Tinggallah kini satu
persoalan, pada asalnya tidak dibahas karena sedemikian jelasnya, tetapi para
fuqaha seringkali berbeda pendapat dalam persoalan tersebut. Saya kira menjadi
satu keharusan bagi saya untuk menyatakannya, yakni: apakah sisa minum manusia
itu suci ataukah najis?
Sejumlah fuqaha
berpendapat bahwa sisa minum/makan (as-su’ru)
orang kafir itu najis, bahkan sebagian mereka menambahkan bahwa sisa
minum/makan orang yang junub dan sedang haid itu juga najis. Mereka
berargumentasi dengan firman Allah Swt.:
“Sesungguhnya
orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil
Haram sesudah tahun ini.” (TQS. At-Taubah [9]: 28)
Mereka menarik
kesimpulan dari ayat ini, bahwa orang kafir, dan kemudian sisa makan/minumnya
adalah najis.
Mereka juga
berargumentasi dengan hadits yang diriwayatkan Abu Tsa'labah al-Khusyaniy, dia
bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang bejana dan wadah orang kafir, dalam
satu riwayat disebutkan bejana dan wadah ahli kitab, maka Rasulullah Saw.
menjawab:
“Jika kalian
mendapatkan selainnya maka makan dan minumlah dengannya, tetapi jika tidak
mendapatkan selainnya maka basuhlah dengan air, lalu makan dan minumlah.” (HR.
Abu Dawud)
Hadits ini sebelumnya
telah kami cantumkan.
Mereka mengambil
kesimpulan dari hadits ini bahwa bejana dan kuali orang kafir/ahli kitab
sebagai sesuatu yang najis, sehingga tubuh orang kafir/ahli kitab pun menjadi
najis, kemudian mereka mengambil kesimpulan dari hadits-hadits kewajiban
bersuci bagi orang junub dan wanita haid bahwa kedua orang ini pun najis selama
keduanya dalam keadaan junub dan sedang haid. Mereka juga mengambil kesimpulan
dari ayat:
“Dan jika kamu junub
maka bersucilah (mandilah),” (TQS. Al-Maidah [5]: 6)
Dan firman Allah Swt.:
“Mereka bertanya
kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab
itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah
kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (TQS.
al-Baqarah [2]: 222)
Mereka berkesimpulan
dengan dua ayat ini, bahwa orang yang junub dan haid itu najis. Mereka
mengatakan al-Qur’an telah menyebutkan bahwa orang kafir itu najis, dan
ayat-ayat al-Qur’an juga hadits-hadits telah memerintahkan orang yang junub dan
haid itu untuk bersuci, padahal bersuci itu dilakukan tiada lain untuk
membersihkan diri dari najis, sehingga hal itu (menurut mereka) menunjukkan
bahwa keduanya itu najis, sehingga najis pula sisa keduanya. Inilah ringkasan
pernyataan yang mereka lontarkan.
Sebelum menjawab, kami
ingatkan bahwa satu bagian dari pernyataan mereka ini telah disebutkan dalam
pembahasan “air musta'mal”, dan kami telah paparkan
kekeliruan pendapat yang mereka lontarkan, sehingga kami tidak perlu merincinya
kembali. Kami cukup menyatakan bahwa hadits ini menyebutkan:
“Bahwa Rasulullah Saw.
bertemu dengannya -yakni Hudzaifah sebagai perawi hadits ini-, padahal dia
dalam keadaan junub, maka dia menjauhkan diri dari beliau Saw., lalu dia mandi,
kemudian dia datang seraya berkata: Aku tadi dalam keadaan junub. Nabi Saw. berkata:
“Sesungguhnya seorang Muslim itu tidak najis.”
Dan hadits ini
menyebutkan: Dari Aisyah ra. dia berkata:
“Aku pernah minum dan
waktu itu aku sedang haid, kemudian aku memberikan (gelas minum)-ku pada Nabi
saw. Beliau Saw. meletakkan mulutnya di bekas mulutku, lalu beliau Saw. minum.”
“Dan aku makan daging
yang masih menempel pada tulang, waktu itu aku sedang haid, lalu aku
memberikannya pada Nabi saw. Kemudian beliau Saw. meletakkan mulutnya di bekas
mulutku.”
Kedua hadits ini
diriwayatkan oleh Muslim dan selainnya.
Keduanya telah kami
sebutkan dalam pembahasan sebelumnya. Dua hadits ini menjadi dalil yang layak
menunjukkan sucinya orang yang junub dan haid.
Tinggallah kini
persoalan najisnya orang kafir, apakah di dalam ayat al-Qur’an tersebut
terdapat pengertian bahwa najisnya itu najis
hissiyah, ataukah najis maknawiyah?
Dalam al-Qur’an tidak disebutkan kata “najis” kecuali satu kali, yang terdapat
dalam surat at-Taubah: 28:
“Sesungguhnya
orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil
Haram sesudah tahun ini,”
Satu-satunya kata
“najis” dalam al-Qur’an ini tidak datang dalam makna dzahirnya, melainkan disebutkan dalam pengertian “maknawiyah”, artinya najis dari sisi
keyakinan, bathin dan pola pikirnya. Dalil-dalil yang menunjukkan najisnya
orang kafir itu sebagai najis maknawi adalah sebagai berikut::
a. Bukhari, Ahmad, dan an-Nasai meriwayatkan
dari Abu Hurairah ra., dia berkata:
“Nabi Saw. pernah
mengirim pasukan berkuda ke arah Nejd. Pasukan itu lalu kembali dengan membawa
seorang laki-laki dari Bani Hanifah yang bernama Tsumamah bin Utsal, lalu
mereka mengikat laki-laki itu di salah satu tiang masjid…”
b. Pernikahan seorang Muslim dengan wanita dari
kalangan nasrani dan yahudi, dan berbagai hal yang ditimbulkan darinya, seperti
bercumbu dengannya, keringat si wanita yang mengenai diri suaminya, tangan si
wanita memegang makanan dan minuman suaminya, dan berbagai aktivitas rumah
tangga yang dilakukan si wanita, bahkan ketika si wanita melahirkan
anak-anaknya yang Muslim dan suci dari suaminya itu.
c. Firman Allah Swt.:
“Makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu.” (TQS. al-Maidah [5]: 5)
d. Dari Anas ra.:
“Seorang Yahudi pernah
mengundang Nabi Saw. untuk menyantap roti gandum dan minyak zaitun/lemak yang
baunya sudah berubah, lalu Nabi Saw. memenuhi undangan tersebut.” (HR. Ahmad)
Syanihah artinya mutaghayyiratur
ra'ihah, yaitu bau yang sudah berubah.
e. Dari Jabir ra., dia berkata:
“Kami pernah berperang
bersama Rasulullah Saw., lalu kami mendapatkan bejana orang-orang musyrik dan
tempat minum mereka. Maka kami menggunakannya, dan beliau Saw. tidak mencela
perbuatan mereka.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Hadits yang pertama
menunjukkan bahwa orang musyrik -dalam hadits tersebut adalah Tsumamah- itu
adalah suci. Seandainya orang musyrik itu najis, tentu kaum Muslim tidak akan
memasukkannya ke dalam masjid dan tidak akan mengikatnya di sana.
Poin (b) memiliki dilalah yang jelas seterang matahari di siang
hari, bahwa badan atau tubuh orang kafir itu suci.
Ayat al-Qur’an pada
poin (c) memiliki dilalah yang sama
jelasnya dengan poin (b), karena jika tubuh dan tangan orang kafir, baik yahudi
ataupun nasrani, itu najis tentu memakan makanan buatan mereka tidak boleh
hukumnya, karena makanan mereka tentu najis juga. Lebih dikuatkan lagi dengan
apa yang tercantum dalam poin (d), sedangkan poin (e) memiliki dilalah yang jelas bahwa wadah/kuali dan
tempat minum orang musyrik itu suci.
Dengan demikian, badan
orang kafir itu suci, sisa makan dan minum mereka suci, wadah dan peralatan
mereka juga suci, kecuali jika diketahui bahwa wadah tersebut digunakan oleh
mereka untuk memasak makanan atau minuman yang najis, maka saat itu harus dipandang
sebagai benda yang terkena najis sehingga harus dicuci dan disucikan. Dari Abu
Tsa’labah al-Khusyaniy bahwasanya dia bertanya kepada Rasulullah Saw.:
“Kami bertetangga
dengan ahli kitab, sementara mereka memasak babi dalam kuali mereka dan meminum
khamar dalam bejana mereka, maka Rasulullah Saw. berkata: “Jika kalian
mendapatkan selainnya maka makan dan minumlah di dalamnya, tetapi jika tidak
mendapatkan selainnya maka basuhlah dengan air, lalu makan dan minumlah.” (HR.
Abu Dawud)
Hadits ini sebelumnya
telah kami cantumkan.
Adapun orang kafir
selain Ahli Kitab, seperti Majusi, orang-orang musyrik, Hindu, Budha dan
Atheis, maka kita harus memperlakukan bejana dan kuali mereka seperti kita
memperlakukan bejana dan kuali ahli kitab, sama saja, kita harus mencuci dan
mensucikannya jika kita mengetahui bahwa mereka meletakkan benda-benda najis di
dalam bejana dan kuali tersebut. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari
Abu Tsa’labah dia berkata:
“Rasulullah Saw.
ditanya tentang kuali orang-orang Majusi, beliau Saw. bersabda: “Cucilah kuali
tersebut dan kemudian memasaklah dengannya.” (HR. Tirmidzi)
Kita harus
memperlakukan bejana dan kuali ahli kitab sama dengan bejana dan kuali orang
kafir, majusi dan sebagainya.
Hal ini ditunjukkan
pula oleh hadits yang diriwayatkan dari Abu Tsa’labah al-Khusyaniy secara marfu’:
“Sesungguhnya kami
adalah orang-orang yang suka melakukan perjalanan. Kami sering melewati
orang-orang Yahudi, Nasrani dan Majusi. Kami tidak mendapatkan bejana kecuali
bejana-bejana mereka. Maka Nabi Saw. bersabda: “Jika kalian tidak lagi
mendapatkan selain bejana-bejana itu maka cucilah bejana itu dengan air,
kemudian makan dan minumlah dengannya.” (HR. Ahmad)
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar