Pondok
Pesantren Nuu Waar AFKN, Setu, Bekasi, Jawa Barat
Suasana gembira
menyelimuti Pondok Pesantren Nuu Waar AFKN, ratusan santri berkumpul di lapang
utama untuk menyaksikan 90 kakak kelas mereka diwisuda, Ahad (13/3) di Pondok
Pesantren Nuu Waar, Setu, Bekasi Jawa Barat. Wisuda dimulai pada pukul 07.30
dengan ditandai kehadiran dewan senat santri yang diketuai Ustadz MZ Fadzlan
Garamatan ke atas panggung. Serta, dengan resmi membuka acara wisuda santri
ke-28 itu. Seusai sambutan, ada ceramah umum oleh Sekjen Aliansi Cinta Keluarga
Indonesia (ALIA) Rita Subagyo. Dan juga, sambutan dari ketua senat yang juga
sebagai Ketua Yayasan Al Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN).
Usai itu setiap santri
bergiliran ke panggung untuk menerima sertifikat kelulusan dan cinderamata yang
diserahkan dewan senat santri Ponpes Nuu Waar AFKN. Raut kegembiraan sangat
tampak pada wajah para santri yang telah lulus dari Ponpes Nuu Waar. Setelah
sekian lama mereka menempuh pendidikan yang jauh dari kampung halaman mereka di
Nuu Waar (Irian Jaya).
Namun kegembiraan itu,
sontak terhenti berganti tangis saat dua perwakilan santri menyampaikan
sambutan. Dua Perakilan ini menyampaikan rasa terima kasih dan perasaan
bangganya dapat menikmati pendidikan di AFKN. Berpisah dari keluarga
bertahun-tahun untuk meraih impian mereka dalam bidang pendidikan.
Dan mereka pun kembali
tegar saat bersama-sama membacakan ikrar. "Kami berjanji kepada Allah SWT
untuk menjadi dai-dai muda yang akan membawa perubahan dalam masyarakat di
pedalaman Nuu Waar!" ujar para wisudawan berikrar serentak.
Usai acara, Humas AFKN
Ahmad Damanik menyampaikan pernyataannya. ”Ini merupakan wisuda bagi sekitar 90
santri AFKN yang telah menyelesaikan sarjana bidang keguruan, kebidanan dan
keperawatan, ilmu teknik sipil, dan komunikasi," ujarnya kepada Media Umat.
Sebelum kegiatan
wisuda ini dilakukan, lanjut Damanik, para santri yang telah menyelesaikan
pendidikan di perguruan tinggi masing-masing harus mengikuti pembekalan berupa
ilmu Al-Qur’an, hadits, akidah, dan berbagai keterampilan yang diikuti selama
enam bulan. Setelah lulus dari ujian materi-materi yang telah diberikan mereka
pun diwisuda. Semuanya adalah santri AFKN yang berasal dari Nuu Waar.
Setelah selesai proses
wisuda, mereka akan dikembalikan ke kampung halaman masing-masing. Mereka harus
mengaplikasikasikan ilmu yang telah mereka dapat selama masa pendidikan untuk
masyarakat di pedalaman Nuu Waar. ”Sementara dengan bekal selama di Ponpes Nuu
Waar mereka juga diharuskan berdakwah atau menjadi penggerak dakwah Islam di
kampung masing-masing," ujarnya.
Sejarah
Sudah puluhan tahun,
AFKN menampilkan kiprahnya dalam bidang dakwah, sosial, dan pendidikan untuk
masyarakat pedalaman Nuu Waar. "Dalam bidang pendidikan, AFKN membawa
anak-anak Nuu Waar yang dhuafa untuk kami fasilitasi pendidikan secara gratis
di pulau Jawa," beber Damanik.
AFKN pun bekerja sama
dengan beberapa pesantren yang ada di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi untuk
menampung mereka dan memberikan pendidikan secara baik. Sebagian lainnya, kami
membina mereka dengan menumpang/sewa rumah-rumah warga yang ada di daerah Pondok
Hijau Permai, Kota Bekasi. Namun dengan bertambahnya santri, masyarakat merasa
terganggu. Keadaan ini mendorong AFKN untuk segera mencari lahan yang cukup
kondusif untuk membangun pondok pesantren. Maka didapatkan seperti sekarang ini
di RT 02 RW 06 Kampung Bunut, Desa Tamansari, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi.
”Mengapa pesantern Nuu
Waar ini dibangun di Bekasi? Lokasi Bekasi yang notabene tak jauh dari Jakarta
sangat memudahkan pengurus untuk membawa orang-orang berilmu hadir memberikan
semangat di hadapan santri. Sehingga para santri bisa mendapatkan tambahan
wawasan yang memadai," aku Damanik.
Di lahan seluas 5
hektar ini, AFKN mencoba menyelenggarakan proses kaderisasi kepada para santri
melalui kegiatan pendidikan hafalan Al-Qur’an, hadits, bahasa Arab, bahasa
Inggris, dan juga pelajaran umum lainnya. Saat ini, proses pembinaan difokuskan
dari mulai anak-anak.
Pondok pesantren ini
resmi mulai dibangun pada tahun 2010 secara bertahap dengan bantuan dari umat
Islam di Indonesia. Saat ini telah berdiri di lahan ini dua asrama putri, 1
asrama putra, aula, ruang belajar sementara, dapur umum dan tempat makan, rumah
pengajar. "Insya Allah, ke depan
ini kami tengah membangun Masjid Nuu Waar di area Komplek Ponpes Nuu Waar,”
ujarnya.
Pesantren ini
didirikan oleh AFKN di bawah pimpinan Ustadz M Zaaf Fadzlan Rabbani Garamatan.
Untuk pengelolaan pendidikan diserahkan kepada Mudir Ponpes Nuu Waar, Ustadz
Ahmad Husein Dahlan.
Ponpes
yang saat ini jumlah santrinya sekitar 500 orang, ditekankan mempersiapkan
generasi Muslim Nuu Waar yang dapat menguasai ilmu agama dan ilmu umum. Mereka
bisa kuat secara akidah dan mempunyai wawasan integrasi yang kuat. Sehingga
mereka dengan Islamnya, menjadi pengokoh perekat Nuu Waar (Irian Jaya) dengan
Indonesia. []joko
prasetyo
Ustadz
MZ Fadzlan Garamatan, Ketua Yayasan Al-Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN)
Melawan
Kebodohan Dengan Dakwah
Ustadz Fadzlan
Garamatan tidak setuju, keterbelakangan dan kebodohan masyarakat Nuu Waar
(Irian Jaya) dipelihara bahkan dijadikan obyek wisata. Maka lelaki asli Nuu
Waar yang lahir dari keluarga Muslim, 17 Mei 1969 di Patipi, Fak-Fak tersebut
melakukan perlawanan dengan cara berdakwah.
Ketika dakwah di
pedalaman Nuu Waar semakin membuahkan hasil, ia mendirikan Yayasan Al Fatih
Kaaffah Nusantara (1999). Melalui lembaga sosial dan pembinaan sumber daya
manusia ini, Fadzlan lebih terorganisir dalam mengenalkan Islam kepada
masyarakat Nuu Waar sampai ke pelosok. Dia pun mengembangkan potensi dan sumber
daya yang ada, mencarikan kesempatan anak-anak setempat mengenyam pendidikan di
luar Nuu Waar.
Ia tidak setuju kalau
orang-orang Nuu Waar dibiarkan tidak berpendidikan, telanjang, mandi hanya tiga
bulan sekali dengan lemak babi, dan tidur bersama babi. Semua penghinaan itu
hanya karena alasan budaya dan pariwisata.
Berkat dakwahnya
sekitar 30 tahun, Fadzlan Garamatan bersama AFKN telah mengislamkan lebih dari
220 suku di Papua. Mereka semua kini sudah wangi, mandi dua kali sehari dan
tidak pernah pakai minyak babi lagi. Bahkan para Muslimah Nuu Waar pun dengan
anggun mengenakan kerudung dan jilbab. Ketika ditanya Fadzlan, apakah mau
memakai yokal dan sali lagi (pakaian adat Papua terbuat dari
rumput yang hanya menutupi di bawah pusar sampai lutut), mama-mama dan
nona-nona yang sudah memeluk Islam pun tersipu malu sembari menggelengkan
kepala.
“Kasihan deh wanita-wanita “modern” di kota kota besar,
baru mulai belajar telanjang dengan pakaian yang minim. Kami sudah
berpengalaman bertahun-tahun dan baru mulai belajar memakai pakaian yang lebih
bermartabat," ujar Fadzlan menyindir para Muslimah di perkotaan yang tidak
mau menutup aurat dengan sempurna.
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 171
---
SMS/WA Berlangganan
Tabloid Media Umat: 0857 1713 5759
Tidak ada komentar:
Posting Komentar