C. Tahiyatul Masjid
Bagi seorang Muslim
disunahkan jika pergi ke masjid untuk shalat dua rakaat ketika masuk ke dalam
masjid, sebelum dia duduk. Dia tidak perlu menambah (rakaat)nya kecuali jika
dia ingin shalat selain tahiyatul masjid.
Jadi, shalat tahiyatul masjid itu hanya
dua rakaat saja. Abu Qatadah ra. telah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw.
bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian memasuki masjid maka shalatlah dua rakaat sebelum dia duduk.” (HR.
Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Dalam riwayat Bukhari
dari jalur Abu Qatadah juga disebutkan dengan redaksi:
“Jika salah seorang
dari kalian memasuki masjid maka janganlah dia duduk hingga shalat dua rakaat.”
Ibnu Hibban
meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:
“Jika salah seorang
dari kalian memasuki masjid maka janganlah dia duduk sehingga dia ruku’
(shalat) dua rakaat.”
Dari Jabir bin
Abdullah ra., ia berkata:
“Aku masuk ke masjid,
maka beliau Saw. berkata kepadaku: “Sholatlah dua rakaat.” (HR. Muslim dan Ibnu
Hibban)
Bukhari meriwayatkan
hadits yang sama dengan susunan kalimat berbeda.
Tahiyatul masjid disunahkan bagi seorang
muslim tatkala memasuki masjid, kapan saja, tidak ada perbedaan antara waktu karahah atau selainnya, tidak juga antara
siang dan malam. Ketika seorang Muslim memasuki masjid, hendaklah dia shalat
dua rakaat. Bahkan hingga di hari Jum’at sekalipun ketika khutbah
Jum'at sedang disampaikan, hukum sunah ini tetap dan terus berlaku. Jabir bin
Abdullah ra. meriwayatkan:
“Bahwa Nabi Saw.
berkhutbah, lalu berkata: “Apabila salah seorang dari kalian pada hari Jum'at
datang (ke masjid), dan imam telah keluar (hadir di mimbar), maka hendaklah dia
shalat dua rakaat.” (HR. Muslim)
Bukhari meriwayatkan
hadits ini dengan redaksi:
“Jika salah seorang
dari kalian datang (ke masjid) dan imam sedang berkhutbah atau telah keluar
(hadir di mimbar) maka hendaklah dia shalat dua rakaat.”
Dalam kondisi ini
-yakni ketika harus shalat di tengah khutbah Jum’at- maka disyariatkan
kepadanya untuk meringankan dua rakaat tersebut dan menyederhanakannya, tidak
memanjangkannya. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Jabir bahwa ia
berkata:
“Seorang laki-laki
masuk ke dalam masjid, sementara Nabi Saw. sedang berkhutbah pada hari Jum'at.
Lalu beliau Saw. berkata kepadanya: “Shalatlah dua rakaat dengan ringan sebelum
engkau duduk.” (HR. Ibnu Hibban)
Benar, yang disunahkan
itu adalah shalat dua rakaat sebelum duduk, tetapi ini tidak berarti bahwa
orang yang masuk ke dalam masjid lalu dia duduk karena sesuatu sebab atau yang
lainnya, lantas dia tidak boleh melaksanakan dua rakaat ini setelahnya. Dua rakaat
ini pada asalnya dilaksanakan sebelum duduk, tetapi pelaksanaannya masih tetap
disyariatkan juga setelah duduk. Telah diriwayatkan dari Jabir ra. bahwa dia
berkata:
“Sulaik al-Ghathafani
telah datang pada hari Jum'at, dan Rasulullah Saw. sedang duduk di atas mimbar.
Lalu Sulaik duduk sebelum dia shalat, maka Nabi Saw. berkata kepadanya: “Apakah
engkau telah shalat dua rakaat?” Dia menjawab: “Belum.” Beliau Saw. berkata:
“Berdirilah dan shalatlah.” (HR. Muslim dan at-Thahawi)
Dalam riwayat Muslim
dan Abu Dawud disebutkan dengan redaksi:
“Dari Jabir bin
Abdullah ia berkata: Sulaik al-Ghathafani telah datang pada hari Jum’at dan
Rasulullah Saw. sedang berkhutbah, lalu dia duduk, maka beliau Saw. bertanya
kepadanya: “Wahai Sulaik, berdirilah dan shalatlah dua rakaat, sederhanakanlah
keduanya.” Kemudian beliau Saw. bersabda: “Jika salah seorang dari kalian
datang pada hari Jum'at dan imam sedang berkhutbah, maka hendaklah dia ruku'
(shalat) dua rakaat dan menyederhanakannya.”
Dari Jabir ra. ia
berkata:
“Seorang laki-laki
masuk ke dalam masjid dan Rasulullah Saw. sedang berkhutbah pada hari Jum'at,
lalu beliau bertanya: “Apakah engkau telah shalat?” Dia menjawab: “Belum.”
Beliau Saw. berkata: “Berdirilah dan shalatlah dua rakaat.” (HR. Muslim,
Bukhari dan Abu Dawud)
Ucapan beliau:
berdirilah dan shalatlah dua rakaat, menunjukkan bahwa laki-laki tersebut telah
duduk, sebelum akhirnya dia melaksanakan shalat tahiyatul
masjid, lalu Rasulullah Saw. memerintahkannya untuk shalat, yakni
setelah dia duduk.
Sebelumnya kami telah
mengatakan bahwa shalat tahiyatul masjid
itu hukumnya sunat bukan fardhu, berbeda dengan dugaan sebagian orang karena
mereka melihat banyaknya nash-nash yang mendorong dan menekankan pelaksanaan
shalat tersebut. At-Thahawi dan Abu Dawud telah mengeluarkan satu hadits dari
jalur Abdullah bin Busr ra., ia berkata:
“Seorang laki-laki
melangkahi pundak orang-orang pada hari Jum’at, lalu Rasulullah Saw. berkata
kepadanya: ”Duduklah, sesungguhnya engkau telah mengganggu (orang lain) dan
datang terlambat.”
Abu Dawud menyatakan
pembatasan kedatangan laki-laki tersebut, bahwa dia tiba di masjid pada
pertengahan khutbah Nabi Saw., dengan mengatakan:
“Lalu datanglah
seorang laki-laki melangkahi pundak orang-orang pada hari Jum'at, padahal Nabi
Saw. sedang berkhutbah, maka Nabi Saw. berkata kepadanya: "Duduklah,
sesungguhnya engkau telah mengganggu (orang lain).”
Tanpa ucapan “telah
datang terlambat.”
Seandainya shalat tahiyatul masjid itu hukumnya wajib, maka Nabi
Saw. akan memerintahkannya untuk shalat dan tidak memerintahkannya duduk.
Kami telah katakan
pula sebelumnya, bahwa shalat tahiyatul masjid
itu disunahkan setiap kali seorang Muslim memasuki masjid, tidak ada perbedaan
antara waktu karahah atau waktu lainnya,
antara malam dan siang. Maka di sini kami mengatakan adanya pengecualian, satu
kondisi yang juga diterangkan oleh nash-nash hadits, yakni ketika dia masuk ke
dalam masjid, dan mendapati shalat fardhu sedang dilaksanakan, maka ketika itu
shalat tahiyatul masjid tidak
disyariatkan kepadanya. Dia harus segera mengikuti shalat fardhu tersebut. Ini
berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa ia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika iqamat shalat
telah dikumandangkan, maka tidak ada shalat selain shalat maktubah (wajib).” (HR. Ibnu Hibban, Muslim
dan Ibnu Khuzaimah)
Hadits ini
diriwayatkan juga oleh para penyusun as-Sunan.
Terkait dengan shalat
dua hari raya, dan adanya fakta tidak ada nafilah
sebelumnya, yang khusus berlaku jika shalat dua hari raya tersebut dilaksanakan
di mushalla (yakni di luar rumah dan
kota-kota), karena mushalla (tempat
lapang untuk shalat hari raya) bukanlah masjid, maka tidak ada shalat tahiyat di sana. Namun, jika shalat dua hari
raya ini dilaksanakan di masjid, hendaknya seorang Muslim shalat tahiyatul masjid, karena hukumnya bersifat
umum, sehingga mencakup shalat dua hari raya ataupun yang lainnya.
Bacaan: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar