Apakah Menghilangkan Benda Najis
Harus Berbilang (Dilakukan Beberapa Kali)?
Menghilangkan najis
itu disebut juga tathhir atau thaharah (bersuci). Tharahah menghilangkan najis itu tidak dibatasi bilangan cucian
tertentu. Yang dituntutnya hanya menghilangkan benda najisnya saja. Bilangan
cucian tertentu dalam menghilangkan najis tidaklah menjadi satu kemestian, di
mana seluruh nash yang di dalamnya terdapat perintah menghilangkan najis atau
perintah mencuci sesuatu yang terkena najis tidak menuntut bilangan cucian
tertentu, kecuali pada tiga tempat saja. Yaitu ketika beristinja dengan tiga batu, mencuci kedua tangan
setelah bangun tidur dengan tiga kali cucian, mencuci bejana yang dijilat oleh
anjing sebanyak tujuh kali cucian dan cucian pertamanya dengan menggunakan
tanah.
Selain dari tiga
tempat ini, nash-nash yang ada datang dalam bentuk mutlak, tanpa membatasi
dengan bilangan cucian tertentu yang spesifik. Dalam hadits orang Arab dusun
kencing di masjid tidak ada bilangan cucian. Dalam hadits-hadits mencuci darah
haid dan darah istihadhah tidak ada
bilangan cucian. Dalam hadits-hadits mencuci madzi dan air kencing dan mencuci
wadah orang-orang kafir yang biasa digunakan untuk daging babi dan khamar juga
tidak ada penyebutan bilangan cucian sama sekali. Tidak ada penyebutan bilangan
cucian sama sekali selain dalam tiga tempat di atas itu saja.
Dengan demikian, pada
dasarnya thaharah (bersuci) itu adalah
menghilangkan esensi benda najis saja; dalam arti baju, badan, tanah, atau
segala sesuatu itu dicuci hingga benda najisnya hilang, sama saja baik untuk
menghilangkannya itu perlu dilakukan dengan satu kali cucian, tiga kali cucian
atau sampai dua puluh kali cucian. Bilangan cucian tidak menjadi patokan dan
tuntutan, di mana yang diperintahkan itu hanyalah mencucinya hingga hilang
benda najisnya.
Tiga tempat yang
disebutkan bilangan cuciannya adalah:
a. Mencuci kedua
tangan ketika bangun dari tidur malam. Dari Abu Hurairah dia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian bangun dari tidurnya, maka janganlah ia memasukkan tangannya ke
dalam bejana hingga ia mencuci tangannya tiga kali, karena dia tidak tahu di
manakah tangannya itu berada di waktu malam.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud,
Tirmidzi dan Ibnu Majah)
b. Istinja setelah buang air besar. Dari Salman
ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Janganlah salah
seorang dari kalian beristinja dengan
kurang dari tiga buah batu.” (HR. Ahmad dan Muslim)
Dari Aisyah ra., dia
berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian pergi untuk buang hajat, maka hendaklah dia beristinja dengan tiga buah batu, karena tiga
batu itu sudah cukup baginya. (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan ad-Darimi)
Hadits ini
diriwayatkan pula oleh ad-Daruquthni dan dishahihkannya.
c. Mencuci bejana
ketika dijilat oleh anjing. Dari Abu Hurairah ra., dia berkata: Rasulullah Saw.
bersabda:
“Cara mensucikan
bejana salah seorang dari kalian ketika dijilat oleh anjing adalah hendaknya
bejana itu dicucinya tujuh kali, cucian pertamanya menggunakan tanah.” (HR.
Muslim, Tirmidzi dan Abu Dawud)
Hadits yang pertama
diberi ‘illat ”karena dia tidak tahu di
manakah tangannya itu berada di waktu malam.” Perintah untuk mencuci kedua
tangan ketika bangun dari tidur malam itu diberi ‘illat
dengan sesuatu yang diduga sebagai benda najis atau sangkaan memegang benda
najis. Seandainya tidak seperti itu, niscaya Rasulullah Saw. tidak akan
memerintahkan mencuci tangan, terlebih lagi sampai tiga kali cucian.
Ketika ‘illat-nya itu adalah sesuatu yang diduga
sebagai benda najis, maka ini menjadi qarinah
yang memalingkan perintah tersebut dari hukum wajib, karena hukum wajib itu
adalah mencuci sesuatu yang diyakini sebagai benda najis.
Ketika benda najis di
sini tidak meyakinkan (hanya sekedar dugaan) maka perintah dalam hadits
tersebut dibawa pada hukum sunah saja. Membasuh dua tangan setelah bangun tidur
itu mandub hukumnya, sehingga mencuci kedua tangan itu sebanyak tiga kali
cucian dimasukkan dalam hukum sunah tersebut, bukan wajib. Dengan demikian
bilangan cucian sebanyak tiga kali hukumnya mandub (sunah), bukan wajib.
Abu Hurairah telah
meriwayatkan bahwasanya Nabi Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian bangun dari tidurnya, maka hendaklah dia beristintsar (memasukkan air ke dalam hidung kemudian
mengeluarkannya kembali) sebanyak tiga kali, karena sesungguhnya setan bermalam
pada rongga hidungnya.” (HR. Muslim, Ahmad dan an-Nasai)
Para fuqaha dan ulama
tidak menyatakan istintsar itu wajib
hukumnya. Tuntutan dalam hadits tersebut hanya ditujukan untuk menghilangkan
kotoran yang ada di jalur pernafasan dan menjadi sebab penghalau setan.
As-Syafi’i dan para
ulama lainnya telah menyebutkan bahwa sebab yang ada dalam hadits mencuci kedua
tangan (setelah bangun tidur) itu adalah fakta penduduk Hijaz biasa beristinja menggunakan batu, dan negeri mereka
adalah negeri yang panas. Ketika salah seorang dari mereka tidur pasti akan
berkeringat, sehingga seseorang yang tidur seperti itu tidak bisa dijamin
tangannya tidak menyentuh duburnya yang di dalamnya terdapat bekas tinja.
Ibnu Khuzaimah telah
meriwayatkan hadits ini dengan redaksi yang menguatkan pemahaman ini. Dari Abu
Hurairah, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian bangun dari tidurnya maka janganlah memasukkan tangannya ke dalam
bejana atau ke dalam air wudhunya hingga dia mencuci tangannya, karena dia
tidak tahu dari bagian tubuh manakah tangannya datang.”
Perintah ini
semata-mata untuk menghilangkan sesuatu yang diduga sebagai benda najis berupa
bekas tinja. Jika sekarang salah seorang dari kita tidur dalam keadaan memakai
pakaian yang bisa menghalangi kedua tangannya menyentuh duburnya, maka mencuci
kedua tangan saat dia bangun menjadi tidak dituntut/diperintahkan lagi, kecuali
jika itu dilakukan dalam rangka ta'abud
(ibadah) semata, terlebih lagi sekarang ini kita beristinja menggunakan air yang membersihkan tinja dari dubur
secara sempurna. Dengan demikian, bilangan cucian di sini bukan merupakan
sesuatu yang wajib, tidak lebih hanya untuk menghilangkan sesuatu yang diduga
sebagai benda najis.
Hadits yang kedua
terkait dengan persoalan membersihkan dubur dari tinja. Hadits ini
memerintahkan digunakannya tiga buah batu sebagai jumlah minimal, dan
menyatakan: karena tiga batu itu sudah cukup baginya. Sekelompok ulama memahami
nash ini bahwa bilangan di sini wajib hukumnya, dan istijmar (beristinja
dengan menggunakan batu) tidak boleh dilakukan bila kurang dari tiga buah batu.
Mereka menilai bahwa bilangan ini menjadi batasan dalam menghilangkan najis,
lalu mereka menganalogikan seluruh tindakan mencuci benda najis kepada hadits
ini, dan mengatakan bahwa setiap mencuci najis itu harus tiga kali cucian.
Mereka semua menduga-duga saja, karena kami memiliki sebuah hadits yang
membantah pendapat mereka dan membatalkan bilangan cucian hingga dalam
persoalan istinja. Ad-Daruquthni telah
meriwayatkan dengan sanad yang hasan dari Sahl bin Saad:
“Bahwasanya Nabi Saw.
ditanya tentang istinja dengan
menggunakan batu, maka beliau Saw. berkata: “Tidakkah salah seorang dari kalian
mendapatkan tiga batu, dua batu untuk dua permukaan, dan satu batu untuk pintu
pelepasan tinja.”
Nash manakah yang
lebih tegas dan jelas dari nash ini, yang menyatakan bahwa membersihkan satu
tempat itu cukup dengan satu batu? Dalam nash tersebut Rasulullah Saw.
menjadikan satu batu untuk membersihkan pintu pelepasan tinja (lubang anus),
satu batu untuk permukaan yang kanan dan satu batu untuk permukaan yang kiri.
Yakni hadits ini menegaskan cukupnya istinja
dengan satu batu untuk satu tempat. Hadits ini tidak memintanya dibersihkan
berulang-ulang, dan pada saat yang bersamaan menjelaskan sebab keharusan adanya
tiga batu dalam beristinja, karena tiga
batu tersebut ditujukan untuk membersihkan tiga tempat. Interpretasi manakah
yang lebih jelas dan tegas daripada interpretasi ini? Dan bantahan manakah yang
lebih tegas daripada bantahan ini dalam rangka membantah orang-orang yang
mensyaratkan bilangan dalam istinja,
seraya menggeneralisirnya untuk setiap aktivitas mencuci najis? Kita telah
mengetahui bahwa hadits itu saling menafsirkan satu sama lain.
Inilah makna literal (manthuq) hadits tersebut, dilalahnya jelas menafikan bilangan cucian
dalam menghilangkan benda najis. Maka bantahan apalagi yang lebih tegas
daripada pernyataan seperti itu kepada mereka yang menyatakan mencuci najis itu
harus berbilang? Darimanakah batasan bilangan yang mereka nyatakan dalam
menghilangkan benda-benda najis itu? Bagaimana pula bisa dikatakan bahwa
mencuci benda najis itu harus berbilang?
Dengan demikian,
penggunaan hadits ini dan beberapa hadits sebelumnya sebagai argumentasi mereka
yang mewajibkan bilangan cucian dalam menghilangkan benda-benda najis telah
terbantahkan.
Selain itu, mencuci
hanya ditujukan untuk menghilangkan benda najis dalam rangka membersihkan
tempat yang ada najisnya saja, tidak dalam rangka berta'abud dengan bilangan tertentu. Sesungguhnya yang ada dalam
hadits-hadits tersebut adalah tuntutan menghilangkan benda najis tanpa tambahan
apapun, sehingga karenanya kita bisa memahami betapa kelirunya pernyataan yang
mewajibkan bilangan cucian. Tidak ada dalil yang lebih jelas menunjukkan hal
ini selain hadits Abu Tsa’labah al-Khusyani yang telah kami sebutkan
sebelumnya. Hadits tersebut memerintahkan untuk mencuci bejana dan periuk
orang-orang kafir dan tidak memerintahkan cucian yang berbilang. Hadits tersebut
juga menjelaskan tujuan mencuci wadah tersebut, yakni membersihkannya.
“Rasulullah Saw.
bersabda: Bersihkanlah wadah itu dengan cara mencucinya, dan memasaklah kalian
dengannya.” (HR. Tirmidzi)
Tujuan mencuci najis
itu adalah membersihkannya. Inilah yang harus direalisasikan ketika mencuci
najis apapun, yakni merealisasikan tujuan tersebut saja, tidak menjadi masalah
jika setelahnya masih ada sedikit bekas benda najis. Syariat itu memudahkan manusia
dan memaafkan sesuatu yang sedikit sekali darinya.
Tinggallah kini hadits
ketiga. Untuk menjawabnya dilakukan dari dua aspek:
a. Bilangan yang disebutkan dalam beberapa
hadits tentang “jilatan anjing” itu tidak ber'illat,
sehingga tidak harus terpaku padanya dan tidak boleh menganalogikannya pada
kasus yang lain. Najis yang ada pada bejana karena jilatan anjing bisa
dibersihkan dengan mencucinya secara berbilang (beberapa kali cucian).
Sedangkan dalam membersihkan najis yang lain tidak dihilangkan dengan cucian
berbilang seperti itu. Bilangan cucian ini hanya terbatas pada mencuci najis
bekas jilatan anjing saja.
b. Hadits atau beberapa hadits tentang “jilatan
anjing” ini dituturkan dengan beberapa redaksi dan memiliki beberapa riwayat,
yang akan kami sebutkan berikut ini:
1. Redaksi pertama:
“Jika anjing minum
dalam bejana milik salah seorang dari kalian, maka hendaklah dia mencucinya
tujuh kali.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, an-Nasai dan Malik)
2. Redaksi kedua:
“Sucinya bejana salah
seorang dari kalian ketika dijilat oleh anjing adalah hendaknya dia mencucinya
tujuh kali, cucian pertama dengan menggunakan tanah.” (HR. Muslim, Tirmidzi dan
Abu Dawud)
3. Redaksi ketiga:
“Ketika anjing
menjilat bejana salah seorang dari kalian maka hendaknya kalian mencuci bejana
tersebut tujuh kali, dan lumurilah cucian yang kedelapan dengan tanah.” (HR.
Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud dan an-Nasai)
4. Redaksi keempat:
“Ketika anjing
menjilat bejana salah seorang dari kalian maka hendaknya dia menumpahkan bejana
tersebut, kemudian mencucinya tujuh kali.” (HR. Muslim, an-Nasai dan
al-Baihaqi)
5. Redaksi kelima:
“Ketika anjing
menjilat bejana seseorang maka hendaknya dia mencucinya tujuh kali. Aku menduga
beliau Saw. mengatakan: Salah satunya dengan menggunakan tanah.” (HR.
al-Bazzar)
6. Redaksi keenam:
“Ketika anjing
menjilat bejana maka hendaknya kalian mencucinya tujuh kali, yang ketujuhnya
dengan menggunakan tanah.” (HR. Abu Dawud dan ad-Daruquthni)
7. Redaksi ketujuh:
“Bejana itu dicuci
ketika dijilat oleh anjing (dengan cucian) sebanyak tujuh kali, cucian yang
pertama atau yang terakhir dengan menggunakan tanah.” (HR. Tirmidzi dan
as-Syafi'i dengan sanad berpredikat hasan)
Seluruh jalur
periwayatan hadits ini berasal dari Abu Hurairah, kecuali riwayat yang ketiga
“dan lumurilah cucian yang kedelapan dengan tanah”, yang diriwayatkan dari
jalur Abdullah bin Mughaffal (Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud dan an-Nasai). Para
imam berbeda pendapat dengan sangat jauh terkait beberapa riwayat ini.
Ahmad dan Malik dalam
satu riwayat darinya mengatakan: Mencuci itu harus dilakukan menggunakan air
sebanyak tujuh kali, dan dengan menggunakan tanah pada cucian yang kedelapan.
Para ulama bermadzhab
Hanafi tidak mewajibkan urutan seperti itu, dan tidak mewajibkan mencucinya
tujuh kali dengan menggunakan air.
Para ulama pengikut
Imam Malik mewajibkan mencucinya sebanyak tujuh kali dengan menggunakan air
tanpa mewajibkan urutan seperti itu.
Imam Syafi’i
mewajibkan mencucinya sebanyak tujuh kali dengan menggunakan air, dan
mewajibkan urutan dalam cucian yang pertama.
Imam as-Shan’aniy
telah membahas persoalan ini dengan sangat baik dalam kitabnya Subulus Salam. Pernyataan beliau saya kutipkan
dengan lengkap berikut ini:
Sebagian orang yang
mewajibkan mencuci bejana tersebut sebanyak tujuh kali telah mengatakan:
mencucinya dengan tanah itu tidak wajib karena asal-muasalnya tidak bisa
dipastikan kebenarannya. Pernyataan seperti ini bisa dibantah, bahwa penggunaan
tanah pada salah satu cucian itu tidak diragukan lagi berasal dari riwayat yang
shahih. Tambahan dari perawi tsiqah itu bisa diterima. Juga dikatakan bahwa
dalam riwayat “penggunaan tanah” itu terdapat kesimpangsiuran, diriwayatkan
dengan kalimat “yang pertama”, atau “yang terakhir,” atau ”salah satunya” atau
“yang ketujuh,” atau “yang kedelapan.” Kesimpangsiuran seperti itu menjadi
cacat yang harus dihilangkan. Pernyataan seperti itu saya bantah, bahwa suatu
kesimpangsiuran tidak menjadi cacat kecuali jika beberapa riwayat tersebut sama
statusnya, dan ternyata status beberapa riwayat tersebut tidak sama. Riwayat yang
menyatakan “yang pertama”, itu lebih rajih
karena banyak perawi yang meriwayatkannya dan juga ditakhrij oleh Syaikhan (Bukhari dan Muslim). Ini dilihat dari
aspek tarjih ketika terdapat kontradiksi
di antara beberapa riwayat. Lafadz-lafadz riwayat yang menyalahi redaksi
“cucian yang pertama” tidak akan bisa menandinginya. Ini bisa dijelaskan bahwa
riwayat “cucian yang lain” itu menyendiri, tidak memiliki topangan riwayat
lainnya dari kitab-kitab hadits yang ada, dan riwayat “cucian yang ketujuh
dengan tanah” diperselisihkan sehingga tidak bisa menandingi riwayat “cucian
yang pertama”. Dan riwayat “salah satunya” diriwayatkan oleh perawi secara
ragu, sehingga riwayat ini dhaif dan
tidak layak dijadikan hujjah. Kemudian
riwayat ini pun bersifat mutlak sehingga harus dibawa pada riwayat yang muqayyad (diberi batasan), dan riwayat “cucian
yang pertama atau yang lainnya” yang memberikan pilihan, jika pilihan tersebut
berasal dari perawi maka ini menjadi keraguan/kebimbangan dari si perawi
sehingga harus dirujukkan pada tarjih,
dan riwayat “cucian yang pertama” jelas lebih rajih.
Tetapi jika itu benar-benar ucapan Rasulullah Saw. maka ini merupakan pilihan
dari beliau Saw., maka lagi-lagi kita harus menetapkan bahwa riwayat “cucian
yang pertama” itu lebih rajih karena
telah diriwayatkan oleh Syaikhan (Bukhari dan Muslim) sebagaimana telah Anda
ketahui.
Imam as-Shan’aniy juga
menambahkan di tempat lain:
Nyata ditemukan dalam
riwayat Muslim “lumurilah cucian kedelapan dengan tanah”, dan ini telah
dikomentari oleh Ibnu Daqiq al-Id: kalimat seperti itu dituturkan oleh al-Hasan
al-Bashri, tidak pernah dituturkan oleh selain beliau, mungkin maksudnya belum
pernah diungkapkan oleh para ulama terdahulu selainnya.
Dengan demikian, Imam
as-Shan'aniy berpegang pada riwayat yang paling rajih,
yakni riwayat yang kedua di atas, pendapatnya ini benar dan sesuai dengan
pendapat Imam as-Syafi’i.
Saya akan menambah
penjelasan di atas: Riwayat yang pertama dan riwayat yang keempat menyebutkan
bahwa cucian itu sebanyak tujuh kali tanpa menyebutkan digunakannya tanah,
sedangkan riwayat-riwayat yang lain menyebutkan tanah, dan ini merupakan
tambahan yang harus ditetapkan untuk dipegang dan diamalkan.
Adapun riwayat yang
keenam telah menetapkan penggunaan tanah pada cucian yang ketujuh, sedangkan
riwayat yang ketiga menetapkan penggunaan tanah pada cucian yang kedelapan.
Riwayat yang kedua menetapkan penggunaan tanah pada cucian yang pertama.
Adapun riwayat Abu
Dawud, yakni riwayat yang keenam, ini tidak mampu menandingi riwayat kedua dan
ketiga dari sisi sanadnya, sehingga
kedua riwayat tersebut lebih diprioritaskan.
Tinggallah kini
mengkaji riwayat yang kedua dan ketiga, kami nyatakan: Bahwa riwayat yang
ketiga: cucian yang kedelapan dengan tanah, maka riwayat ini telah menambah
jumlah bilangan cucian menjadi delapan kali, sedangkan seluruh riwayat yang
lain menyebutkan bahwa cucian itu berjumlah tujuh kali, sehingga riwayat ketiga
ini secara menyendiri telah menyalahi seluruh riwayat yang karenanya riwayat
tersebut menjadi riwayat yang ganjil (syadz)
dan harus ditinggalkan.
Tinggallah kini
riwayat yang kedua, dan inilah riwayat yang memadukan seluruh riwayat dari sisi
bilangan cucian sebanyak tujuh kali, dan riwayat inilah yang menyatakan: cucian
yang pertama dengan menggunakan tanah, sehingga inilah riwayat yang terjaga dan
shahih serta layak digunakan sebagai hujjah.
Al-Baihaqi berkata: Abu Hurairah merupakan orang paling yang banyak
hafalan dalam meriwayatkan hadits di zamannya, riwayat beliau itu lebih unggul,
yakni lebih unggul daripada riwayat yang ketiga.
Tidak ada yang
tertinggal selain riwayat kedua yang menetapkan penggunaan tanah pada cucian
yang pertama. Riwayat ketujuh yang memberikan pilihan antara cucian pertama dan
cucian selainnya. Maka kami lebih memilih riwayat kedua sebagai riwayat yang
lebih rajih karena dua alasan: pertama,
riwayat kedua ini lebih kuat dari sisi sanad,
riwayat yang lebih kuat harus diprioritaskan ketika ada pertentangan dan
perbedaan; kedua, pemberian pilihan dalam riwayat ketujuh itu mengandung makna
kebimbangan, sedangkan penetapan penggunaan tanah pada cucian pertama merupakan
keputusan/ketetapan, dan keputusan/ketetapan itu lebih diprioritaskan daripada
kebimbangan.
Dengan demikian
riwayat yang kedua lebih diprioritaskan dan diamalkan daripada riwayat yang
ketujuh yang memberikan pilihan. Dengan mengamalkan riwayat kedua bukan berarti
kita menyalahi riwayat ketujuh yang memberikan pilihan. Dan inilah faktor
ketiga yang menjadikannya lebih unggul.
Kesimpulannya, dalam mencuci
benda najis apapun tidak harus dengan bilangan cucian tertentu, kecuali najis
yang diakibatkan oleh jilatan anjing, di mana kita perlu mencuci bekas jilatan
anjing itu sebanyak tujuh kali cucian, di mana cucian pertama menggunakan
tanah, sedangkan enam kali sisanya dengan menggunakan air.
Selama dalam seluruh
riwayat ini tidak nampak adanya ‘illat,
maka hukum ini tidak ber'illat, sehingga
tidak layak dianalogikan pada tindakan menghilangkan benda najis lainnya.
Kemudian, mencuci
bejana akibat jilatan anjing itu dari sisi mencucinya tidak termasuk ibadah mahdhah. Ia sama dengan tindakan menghilangkan
najis lainnya, tetapi penyebutan bilangan dengan penjelasan seperti ini
merupakan aspek ibadah mahdhah yang ada
di dalamnya, sehingga bilangan pencucian yang spesifik ini harus diamalkan
sebagai bentuk ibadah dan ketaatan, tanpa perlu memikirkan sebab-sebab dan ‘illat-‘illat
yang melatarbelakanginya, seperti yang disampaikan para dokter modern bahwa
dalam air liur anjing itu terdapat kuman bakteri yang sangat berbahaya yang
tidak bisa dihilangkan kecuali dengan air dan tanah. Pernyataan seperti itu
tidak perlu kita perhatikan.
Dan berhati-hatilah
kaum Muslim dari ‘illat yang disodorkan
ilmu pengetahuan modern, yang sebenarnya tidak dijelaskan hadits-hadits dan
ayat-ayat. Dan hendaknya pula kaum Muslim mengetahui bahwa syariat tidak
menyatakan ‘illat sesuatu itu
semata-mata sengaja tidak menyatakannya, seandainya syariat ingin menyatakan ‘illat sesuatu niscaya ia akan menyampaikannya.
Ketika syariat tidak
menetapkan ‘illat sesuatu, mengandung
arti syariat
ingin menyembunyikan ‘illat perkara itu
dari kita, sehingga kita tidak perlu berpayah-payah menyingkap dan
mengungkapkannya, karena tindakan seperti itu sama dengan sikap lancang
terhadap nash (yaitu membuat-buat ‘illat).
Karena itu, untuk
mensucikan baju yang terkena najis, tanah yang terkena najis, badan yang
terkena najis, peralatan, wadah, sepatu, daun, kayu, dan biji-bijian yang
terkena najis, semata-mata diperintahkan menghilangkan benda najisnya saja
tanpa perlu memperhatikan bilangan cucian sama sekali.
Bahkan seandainya
seekor anjing duduk berjongkok di atas suatu bejana berisi air, memasukkan
kakinya, menjuntaikan ekornya, atau mencelupkan sebagian bulunya ke dalamnya,
maka bejana tersebut cukup dicuci satu kali saja seperti mencuci benda-benda
najis lainnya. Bilangan pencucian itu hanya berlaku dalam jilatan anjing saja,
dan ini merupakan ibadah yang tidak ber'illat,
sehingga tidak bisa dianalogikan pada bagian tubuh anjing lainnya, tidak bisa
dianalogikan pada babi dan benda-benda najis lainnya.
Bacaan: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar