BAB
KEDUABELAS
SHALAT
JAMAAH
Hukum dan Keutamaan Shalat
Berjamaah
Shalat Jamaah adalah
perbuatan sunah yang sangat dianjurkan (mustahab),
lebih ditekankan lagi apabila dilaksanakan di masjid. Hukum shalat berjamaah
bukan fardhu ‘ain dan bukan pula fardhu kifayah sebagaimana dikatakan oleh
sejumlah ahli fikih, di mana untuk memperkuat pendapatnya, mereka
berargumentasi dengan beberapa hadits berikut:
1. Dari Abu Hurairah
ra., ia berkata: Nabi Saw. bersabda:
“Tidak ada shalat yang
lebih berat bagi orang-orang munafik selain shalat fajar dan shalat isya.
Seandainya mereka mengetahui (besarnya ganjaran) pada kedua shalat itu, niscaya
mereka akan mendatanginya walaupun harus merangkak. Sungguh aku berniat untuk
memerintahkan muadzin mengumandangkan iqamat, lalu aku perintahkan seseorang
untuk mengimami manusia, kemudian aku perintahkan seikat kayu bakar yang aku
gunakan untuk membakar orang yang tidak berangkat shalat setelahnya.” (HR.
Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Abi Syaibah)
2. Dari Abu Hurairah
ra., ia berkata:
“Seorang lelaki buta
mendatangi Rasulullah Saw. dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku
tidak mempunyai seorang pemandu yang menuntunku ke masjid.” Lalu ia meminta
agar Rasulullah Saw. memberikan keringanan kepadanya sehingga ia bisa shalat di
rumahnya, maka beliau pun kemudian memberikan keringanan kepadanya. Ketika ia
akan pergi beliau Saw. memanggilnya dan bertanya: “Apakah engkau mendengar
seruan (adzan)?” Ia berkata: “Ya.” Maka beliau berkata: “(Kalau begitu)
sambutlah (seruan itu).” (HR. Muslim dan an-Nasai)
3. Dari Ibnu Ummi
Maktum:
“Bahwa ia bertanya
kepada Rasulullah Saw.: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini orang yang buta
dan rumah (juga) jauh, aku mempunyai seorang penuntun yang tidak cocok
denganku. Apakah aku bisa mendapatkan keringanan untuk shalat di rumahku?”
Beliau Saw. bertanya: “Apakah engkau mendengar seruan (adzan)?” Ia berkata:
“Ya.” Beliau berkata: “Aku tidak melihat ada keringanan untukmu.” (HR. Abu
Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad)
4. Dari Ibnu Abbas
ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
mendengar seruan (adzan) lalu dia tidak menyambutnya, maka tidak ada shalat
baginya kecuali karena adanya udzur.” (HR. Ibnu Hibban, al-Hakim dan
al-Baihaqi)
Kami katakan kepada
mereka: bahwa semua hadits ini dipahami sebagai penekanan untuk menghadiri
shalat jamaah, dan hadits-hadits ini berposisi sebagai pencegah, arti hakikinya
bukanlah yang dimaksud oleh hadits tersebut, di mana penekanan untuk melakukan sesuatu
bisa memiliki beberapa bentuk kalimat yang berbeda-beda.
Hadits yang pertama
terkait dengan kaum munafik, dan tidak secara umum berkaitan dengan kaum
Muslim. Sabda Rasulullah Saw. dalam hadits yang pertama: “Tidak ada shalat yang
lebih berat bagi orang-orang munafik” menjadi dilalah
yang jelas atas apa yang kami katakan. Ini menjadi lebih jelas lagi dengan
adanya ungkapan Abdullah bin Masud ra.:
“Aku sungguh telah
mengetahui tidak ada yang tertinggal dari shalat kecuali seorang munafik yang
telah diketahui kemunafikannya, atau seorang yang sakit. Jika dia seorang yang
sakit niscaya dia akan berjalan di atas dua kakinya (berjalan kaki) hingga mendatangi
(mengikuti) shalat...” (Riwayat Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah dan
Ahmad dalam hadits yang panjang)
Dan hadits yang
diriwayatkan Abu Umair bin Anas, ia berkata:
“Pamanku dari kalangan
Anshar bercerita kepadaku: mereka berkata: telah bersabda Rasulullah Saw.:
“Orang munafik tidak mengikuti keduanya. Yakni shalat isya dan fajar.” (HR.
Ibnu Abi Syaibah)
Dengan ucapannya ini,
Rasulullah Saw. ingin mengancam orang-orang munafik yang tidak mengikuti shalat
berjamaah bersama Nabi Saw.
Hadits yang kedua
memiliki pengertian hampir sama dengan hadits yang ketiga. Objek pembahasannya
sama, sehingga apa yang selaras dengan salah satunya akan sesuai pula dengan
yang lainnya.
Hadits ini menerangkan
bahwa Rasulullah Saw. pada awalnya memberi keringanan kepada seorang buta untuk
tidak mengikuti shalat berjamaah, kemudian beliau menarik kembali dan
membatalkan keringanan tersebut. Seandainya shalat berjamaah hukumnya wajib,
tentu Rasulullah Saw. tidak akan memberi keringanan kepada orang buta tadi
dengan membolehkannya melaksanakan shalat munfarid
dan meninggalkan shalat berjamaah.
Mengenai alasan
mengapa beliau menarik kembali setelah memberikan keringanan kepada orang buta
tadi, maka ini bisa dipahami bahwa beliau ingin menegaskan kepada sahabatnya
yang buta itu tentang keutamaan mengikuti shalat berjamaah dan menekankan
kepadanya untuk mengikuti shalat berjamaah. Sebab, sahabat Rasulullah Saw.
adalah orang-orang yang terbiasa berlomba-lomba untuk meraih pahala dan
melakukan berbagai amalan sunat.
Seandainya keringanan
diberikan kepada orang buta tadi dengan meninggalkan shalat berjamaah bisa saja
dipahami bahwa shalat berjamaah itu (kedudukannya) seperti shalat munfarid dan tidak ada keistimewaan padanya,
karena itulah maka Rasulullah Saw. memerintahkan sahabat ini untuk tetap
mengikuti shalat berjamaah.
Hadits keempat bisa
diinterpretasikan bahwa maksud hadits tersebut adalah ketidaksempurnaan shalat,
bukannya meniadakan shalat sama sekali.
Telah diketahui dalam
ilmu ushul fiqih bahwa mengamalkan dua dalil itu lebih baik daripada
mengabaikan salah satunya. Pendapat (al-qaul)
yang menyatakan tidak adanya pertentangan di antara dalil-dalil tersebut adalah
lebih utama daripada pendapat yang menyatakan adanya pertentangan.
Ini tidak lain karena
kami memiliki sejumlah hadits yang menunjukkan pada pendapat yang kami pegang
tentang tidak wajibnya shalat berjamaah. Jika kita memahami ketiga hadits ini
sebagai indikasi tentang wajibnya shalat berjamaah, maka kita terpaksa harus
menyatakan adanya pertentangan di antara dalil-dalil yang ada dan terpaksa pula
mengabaikan sebagian dalil-dalil tersebut. Sikap seperti ini tidak dibenarkan
kecuali jika tidak ada kemungkinan untuk mengumpulkan dan mengkompromikan
dalil-dalil tersebut.
Kemungkinan
(mengumpulkan dan mengkompromikan) dalil-dalil yang ada di sini masih ada dan
bisa terpenuhi dengan pendapat yang kami sebutkan di atas, di mana
hadits-hadits ini adalah sebagai berikut:
1. Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah Saw.
bersabda:
“Shalat berjamaah itu
lebih utama daripada shalat salah seorang dari kalian secara menyendiri (dengan
keutamaan) dua puluh lima bagian.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
2. Dari Ubay bin Ka'ab ra., ia berkata:
“Suatu hari Rasulullah
Saw. shalat subuh bersama kami, lalu beliau Saw. bertanya: “Apakah si fulan
hadir?” Para sahabat berkata: “Tidak.” Beliau bertanya lagi: “Apakah si fulan
hadir?” Para sahabat berkata: “Tidak.” Lalu beliau bersabda: “Dua shalat ini merupakan
shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik. Seandainya kalian mengetahui
(keutamaan) yang ada pada keduanya, niscaya kalian akan mendatanginya walaupun
harus merangkak di atas lutut-lutut kalian. Dan sesungguhnya barisan pertama
itu semisal barisan malaikat. Seandainya kalian mengetahui keutamaannya niscaya
kalian saling berebut untuk mendapatkannya. Dan shalat seseorang dengan
seseorang yang lain itu lebih suci daripada shalat seseorang secara menyendiri.
Shalat seseorang dengan dua orang yang lain lebih suci daripada bersama seorang
yang lain, dan jika lebih banyak (jumlahnya) maka itu lebih disukai disisi
Allah Swt.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan an-Nasai)
3. Dari Abu Musa ra. ia berkata: Nabi Saw.
bersabda:
“Orang yang paling
besar pahalanya dalam shalat adalah orang yang paling jauh, yakni orang yang
berjalan paling jauh. Dan orang yang menunggu shalat hingga ia shalat bersama
imam itu lebih besar pahalanya dari orang yang shalat kemudian tidur.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
4. Dari Yazid bin al-Aswad ra., ia berkata:
“Kami berangkat haji wada bersama Rasulullah saw. Yazid berkata:
maka kami melaksanakan shalat subuh atau shalat fajar bersama Rasulullah, lalu
ia berkata: kemudian beliau berbalik arah dalam keadaan duduk atau menghadapkan
wajahnya kepada orang-orang. Beliau mendapati dua orang lelaki di belakang
barisan orang-orang tidak melaksanakan shalat bersama mereka. Beliau Saw.
berkata: “Bawalah ke hadapanku kedua orang lelaki itu.” Lalu ia berkata: lalu
keduanya dibawa ke hadapan beliau Saw. dalam keadaan menggigil ketakutan.
Beliau Saw. bertanya: “Apa yang menghalangi kalian (sehingga kalian) tidak
shalat bersama orang-orang?” Keduanya menjawab: “Ya Rasulullah, sesungguhnya
kami sudah shalat dalam perjalanan.” Beliau Saw. berkata: “Jangan lakukan lagi.
Jika salah seorang dari kalian telah melaksanakan shalat dalam perjalanan
kemudian mendapati shalat bersama imam, maka hendaklah ia shalat (kembali)
bersamanya, karena shalat (yang kedua) itu baginya menjadi nafilah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai,
Tirmidzi dan ad-Darimi)
Hadits yang pertama
menjadikan shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat munfarid (sendirian) sebanyak dua puluh lima derajat. Seandainya
shalat munfarid itu tidak diterima dan
tidak boleh, tentu tidak akan ada ungkapan seperti ini. Itu menjadi indikasi
yang jelas atas keabsahan shalat munfarid.
Hadits yang kedua
menyatakan: “sesungguhnya shalat seseorang dengan seseorang yang lain itu lebih
suci daripada shalat seseorang secara menyendiri ” tentu tidak akan diungkapkan
pernyataan seperti ini seandainya shalat munfarid
itu tidak boleh (atau haram) hukumnya, dan ini pun menjadi indikasi yang jelas
atas keabsahan shalat munfarid.
Hadits ketiga yang
menyatakan “dan orang yang menunggu shalat hingga ia bershalat bersama imam itu
lebih besar pahalanya dari orang yang shalat kemudian tidur” maka hadits ini
menunjukkan bahwa shalat berjamaah itu lebih besar pahalanya daripada shalat munfarid. Dan ini menunjukkan bahwa keduanya
(shalat jamaah ataupun munfarid) akan
mendapatkan pahala, seandainya tidak, maka untuk apa ada pernyataan melebihkan
yang satu atas yang lain (mufadhalah).
Hadits yang keempat,
di mana terdapat sabda beliau Saw.: “Jika salah seorang dari kalian telah
melaksanakan shalat dalam perjalanan kemudian mendapati shalat bersama imam,
maka hendaklah ia shalat (kembali) bersamanya, karena shalat (yang kedua) itu
baginya menjadi nafilah”, di mana dua
ungkapan beliau: “jika salah seorang dari kalian telah melaksanakan shalat
dalam perjalanan" dan “maka hendaklah ia shalat (kembali) bersamanya,
karena shalat (yang kedua) itu baginya menjadi nafilah”
keduanya menunjukkan bahwa shalat munfarid
itu diterima, sehingga jika kemudian dia shalat kembali di masjid secara
berjamaah bersama imam, maka shalat jamaah itu menjadi nafilah baginya. Ini menjadi indikasi paling jelas atas
keabsahan shalat munfarid. Jika shalat
jamaah itu wajib baginya dan shalat munfarid
tidak diterima, maka shalat yang dilakukannya di masjid akan dianggap sebagai
shalat fardhu, dan bukan shalat yang dilakukannya dalam perjalanan. Dan ini
sangat jelas sekali.
Berdasarkan paparan di
atas, saya perlu tekankan: bahwa pendapat tentang tidak adanya pertentangan di
antara dalil-dalil yang ada itu lebih utama daripada pendapat yang menyatakan
adanya pertentangan. Dengan demikian, empat hadits yang pertama dipahami sebagai
dorongan saja, bukan menunjukkan pada kewajiban atau kefardhuan (shalat
jamaah).
Mengenai keutamaan
shalat jamaah, telah banyak hadits yang menjadikannya lebih utama daripada
shalat munfarid sebesar dua puluh lima
derajat. Karena adanya perbedaan dalam beberapa riwayat, kami sebutkan
sebagiannya:
1. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata:
“Aku mendengar
Rasulullah Saw. bersabda: “Shalat berjamaah lebih utama dari shalat salah
seorang dari kalian secara menyendiri (munfarid)
dengan dua puluh lima bagian, dan malaikat malam dan malaikat siang berkumpul
pada shalat fajr’. Kemudian Abu Hurairah
berkata: ”Maka bacalah jika kalian menghendaki: Sesungguhnya shalat subuh itu
disaksikan (oleh malaikat).” (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, an-Nasai dan
Ahmad)
2. Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi Saw., beliau
bersabda:
“Shalat berjamaah
memiliki kelebihan atas shalat seseorang di rumahnya dan shalat seseorang di
pasarnya dengan dua puluh lima derajat…” (HR. Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah)
3. Dari Aisyah ra. dari Nabi Saw., beliau
bersabda:
“Shalat berjamaah
melebihi shalat al-fadz (shalat
menyendiri) dengan (kelebihan) dua puluh lima derajat.” (HR. Ahmad dan
an-Nasai)
Sabda beliau: shalat al-fadz maksudnya adalah shalat munfarid.
4. Dari Abdullah bin Mas’ud ra., ia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Tidaklah seseorang
itu berwudhu lalu ia membaguskan wudhunya, kemudian mendatangi salah satu
masjid, lalu ia berjalan melangkahkan kaki, kecuali dengannya Allah akan
mengangkatnya satu derajat atau dihapuskan darinya kesalahan, dan dituliskan
baginya kebaikan, sehingga jika kami berjalan maka sungguh kami mendekatkan
(memendekkan jarak) di antara langkah-langkah. Sesungguhnya shalat seorang
lelaki dalam satu jama’ah atas shalatnya secara sendirian memiliki keutamaan
dua puluh lima derajat.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, an-Nasai dan Ibnu
Majah)
5. Dari Abdullah bin Mas’ud ra. ia berkata:
sesungguhnya Nabi Saw. bersabda:
“Shalat berjamaah
lebih utama dari shalat seseorang secara menyendiri dengan dua puluh lima kali
lipat, seluruhnya semisal dengan shalatnya.” (HR. Ahmad, al-Bazzar dan
at-Thabrani)
Hanya Ibnu Umar ra.
seorang diri yang meriwayatkan dua puluh tujuh. Dari beliau ra., bahwa
Rasulullah Saw. bersabda:
“Shalat berjamaah itu
lebih utama dari shalat al-fadz dengan
dua puluh tujuh derajat.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Malik dan an-Nasai)
Tidak ada riwayat dari
sahabat selainnya kecuali yang hanya terkait dengan Abu Hurairah. Itu terdapat
dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ahmad, di dalamnya disebutkan dua puluh
tujuh, dan dalam sanadnya ada Syarik al-Qadli (yang hafalannya terdapat kelemahan).
Selain itu, riwayat ini menyalahi seluruh riwayat shahih yang dinukil dari Abu
Hurairah yang menyatakan dua puluh lima.
Riwayat-riwayat yang
menyatakan dua puluh lima itu lebih banyak jumlahnya, sehingga lebih utama
untuk dijadikan pegangan. Tirmidzi berkata: “Mayoritas yang meriwayatkan dari
Nabi Saw. mengatakan dua puluh lima, kecuali Ibnu Umar yang berkata dua puluh
tujuh.”
Termasuk keutamaan
shalat berjamaah adalah pahalanya melebihi pahala bersedekah dengan dua ekor
domba. Dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi Saw. bersabda:
“Seandainya salah
seorang dari kalian mengetahui bahwa jika ia mengikuti shalat bersamaku
(berjamaah) ada pahala yang lebih besar dari (sedekah) dengan seekor kambing
yang gemuk atau dua ekor kambing, niscaya dia akan melakukannya, padahal pahala
yang akan dia peroleh itu lebih besar lagi.” (HR. Ahmad)
Shalat berjamaah
memiliki keutamaan yang besar dan pahala yang banyak, khususnya dua shalat,
fajar dan isya, sehingga barangsiapa yang melaksanakan shalat isya secara
berjamaah maka dia seperti melaksanakan shalat setengah malam. Dan barangsiapa
yang melaksanakan shalat isya dan fajar secara berjamaah, maka dia seperti
melaksanakan shalat sepanjang malam. Dari Utsman bin Affan ra. ia berkata:
“Aku mendengar
Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang shalat isya dalam sebuah jamaah,
maka seolah-olah dia melaksanakan shalat sepanjang setengah malam. Dan
barangsiapa shalat subuh dalam satu jamaah maka seolah-olah ia shalat sepanjang
satu malam.” (HR. Muslim, Bukhari, Tirmidzi, ad-Darimi dan Ahmad)
Shalat jamaah di tanah
lapang atau ruang terbuka lebih besar lagi pahalanya, keutamaannya mencapai
lima puluh derajat, yakni berlipat. Dari Abu Said al-Khudri ra. ia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Shalat seseorang
dalam satu jamaah lebih utama dari shalatnya secara menyendiri dengan dua puluh
lima derajat. Jika dia melaksanakan shalatnya di tanah lapang di mana ia
menyempurnakan wudhunya, ruku'nya, sujudnya, maka (keutamaan) shalatnya
mencapai lima puluh derajat.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Hibban)
Hadits ini
diriwayatkan pula oleh al-Hakim dan Abu Dawud dengan redaksi:
“Shalat dalam sebuah
jamaah sebanding dengan dua puluh lima shalat. Jika dia melaksanakan shalatnya
di tanah lapang (lapangan terbuka) lalu dia menyempurnakan ruku’ dan sujudnya
maka nilainya mencapai lima puluh shalat.”
Shalat di masjid yang
(jaraknya) jauh memiliki pahala yang lebih besar. Ini karena pahala akan
bertambah seiring dengan bertambahnya langkah, dan setiap langkah kaki kanannya
akan mengangkat derajatnya, dan setiap langkah kaki kirinya akan menghapus kesalahannya.
Sebelumnya telah disampaikan hadits Abdullah bin Mas’ud ra. yang diriwayatkan
Ahmad, Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, dan Ibnu Majah, di dalamnya ada ungkapan:
“...Kemudian
mendatangi salah satu masjid, lalu ia berjalan melangkahkan kaki, kecuali
dengannya Allah akan mengangkat derajat atau dihapuskan darinya kesalahan, dan
dituliskan baginya kebaikan, sehingga jika kami (berjalan) sungguh mendekatkan
(memendekkan jarak) di antara langkah-langkah itu…”
Dari Said bin
al-Musayyab ia berkata: Seorang lelaki Anshar menjelang kematiannya berkata:
“Sesungguhnya aku
ingin menyampaikan sebuah hadits yang tidak aku sampaikan kepada kalian kecuali
hanya untuk mengharap ridha Allah Swt. Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika salah seorang dari kalian berwudhu lalu ia membaguskan wudhunya, kemudian
ia berangkat untuk shalat, maka tidaklah terangkat kaki kanannya kecuali Allah azza wa jalla menuliskan satu kebaikan
untuknya, dan tidaklah terjejak kaki kirinya kecuali Allah Swt. akan
menghapuskan satu kesalahan darinya. Karena itu hendaklah salah seorang dari
kalian memendekkan langkahnya atau menjauhkan jaraknya. Dan jika mendatangi
masjid lalu ia shalat dalam satu jama’ah maka Allah akan mengampuninya, dan
jika ia mendatangi masjid dan mereka telah menunaikan sebagian dan yang tersisa
hanya sebagian lalu ia (mengikuti) shalat yang ia dapati, dan menyempurnakan
apa yang tersisa, maka seperti itu pula (yakni Allah akan mengampuninya). Dan
jika ia mendatangi masjid sedangkan mereka telah shalat lalu ia menyempurnakan
shalatnya, maka begitu pula halnya (yakni Allah akan mengampuninya juga). (HR.
Abu Dawud)
Dari Abu Hurairah ra.
dari Nabi Saw., beliau berkata:
“Orang yang paling
jauh maka yang paling jauh dari masjid itulah yang paling besar pahalanya.”
(HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah, dan al-Hakim)
Sebelumnya telah saya
sebutkan hadits Abu Musa al-Asy'ari yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim,
di dalamnya ada kalimat:
“Orang yang paling
besar pahalanya dalam shalat adalah orang yang paling jauh, yakni orang yang
berjalan paling jauh...”
Langkah-langkah yang
bisa menambah kebaikan dan dapat menghapuskan keburukan dihitung, baik ketika
berangkat ke ataupun pulang dari masjid,
bukan hanya ketika berangkat saja. Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash ra., ia
berkata:
“Rasulullah Saw.
bersabda: “Barangsiapa yang berjalan ke sebuah masjid (untuk melaksanakan
shalat) berjamaah, maka satu langkah menghapuskan keburukan dan satu langkah
yang lain menuliskan kebaikan, ketika dia berangkat dan ketika dia pulang.”
(HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan at-Thabrani)
Shalat berjamaah
bersama satu orang, itu lebih baik daripada shalat secara menyendiri (munfarid). Shalat seseorang secara berjamaah
dengan dua orang, itu lebih baik daripada shalat berjamaah dengan satu orang.
Dan ketika jumlah orang yang shalat berjamaah itu lebih banyak, maka hal itu
lebih utama bagi mereka. Sebelumnya telah saya sebutkan hadits Ubay bin Ka’ab
ra. yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad dan al-Nasai, di dalamnya
disebutkan:
“Dan shalat seseorang
dengan seseorang yang lain, itu lebih suci daripada shalat seseorang secara
menyendiri. Dan shalat seseorang dengan dua orang yang lain, itu lebih suci
daripada bersama seorang yang lain. Dan jika lebih banyak (jumlahnya), maka hal
itu lebih disukai di sisi Allah Swt.”
Sumber: Tuntunan
Sholat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar