Ketika syariat
menetapkan tujuan dari menghilangkan benda najis yang ada pada sesuatu itu
adalah agar sesuatu itu menjadi bersih kembali, maka segala sesuatu yang bisa
digunakan untuk membersihkannya dipandang layak untuk menghilangkan najis
darinya dan mensucikannya, tanpa mengkhususkan air dan tanah sebagai alat
bersuci, sebagaimana halnya yang dinyatakan oleh sejumlah imam. Segala sesuatu
yang layak digunakan untuk menghilangkan najis dan membersihkan tempat
menempelnya najis itu sah digunakan untuk bersuci menurut syara. Mari kita kaji nash-nash yang mendasari
pendapat ini.
1. Dari Asma binti Abu Bakar ra., dia berkata:
“Seorang wanita datang
menemui Nabi Saw. dan bertanya: Baju salah seorang dari kami terkena darah
haid, apa yang mesti dilakukannya? Beliau Saw. menjawab: “Hendaknya dia
mengeriknya, kemudian menggosoknya dengan air, lalu memercikinya dengan air,
kemudian barulah dia shalat dengannya (menggunakan baju tersebut).” (HR.
Muslim)
Hadits ini
diriwayatkan pula oleh Bukhari dan Ahmad dengan redaksi yang mirip.
2. Dari Ummu Walad dari Ibrahim bin Abdurrahman
bin Auf, bahwasanya dia bertanya kepada Ummu Salamah, isteri Nabi Saw., dia
berkata:
“Sesungguhnya aku
adalah seorang yang memanjangkan baju (untuk menutup dua kaki) dan suka
berjalan di tempat yang kotor. Ummu Salamah berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Tanah yang ada setelahnya akan mensucikannya.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu
Majah, dan ad-Darimi) Sanad haditsnya
berpredikat jayyid.
3. Dari Ibnu Abbas, dia berkata:
“Aku mendengar
Rasulullah Saw. bersabda: “Ketika kulit sudah disamak, sungguh ia menjadi
suci.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan Malik)
4. Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah
Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian menginjak kotoran dengan sandalnya, maka tanah menjadi sesuatu yang
mensucikannya.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hibban)
5. Dari Aisyah ra., dia berkata:
“Rasulullah Saw.
bersabda: Jika salah seorang dari kalian pergi untuk buang hajat (buang air
besar), maka hendaklah dia bersuci dengan menggunakan tiga buah batu, karena
tiga buah batu itu telah cukup baginya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan
ad-Darimi)
Daruquthni
meriwayatkan juga hadits ini dan menshahihkannya.
Hadits yang pertama
memberi pengertian bahwa air itu layak digunakan untuk menghilangkan najis
“kemudian memercikkan air ke atasnya.” Hadits yang kedua dan keempat memberi
pengertian bahwa tanah secara mutlak layak digunakan untuk bersuci, “tanah yang
ada setelahnya akan mensucikannya”, “maka tanah menjadi sesuatu yang
mensucikannya.” Hadits yang ketiga memberi pengertian bahwa material yang
digunakan untuk menyamak itu layak untuk bersuci. Dalam hadits kelima terdapat
penjelasan bahwa batu layak digunakan untuk bersuci, “maka hendaklah dia
bersuci dengan menggunakan tiga buah batu.”
Dengan demikian, air,
tanah, material yang digunakan untuk menyamak dan batu, semua itu merupakan
benda-benda yang layak digunakan untuk bersuci dan menghilangkan najis
berdasarkan nash-nash syara. Karena itu,
bersuci atau mensucikan sesuatu dari najis tidaklah terbatas dengan satu atau
dua material benda saja sebagaimana yang dinyatakan sebagian fuqaha, melainkan
sah juga dengan menggunakan benda-benda tadi dan benda yang lainnya seperti
sabun dan cuka, dengan cara menggosok atau mengerik, serta benda dan perbuatan
apapun yang bisa menghilangkan najis, karena menghilangkan najis itulah yang menjadi obyek tuntutan,
sehingga segala sesuatu yang bisa merealisasikan tujuan ini boleh digunakan dan
bisa dilakukan.
Seandainya kita
mencuci sebuah baju yang terkena najis dengan menggunakan sabun cair sampai
najisnya hilang, atau mencuci baju dengan cuka sampai najisnya hilang, atau
kita mengeriknya sampai najisnya hilang, maka baju tersebut menjadi kembali
suci. Seandainya kita bakar sebuah kayu yang terkena najis sampai menjadi arang
maka arang tersebut suci, atau kita panaskan besi yang terkena najis dengan api
sampai najisnya hilang maka besi tersebut kembali suci. Seandainya kita menyeka
cermin yang ada najisnya menggunakan selembar tisue, kain lap, atau dengan
tangan sampai najisnya
hilang, maka cermin tersebut kembali suci. Seandainya kita memungut
najis yang menempel pada baju dengan tangan atau dengan tang penjepit hingga
najisnya hilang tidak bersisa, maka baju tersebut kembali suci.
Begitulah, setiap
benda padat, benda cair, atau beragam alat dan berbagai tindakan, semuanya
layak digunakan dan ditempuh untuk mensucikan sesuatu yang terkena najis,
dengan satu syarat saja, yakni najisnya bisa hilang dengannya.
Sekarang kita akan
mengkaji ulang beragam pendapat dalam persoalan ini berikut dalil-dalilnya,
serta perdebatan seputar itu: As-Syafi’i, Malik, Muhammad bin al-Hasan, dan
Zufar menyatakan bahwa bersuci dari najis tidak bisa dilakukan kecuali dengan
sesuatu yang digunakan dalam bersuci dari hadats, hal ini karena persoalan
tersebut termasuk dalam keumuman bersuci.
Abu Hanifah dan Ahmad
menyatakan bahwa menghilangkan najis itu boleh dengan segala benda cair yang
suci yang bisa menghilangkan zat benda najis dan sekaligus menghilangkan
bekasnya, seperti cuka, air mawar, dan sebagainya.
Pihak pertama
berargumentasi dengan hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw. berkata pada
salah seorang perempuan yang bertanya kepada beliau Saw. tentang darah haid
yang mengenai baju:
“Apa yang mesti
dilakukannya? Beliau Saw. menjawab: “Hendaknya dia mengeriknya, kemudian
menggosoknya dengan air, lalu memercikinya dengan air, kemudian barulah dia
shalat dengannya (menggunakan baju tersebut).” (HR. Muslim, Bukhari dan Ahmad)
Hadits tersebut telah
kami tuturkan sebelumnya.
Mereka juga
berargumentasi dengan hadits orang Arab dusun yang kencing di masjid, dan
ketika itu Rasulullah Saw. meminta seember air, kemudian bekas kencingnya
disiramnya. Mereka mengatakan bahwa ini merupakan perintah yang mengandung
pengertian wajib, dan karena ini merupakan bersuci yang dimaksudkan untuk
shalat sehingga tidak bisa dilakukan kecuali dengan air seperti halnya bersuci
dari hadats. Mereka berargumentasi dengan firman Allah Swt.:
“Lalu kamu tidak
memperoleh air, maka bertayammumlah.” (TQS. Al-Maidah [5]: 6; an-Nisa [4]: 43)
Pihak kedua
berargumentasi dengan hadits:
“Jika anjing minum
dalam wadah salah seorang dari kalian, maka hendaklah dia mencucinya sebanyak
tujuh kali.” (HR. Bukhari, Muslim dan selainnya dari jalur Asma binti Abu
Bakar)
Hadits ini pun telah
kami sebutkan sebelumnya.
Hadits ini menyebutkan
kata “al-ghaslu” (mencuci), secara
mutlak, sehingga mentaqyid (membatasi)
mencuci hanya dengan air itu membutuhkan dalil, dan karena air itu benda cair
yang suci yang bisa menghilangkan najis maka menghilangkan najis boleh
dengannya. Adapun cairan yang tidak bisa menghilangkan najis, seperti saus dan
susu, bisa dipastikan bahwa najis tidak bisa dihilangkan dengan keduanya.
Untuk membantah pihak
yang menyatakan pendapat pertama tadi kami katakan, bahwa hadits darah haid itu
bukan dalil yang berfungsi membatasi, dan kewajiban memenuhi perintah
Rasulullah Saw. dengan menyiramkan air pada bekas kencing Arab dusun di masjid
itu pun tidak memberi pengertian limitasi (untuk membatasi). Nash tersebut
tidak menunjukkan bahwa hanya air saja yang harus digunakan untuk menghilangkan
segala benda najis.
Hal ini karena
peristiwa Arab dusun kencing di masjid itu hanyalah menjelaskan fakta dari
suatu peristiwa, bukan sebagai qaidah kulliyah
(kaidah umum yang menyeluruh) untuk mensucikan sesuatu dari benda najis.
Sebelumnya telah kami
jelaskan bahwa dalam menghilangkan najis itu tidak disyaratkan adanya niat. Dan
selama yang menjadi obyek tuntutan syara
itu adalah menghilangkan najis, yakni sesuatu yang disebut dengan bersuci (tathhiir atau thaharah),
maka menghilangkan najis bisa dilakukan dengan menggunakan segala sesuatu yang
bisa menghilangkan najis tersebut sesuai dengan perbedaan kondisi sebagaimana
yang telah kami jelaskan pula sebelumnya.
Di dalam kalimat
hadits darah haid ”hendaklah dia mengeriknya kemudian menggosoknya dengan air”
itu tidak terdapat satupun adatul hashr
(lafadz yang berfungsi untuk membatasi).
Dan redaksi kalimatnya
pun tidak memberi pengertian adanya pembatasan. Hadits tersebut memang
menyebutkan air, tetapi penyebutan air itu tiada lain hanya untuk menunjukkan
sesuatu yang lebih umum dan lebih lazim digunakan. Hal ini karena biasanya air
digunakan untuk bersuci/ membersihkan sesuatu dari najis. Pernyataan seperti
ini bisa diterima. Komentar yang telah saya sampaikan terkait hadits darah haid
ini sama dengan komentar yang saya katakan terkait hadits Arab dusun kencing di
masjid. Di dalam hadits tersebut dikatakan: beliau
Saw. meminta seember air, di dalam nash ini tidak ada dilalah yang membatasi bersuci (membersihkan
sesuatu) dari najis itu hanya dengan air saja.
Dengan demikian dua
hadits ini tidak layak digunakan sebagai hujjah
untuk membatasi bersuci sama sekali hanya dengan air saja.
Adapun ketika mereka
mengutip ayat “lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah', maka saya
katakan: iya, nash ini memberi pengertian berwudhu dan mandi karena junub,
haid, dan nifas, itu hanya dengan air. Kita tidak berbeda pendapat dalam persoalan
ini, karena ketika ayat ini menuntut untuk tidak beralih menggunakan tanah
kecuali dalam kondisi tidak ditemukannya air, maka tuntutan seperti ini menjadi
dalil wajibnya menggunakan air dalam bersuci jenis ini.
Tetapi harus diingat,
mengutip ayat ini untuk dikaitkan dengan pembatasan yang menjadi tema bahasan
kita saat ini, sama dengan pencampuradukkan dan kekeliruan; karena tema
pembahasannya adalah menghilangkan najis, bukan wudhu dan mandi yang
diperintahkan oleh syara, sehingga ini
merupakan dua tema pembahasan yang berbeda.
Wudhu dan mandi
merupakan ibadah mahdhah yang memerlukan
niat, sedangkan menghilangkan najis tidak seperti itu (tidak memerlukan niat).
Kedua hal ini berbeda sehingga tidak bisa dianalogikan.
Air itu wajib
digunakan dalam thaharah (bersuci) yang
terkait dengan ibadah, tetapi sama sekali tidak wajib digunakan dalam
menghilangkan najis. Hal ini karena keduanya merupakan dua perkara yang berbeda
sama sekali. Dengan demikian gugurlah penggunaan ayat ini sebagai hujjah yang memperkuat pendapat mereka.
Mengenai pendapat yang
kedua, secara global merupakan pendapat yang benar, tetapi pihak yang
melontarkannya juga telah melakukan kekeliruan. Mengutip hadits jilatan anjing
sebagai argumentasi seperti yang mereka lakukan merupakan sesuatu yang lemah
dan tidak berguna. Seharusnya mereka cukup dengan mengutip beberapa dalil
(sebagaimana yang telah kami kutip), yang menunjukkan bahwa menghilangkan najis
itu bisa menggunakan berbagai macam benda (media).
Adapun pernyataan yang
mereka lontarkan, bahwa hadits ini telah menyebutkan “mencuci” secara mutlak,
tidak membatasinya dengan air, maka pernyataan seperti ini hanya justifikasi
atau pembenaran saja. Sesungguhnya sebagian besar hadits yang menjelaskan cara
menghilangkan najis itu telah menyebutkan air sebagai medianya; maka apa
komentar mereka tentang hal itu?
Kesimpulannya adalah
bahwa segala sesuatu yang layak digunakan untuk membuang/menghilangkan najis
dari suatu tempat yang ingin disucikan/ dibersihkan adalah sah-sah saja menurut
syara. Syara
telah memerintahkan untuk menghilangkan
najis dengan tidak menetapkan batasan dan taqyid
apapun.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar