L. Sujud Tilawah
Di dalam al-Qur'an
terdapat beberapa tempat yang jika dibaca oleh sang pembaca al-Qur’an, maka dia
dianjurkan untuk bersujud kepada Allah Swt. sebanyak satu kali. Ini yang
disebut sujud tilawah. Syariat telah menganjurkan ketika kita membaca ayat-ayat
ini untuk bersujud tilawah. Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasulullah Saw.
bersabda:
“Jika anak Adam
membaca as-sajdah lalu dia bersujud maka
setan akan pergi darinya sambil menangis, ia berkata: celakalah aku, dia
diperintahkan untuk bersujud lalu dia bersujud maka baginyalah Surga, dan aku
diperintah untuk bersujud tetapi aku malah membangkang sehingga aku mendapatkan
Neraka.” (HR. Ahmad, Muslim, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi)
Ucapannya: as-sajdah artinya ayat yang di dalamnya
disunahkan untuk bersujud.
Hukum sujud ini adalah
sunah, bukan wajib, karena Nabi Saw. melakukannya beberapa kali, dan
meninggalkan sujud ini pada kali yang lain sehingga menjadikan perintah (al-amr) untuk bersujud di sini dipahami
sebagai an-nadb (sunat) bukan wajib.
Dari Abu Hurairah ra.:
“Bahwa Nabi Saw.
membaca surat an-najm, lalu beliau bersujud dan orang-orang pun bersujud
bersamanya kecuali dua orang yang menginginkan ketenaran.” (HR. Ahmad,
at-Thabrani dan Ibnu Abi Syaibah)
Dari Abdullah bin
Mas'ud ra. ia berkata:
“Nabi Saw. membaca
surat an-najm di Makkah, lalu beliau Saw. sujud karenanya, dan orang yang
bersamanya ikut sujud, kecuali seorang tua yang malah mengambil segenggam
kerikil atau pasir, lalu dia menaburkannya ke atas dahinya sambil berkata:
cukuplah ini untukku. Lalu aku melihat orang itu kembali telah terbunuh dalam
keadaan kafir.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, an-Nasai dan Abu Dawud)
Dikatakan bahwa orang
tua yang disebut dalam hadits tersebut adalah Umayyah bin Khalaf.
Dari Atha bin Yasar:
“Bahwa dia telah
bertanya kepada Zaid bin Tsabit ra., dan dia menduga bahwa dia telah membacakan
surat an-najm di hadapan Nabi Saw., dan beliau Saw. tidak bersujud di
dalamnya.” (HR. Bukhari, Muslim, an-Nasai dan Abu Dawud)
Begitu pula para
sahabat -semoga Allah meridhai mereka semua-, mereka melakukan hal serupa.
Mereka kadang-kadang bersujud, dan kadang-kadang tidak bersujud. Dari Rabi’ah
bin Abdullah:
“Bahwa Umar bin
Khaththab ra. pada hari Jum'at berada di atas mimbar dan telah membaca surat
an-nahl, hingga tiba di ayat sajdah,
beliau turun dan bersujud, dan orang-orang pun ikut bersujud. Hingga jika tiba
Jum'at berikutnya, beliau membaca kembali surat an-nahl, sampai tiba di ayat sajdah, beliau berkata: “Wahai manusia,
sesungguhnya kita melewati ayat sajdah,
barangsiapa yang bersujud maka dia telah benar, dan barangsiapa yang tidak
bersujud maka tidak ada dosa atasnya.” Dan Umar ra. tidak bersujud.”
Dalam riwayat lain
dari Ibnu Umar, ucapannya:
“Sesungguhnya Allah
tidak mewajibkan sujud kecuali jika kita menghendakinya.” (HR. Bukhari dan
al-Baihaqi)
Adapun tempat-tempat
yang disunahkan untuk bersujud, maka ada tempat-tempat yang disepakati, ada
tempat-tempat yang diperdebatkan.
Tempat-tempat yang
disepakati adalah surat-surat berikut: al-A’raf, ar-Ra'du, an-Nahl, al-Isra,
Maryam, al-Hajj, al-Furqan, an-Naml, Alif Lam Mim Tanzil, Ha Mim as-Sajdah, dan
jumlahnya ada sepuluh.
Sedangkan
tempat-tempat yang diperdebatkan adalah dalam surat-surat berikut: sujud kedua
dalam surat al-Hajj telah ditetapkan oleh Ahmad dan as-Syafi’i, surat Shad
telah ditetapkan oleh Abu Hanifah, Ahmad dan Malik, tiga surat al-Mufashhal: an-Najm, al-Insyiqaq dan
al-‘Alaq, ketiganya ditetapkan oleh Abu Hanifah, Syafi'i dan Ahmad, dan yang
kami maksud dengan al-Mufashshal adalah
surat-surat yang dimulai dengan surat al-Hujurat dan diakhiri dengan surat
an-Nas, dan jumlah ayat sajdah ini ada
lima.
Jumlah keseluruhan
ayat sajdah (dari yang disepakati dan
masih diperdebatkan) ada
lima belas ayat sajdah yang tidak ditetapkan seluruhnya kecuali oleh Imam Ahmad.
Pendapat yang saya
pegang adalah bahwa dalam kelima belas ayat sajdah
ini kita disunahkan dan dianjurkan untuk bersujud, dengan pengecualian ayat
surat Shad, karena saya melihat bahwa sujud dalam ayat tersebut berhukum boleh
dan bersifat pilihan, sehingga siapa yang menghendaki maka dia boleh bersujud,
dan yang tidak maka dia boleh meninggalkannya. Ibnu Abbas ra. berkata:
“Shad bukan termasuk
ayat yang ditetapkan untuk bersujud ketika membacanya, tetapi aku melihat Nabi
Saw. bersujud ketika membacanya.” (HR. Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, ad-Darimi dan
at-Tirmidzi)
Dan ucapan Ibnu Abbas:
“Shad bukanlah termasuk ayat yang ditetapkan untuk bersujud” menjadi dilalah yang jelas. Dari Abu Said al-Khudri ia
berkata:
“Rasulullah Saw.
membaca surat shad, dan beliau Saw. berada di atas mimbar. Ketika beliau sampai
pada ayat sajdah, beliau Saw. bersujud
dan orang-orang pun ikut bersujud bersamanya. Ketika hari yang lain tiba,
beliau membacanya lagi. Tatkala sampai pada ayat sajdah,
orang-orang bersiap untuk sujud, lalu Nabi Saw. bersabda: “Sesungguhnya ayat
ini adalah taubat Nabi, tetapi aku melihat kalian telah bersiap untuk sujud.”
Maka beliau turun dan bersujud, lalu merekapun bersujud.” (HR. Abu Dawud,
ad-Darimi, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan ad-Daruquthni)
Nabi Saw. telah
menyebutkan bahwa ayat tersebut sebagai taubat Nabi, yakni Nabi Dawud as.
Seandainya beliau tidak melihat orang-orang bersiap untuk sujud maka mungkin
beliau Saw. tidak akan bersujud. Dalam riwayat an-Nasai dari jalur Ibnu Abbas
terdapat ungkapan:
“Bahwa Nabi Saw.
bersujud ketika membaca surat shad, lalu beliau berkata: Nabi Dawud telah
bersujud sebagai sujud taubat, dan kita bersujud karena sebagai sujud syukur.”
Barangsiapa yang
menghendaki, dia bisa bersujud dalam surat shad, dan siapa yang tidak maka
tinggal meninggalkannya.
Ayat sajdah kedua dari surat al-hajj, ini telah
terbukti keberadaanya sehingga tidak boleh digugurkan. Banyak atsar dari para
shahabat Rasulullah yang menyebutkannya. Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan
dari jalur Ibnu Umar ra. dari Umar ra.:
“Bahwa dia bersujud
pada surat al-hajj dua kali, kemudian berkata: “Sesungguhnya surat ini telah
diutamakan di atas surat-surat lainnya dengan dua kali sujud.”
Malik meriwayatkan
atsar serupa. Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., ia
berkata:
“Dalam surat al-hajj
ada dua sujud.”
Abdurrazaq
meriwayatkan dari jalur Abdullah bin Dinar ia berkata:
“Aku melihat Ibnu Umar
bersujud dalam surat al-hajj sebanyak dua kali.”
Atsar-atsar lainnya
juga telah diriwayatkan dari sejumlah sahabat Rasulullah Saw., bahwa mereka
bersujud dalam surat al-hajj sebanyak dua kali.
Nash-nash ini,
walaupun berbentuk atsar, tetapi semuanya menunjukkan pada objeknya, karena hal
seperti ini tidak dilakukan oleh para sahabat Rasulullah Saw. berdasarkan
keinginan mereka sendiri.
Mengenai sujud-sujud al-mufashhal yang tiga -yakni an-najm,
al-insyiqaq dan al-‘alaq- maka sebagian orang telah berdalil bahwa tidak ada
sujud di dalamnya dengan beberapa hadits, di antaranya adalah hadits dari Ibnu
Abbas ra.:
“Bahwa Nabi Saw. tidak
bersujud dalam salah satu pun dari surat al-mufashshal
setelah beliau Saw. pindah ke Madinah.” (HR. Abu Dawud)
Juga hadits yang
diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit ra. ia berkata:
“Aku membacakan surat
an-najm di hadapan Nabi Saw., dan beliau Saw. tidak bersujud.” (HR. Ahmad,
Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Maka kami katakan
kepada mereka, bahwa hadits yang pertama, di dalam sanadnya ada Abu Qudamah, dan namanya adalah al-Harits bin
‘Ubaid, ia telah dikomentari oleh Ahmad: haditsnya mudhtarib, dikomentari oleh Abu Hatim: tidak bisa dijadikan hujjah, dan hadits ini telah didhaifkan oleh
Yahya bin Ma’in dan an-Nawawi, sehingga hadits ini tidak layak dijadikan
sebagai hujjah.
Mengenai hadits kedua,
maka tidak sujudnya Rasulullah Saw. ketika membaca satu tempat dari ayat sajdah, itu tidak menunjukkan bahwa ayat
tersebut bukan ayat sajdah. Jadi, tidak
sujudnya Rasulullah Saw. dipahami untuk menjelaskan tidak wajibnya sujud itu
saja.
Jika kita mengetahui
bahwa ada sejumlah hadits yang menyebutkan sujudnya Rasulullah Saw. di tempat
ini, niscaya kita memahami bahwa sebenarnya tidak sujudnya Rasulullah Saw. ini
semata-mata menunjukkan tidak wajibnya sujud tersebut.
Sebelumnya telah saya
sebutkan hadits Abdullah bin Mas’ud ra. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
selainnya, di dalamnya disebutkan:
“Nabi Saw. membaca
an-najm di Makkah, lalu beliau sujud di dalamnya dan orang-orang yang
bersamanya pun ikut bersujud...”
Sebelumnya ada juga
hadits Abu Hurairah ra. dan di dalamnya disebutkan:
“Bahwa Nabi Saw.
membaca surat an-najm kemudian beliau bersujud, dan orang-orang yang bersamanya
pun ikut bersujud...” (HR. Ahmad dan selainnya)
Dengan demikian, tidak
sujudnya Rasulullah Saw. ketika membaca surat an-najm bisa dipahami bahwa
beliau ingin menjelaskan tentang tidak wajibnya sujudnya tersebut, dan tidak
menunjukkan bahwa surat tersebut bukan tempat untuk bersujud.
Terkait dengan sujud
dalam surat al-insyiqaq dan surat al-‘alaq, maka terdapat beberapa hadits yang
menetapkannya. Di antaranya: dari Abu Hurairah ra. ia berkata:
“Kami bersujud bersama
Nabi Saw. dalam surat -idzas samaa-un syaqqat,
dan surat iqra bismi rabbikaa.” (HR.
Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan an-Nasai)
Dari Abu Rafi’ ia
berkata:
“Aku shalat al-‘atamah (isya) bersama Abu Hurairah, lalu
dia membaca idzas samaa’un syaqqat,
kemudian dia bersujud. Aku bertanya: “Sujud apa ini?” Maka dia berkata: “Aku
bersujud membaca surat itu di belakang Abul Qasim Saw., sehingga aku
terus-menerus bersujud hingga kelak aku menjumpainya.” (HR. Bukhari, Muslim,
Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai)
Sebelumnya telah
disebutkan dalam pembahasan “membaca
al-Qur'an dalam shalat yang lima” pada bab “sifat shalat.” Yang dianjurkan adalah bersujud
di keempat belas tempat ini, dan tidak apa-apa sujud di surat shad.
Selain sujud itu
sangat dianjurkan bagi orang yang membaca al-Qur'an, sujud tersebut dianjurkan
pula bagi mereka yang mendengar dan menghadiri pembacaan al-Qur’an tersebut,
tetapi sujudnya pendengar di sini tergantung pada sujudnya sang qari. Jika sang qari tidak bersujud, maka mereka yang ada di
sekitarnya tidak perlu bersujud, sehingga sang qari menjadi imam bagi mereka yang menghadiri pembacaan
al-Qur'an. Ketika imam tidak bersujud, maka mereka yang hadir tidak perlu
bersujud. Sebelumnya telah disebutkan beberapa hadits berikut:
“Bahwa Nabi Saw.
membaca surat an-najm kemudian beliau bersujud, dan orang-orang yang bersamanya
pun ikut bersujud...”
“Nabi Saw. membaca
an-najm di Makkah, lalu beliau sujud di dalamnya dan orang yang bersamanya pun
ikut bersujud...”
“Bahwa Umar bin
Khaththab ra. pada hari Jum'at di atas mimbar telah membaca surat an-nahl,
hingga tiba di ayat sajdah beliau turun
dan bersujud, dan orang-orang pun ikut bersujud...”
“Rasulullah Saw.
membaca surat shad dan beliau Saw. berada di atas mimbar, ketika beliau sampai
pada ayat sajdah, beliau Saw. bersujud
dan orang-orang pun ikut bersujud bersamanya...”
“Kami bersujud bersama
Nabi Saw. dalam surat idzas samaa-un syaqqat,
dan surat iqra bismi rabbika.”
“Aku bersujud membaca
surat itu di belakang Abul Qasim Saw.”
Semua hadits ini
menceritakan tentang sujud di belakang sang qari
jika dia bersujud.
Tentang dalil bahwa
yang hadir tidak perlu bersujud jika sang qari
tidak bersujud, adalah hadits yang diriwayatkan Zaid bin Aslam:
“Bahwa seorang anak
membacakan ayat as-sajdah di samping
Nabi Saw., lalu anak tersebut menunggu Nabi Saw. bersujud. Ketika beliau Saw.
tidak bersujud maka ia bertanya: “Wahai Rasulullah, bukankah di dalam surat ini
ada ayat sajdah?” Beliau Saw. berkata:
“Benar, tetapi engkau sekarang menjadi imam kami di dalamnya, seandainya engkau
bersujud, niscaya kami akan ikut bersujud.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan
Abdurrazaq)
Al-Baihaqi dan
as-Syafi’i telah meriwayatkan hadits ini dari jalur Atha bin Yasar. Hadits ini
walaupun hadits mursal, tetapi layak
dijadikan sebagai dalil, karena gugurnya (tak disebutkannya) seorang sahabat
tidak menjadikan hadits ini sebagai hadits dhaif, karena semua sahabat itu
adil.
Sujud tilawah
dianjurkan di dalam shalat, sama seperti di luar shalat. Sujud ini dianjurkan,
baik dalam shalat fardhu ataupun nafilah.
Sebelumnya telah disebutkan hadits Abu Rafi’ yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
selainnya, di dalamnya disebutkan:
“Aku shalat al-‘atamah bersama Abu Hurairah, lalu dia
membaca idzas samaa'un syaqqat kemudian
dia bersujud...”
Al-‘Atamah adalah shalat isya.
Tata cara (sifat) sujud tilawah
adalah sebagai berikut: bertakbir, kemudian bersujud dan mengucapkan: “Subhaana rabbiyal a'laa (Maha Suci Tuhanku
yang Maha Luhur)” sebanyak tiga kali, lalu jika menghendaki bisa ditambahkan:
“Sajada wajhi lilladzi khalaqahu wa shawwarahu wa
syaqqa sam’ahu wa basharahu bi haullihi wa quwwatihi fa tabaarakallahu ahsanul
khaliqin” (wajahku bersujud pada Dzat yang menciptakannya dan memberikan
rupanya lalu memberikan pendengarannya dan penglihatannya dengan daya dan
kekuatan-Nya, dan Maha Suci Allah Dzat sebaik-baiknya Pencipta).
Dan jika menghendaki,
bisa pula menambahkan:
“Allahummaa-hthuth ‘annii bihaa wizraa, waktub lii
biha ajraa, waj ‘alha li ‘indaka dzuhraa, wa taqabbalhaa minnii kama
taqabbaltaha min ‘abdika dawuda” (Ya Allah, dengan sujud ini hapuskanlah
dariku dosa-dosa, dan dengannya jadikanlah untukku pahala, dan jadikan pula
untukku dari sisi-Mu simpanan, dan terimalah sujud ini dariku sebagaimana
Engkau menerima sujud itu dari hamba-Mu Dawud).
Bisa juga mengulang
doa ini sebanyak tiga kali, lalu bangkit kemudian bersalam ke sebelah kanan dan
ke sebelah kirinya., dan tidak perlu bertasyahud.
Tentang takbir, Nafi’
telah meriwayatkan:
“Bahwa Ibnu Umar jika
membaca an-najm beliau bersujud, dan jika membaca iqra
bismirabbikal ladzii khalaq dalam shalat beliau bertakbir, lalu ruku'
dan sujud, dan jika membaca dalam selain shalat, beliau bersujud pada keduanya
itu.” (Riwayat Abdurrazaq)
Dari Abdullah bin
Muslim, ia berkata:
“Adalah Ubay jika
membaca ayat sajdah dia mengucapkan Allahu Akbar (Allah Maha Besar) kemudian
bersujud.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah)
Tidak diriwayatkan
dari seorang sahabat pun bahwa dia tidak bertakbir atau memerintahkan tidak
bertakbir ketika sujud tilawah.
Mengenai tasbih yang
dibaca “subhaana rabbiyal a’laa” (Maha
Suci Allah yang Maha Luhur), maka sebelumnya telah kami cantumkan tiga hadits
yang menyebutkan tasbih ini dalam sujud, yakni:
a. Dari ‘Uqbah bin
‘Amir ra. ia berkata:
”...Ketika turun sabbihisma rabbikal a'la maka beliau Saw.
bersabda: “Jadikanlah bacaan ini dalam sujud kalian.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah
dan Ibnu Hibban)
b. Dari Abu Bakrah
ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
bertasbih dalam ruku’nya: subhaana rabbiyal
'adzimi, tiga kali, dan dalam sujudnya: subhaana
rabbiyal a'laa.” (HR. al-Bazzar)
c. Dari Hudzaifah bin
al-Yaman ra.:
”...Dan jika beliau
bersujud, beliau mengucapkan: subhaana rabbiyal
a'laa -tiga kali-.” (HR. Ibnu Majah)
Anda sekalian bisa
mendapati hadits ini secara keseluruhan dalam pembahasan “ruku’
dan bentuknya serta dzikir di dalamnya” pada bab “sifat shalat.” Karena sujud
tilawah itu juga adalah satu jenis sujud, maka termasuk sunah untuk mengucapkan
“subhaana rabbiyal a'laa” di dalamnya
sebanyak tiga kali.
Terkait dengan dzikir
kedua “sajada wajhi... (wajahku
bersujud...)” maka telah disebutkan dalam hadits dari Aisyah ra. ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. mengucapkan dalam sujud al-Qur'an (sujud tilawah): “sajada wajhi lilladzi khalaqahu wa syaqqa sam'ahu wa
basharahu bi haullihi wa quwwatihi (wajahku bersujud pada Dzat yang
menciptakannya dan yang memberikan pendengarannya dan penglihatannya dengan
daya dan kekuatan-Nya).” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai)
Tirmidzi dan al-Hakim
meriwayatkan hadits ini dengan menambahkan:
“Fa tabaarakallahu ahsanul khaliqin (Maha Suci
Allah sebaik-baiknya Pencipta)”
Al-Baihaqi dan Ibnu
Abi Syaibah menambahkan: “shawwarahu
(memberikan rupanya)” setelah ucapan “khalaqahu
(yang menciptakannya)”, dan Ibnu as-Sakan berkata di akhirnya: “tsalatsan (tiga kali).”
Tentang doa yang
ketiga, hal ini telah disebutkan dalam hadits dari Ibnu Abbas ra., ia berkata:
“Aku berada di sisi
Nabi Saw., lalu datang seorang lelaki dan berkata: “Sesungguhnya tadi malam
dalam tidurku aku bermimpi seolah-olah aku shalat ke arah akar pohon, lalu aku
membaca ayat sajdah dan aku pun
bersujud, maka bersujudlah pohon itu karena sujudku, dan aku mendengar pohon
tersebut mengucapkan: allahummah thuth ‘annii
bihaa wizraa, waktub lii biha ajraa, waj ‘alha li ‘indaka dzuhraa (ya
Allah dengan sujud ini hapuskanlah dariku dosa-dosa, dan dengannya jadikanlah
untukku pahala, dan jadikan pula untukku dari sisi-Mu simpanan). Ibnu Abbas
berkata: lalu aku melihat Nabi Saw. membaca ayat sajdah
dan bersujud, kemudian aku mendengar beliau Saw. mengucapkan (kalimat) semisal
yang dikabarkan lelaki itu tentang ucapan pohon tadi.” (HR. Ibnu Majah)
Tirmidzi dan Ibnu
Hibban meriwayatkan hadits ini dan menambahkan:
“Terimalah sujud ini
dariku sebagaimana Engkau menerima sujud itu dari hamba-Mu Dawud.”
Tentang bersalam, Ibnu
Abi Syaibah dan Abdurrazaq telah menyebutkan dari sejumlah tabi’in bahwa mereka
-jika selesai melakukan sujud tilawah- maka mereka bersalam.
Saya tidak menemukan
hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw. dan tidak juga dari salah seorang
sahabatnya tentang salam ini, tidak dalam hal penafian dan juga tidak dalam hal
penetapan. Telah kami sebutkan hadits Ali bin Abi Thalib ra., dia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Kunci shalat itu
adalah bersuci, tahrimnya adalah takbir
dan tahlilnya adalah mengucap salam.”
(HR. Ahmad dan Tirmidzi)
hadits dari Zaid bin
Aslam yang juga telah kami sebutkan:
”...Tetapi engkau
sekarang menjadi imam kami di dalamnya, seandainya engkau bersujud niscaya kami
akan ikut bersujud.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrazaq)
Jadi, jika seorang
pembaca al-Qur'an bersujud maka akan diikuti oleh para hadirin, dan mereka
menjadikannya imam, sehingga mereka akan bersujud bersamanya.
Dengan demikian, sujud
ini meniscayakan wudhu dan bersuci yang sempurna, baik dalam badan, pakaian dan
tempat, sebagaimana kesucian yang harus ada ketika akan shalat. Juga
meniscayakan pelakunya untuk menghadap kiblat, karena sujud ini adalah shalat,
kecuali jika dia berkendaraan, maka tidak masalah baginya jika tidak menghadap
kiblat, hal ini juga bisa berlaku dalam shalat-shalat tathawwu’, jika dilaksanakan di atas hewan tunggangan, di dalam
mobil, pesawat atau perahu, dan sebagainya.
Terkait dengan waktu
yang terlarang, maka sujud tilawah itu dibolehkan, karena termasuk shalat yang
memiliki sebab, di mana waktu sujud tersebut adalah ketika membaca al-Qur’an
dengan waktu kapan saja dilakukannya. Yang serupa dengan sujud tilawah adalah
shalat tahiyatul masjid dan shalat kusuf (gerhana).
Bacaan: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar