Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 22 April 2018

Zakat Hasil Tani: Gandum, Jewawut, Kurma, Kismis



Jenis hasil pertanian dan buah-buahan yang di dalamnya wajib zakat adalah gandum, sya’iir (jewawut/ barley/ suatu jenis gandum), kismis (anggur kering) dan kurma. Ini dinyatakan di dalam hadits-hadits sebagai pembatasan. Jenis lainnya tidak masuk di dalamnya. Dalil-dalil yang demikian adalah:

Musa bin Thalhah telah meriwayatkan dari Umar ra., ia berkata:

“Tidak lain Rasulullah Saw. hanya menetapkan zakat pada empat ini: gandum, jewawut, kurma dan kismis.” (HR. ath-Thabarani)

Dan dari Musa bin Thalhah juga, ia berkata:

“Rasulullah Saw. memerintahkan Mu’adz bin Jabal –ketika beliau mengutusnya ke Yaman- untuk memungut zakat dari gandum, jewawut, kurma dan anggur.” (HR. Abu ‘Ubaid)

Hadits-hadits ini menjelaskan bahwa zakat dalam hasil pertanian dan buah-buahan hanya diambil dari empat jenis: gandum, jewawut, kurma, dan kismis; dan tidak diambil dari selainnya di antara jenis-jenis hasil pertanian dan buah-buahan. Hal itu karena hadits pertama dikeluarkan dengan lafazh innamâ yang menunjukkan pembatasan.

Ad-Daruquthni, al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabarani telah meriwayatkan hadits dari Abu Burdah, dari Abu Musa dan Mu’adz bin Jabal ketika Rasul Saw. mengutus keduanya ke Yaman, untuk mengajarkan kepada masyarakat agama mereka, Rasul Saw. bersabda kepada keduanya:

“Jangan kalian berdua ambil zakat kecuali dari empat jenis ini: jewawut, gandum, kismis, dan kurma.”

Dalam lafadz yang lain:

"Rasulullah Saw. pernah mengutus keduanya (Abu Musa dan Mu’adz ra.) ke Yaman untuk mengajarkan masalah agama kepada orang-orang di sana. Kemudian Rasulullah Saw. memerintahkan agar mereka tidak mengambil zakat kecuali dari empat jenis: hinthah (gandum), sya’iir (jenis gandum), kurma, dan anggur kering (kismis).”
(SHAHIH. Diriwayatkan oleh:
Ad-Daraquthni: Kitab az-Zakaah, bab Maa Laisa fil Khadhrawaat Shadaqah (II/98, no.15)
Al-Hakim: Kitab az-Zakaah, bab Akhdzish Shadaqah minal Hinthah wasy Sya’iir (1/401)
Al-Baihaqi: Kitab az-Zakaah, bab Laa Tu'khadzu Shadaqatu Syai’in minasy Syajar Ghairin Nahkl wal ‘Inab (IV/125)

Al-Baihaqi berkata tentang hadits ini: para perawinya tsiqah dan muttashil (bersambung sanadnya).

Al-Mundziri dan Ibnu ‘Abdil Barr berkata, “Para ulama sepakat bahwa zakat itu diwajibkan pada hinthah, sya'iir, kurma dan anggur kering (kismis).”

Hadits ini di dalammya jelas adanya pembatasan pengambilan zakat dalam hasil pertanian dan buah-buahan, hanya dari empat jenis ini saja. Sebab lafazh illâ jika didahului dengan instrumen larangan (adâtu nahiy), maka itu memberi pengertian pembatasan apa yang sebelumnya terhadap apa yang sesudahnya. Artinya itu adalah pembatasan pengambilan zakat terhadap empat jenis yang disebutkan sesudah illâ, yaitu jewawut, gandum, kismis dan kurma.

Dan karena lafazh al-hinthah, asy-sya’îr, at-tamru, dan az-zabîb yang disebutkan di dalam hadits-hadits tersebut merupakan isim jamid, maka lafazh itu tidak mencakup selainnya, baik secara manthuq maupun mafhum. Sebab itu bukanlah ismun sifat dan bukan pula ismun ma’ân, akan tetapi terbatas pada zat-zat yang disebut dan diberi nama dengan lafazh itu.
Karena itu, dari lafazhnya itu tidak bisa diambil makna makanan pokok, atau kering atau disimpan. Sebab lafazh-lafazhnya itu tidak menunjukkan makna-makna dan sifat-sifat ini. Hadits-hadits ini membatasi kewajiban zakat pada empat jenis hasil pertanian dan buah-buahan, serta mengkhususkan lafazh-lafazh umum yang dinyatakan di dalam hadits-hadits berikut:

“Pada apa yang diairi oleh langit (air hujan) sepersepuluh (sepuluh persen) dan pada apa yang diairi dengan timba atau geriba seperduapuluh (lima persen)”
(SHAHIH. Diriwayatkan oleh:
Al-Bukhari: Kitab az-Zakaah, bab al-'Usyr fiimaa Suqiya min Maa-is Samaa’ bil Maa-il Jaari (II/155, 156)
Muslim, dengan maknanya: Kitab az-Zakaah, bab Maa fiihil ‘Usyr aw Nishful ‘Usyr (II/675, no.7)
At-Tirmidzi: Kitab az-Zakaah, bab Ma jaa-a fish Shadaqah fiimaa Yusqa bil Anhaar wa Ghairih (III/23, no.640)
Abu Dawud: Kitab az-Zakaah, bab Shadaqatiz Zar’i (II/252, no.1596)
An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah, bab Ma Yuujibul 'Usyr, wa Maa Yuujibu Nishfal ‘Usyr (V/41-42, no.2489)
Ibnu Majah: Kitab az-Zakaah, bab Shadaqatiz Zuruu’ (I/580-581, no.1816-1817)
Ad-Darimi: Kitab az-Zakaah, bab al-'Usyr fiimaa Saqatis Samaa’ wa fiimaa Tusqa bin Nadh-hi
Muwaththa’ Malik: az-Zakaah, bab Zakaati Maa Yakhushshu min Tsimaarin Nakhli wal A’naab (I/270, no.33)
Ahmad di dalam al-Musnad (I/145 dan III/341 dan 353)

Dengan demikian, maknanya adalah bahwa pada apa yang diairi oleh langit (air hujan) dari gandum, jewawut, kurma dan kismis ada sepersepuluh (sepuluh persen) dan apa yang diairi dengan timba atau geriba ada seperduapuluh (lima persen) ketika panen.

Tidak ada kewajiban zakat pada selain empat jenis hasil ini. Karena itu, tidak diambil zakat dari durra (shorghum), padi, kedelai, buncis, kacang adas, biji-bijian lainnya, dan kacang polong.
Begitu pula tidak diambil zakat dari mangga, semangka, jeruk, apel, pepaya, pir, buah persik, aprikot, delima, pisang dan buah-buahan lainnya. Sebab biji-bijian dan buah-buahan ini tidak tercakup oleh lafaz al-qumh (gandum), asy-sya’îr (jewawut/barley), at-tamru (kurma) dan az-zabîb (kismis). Sebagaimana tidak dinyatakan nash yang shahih tentangnya yang dijadikan pedoman. Tidak pula ada ijmak. Dan tidak bisa dimasuki oleh qiyas sebab zakat termasuk ibadah dan ibadah tidak dimasuki qiyas dan dibatasi pada topik nashnya saja.
Sebagaimana juga tidak diambil zakat dari sayur-sayuran seperti ketimun, labu, terong, kol, lobak, wortel, dan lainnya. Diriwayatkan dari Umar, Ali, Mujahid dan selain mereka bahwa tidak ada zakat di dalam sayur-sayuran. Hal itu diriwayatkan oleh Abu Ubaid, al-Baihaqi dan lainnya.

Diriwayatkan dari ‘Atha' bin Sa-ib, bahwa ‘Abdullah bin al-Mughirah hendak mengambil zakat dari tanah Musa bin Thalhah, berupa sayur-mayur. Kemudian Musa bin Thalhah berkata kepadanya, “Engkau tidak mempunyai hak untuk melakukan hal itu, karena Rasulullah Saw. bersabda:

“Tidak ada kewajiban zakat pada hal itu (sayur-mayur).”
(SHAHIH. HR. Al-Baihaqi: Kitab az-Zakaah, bab Ash-Shadaqah fiimaa Yazra'uhul Adamiyyuun (IV/129)

Hadits ini diriwayatkan oleh ad-Daraquthni, al-Hakim dan al-Atsram dalam Sunan-nya. Hadits ini adalah hadits mursal yang kuat.

Musa bin Thalhah berkata, “Atsar dari Rasulullah Saw. menyebutkan lima hal; hinthah, sya’iir, as-sult (sejenis gandum berwarna putih), anggur kering (kismis), dan kurma. Adapun hasil bumi lainnya, maka tidak ada kewajiban sepersepuluh (zakat) padanya.” Dia juga berkata, “Sesungguhnya Mu’adz tidak mengambil zakat dari sayur-mayur.”
(HR. Al-Baihaqi: Kitab az-Zakaah, bab Ash-Shadaqah fiimaa Yazra'uhul Adamiyyuun (IV/129)

Al-Baihaqi berkata, “Semua hadits ini adalah hadits mursal. Hanya saja ia datang dari berbagai jalur, sehingga satu sama lain saling menguatkan. Ditambah lagi dengan pendapat sejumlah Sahabat, seperti 'Umar, 'Ali dan 'Aisyah.” (Al-Baihaqi: Kitab az-Zakaah, bab Ash-Shadaqah fiimaa Yazra'uhul Adamiyyuun (IV/129)

Al-Atsram meriwayatkan bahwa pegawai ‘Umar menulis surat kepada ‘Umar untuk meminta kejelasan tentang kebun yang di dalamnya terdapat buah persik dan delima yang hasilnya jauh berkali-kali lipat lebih banyak dibandingkan buah anggur. Lalu 'Umar pun menjawab, “Tidak ada kewajiban sepersepuluh (zakat) padanya. Semua itu hanya termasuk pohon besar yang berduri.”

At-Tirmidzi berkata, “Ahli ilmu mengamalkan hal ini (maksud beliau yaitu mayoritas dari mereka), bahwa tidak ada kewajiban zakat pada sayur-mayur.” (At-Tirmidzi: Kitab az-Zakaah bab Maa Jaa-a fii Zakaatil Khadhrawaat (III/21-22; no.638)

Nishab zakatnya:

Mayoritas ulama berpendapat bahwa empat jenis itu tidak terkena kewajiban zakat sehingga mencapai lima wasq setelah dibersihkan jerami atau kulitnya. Jika belum dibersihkan dan dibiarkan saja dalam kulitnya, maka nishabnya adalah sepuluh wasq.

(Satu wasq setara dengan 60 sha’. Sedangkan 1 sha’ setara dengan 4 mudd. Sementara satu mudd nabawi adalah setangkup dua telapak tangan orang yang berukuran sedang. Satu mudd kira-kira setara dengan 0,688 liter. Sehingga satu wasq kira-kira setara dengan 165,12 liter. Maka nishabnya sekitar: 5 x 165,12 liter = 825,6 liter)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Tidak ada kewajiban zakat atas apa (empat jenis hasil pertanian) yang kurang dari lima wasq.”
(SHAHIH. Diriwayatkan oleh:
Muslim: Kitab az-Zakaah, bab I, no.1, III/673-674)
Al-Baihaqi: Kitab az-Zakaah, bab an-Nishab fi Zakaati Tsimaar (IV/120) dan bab Nishaabil Wariq (IV/133)
Ahmad dalam al-Musnad (II/402)
At-Tirmidzi: Kitab az-Zakaah bab Maa Jaa-a fii Shadaqatiz Zar'i wat Tamr wal Hubub (III/13, no.626)

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri ra., bahwa Nabi Saw. bersabda:

“Tidak ada kewajiban zakat atas kurma dan biji-bijian (jenis tertentu) yang kurang dari lima wasq.”
(SHAHIH. Diriwayatkan oleh Muslim: Kitab az-Zakaah (bab I, no.4, II/674)

Satu wasq sama dengan enam puluh sha’ menurut pendapat para ulama.

Ibnu Qudamah berkata, “Mengenai sabda Rasulullah Saw.:

“Tidak ada kewajiban zakat atas apa (empat jenis hasil tani) yang kurang dari lima wasq.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
Ini adalah dalil khusus yang wajib didahulukan. Proses pengkhususan keumuman hadits yang mereka riwayatkan adalah seperti halnya kita mengkhususkan sabda Rasulullah Saw.:

“Setiap unta yang digembalakan wajib dizakati.”

Dengan sabda beliau Saw.:

“Tidak ada kewajiban zakat atas unta yang kurang dari lima ekor.”

Serta sabda beliau Saw.:

“(Zakat) perak adalah seperempatpuluh.”

Dikhususkan dengan sabda Rasulullah Saw.:

“Tidak ada kewajiban zakat untuk perak yang kurang dari lima ‘uqiyah.”
(satu nilainya adalah empat puluh dirham, sehingga lima 'uqiyah sama dengan dua ratus dirham)
Mengingat hasil tani (yang empat jenis) adalah harta yang terkena kewajiban zakat, maka ia tidak wajib dizakati kalau jumlahnya sedikit, seperti hal-hal lain yang terkena kewajiban zakat.”

Diriwayatkan dari Jabir bin Zaid, dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar ra., tentang seseorang yang meminjam dana untuk merawat hasil pertanian. Ibnu 'Umar berkata, “Dia harus mulai melunasi hutangnya terlebih dahulu, baru kemudian membayar zakat dari sisa hartanya.”

Dan Ibnu ‘Abbas ra., berkata, “Dia harus melunasi dana perawatan hasil pertanian terlebih dahulu, baru kemudian membayar zakat dari sisa hartanya.”
Diriwayatkan oleh Yahya bin Adam dalam al-Kharaaj.

Ibnu Hazm meriwayatkan dari ‘Atha’, bahwa harta tersebut dikurangi dengan biaya pembiayaan keluarga. Jika sisa dari harta tersebut masih terkena kewajiban zakat, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya, jika tidak, maka tidak ada kewajiban zakat atasnya.

Bacaan:
Ensiklopedi Jawab Soal Amir Hizbut Tahrir al-‘Alim al-Jalil ‘Atha’ bin Khalil Abu Rasytah Hafidzahullahu, al Azhar Fresh Zone Publishing

Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Kitaab az-Zakaah (terjemahan), Pustaka Ibnu Katsir

Kamis, 19 April 2018

Khumus Rikaz Dan Barang Tambang



RIKAZ DAN BARANG TAMBANG

Rikaz diambil dari lafazh (rakaza - yarkuzu), yang maknanya adalah tersembunyi. Hal ini semakna dengan firman Allah Swt.:

“Atau kamu dengar suara mereka yang samar-samar?” (QS. Maryam: 98)

Makna (rikzan) dalam ayat di atas adalah suara yang tersembunyi.

Rikaz adalah apa yang terkandung di dalam perut bumi, yang bukan merupakan harta yang dibutuhkan oleh suatu komunitas (jama'ah). Dengan kata lain, harta tersebut bukan merupakan hak seluruh kaum muslimin, sebagaimana yang terdapat di dalam pembahasan-pembahasan fikih, maka orang yang menggalinya berhak memiliki 4/5, sedangkan 1/5-nya harus dia keluarkan.
Kalau harta temuan hasil penggalian tersebut merupakan harta yang dibutuhkan oleh suatu komunitas (jama'ah) atau merupakan hak seluruh kaum muslimin, maka harta galian tersebut merupakan hak milik umum (collective property) yang masuk dalam Baitul Mal pos harta milik umum dan dikelola oleh Imam/Khalifah.

Yang menentukan adalah, apabila harta yang tersimpan di dalam tanah tersebut asalnya karena tindakan seseorang, serta jumlahnya terbatas, tidak sampai mencapai jumlah yang biasa dibutuhkan oleh suatu komunitas (jama'ah), maka harta tersebut termasuk rikaz.
Apabila, harta tersebut asli (dari dasar tanah, bukan karena tindakan manusia) serta dibutuhkan oleh suatu komunitas (jama'ah), maka harta tersebut tidak termasuk dalam katagori rikaz, dan harta tersebut menjadi hak milik umum (collective property).
Apabila harta tersebut asli, namun tidak dibutuhkan oleh suatu komunitas (jama'ah), semisal ada seorang pemukul batu yang berhasil menggali batu bangunan dari sana, ataupun yang lain, maka harta tersebut tidak termasuk rikaz, juga tidak termasuk hak milik umum, melainkan termasuk hak milik individu (private property).
Sedangkan kepemilikan atas rikaz dan pengeluaran khumus yaitu 1/5 dari rikaz tersebut telah ditetapkan berdasarkan hadits.
Imam An-Nasa'i telah meriwayatkan dari Amru Bin Syu'aib, dari bapaknya, dari kakeknya yang mengatakan: Rasulullah SAW ditanya tentang luqathah (barang temuan), maka beliau SAW bersabda:

"Barang yang ada di jalan (yang dilewati) atau kampung yang ramai itu tidak termasuk luqhatah, sehingga diumumkan selama satu tahun. Apabila -selama satu tahun itu- pemiliknya datang untuk memintanya, maka berikanlah barang tersebut kepadanya. Apabila tidak ada, maka barang itu adalah milikmu. Adapun barang yang ditemukan pada jalan yang biasanya tidak dilalui atau kampung yang tidak berpenghuni maka padanya, serta di dalam rikaz terdapat khumus."
(HASAN. Diriwayatkan oleh an-Nasa-i: Kitab az-Zakaah, bab al-Ma'din (no.2494, V/44)

Lafazh ma’din (barang tambang) makna bahasanya adalah tinggal di satu tempat, sebagaimana firman Allah Swt.:

“Bagi mereka Surga ‘Adn.” (QS. Al-Kahfi: 31)

Karena Surga tersebut merupakan tempat tinggal dan kekekalan.

Barang tambang dapat dipilah menjadi dua, yaitu barang tambang yang terbatas jumlahnya dalam suatu jumlah, yang tidak termasuk berjumlah besar, menurut ukuran individu, serta barang tambang yang tidak terbatas jumlahnya.
Barang tambang yang terbatas jumlahnya adalah termasuk milik pribadi (private property) serta boleh dimiliki secara pribadi, dan terhadap barang tambang tersebut diberlakukan hukum rikaz, yang di dalamnya terdapat 1/5 harta (yang harus dikeluarkan).

Sedangkan barang tambang yang tidak terbatas jumlahnya, yang tidak mungkin dihabiskan, maka barang tambang tersebut adalah milik umum (collective property), dan tidak boleh dimiliki secara pribadi.
Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Abyadh Bin Hamal, bahwa ia telah meminta kepada Rasulullah SAW untuk mengelola tambang garamnya. Lalu Rasulullah memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki dari majelis tersebut bertanya:

"Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir." Rasulullah kemudian bersabda: "Tariklah tambang tersebut darinya."

Ma'u al-'iddu adalah air yang tidak terbatas jumlahnya. Hadits tersebut menyerupakan garam dengan air yang mengalir, karena jumlahnya tidak terbatas. Hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah SAW memberikan tambang garam kepada Abyadh Bin Hamal, ini menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam. Tatkala beliau mengetahui, bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang mengalir, yang tidak bisa habis, maka beliau mencabut pemberiannya dan melarang dimiliki oleh pribadi, karena tambang tersebut milik umum.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa khumus rikaz itu wajib dikeluarkan oleh orang yang menemukannya; baik muslim, kafir dzimmi, orang dewasa, anak kecil, berakal maupun gila. Hanya saja wali anak kecil dan orang gila mewakili keduanya dalam mengeluarkan seperlima tersebut.

Ibnul Mundzir berkata, “Saya mengumpulkan pendapat seluruh ahli ilmu yang saya ketahui, bahwa kafir dzimmi wajib mengeluarkan seperlima dari rikaz. Ini adalah pendapat Malik, penduduk Madinah, ats-Tsauri, al-Auza’i, penduduk Irak…”

Imam asy-Syafi’i berkata, “Seperlima itu tidak wajib, kecuali bagi orang yang terkena kewajiban zakat. Karena seperlima ini adalah zakat.”

Menurut Imam asy-Syafi’i seperlima itu diberikan kepada orang-orang yang berhak menerima zakat.

Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad berpendapat bahwa orang-orang yang berhak menerima seperlima tersebut adalah orang-orang yang berhak menerima fai’.

Mengenai pendapat ‘Umar bin Khaththab, diriwayatkan oleh asy-Sya’bi, bahwa seseorang pernah menemukan seribu dinar yang terpendam di daerah luar Madinah. Lalu harta tersebut dibawanya menghadap ‘Umar bin al-Khaththab ra. Maka beliau mengambil seperlima dari harta tersebut, yaitu dua ratus dinar, dan memberikan sisanya kepada orang tadi. Selanjutnya ‘Umar ra. membagikan dua ratus dinar tadi kepada kaum muslimin yang hadir, dan masih tersisa sebagian. Kemudian 'Umar berkata, “Ke manakah pemilik dinar ini?” Orang itu pun kembali menghadap 'Umar. Maka berkatalah ‘Umar kepadanya, “Ambillah uang ini untukmu!”
(Lihat: Talkhiisul Habiir (II/193)

Disebutkan dalam al-Mughni, “Jika seperlima itu adalah zakat, tentulah akan dikhususkan kepada orang-orang yang berhak menerima zakat dan sisanya tidak dikembalikan kepada orang yang mendapatkannya. Ditambah lagi, seperlima itu juga wajib atas kafir dzimmi, sedangkan zakat tidak wajib.”

Sumber pemasukan tetap Baitul Mal adalah fai', ghanimah, anfal, kharaj, jizyah, dan pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya, pemasukan dari hak milik negara, usyur, khumus, rikaz, tambang, serta harta zakat.

Pemasukan harta dari hak milik umum, termasuk tambang yang jumlahnya melimpah, diletakkan pada bagian khusus Baitul Mal, dan tidak boleh dicampuradukkan dengan yang lain. Sebab harta tersebut menjadi hak milik seluruh kaum muslimin, yang diberikan oleh khalifah sesuai dengan kemaslahatan kaum muslimin yang menjadi pandangan dan ijtihadnya berdasarkan hukum-hukum syara'.
Harta khumus, merupakan hak Baitul Mal, dibelanjakan untuk urusan negara dan urusan umat, serta delapan ashnaf, dan apa saja yang menjadi pandangan negara Islam.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Bacaan:
Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi Fil Islam (terjemahan), Darul Ummah, Beirut
Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Kitaab az-Zakaah (terjemahan), Pustaka Ibnu Katsir 

Rabu, 18 April 2018

Zakat Binatang Ternak: Unta, Sapi (Dan Kerbau), Kambing



ZAKAT BINATANG TERNAK: Unta, Sapi (Dan Kerbau), Kambing

Banyak hadits shahih menjelaskan tentang wajibnya zakat pada unta, sapi, dan kambing.
(Sebagaimana dijelaskan dalam riwayat:
Abu Dawud: Kitab az-Zakaah bab fi Zakaatis Saa-imah (II/224, 225, no.1568 dan II/221, no.1567)
At-Tirmidzi: Kitab az-Zakaah bab Ma Jaa-a fi Zakaatil Ibil wal Ghanam (III/8, no.621). Beliau berkata: “Hadits hasan. Seluruh ahli fiqh mengamalkan hadits ini.”
Ibnu Majah: Kitab az-Zakaah bab Shadaqatil Ibil (I/573, no.1798)
An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah bab Zakaatil Ibil (V/19 dan 21, no.2447) dan bab Zakaatil Baqar (V/26, no.2453)
Malik dalam Muwaththa’: Kitab az-Zakaah, bab Shadaqatul Masyiah (I/257-258, no.23)
Ad-Darimi: Kitab az-Zakaah, bab Zakaatil Ghanam (I/381) dan bab Zakaatil Ibil (I/382)

Kewajiban zakat unta, sapi, kambing disyaratkan dengan syarat-syarat berikut ini:
1. Mencapai nishab.
2. Genap satu tahun (sampai haulnya).
3. Unta, sapi, kambing tersebut bersifat saa-imah, yaitu digembalakan pada rerumputan bebas pada mayoritas tahun zakat. (Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ahmad. Menurut Imam asy-Syafi'i, jika unta, sapi, kambing diberikan makanan di kandangnya, dengan ukuran yang ia bisa hidup tanpanya, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Jika tidak demikian, maka tidak ada kewajiban zakat. Unta, sapi, kambing tersebut mampu bertahan untuk tidak makan hanya dalam dua hari, tidak lebih dari itu)

Mayoritas ulama menyetujui syarat-syarat di atas. Tidak ada yang menyelisihinya kecuali Malik dan al-Laits. Keduanya mewajibkan zakat atas unta, sapi, kambing secara umum, baik yang saa-imah atau bukan; dipekerjakan (untuk angkutan dan selainnya) atau tidak dipekerjakan.

Banyak hadits membatasi kewajiban zakat untuk unta, sapi, kambing yang saa-imah.
(Dijelaskan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh:
Abu Dawud: Kitab az-Zakaah, bab Zakaatis Saa-imah (II/221, no.1567)
At-Tirmidzi: Kitab az-Zakaah, bab Ma Jaa-a fi Zakaatil Ghanam (III/8, no.621)
Ibnu Majah: Kitab az-Zakaah, bab Shadaqatil Ibil (I/573, no.1798)
An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah, bab Zakaatil Ibil (V/19, no.2447)
Ad-Darimi: Kitab az-Zakaah, bab Zakaatil Ghanam (I/ 381) dan bab Zakaatil Ibil (I/382)
Pengertiannya, unta, sapi, kambing yang tidak saa-imah tidak dikenai kewajiban zakat.

Ibnu ‘Abdil Barr berkata, “Aku tidak mengetahui seorangpun dari para ahli fiqh di berbagai negeri berpendapat seperti halnya Malik dan al-Laits.”

ZAKAT UNTA

Unta wajib dizakati jika mencapai lima ekor. Jika sudah mencapai lima ekor unta saa-imah dan genap satu tahun, maka zakatnya adalah seekor syaah (kambing). (Syaah adalah domba yang usianya lebih dari satu tahun atau kambing yang usianya sudah setahun)
Jika mencapai sepuluh ekor, maka zakat yang dikeluarkan adalah dua ekor kambing. Demikianlah seterusnya, setiap bertambah lima ekor, maka ditambah dengan satu ekor kambing.

Jika unta tersebut mencapai dua puluh lima ekor, maka zakat yang dikeluarkan adalah bintu makhadh (unta betina yang usianya setahun beranjak dua tahun), atau ibnu labun (unta jantan yang usianya dua tahun beranjak tiga tahun).
(Unta jantan tidak diambil dalam zakat jika dalam nishab terdapat unta betina. Kecuali ibnu labun, jika tidak terdapat bintu makhadh. Jika semua unta adalah jantan, maka boleh mengambil yang jantan)

Jika jumlahnya mencapai tiga puluh enam, maka zakat yang dikeluarkan adalah bintu labun (unta betina yang usianya dua tahun beranjak tiga tahun).

Jika unta berjumlah empat puluh ekor, maka zakat yang dikeluarkan adalah hiqqah (unta betina yang berumur tiga tahun beranjak empat tahun).

Jika unta berjumlah enam puluh satu ekor, maka zakat yang dikeluarkan adalah jadza’ah (unta betina yang berumur empat tahun beranjak lima tahun).

Jika unta berjumlah tujuh puluh enam ekor, maka zakat yang dikeluarkan adalah dua bintu labun.

Jika unta berjumlah sembilan puluh satu sampai seratus dua puluh ekor, maka zakat yang dikeluarkan adalah dua hiqqah.

Lebih dari itu, maka untuk setiap empat puluh ekor dikeluarkan satu bintu labun, dan untuk setiap lima puluh dikeluarkan satu hiqqah.

Jika umur unta yang akan dikeluarkan tidak sesuai dengan yang semestinya, misalnya si pemilik wajib mengeluarkan jadza’ah sementara ia tidak memilikinya, dan yang ia miliki adalah hiqqah, maka dia boleh mengeluarkan hiqqah ditambah dengan dua ekor domba, jika memungkinkan, atau ditambah dengan dua puluh dirham.

Jika wajib mengeluarkan satu hiqqah, sementara ia tidak memilikinya, dan yang ia miliki adalah jadza’ah, maka ia bisa mengeluarkan jadza’ah, dan petugas zakat memberinya dua puluh dirham atau dua ekor domba.

Jika wajib mengeluarkan satu hiqqah, sementara ia tidak memilikinya, dan yang ia miliki adalah bintu labun, maka ia bisa mengeluarkan bintu labun, ditambah dengan dua ekor domba, jika memungkinkan, atau ditambah dengan dua puluh dirham.

Jika wajib mengeluarkan satu bintu labun, sementara ia tidak memilikinya, dan yang ia miliki adalah hiqqah, maka ia boleh mengeluarkan hiqqah, dan petugas zakat memberinya dua puluh dirham, atau dua ekor domba.

Jika wajib mengeluarkan satu bintu labun, sementara ia tidak memilikinya, dan yang ia miliki adalah bintu makhadh, maka ia bisa mengeluarkan bintu labun, ditambah dengan dua ekor domba, jika memungkinkan atau dua puluh dirham.

Jika wajib mengeluarkan satu bintu makhadh, sementara ia tidak memilikinya dan yang ia miliki adalah ibnu labun, maka ia boleh mengeluarkan ibnu labun tanpa ada tambahan apa-apa.

(Asy-Syaukani berkata, “Semua ini menunjukkan bahwa kewajiban zakat itu terkait dengan materi yang dizakati. Sekiranya yang diwajibkan adalah nilainya (harganya), niscaya seluruh penyebutan ini tidak ada artinya. Sebab, sesungguhnya nilai sesuatu itu berubah-ubah tergantung waktu dan tempat.”)

Inilah kewajiban zakat unta yang diamalkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq ra. di hadapan para Sahabat, tanpa ada seorangpun yang menyelisihinya.

Diriwayatkan dari az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya, beliau berkata:

“Rasulullah Saw. pernah menuliskan (ketentuan) zakat, dan beliau belum sempat mengeluarkannya kepada para petugasnya sehingga beliau wafat. Kemudian setelah itu Abu Bakar mengeluarkan ketentuan tersebut, lalu mengamalkannya hingga wafat. Selanjutnya ‘Umar juga mengeluarkan hal itu dan mengamalkannya. Pada saat ‘Umar wafat, hal itu disandingkan dengan wasiatnya.”
(Diriwayatkan oleh:
Ahmad: Di dalam al-Musnad (II/15)
Ad-Darimi, dengan lafazh yang hampir sama: Kitab az-Zakaah bab Zakaatil Ibil (I/382)

ZAKAT SAPI (Termasuk Kerbau)

Kewajiban zakat atas sapi jika mencapai tiga puluh ekor sapi yang saa-imah. Jika sudah mencapai tiga puluh ekor sapi yang saa-imah dan genap satu tahun, maka pemiliknya wajib mengeluarkan tabii’ (seekor sapi jantan berusia satu tahun) atau tabii’ah (seekor sapi betina berusia satu tahun). Tidak ada kewajiban lain atasnya hingga mencapai empat puluh ekor.

Jika ia telah memiliki sapi sebanyak empat puluh ekor, maka ia wajib mengeluarkan musinnah (sapi betina yang berusia dua tahun).
(Menurut Hanafiyyah, zakatnya boleh berupa sapi betina yang berusia dua tahun atau sapi jantan yang berusia dua tahun. Sedangkan ulama yang lain berpendapat bahwa orang yang memiliki empat puluh ekor sapi zakatnya wajib berupa sapi betina yang berumur dua tahun (tidak boleh yang jantan). Kecuali jika pemiliknya hanya memiliki sapi jantan, maka ia bisa mengeluarkan zakat dengan yang jantan, demikian kesepakatan para ulama)
Tidak ada kewajiban lainnya hingga ia memiliki enam puluh ekor.

Jika ia memiliki enam puluh ekor, maka yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah dua ekor tabii’.

Bagi seseorang yang memiliki tujuh puluh ekor, maka wajib zakatnya berupa seekor musinnah dan seekor tabii’.

Untuk delapan puluh ekor, zakatnya adalah dua ekor musinnah.
Untuk sembilan puluh ekor, zakatnya adalah tiga tabii’.
Untuk seratus ekor, zakatnya adalah musinnah dan dua ekor tabii’.

Untuk seratus sepuluh ekor sapi, zakatnya adalah dua musinnah dan seekor tabii’.

Untuk seratus dua puluh ekor, zakatnya adalah tiga musinnah atau empat tabii’.

Lebih dari itu, maka untuk setiap tiga puluh ekor zakatnya adalah seekor tabii'; dan untuk setiap empat puluh ekor, zakatnya adalah satu musinnah.

ZAKAT KAMBING (Termasuk Domba)

(Termasuk domba dan kambing, karena keduanya sejenis, sehingga satu sama lain digabungkan menurut ijma', sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Mundzir)

Kewajiban zakat atas kambing jika mencapai empat puluh ekor.

Jika terdapat empat puluh sampai seratus dua puluh ekor kambing yang saa-imah dan genap satu tahun dimiliki, maka zakatnya adalah seekor kambing.

Jika terdapat seratus dua puluh satu sampai dua ratus ekor, maka zakatnya adalah dua ekor kambing.

Jika terdapat dua ratus satu sampai tiga ratus ekor, maka zakatnya adalah tiga ekor kambing.

Lebih dari tiga ratus ekor, maka untuk setiap seratus ekor zakatnya adalah seekor kambing. Untuk domba dan kambing, diambil yang sudah berumur satu tahun atau lebih.

Dibolehkan mengeluarkan jenis yang jantan untuk zakat, jika kambing yang ada seluruhnya jantan, menurut kesepakatan para ulama. Namun jika yang dimiliki adalah betina, atau jantan campur betina, maka pemiliknya boleh membayar zakat dengan yang jantan menurut Hanafiyyah, sementara menurut ulama yang lain, pemilik tersebut wajib membayar zakat dengan yang betina.

Hukum Auqash:
Auqash adalah bentuk jamak dari kata waqash, yaitu bilangan yang berada antara dua kewajiban zakat. Hal ini tidak ada zakatnya, demikian kesepakatan ulama.

Nabi Saw. bersabda tentang zakat unta:

“Jika (unta) mencapai dua puluh lima ekor, maka (zakatnya) adalah bintu makhadh. Lalu jika mencapai tiga puluh enam sampai empat puluh lima, maka (zakatnya) adalah bintu labun.”
(SHAHIH. Diriwayatkan oleh:
Abu Dawud, dengan lafazh yang hampir sama: Kitab az-Zakaah, bab Fii Zakaatis Saa-imah (no.1568, II/224-225)
At-Tirmidzi: Kitab az-Zakaah, bab Maa Jaa-a fi Zakaatil Ibil wal Ghanam (no.621, III/8)
Ibnu Majah: Kitab az-Zakaah, bab Shadaqatil Ibil (no.1798, I/573)
An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah, bab Zakaatil Ibil (V/19, no.2447)
Ad-Darimi: Kitab az-Zakaah, bab Zakaatil Ibil (I/382)

Mengenai zakat sapi, Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika mencapai tiga puluh ekor, maka (zakatnya) adalah seekor sapi yang berumur satu tahun, baik jantan atau betina, sehingga mencapai empat puluh ekor. Kemudian jika mencapai empat puluh ekor, maka (zakatnya) adalah seekor sapi betina yang berumur dua tahun.”
(HASAN SHAHIH. HR. An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah, bab Zakaatul Baqar (V/26 no.2453)

Mengenai zakat kambing, Rasulullah Saw. bersabda:

“Untuk kambing saa-imah, jika mencapai empat puluh sampai seratus dua puluh ekor, maka (zakatnya) adalah seekor kambing.”
(SHAHIH. Diriwayatkan oleh:
Abu Dawud: Kitab az-Zakaah, bab Fii Zakaatis Saa-imah (II/221 no.1567)
At Tirmidzi: Kitab az-Zakaah, bab Maa Jaa-a fii Zakaatil Ibil wal Ghanam (III/8, no.621)
Malik dalam al-Muwaththa’ Kitab az-Zakaah, bab Shadaqatil Masyii-ah (I/257-258, no.23)
Ad-Darimi: Kitab az-Zakaah, bab Fii Zakaatil Ibil wal Ghanam (I/381)
An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah, bab Zakaatil Ibil (V/21 no.2447)

Bilangan antara dua puluh lima dengan tiga puluh enam unta adalah waqash, tidak ada kewajiban zakatnya.
Bilangan yang antara tiga puluh dan empat puluh sapi juga merupakan waqash. Hal yang sama juga berlaku untuk kambing.

Sewaktu mengambil zakat, petugas penarik zakat wajib memelihara hak-hak pemilik harta. Tidak boleh mengambil harta pilihan dan sangat berharga kecuali jika mereka mengizinkannya. Sebagaimana halnya menjaga hak orang fakir juga diwajibkan.

Maka tidak dibenarkan mengambil hewan yang memiliki cacatnya, sementara cacat tersebut dianggap sebagai suatu kekurangan di mata orang yang berpengalaman tentang hewan. Kecuali jika semua hewan dimiliki memang memiliki aib, maka zakatnya diambil dari tengah-tengah hewan tersebut.

Disebutkan dalam suratnya Abu Bakar ra. (tentang zakat):

“Janganlah diambil untuk zakat hewan yang sudah tua dan giginya telah rontok, yang buta matanya atau hewan pejantan.”
(SHAHIH. Diriwayatkan oleh al-Bukhari: Kitab az-Zakaah, bab Laa Tu’-khadzh fish Shadaqah Harimatun… (al-Fat-h III/376)

Diriwayatkan dari Sufyan bin ‘Abdillah ats-Tsaqafi, bahwa ‘Umar ra. melarang petugas zakat untuk mengambil hewan yang mandul, hewan yang dipelihara untuk diperas susunya, hewan yang sudah datang waktu melahirkan dan hewan yang dipersiapkan sebagai pejantan.

Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Mu’awiyah al-Ghadhiri, bahwa Nabi Saw. bersabda:

“Ada tiga perkara, barangsiapa melakukannya, niscaya ia akan merasakan kelezatan iman: yaitu orang-orang yang beribadah hanya kepada Allah dan (bersaksi) bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, memberi zakat hartanya dengan penuh kerelaan hati, sehingga mendorongnya untuk melakukan perbuatan tersebut setiap tahun. Tidak (memberikan zakat) dengan hewan tua yang sudah rontok giginya, yang berkudis, yang sakit, yang kecil sekaligus jelek dan yang sedikit susunya. Namun (hendaklah kalian memberikan) pertengahan harta kalian, karena sesungguhnya Allah tidak meminta harta terbaik yang kalian miliki. Tetapi juga tidak memerintahkan kalian (untuk mengeluarkan zakat) dari harta kalian yang jelek.”
(SHAHIH. HR. Abu Dawud: Kitab az-Zakaah, bab Zakaatis Saa-imah (II/240, no.1582) Al-Mundziri berkata, “Beliau meriwayatkannya secara munqathi' (terputus sanadnya). Abul Qasim al-Baghawi menyebutkan hadits ini dalam Mu'jamush Shahabah secara musnad (bersambung sampai kepada Nabi Saw.). Abul Qasim ath-Thabrani dan selainnya juga meriwayatkannya secara musnad.”

Tidak ada kewajiban zakat untuk hewan ternak selain unta, sapi (termasuk kerbau), dan kambing (termasuk domba). Oleh sebab itu, tidak ada kewajiban zakat untuk kuda, bighal (peranakan antara kuda dan keledai), ataupun keledai, kecuali jika terkena zakat barang dagangan usaha bisnis jual-beli (yaitu hewan tersebut merupakan barang dagangannya).

Diriwayatkan dari ‘Ali ra., bahwa Nabi Saw. bersabda:

“Aku telah memaafkan kalian dari kuda dan hamba sahaya maka tidak ada kewajiban zakat pada keduanya.”
(Diriwayatkan oleh:
Abu Dawud, tanpa lafazh: “…Maka tidak ada zakat pada keduanya.”
Kitab az-Zakaah, bab Zakaatis Saa-imah (no.1574, II/232)
At-Tirmidzi: Kitab az-Zakaah, bab Maa Jaa-a Fii Zakaatidz Dzahab wal Wariq (no.620, III/7). Beliau berkata: “Aku bertanya kepada Muhammad bin Isma'il al-Bukhari tentang hadits ini, lalu beliau menjawab, “Kedua hadits ini menurutku shahih.” Maksudnya, Abu Ishaq telah meriwayatkannya dari Ashim dan dari al-Harits.”
Ibnu Majah: Kitab az-Zakaah, bab Zakaatil Wariq (no.1790, I/570)
An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah, bab Zakaatil Wariq (no.2477, V/37)
Ad-Darimi: Kitab az-Zakaah, bab Fii Zakaatil Wariq (I/383)
Ahmad, dengan lafazhnya dan tanpa lafazh: “...Dan tidak ada zakat atas keduanya.” (I/18, 113, 121, 132, 145, 146, 148 dan 192)

ZAKAT UNTA, SAPI, KAMBING YANG BELUM MENCAPAI SATU TAHUN

Barangsiapa memiliki unta, sapi atau kambing yang telah mencapai nishab, lalu beranak di pertengahan tahun, maka ia wajib mengeluarkan zakat dari semuanya, yaitu ketika hewan-hewan yang besar sudah sampai haulnya. Ini pendapat mayoritas ulama, induk dan anak wajib dizakati sebagai satu kesatuan harta.

Hal ini berdasarkan riwayat Malik dan asy-Syafi’i, dari Sufyan bin ‘Abdillah ats-Tsaqafi, bahwa ‘Umar bin al-Khaththab berkata,

“Hendaklah kamu memasukkan anak kambing (dalam perhitungan zakatnya) yang dibawa oleh penggembalanya. Namun janganlah mengambilnya. Dan janganlah kamu mengambil hewan yang mandul, hewan yang dipelihara untuk diperas susunya, hewan yang hendak melahirkan dan kambing pejantan. Hendaklah kamu mengambil hewan yang sudah berumur satu tahun juga yang dua tahun. Itulah pertengahan antara harta yang kecil dan hewan pilihan.”
(Diriwayatkan dalam al-Muwaththa’ karya Imam Malik: Kitab az-Zakaah, bab Maa Jaa-a fiimaa Yu’taddu bih minash Sikhaal fish Shadaqah (no.26, I/265)

Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan Abu Tsaur berpendapat bahwa hewan yang dilahirkan (pada pertengahan haul, -ed.) tidak dimasukkan ke dalam perhitungan zakat, kecuali jika unta, sapi atau kambing yang besar sudah mencapai nishab.
Abu Hanifah berkata, “Hewan yang masih kecil digabungkan ke dalam nishab, baik yang dilahirkan dari hewan nishab atau dibeli dari luar, dan dizakati dengan haul nishab.”

Asy-Syafi’i juga mensyaratkan bahwa hewan tersebut merupakan anak dari unta, sapi atau kambing nishab si pemilik yang lahir sebelum datangnya haul.

Adapun tercapainya nishab disebabkan adanya hewan-hewan yang masih kecil, maka hal ini tidak terkena zakat, menurut pendapat Abu Hanifah, Muhammad, Dawud, asy-Sya’bi dan satu riwayat dari Imam Ahmad.

Dalil mereka adalah apa yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa-i, ad-Daraquthni, dan al-Baihaqi, dari Suwaid bin Ghafalah, ia berkata, “Petugas zakat Rasulullah Saw. mendatangi kami. Lalu aku dengar ia berkata, “Pada masaku (ketika dia masih bertugas memungut zakat, -penj.) zakat itu tidak diambil dari hewan yang masih menyusui...”
(Diriwayatkan oleh:
Abu Dawud: Kitab az-Zakaah, bab Fii Zakaatis Saa-imah (II/236, no.1579)
An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah, bab al-Jam'i bainal Mutafarriq wat Tafriiq bainal Mujtama’ (V/29, no.2457)
Ahmad dalam al-Musnad (IV/315)
Al-Baihaqi: Kitab az-Zakaah, bab Laa Yu’khadz Karaa-im Amwaalin Naas (IV/101)
Ad-Daraquthni: Kitab az-Zakaah, bab Tafsiiril Khalithain wa Maa Jaa-a fiz Zakaah ‘alal Khalithain (II/104, no.5)
Di dalam sanadnya terdapat Hilal bin Khabbab. Lebih dari satu ulama yang mentsiqahkannya, sedangkan sebagian ulama lainnya mempermasalahkannya.

Menurut pendapat Malik dan salah satu riwayat dari Ahmad, wajib hukumnya mengeluarkan zakat dari hewan-hewan yang masih kecil, seperti halnya unta, sapi atau kambing yang sudah besar. Alasannya, sebagaimana hewan-hewan yang masih kecil tersebut sudah diperhitungkan ketika digabungkan dengan unta, sapi atau kambing yang besar, maka ia juga diperhitungkan secara sendiri.

Menurut asy-Syafi'i dan Abu Yusuf, yang wajib (dikeluarkan) atas hewan-hewan yang masih kecil adalah seekor hewan yang masih kecil pula.

Menggabung dan memisahkan hewan ternak

Diriwayatkan dari Suwaid bin Ghafalah:

“Petugas zakat Rasulullah Saw. mendatangi kami. Lalu aku dengar ia berkata, “Sesungguhnya kami tidak mengambil (zakat) dari hewan yang masih menyusui. Tidak juga memisahkan antara yang tercampur dan mencampurkan antara yang terpisah.” Kemudian datanglah seseorang dengan unta yang punuknya besar (merupakan harta pilihan), maka ia pun enggan untuk mengambilnya.”
(HASAN. Diriwayatkan oleh:
Abu Dawud: Kitab az-Zakaah bab Fi Zakaatis Saa-imah (II/236, no.1579)
An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah bab al-Jam’i bainal Mutafarriq wat Tafriiq bainal Mujtama’ (V/29, no.2457)
Ahmad dalam al-Musnad (IV/315)

Anas meriwayatkan bahwa Abu Bakar pernah menulis surat kepadanya (yang isinya): “Ini adalah kewajiban zakat yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw. kepada kaum muslimin....” Di dalamnya disebutkan:

“Janganlah digabungkan antara yang terpisah dan janganlah dipisahkan antara yang telah menyatu, disebabkan takut zakat. Jika harta itu menjadi milik dua sekutu, maka zakat itu ditanggung oleh keduanya secara sama.”
(SHAHIH. Diriwatatkan oleh:
Al-Bukhari: Kitab az-Zakaah bab La Yujma’ baina Mutafarriq wala Yufarraq baina Mujtama’ (II/145) dan bab Maa Kaana min Khalithain Fainnahuma Yataraaja’aani bis Sawiyyah (II/145)
An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah, bab Zakaatil Ghanam (V/29, no.2455)
Ibnu Majah: Kitab az-Zakaah, bab Maa Ya’khudzul Mushaddiq minal Ibil (I/576, no.1801) dan bab Shadaqatul Ghanam (I/577, no.1805)
Ad-Darimi: Kitab az-Zakaah, bab an-Nahyu ‘anil Farqi bainal Mujtama' wal Jam’u bainal Mutafarriq (I/383)
Ahmad dalam al-Musnad (II/15)

Malik berkata dalam al-Muwaththa’, “Maknanya, misalnya ada tiga orang, masing-masing memiliki empat puluh ekor kambing yang terkena wajib zakat (sebanyak satu ekor). Tetapi kemudian mereka menggabungkan milik mereka, sehingga zakat yang wajib dikeluarkan atas ketiganya hanyalah satu kambing saja. (Ini adalah contoh menggabungkan yang terpisah). Atau ada dua orang yang berserikat memiliki kambing sebanyak dua ratus satu, maka kewajiban zakat keduanya adalah sebanyak tiga ekor. Tetapi kemudian mereka memisahkannya, sehingga masing-masing dari mereka hanya wajib mengeluarkan zakat sebanyak satu ekor.” (Ini adalah contoh memisahkan yang telah menyatu)

Asy-Syafi’i berkata, “Hadits tersebut dari satu sisi ditujukan kepada pemilik harta dan di sisi lain ditujukan kepada orang yang bertugas mengambil zakat. Lalu keduanya diperintahkan agar tidak melakukan hal baru, baik menggabungkan atau memisahkan harta, disebabkan takut zakat. Pemilik harta takut zakat yang dikeluarkannya itu banyak, sehingga dia menggabungkan atau memisahkan hartanya agar menjadi sedikit. Sedangkan petugas zakat takut jika zakat yang diambilnya sedikit, sehingga dia menggabungkan atau memisahkannya agar menjadi banyak. Jadi, makna ucapan, “Disebabkan takut zakat,” adalah takut menjadi banyak atau takut menjadi sedikit. Mengingat ucapan tersebut mengandung dua kemungkinan tersebut, sementara kemungkinan yang satu tidak lebih utama dibandingkan kemungkinan yang lain, maka makna ucapan tersebut dibawa kepada keduanya sekaligus.”

(Misalnya, masing-masing dari dua orang yang berserikat memiliki empat puluh ekor kambing, sehingga jumlah hartanya menjadi delapan puluh ekor kambing, lalu petugas zakat memisahkannya, sehingga dari masing-masing orang diambil zakatnya sebanyak satu ekor kambing. Padahal sebelum itu keduanya hanya diwajibkan satu ekor saja. Atau misalnya seseorang memiliki dua puluh ekor kambing dan orang lain juga memiliki kambing dengan jumlah yang sama. Kemudian harta tersebut disatukan, agar diambil satu kambing sebagai zakat. Padahal sebelum itu keduanya tidak diwajibkan mengeluarkan zakat)

Menurut Hanafiyyah, hadits ini merupakan larangan yang ditujukan kepada pemungut zakat untuk tidak memisahkan harta milik seseorang sehingga menimbulkan banyaknya zakat yang dikeluarkan. Misalnya seseorang memiliki kambing sebanyak seratus dua puluh ekor, lalu semuanya dibagi menjadi tiga bagian, sehingga wajib zakatnya sebanyak tiga ekor. Atau menggabungkan milik seseorang dengan milik orang lain, sehingga hal itu menyebabkan banyaknya zakat yang harus dikeluarkan. Misalnya ada seseorang memiliki seratus satu ekor kambing, dan ada orang lain yang juga memiliki kambing dengan jumlah sama. Lalu pemungut zakat menggabungkannya, agar bisa diambil tiga kambing sebagai zakat, padahal sebelumnya hanya dua ekor kambing yang wajib dikeluarkan.”

Zakat Unta, Sapi, Kambing Milik Serikat

Hanafiyyah berpendapat zakat itu tidak wajib atas harta perserikatan (milik bersama) kecuali jika bagian yang dimiliki oleh masing-masing anggota perserikatan telah mencapai nishab. Karena kaidah yang disepakati adalah zakat itu tidak diperhitungkan kecuali jika dimiliki oleh perorangan.

Malikiyyah berpendapat bahwa kedudukan sejumlah orang (serikat) yang mencampurkan binatang ternak mereka adalah seperti halnya seorang pemilik, dari segi zakat. Zakat dihitung atas harta milik orang per orang jika masing-masing dari dua orang yang mencampurkan hartanya sama-sama telah memiliki harta yang telah mencapai nishab, dengan syarat sama penggembalanya, sama hewan pejantannya, sama kandangnya, dan niat untuk mencampur, juga harta dari masing-masing orang terbedakan dengan milik yang lainnya. Jika tidak demikian, maka kedua orang tadi adalah serikat. Selanjutnya setiap orang yang mencampur merupakan ahli zakat dan pencampuran ini sama sekali tidak ada pengaruhnya kecuali dalam hewan ternak (unta, sapi, kambing).

Zakat harta yang diambil dibebankan secara merata kepada setiap anggota serikat, sesuai persentase harta masing-masing. Seandainya salah seorang anggota yang berserikat itu memiliki harta yang tidak dicampurkan, maka tetap dianggap sebagai harta campuran.

Menurut Syafi'iyyah, harta milik dua orang atau sejumlah orang seperti harta yang satu.
Dalam hal ini mereka mensyaratkan:
1. Orang-orang yang berserikat adalah ahli zakat.
2. Harta yang tercampur mencapai nishab.
3. Sudah berlalu satu tahun penuh (sampai haulnya).
4. Harta yang dimiliki oleh masing-masing anggota tidak terbedakan antara satu dengan lainnya, dari segi kandang, tempat penggembalaan, tempat minum, penggembala, dan tempat memeras susunya.
5. Hendaklah pejantannya sama jika hewan campuran tersebut dari jenis yang sama.

Pendapat Imam Ahmad serupa dengan pernyataan Syafi’iyyah, hanya saja beliau membatasi pengaruh campuran hanya pada hewan ternak (unta, sapi, kambing), tidak kepada selainnya.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Bacaan: Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Kitaab az-Zakaah (terjemahan), Pustaka Ibnu Katsir 

Artikel Terkait: Zakat Perdagangan

Minggu, 15 April 2018

Dalil Orang yang Menanggung Utang Mendapat Zakat




Orang-orang yang berhak mendapatkan zakat itu ada delapan golongan, yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para pengurus zakat, mu’allaf, hamba sahaya, orang-orang yang berhutang, orang yang berjuang (perang) fii sabilillah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.” (TQS. At-Taubah: 60)

GHAARIMUUN (ORANG-ORANG YANG MEMILIKI HUTANG)

Mereka adalah orang-orang yang menanggung hutang dan tidak sanggup membayarnya. Mereka ini terbagi dalam berbagai kelompok. Di antaranya adalah orang yang menanggung hutang untuk mendamaikan perselisihan, seseorang yang menjamin hutang orang lain sehingga ia harus membayarnya sedangkan hutang tersebut menghabiskan hartanya, orang yang berhutang karena kebutuhan atau orang yang berhutang disebabkan maksiat yang ia sudah bertaubat darinya. Semua ini berhak mendapatkan zakat untuk melunasi utangnya.

Dari Anas ra. bahwa Nabi Saw. bersabda:

“Minta-minta itu tidak halal kecuali untuk tiga orang; (1) orang yang sangat fakir, (2) orang yang memiliki tanggungan hutang yang berat, dan (3) orang yang menanggung tebusan darah.”
(Diriwayatkan oleh:
Abu Dawud: Kitab az-Zakaah, bab Maa Tajuuzu fihil Mas-alah (II/292-294, no.1641)
At-Tirmidzi secara ringkas: Kitab az-Zakaah, bab Maa jaa-a Man Laa Tahillu Lahush Shadaqah (III/34 no.653). Beliau menghasankannya.
Ibnu Majah: Kitab at-Tijaaraat bab Bai’ul Muzaabadah (II/740-741, no.2198)
Ahmad dalam al-Musnad (III/114-126, 127)

(Tebusan darah maksudnya adalah orang yang menanggung diyat kerabatnya atau temannya yang melakukan pembunuhan tanpa haq, di mana diyat tersebut harus dibayar kepada wali korban)

Muslim meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri ra., bahwa beliau berkata:

“Pada zaman Rasulullah Saw., ada seseorang yang mendapat musibah pada buah-buahan yang ia beli sehingga hutangnya menumpuk. Lalu Rasulullah Saw. bersabda, “Bersedekahlah kalian kepadanya!” Maka orang-orang pun bersedekah kepadanya. Namun hal itu tidak cukup untuk menutupi hutangnya. Rasulullah Saw. kemudian berkata kepada orang-orang yang memberi hutang, “Ambillah yang bisa kalian dapatkan. Hanya itu yang bisa kalian peroleh.”
(SHAHIH. Diriwayatkan oleh:
Muslim: Kitab al-Musaaqaah, bab Istihbaabul Wadh'i minad Daini (no.18, III/ 1191) Abu Dawud: Kitab al-Buyuu' wal Ijaarah, bab Fii Wadh’il Jaa-ihah (no.3469, III/745)
At-Tirmidzi: Kitab az-Zakaah, bab Man Tahillu lahush Shadaqah minal Ghaarimiin wa Ghairihim (no.655, III/35)
Ibnu Majah: Kitab al-Ahkaam, bab al-Ma’dam wal Bai’ 'alaihi li Ghuramaa-ihi (no.2356, II/789)
An-Nasa-i: Kitab al-Buyuu', bab Wadh’il Jawaa-ih (no.4530, VII/265) dan bab ar-Rajul Yabtaa'ul Bai’ Fayuflish wa Yuujadul Mataa’ bi 'Ainihi (no.4678, VII/312)

(Maksudnya, untuk sekarang ini kalian hanya bisa memiliki apa-apa yang kalian dapatkan darinya. Ini sama sekali bukan membatalkan hak orang yang memberi hutang terhadap sisa hutang)

Dari Qabishah bin Mukhariq, dia berkata:

“Aku pernah menanggung hutang (untuk mendamaikan perselisihan), lalu aku mendatangi Rasulullah Saw. untuk minta bantuan kepada beliau. Lalu beliau bersabda, “Tunggulah sampai zakat datang kepadaku, maka kami akan memerintahkan (petugas zakat) agar memberikan sebagiannya kepadamu.” Kemudian beliau Saw. bersabda:
“Wahai Qabishah, sesungguhnya minta-minta itu tidak dihalalkan kecuali untuk tiga kelompok. (1) Seseorang yang menanggung hutang untuk mendamaikan perselisihan, maka meminta itu dihalalkan baginya, sampai ia mendapatkannya, kemudian ia menahan diri (tidak meminta lagi). (2) Seseorang ditimpa musibah yang menghancurkan hartanya, maka halal baginya untuk meminta, sehingga dia mendapatkan sesuatu yang bisa menopang kehidupannya -atau beliau bersabda- sesuatu yang bisa menutupi hajat hidupnya. (3) Seseorang yang ditimpa kefakiran, sehingga tiga orang yang berpengetahuan dari kaumnya berkata, “Fulan telah tertimpa kefakiran.” Maka halal baginya untuk meminta, sehingga dia mendapatkan sesuatu yang bisa menopang kehidupannya -atau beliau bersabda- sesuatu yang bisa menutupi hajat hidupnya. Adapun meminta selain itu, wahai Qabishah, maka merupakan barang haram yang dimakan oleh pelakunya secara haram.”
(SHAHIH. Diriwayatkan oleh:
Muslim: Kitab az-Zakaah, bab Man Tahillu Lahul Mas-alah (II/722, no.109)
Abu Dawud: Kitab az-Zakaah, bab Maa Tajuuzu fiihil Mas-alah (II/290, no.1640)
An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah, bab ash-Shadaqah liman Tahammala bi Hamaalatin (V/89-90, no.2580)
Ad-Darimi: Kitab az-Zakaah, bab Man Tahillu Lahush Shadaqah (I/396)
Ahmad dalam al-Musnad (V/60) dengan lafazhnya dan dengan lafazh yang hampir sama (III/477)

Hamaalah adalah apa yang ditanggung oleh seorang insan dan harus ia tunaikan karena hutang dalam rangka mendamaikan pertikaian. Dahulu, ketika terjadi pertikaian di kalangan Arab yang menyebabkan adanya hutang diyat atau selainnya, muncullah salah seorang di antara mereka untuk menjadi relawan dan menanggung semua itu, sehingga lenyaplah pertikaian di antara mereka.

Jika mereka tahu bahwa ada salah seorang di antara mereka menanggung hutang tersebut, mereka bersegera untuk membantunya dan memberikan apa yang bisa membebaskan orang yang bersangkutan dari tanggungan tersebut.

Untuk menerima zakat pada keadaan ini tidak disyaratkan bahwa orang yang bersangkutan berada dalam kondisi kurang mampu untuk membayar tanggungan tersebut. Tegasnya, ia tetap boleh menerima zakat meskipun hartanya mencukupi.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Bacaan: Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Kitaab az-Zakaah (terjemahan), Pustaka Ibnu Katsir 

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam