Jamaah Bisa Terlaksana Dengan
Adanya Seorang Imam Dan Seorang Makmum
Shalat jamaah bisa
terlaksana dengan dua orang: satu orang imam dan satu orang makmum, walaupun
makmumnya itu masih anak kecil, dan bisa terlaksana dalam shalat fardhu, sama
seperti dalam shalat nafilah, tanpa
adanya perbedaan di antara keduanya.
Jika makmumnya seorang
diri, maka ia harus berada sejajar di sebelah kanan imam, dengan posisi tidak
lebih depan atau tidak lebih belakang. Dan tidak dibenarkan berposisi di
sebelah kiri imam, jika makmum melakukannya maka ia berdosa, meskipun shalatnya
tetap diterima.
Imam tidak harus
berniat mengimami, sehingga walaupun seseorang melakukan shalat secara munfarid (sendirian), kemudian datang
seseorang yang lain dan mengambil posisi di sampingnya seraya berimam padanya,
maka shalat jamaah telah terlaksana, walaupun imam pada awalnya tidak berniat
menjadi imam. Dalam kondisi ini tidak ada perbedaan, antara shalat fardhu
dengan shalat nafilah. Dari Ibnu Abbas
ra. ia berkata:
“Aku tidur di rumah
bibiku, Maimunah. Lalu Nabi Saw. melakukan shalat malam, aku ikut shalat
bersama beliau dan berdiri di sebelah kirinya. Beliau kemudian memegang
kepalaku dan memindahkanku menjadi di sebelah kanannya.” (HR. Bukhari, Muslim,
Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai)
Dalam riwayat kedua
dari Imam Muslim melalui jalur Ibnu Abbas disebutkan:
“ …Dan Rasulullah Saw.
berdiri shalat, dan aku berdiri di sebelah kirinya. Maka beliau memegang
tanganku dan menggeserku ke sebelah kanannya.”
Berdasarkan hadits
ini, shalat jamaah bisa terlaksana dengan adanya seorang imam dan seorang
makmum yang masih anak-anak, karena Ibnu Abbas ra. pada saat itu adalah seorang
anak kecil yang masih berumur sepuluh tahun. Ibnu Abbas ra. berkata:
“Rasulullah Saw. wafat
ketika aku masih berusia sepuluh tahun dan aku telah dikhitan, dan aku juga
telah membaca al-muhkam (surat-surat
pendek) dari al-Qur'an.” (HR. Ahmad)
Hadits ini juga
menunjukkan bahwa imam tidak wajib berniat shalat jamaah di awalnya, di mana
Rasulullah Saw. sedang shalat seorang diri, lalu Ibnu Abbas (datang) mengikuti
shalatnya. Beliau Saw. membiarkannya dan melanjutkan shalatnya dengan Ibnu
Abbas secara berjamaah. Lebih jelasnya hal ini ditunjukkan oleh riwayat kedua
dari Ahmad dengan redaksi:
”...Lalu Rasulullah
Saw. memperlambat (shalatnya), hingga ketika beliau mengetahui bahwa aku ingin
mengikuti shalatnya maka beliau Saw. menengok ke sebelah kanannya dan memegang
telingaku, kemudian memindahkanku hingga aku berdiri di sebelah kanannya...”
Yang lebih jelas dari
dua hadits di atas adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Said
al-Khudri ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
melihat seseorang shalat sendiri, lalu beliau berkata: “Adakah seseorang yang
mau bersedekah di mana ia mau shalat dengannya?”
Hadits ini
diriwayatkan pula oleh Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan al-Hakim.
Hadits pertama
menunjukkan bahwa makmum -jika seorang diri- maka ia berdiri di sebelah kanan
imam tanpa lebih depan atau tanpa lebih belakang. Hadits yang pertama
mengungkapkan: “lalu beliau menjadikan aku berdiri di sebelah kanannya”, dan
redaksi yang diriwayatkan oleh Muslim menyatakan: “lalu beliau menjadikan aku
di sebelah kanannya” tanpa disebutkan kata maju sedikit atau mundur sedikit.
Untuk menguatkan
pemahaman ini terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra., ia
berkata:
“Aku mendatangi
Rasulullah Saw. di penghujung malam, lalu aku ikut shalat di belakangnya.
Kemudian beliau memegang tanganku dan menarikku hingga menempatkanku berada di
sebalah kanannya. Ketika Rasulullah Saw. menghadap kiblat bershalat maka aku
mundur sedikit. Lalu Rasulullah Saw. melakukan shalat. Usai shalat beliau
bertanya kepadaku: “Ada apa denganmu ini, bukankah aku telah menempatkanmu
tepat di sampingku, lalu mengapa engkau mundur ke belakang sedikit?” Aku
menjawab: “Wahai Rasulullah, haruskah seseorang melakukan shalat tepat di
sampingmu, sedangkan engkau adalah utusan Allah yang telah diberi kemuliaan
oleh Allah?” Ibnu Abbas berkata: jawabanku itu telah membuatnya merasa kagum,
lalu beliau berdoa kepada Allah untuk kebaikanku agar aku ditambahi ilmu dan
pemahaman...” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasai)
Sabda beliau: Khanastu yakni mundur sedikit dari sampingnya.
Rasulullah Saw. memposisikan Ibnu Abbas di sampingnya, yaitu tepat di sebelah
kanannya, tanpa sedikit lebih maju atau lebih mundur, karena inilah sunnah yang
disyariatkan. Adalah benar bahwa Ibnu Abbas berdiri di sampingnya, kemudian
Ibnu Abbas mundur sedikit dari samping Rasulullah saw. Tatkala hal itu
dilakukannya, maka Rasulullah Saw. menanyakan penyebabnya, lalu Ibnu Abbas
memberikan jawaban yang membuat Rasulullah Saw. merasa kagum -yaitu bahwa tidak
seorangpun yang berhak untuk berdiri shalat sejajar di sampingnya-, ia harus
mundur sedikit ke belakang, karena beliau Saw. adalah utusan Allah Swt. Rasul
harus lebih dikedepankan dari yang lain.
Jawaban yang berasal
dari Ibnu Abbas ini dan kekaguman dari Rasulullah Saw. atas jawaban tersebut
tidak berarti bahwa sunnah yang disyariatkan (untuk selain yang bermakmum pada
Rasulullah) itu adalah apa yang dilakukan oleh Ibnu Abbas. Ini karena Rasulullah
Saw. telah menempatkan Ibnu Abbas sejajar di sampingnya. Dalam beberapa riwayat
yang ada menggambarkan bahwa Ibnu Abbas berdiri di samping Rasulullah Saw.,
tidak mundur ke belakang.
Selain itu Jabir bin
Abdillah ra. berkata:
“Sesungguhnya
Rasulullah Saw. bershalat memakai satu kain dengan menyelempangkan kedua
ujungnya, kemudian aku berdiri di belakangnya. Beliau memegang telingaku dan
menarikku ke samping kanannya.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Baihaqi)
Jabbar bin Shakhr ra.
berkata:
“Sesungguhnya
Rasulullah Saw. berdiri melakukan shalat. Ia (perawi) berkata: lalu aku berdiri
di samping kirinya, kemudian beliau memegang tanganku dan memindahkanku ke
sebelah kanannya. Setelah itu kamipun shalat, dan tidak lama kemudian
orang-orang pun datang. ” (HR. Ahmad)
Dan menurut sunnah
yang disyariatkan: satu orang makmum
itu berdiri di samping kanan sejajar imam, tanpa lebih maju ataupun lebih
mundur ke belakang.
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar