan barakah atas Ibrahim dan
keluarga lbrahim.” Bentuk shalawat ini telah disebutkan dalam hadits yang
diriwayatkan Ahmad dari jalur Abu Said al-Khudri ra., ia berkata:
“Kami berkata: “Wahai
Rasulullah, terkait ucapan salam atasmu maka kami telah mengetahuinya, maka
bagaimanakah dengan bershalawat atasmu?” Beliau berkata: “Ucapkanlah: Ya Allah,
curahkanlah shalawat atas Muhammad, hamba-Mu dan utusan-Mu, sebagaimana Engkau
curahkan shalawat atas Ibrahim, dan curahkanlah barakah atas Muhammad dan
keluarga Muhammad sebagaimana Engkau mencurahkan barakah atas Ibrahim dan
keluarga Ibrahim.”
3) “Ya Allah,
curahkanlah shalawat atas Muhammad dan atas keluarga Muhammad, sebagaimana
Engkau mencurahkan shalawat atas Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan
Maha Mulia, dan curahkanlah barakah atas Muhammad dan atas keluarga Muhammad
sebagaimana Engkau mencurahkan barakah atas Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha
Terpuji dan Maha Mulia.” Bentuk ini telah disebutkan dalam hadits yang
diriwayatkan Ahmad dari jalur Thalhah bin Ubaidillah ra., ia berkata:
“Aku bertanya: Wahai
Rasulullah, bagaimanakah bershalawat atasmu? Beliau berkata: “Ucapkanlah: Ya
Allah, curahkanlah shalawat atas Muhammad dan atas keluarga Muhammad,
sebagaimana Engkau mencurahkan shalawat atas Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha
Terpuji dan Maha Mulia, dan curahkanlah barakah atas Muhammad dan atas keluarga
Muhammad sebagaimana Engkau mencurahkan barakah atas Ibrahim. Sesungguhnya
Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.”
Perlu saya sebutkan
satu bentuk shalawat atas Rasulullah Saw. yang paling panjang dan paling luas
cakupannya:
4) Ya Allah,
curahkanlah shalawat atas Muhammad dan atas ahli
baitnya, dan atas istri-istrinya dan keturunannya, sebagaimana Engkau
mencurahkan barakah atas keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan
Maha Mulia, dan curahkanlah barakah atas Muhammad dan atas ahli baitnya, dan atas istri-istrinya dan
keturunannya, sebagaimana Engkau mencurahkan barakah atas keluarga Ibrahim.
Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.” Bentuk ini telah disebutkan
dalam hadits yang diriwayatkan Ahmad dari jalur seorang laki-laki dari kalangan
sahabat Nabi Saw., dari Nabi Saw. bahwa beliau bersabda:
“Ya Allah, curahkanlah
shalawat atas Muhammad dan atas ahli baitnya,
dan atas istri-istrinya dan keturunannya, sebagaimana Engkau mencurahkan
barakah atas keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia,
dan curahkanlah barakah atas Muhammad dan atas ahli
baitnya, dan atas istri-istrinya dan keturunannya, sebagaimana Engkau
mencurahkan barakah atas keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan
Maha Mulia.”
Tidak diketahuinya
nama sahabat tersebut tidak bermasalah, karena mereka semua bersifat adil.
Al-Haitsami berkata: “rijal Ahmad adalah
rijal yang shahih.”
Inilah enam bentuk
shalawat. Yang paling kuat sanadnya
adalah dua bentuk, dan yang paling luas cakupannya adalah bentuk terakhir.
Siapa saja yang mengambil salah satu bentuk dari keenamnya, maka itu telah
cukup baginya, dan perkara ini dalam hal tersebut cukup luas.
Ada kebiasaan pada
lidah kaum Muslim sekarang ini mengucapkan: “fil
'alamina (di seluruh alam)” sebelum “innaka
hamiidun majiid (sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia)”.
Jadi, ada tambahan kalimat “fil 'alamina
(di seluruh alam).” Lafadz ini disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Ahmad, an-Nasai, dan Abu Dawud, dan dalam hadits yang diriwayatkan Muslim dari
jalur Abu Mas’ud al-Anshari ra., dan redaksinya:
”...Ya Allah,
curahkanlah shalawat atas Muhammad dan atas keluarga Muhammad, sebagaimana
Engkau mencurahkan shalawat atas keluarga Ibrahim, dan curahkanlah barakah atas
Muhammad dan atas keluarga Muhammad sebagaimana Engkau mencurahkan barakah atas
keluarga Ibrahim, di seluruh alam. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha
Mulia...”
Ini adalah bentuk yang
ketujuh yang bisa ditambahkan pada keenam bentuk sebelumnya. Bentuk ini
disebutkan pula dalam hadits yang diriwayatkan ad-Darimi dari jalur Abu Mas’ud,
dan dalam hadits yang diriwayatkan lbnu Majah dari jalur Abu Humaid al-Sa’idiy.
Sedangkan kebiasaan
yang sudah lazim diucapkan oleh banyak orang: Ya Allah, curahkanlah shalawat
atas sayyidina Muhammad dan atas
keluarga sayyidina Muhammad, dan
curahkanlah barakah atas sayyidina
Muhammad dan atas keluarga sayyidina
Muhammad...”, dengan adanya tambahan “sayyidina”,
maka hal ini tidak ada dasarnya yang mu’tabar.
Bentuk seperti ini tidak dinukil dari Rasulullah Saw. dalam satu riwayat pun,
baik yang shahih ataupun yang hasan. Karena itu, saya menasehati Anda sekalian
untuk meninggalkannya dan hanya mencukupkan diri dengan bentuk yang ma'tsur saja karena itu lebih utama. Tetapi
jika enggan dan terus saja menggunakannya maka tidak menjadi masalah, karena
perkara ini begitu luas sebagaimana kami katakan sebelumnya. Tambahan ini telah
disisipkan oleh sejumlah ahli fikih dengan alasan bahwa hal ini termasuk sikap
menjaga kesopanan pada Rasulullah Saw., tetapi sebenarnya mereka telah jauh
dari kebenaran dalam ucapannya, sebab sikap menjaga kesopanan pada Rasulullah
Saw. itu adalah dengan mentaatinya dalam berbagai perkara yang disyariatkannya,
dan itu sudah cukup.
Saya katakan pada awal
pembahasan, bahwa shalawat atas Rasulullah Saw. ini hukumnya sunat, dan saya
tidak menyatakan hukumnya itu wajib, sebagaimana yang dikatakan sejumlah ahli
fikih. Karena, adanya perintah saja tidak cukup untuk mewajibkannya. Perintah
untuk melakukan sesuatu itu tidak berarti wajib, kecuali dengan adanya indikasi
(qarinah), seperti yang dinyatakan oleh
sejumlah ahli ushul, dan inilah yang
benar. Jadi, perintah itu hanya sekedar tuntutan saja (at-thalab). Adanya indikasi (qarinah)-lah
yang menjadikan perintah (al-amr) itu
menjadi wajib (al-wujub), sunah (an-nadb) atau boleh (al-ibahah). Dalam persoalan ini tidak ada indikasi yang bisa
merubah perintah ini menjadi wajib. Indikasi yang ada hanya menunjukkannya pada
sunah saja. Berikut penjelasannya:
a. Hadits ad-Darimi
dari jalur ‘Alqamah, bahwa Abdullah ra. memegang tangannya:
“Bahwa Rasulullah Saw.
memegang tangan Abdullah, lalu beliau Saw. mengajarinya bertasyahud dalam shalat, penghormatan untuk
Allah ...orang-orang shalih. Zuhair berkata: aku melihatnya mengucapkan: Aku
bersaksi tidak ada tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah
hamba-Nya dan utusan-Nya. (Perawi)-ragu dalam dua kata ini-: jika engkau
melakukan hal ini atau menunaikan hal ini maka engkau telah menunaikan
shalatmu, sehingga jika engkau ingin berdiri maka berdirilah, dan jika engkau
ingin duduk maka duduklah.”
Sebelumnya telah kami
sebutkan dalam pembahasan “tasyahud dan
bentuk duduknya.” Seandainya shalawat atas Rasulullah Saw. itu diwajibkan maka
bagaimana bisa ada ucapan: “jika engkau melakukan hal ini atau menunaikan hal
ini maka engkau telah menunaikan shalatmu” setelah bertasyahud? Seandainya shalawat itu diwajibkan maka tidak mungkin
ada ucapan: “jika engkau ingin berdiri maka berdirilah”. Hadits ini memiliki dilalah yang sangat jelas.
b. Hadits Ibnu Majah
dari jalur Abu Hurairah ra., ia berkata Rasulullah Saw. bertanya pada seorang
laki-laki:
“Apa yang engkau
ucapkan dalam shalat?” Ia berkata: Aku bertasyahud, kemudian memohon Surga
kepada Allah dan berlindung dari siksa Neraka kepada-Nya. Demi Allah, aku tidak
mengetahui dendanganmu dan tidak juga dendangan Muadz. Beliau bersabda: Di
sekitarnya (Surga) kita berdendang mencarinya.”
Lelaki ini ditanyai
Rasulullah Saw. tentang apa yang diucapkannya dalam shalat, maka dia
menjawabnya: “Aku bertasyahud, kemudian
memohon Surga kepada Allah dan berlindung dari siksa Neraka kepada-Nya.” Di
dalam jawaban ini tidak ada isyarat adanya shalawat atas Nabi Saw., dan Nabi
Saw. tidak mengingkari ucapannya itu. Diamnya beliau Saw. itu ketika sangat
diperlukan, menjadi penjelasan dan penetapan hukum. Seandainya shalawat atas
Nabi itu suatu kewajiban, niscaya wajib bagi Rasulullah Saw. untuk
menjelaskannya kepada laki-laki ini. Tatkala beliau Saw. tidak melakukannya,
maka hal itu menunjukkan tidak wajibnya bershalawat ini.
c. Hadits Abu Dawud
dari jalur Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian selesai dari tasyahud akhir
maka hendaklah dia meminta perlindungan kepada Allah Swt. dari empat hal: dari
siksa jahanam, dari siksa kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian, dan dari
keburukan al-masih ad-dajjal.”
Seandainya shalawat
itu diwajibkan niscaya Nabi Saw. akan mengatakan misalnya: “Jika salah seorang
dari kalian selesai dari mengucapkan shalawat atasku maka hendaklah dia meminta
perlindungan kepada Allah Swt. dari empat hal”, dan ketika beliau tidak menyebutkannya,
malah memerintahkan dengan doa tersebut setelah bertasyahud, maka hal ini menunjukkan bahwa shalawat itu bukanlah
sesuatu yang diwajibkan atas kaum Muslim. Hadits yang memiliki dilalah serupa adalah hadits yang diriwayatkan
Ibnu Majah dari jalur Jabir bin Abdullah ra., ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. mengajari kami tasyahud sebagaimana
beliau mengajari kami satu surat dari al-Qur'an: “Dengan nama Allah dan dengan
pertolongan Allah, penghormatan hanya milik Allah, kebahagiaan dan kebaikan
adalah milik-Nya, keselamatan, rahmat dan barakah-Nya adalah bagimu wahai Nabi,
keselamatan atas kami semua dan atas hamba-hamba Allah yang shalih. Aku
bersaksi tidak ada tuhan selain Allah, dan aku bersaksi Muhammad itu adalah
hamba-Nya dan utusan-Nya. Aku meminta Surga kepada Allah, dan aku berlindung
dari Neraka kepada-Nya.”
Saya telah menyebutkan
hadits ini dalam pembahasan “tasyahud
dan bentuk duduknya”, di mana beliau Saw. menjadikan doa setelah tasyahud langsung tanpa ada pemisah berupa
shalawat atas Nabi Saw.
d. Hadits yang kami
sebutkan sebelumnya, yang di dalamnya ada tuntutan atas kaum Muslim agar
bershalawat kepada Rasulullah Saw. dalam shalat -yakni hadits yang diriwayatkan
oleh Ibnu Khuzaimah, al-Hakim dan Ahmad-, sesungguhnya tuntutan ini sebenarnya
adalah untuk mendekatkan diri (qurbah)
kepada Allah. Bentuk qurbah seperti ini
menurut qarinah yang ada telah terbukti
bahwa ini bukanlah sesuatu yang wajib, sehingga dipahami bahwa hukumnya hanya
sunat dan dianjurkan saja.
Adapun hadits yang
diriwayatkan dari Abu Mas’ud al-Badriy ra., bahwa dia berkata:
“Seandainya aku
melaksanakan satu shalat, lalu aku tidak bershalawat di dalamnya pada Muhammad
dan pada keluarga Muhammad, maka aku tidak melihat shalat itu sebagai (sesuatu
yang) telah sempurna.”
Al-Baihaqi telah
meriwayatkan hadits ini dan berkomentar: “Jabir al-Ju'fiy telah menyendiri
dalam meriwayatkan hadits ini, padahal dia itu seorang dhaif”. Abu Hanifah dan
yang lainnya telah mendustakannya, sehingga hadits ini tidak layak untuk
dijadikan dalil. Selain itu, hadits ini adalah ucapan sahabat, sedangkan ucapan
sahabat itu sendiri bukanlah dalil syara.
Mengenai hadits yang
diriwayatkan dari Abdul Muhaimin bin Abbas bin Shal as-Sa’idiy, ia berkata:
“Aku mendengar ayahku
menceritakan dari kakekku, bahwa Nabi Saw. berkata: “Tidak ada shalat bagi
orang yang tidak berwudhu, dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut
nama Allah atasnya, dan tidak ada shalat bagi orang yang tidak bershalawat pada
Nabi dalam shalatnya.” (HR. al-Hakim dan al-Baihaqi)
Hadits ini menunjukkan
wajibnya bershalawat atas Nabi Saw. dalam shalat. Hadits ini hadits dhaif, yang
tidak layak untuk dijadikan hujjah,
seperti yang dikatakan oleh al-Baihaqi, karena Abdul Muhaimin itu seorang yang
sangat lemah sebagaimana dikatakan oleh ad-Dzahabi. Karena itu, haditsnya harus
dibuang dan tidak boleh diperhatikan. Dengan demikian, shalawat pada Rasulullah
Saw. dalam shalat itu hukumnya sunat saja, bukan wajib.
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar