Kedua: (Perbedaan Pendapat)
Najisnya Bangkai Dengan Seluruh Bagiannya
Para imam dan fuqaha
banyak berbeda pendapat dalam persoalan bangkai dengan seluruh bagiannya dari
sisi najis tidaknya. Terdapat beragam pendapat di dalamnya, yang nampak jelas
dalam dua persoalan utama yakni:
a. Tulang dan bulu,
serta bagian tubuh yang disamakan dengan keduanya, yakni gading, gigi, tanduk,
bulu unta dan bulu domba.
b. Kulitnya.
Malik, as-Syafi’i,
Ishaq dan Ahmad berpendapat bahwa tulang bangkai itu najis. Atha, Thawus,
al-Hasan dan Umar bin Abdul Aziz memakruhkannya, sedangkan Ibnu Sirin, Ibnu
Juraij, at-Tsauri, Abu Hanifah, az-Zuhri dan Ibnu Abbas dari kalangan sahabat
berpendapat bahwa tulang bangkai itu suci.
Pendapat para fuqaha
dan para imam terkait tulang terbagi menjadi tiga golongan. Sedangkan terkait
kulit bangkai, apakah bisa menjadi suci dengan disamak ataukah tidak, serta
apakah yang kulit bisa disucikan terbagi menjadi beberapa golongan. Kami akan menjelaskannya
secara rinci, sebagai berikut:
1. Abdullah bin
Mas’ud, Said bin Musayyab, Atha, al-Hasan, as-Sya'biy, Salim, an-Nakha'i,
Qatadah, ad-Dhahak, Said bin Jubair, Yahya bin Said, Malik, al-Laits,
at-Tsauri, Abu Hanifah, Ibnu al-Mubarak, as-Syafi’i dan Ahmad dalam salah satu
pendapatnya, berpendapat bahwa kulit bangkai itu bisa disucikan dengan cara
disamak, kecuali kulit anjing dan kulit babi.
2. Diriwayatkan dari
Umar bin Khaththab dan puteranya yakni Abdullah bin Umar, Imran bin Hushain,
Aisyah, Ahmad dalam salah satu riwayat darinya, Malik dalam satu riwayat
darinya, mereka berpendapat bahwa menyamak itu tidak mensucikan kulit bangkai
sama sekali.
3. Al-Auza’iy, Abu
Tsur, dan Ishaq bin Rahuwaih berpendapat bahwa mensucikan kulit bangkai itu
hanya berlaku untuk binatang yang dimakan dagingnya saja.
4. Malik berpendapat
bahwa menyamak itu akan mensucikan bagian luar kulit, tidak bagian dalamnya,
dalam arti kulit yang disamak itu tidak layak digunakan sebagai tempat
menyimpan benda cair.
5. Dawud, Abu Yusuf,
dan Malik dalam salah satu riwayatnya, mereka berpendapat bahwa menyamak itu
mensucikan semua kulit, hingga kulit anjing dan kulit babi.
6. az-Zuhri sendirian
menyatakan sucinya kulit bangkai tanpa perlu disamak.
Inilah beberapa
pendapat dalam persoalan ini. Kita akan mengkaji semuanya agar mendapat
pendapat yang tepat dengan petunjuk Allah Swt., yang mana pendapat yang tepat
menurut saya adalah tulang
bangkai, bulunya, giginya, kukunya, itu semuanya suci, dan bahwa kulit semua
bangkai itu bisa disucikan dengan cara disamak terlebih dahulu. Ini
berdasarkan beberapa dalil berikut:
1. Firman Allah Swt.:
“Katakanlah: “Tiadalah
aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi
orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah
yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor, atau binatang
yang disembelih atas nama selain Allah. ” (TQS. al-An'am [6]: 145)
2. Dari Tsauban:
“Wahai Tsauban,
belikanlah Fathimah kalung dari otot dan dua gelang dari gading.” (HR. Abu
Dawud dan Ahmad)
3. Dari Ibnu Abbas, dia berkata:
“Pelayan Maimunah
pernah diberi sedekah seekor kambing, lalu kambing itu mati. Rasulullah Saw.
lewat di dekatnya, beliau Saw. bertanya: “Mengapa kalian tidak mengambil
kulitnya, lalu kalian menyamaknya sehingga kalian bisa memanfaatkannya?” Mereka
berkata: Kambing ini sudah menjadi bangkai. Maka beliau Saw. bersabda:
“Sesungguhnya yang haram itu adalah memakannya.” (HR. Muslim, Abu Dawud,
at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
4. Dari Maimunah isteri Nabi Saw., dia berkata:
“Rasulullah Saw.
melewati beberapa lelaki Quraisy yang sedang menyeret domba milik mereka
semisal keledai, maka Rasulullah Saw. berkata pada mereka: “Seandainya kalian
mengambil kulitnya.” Mereka berkata: Domba ini sudah menjadi bangkai. Maka
Rasulullah Saw. bersabda: “Air dan qaradz
akan mensucikannya.” (HR. Ahmad, ad-Daruquthni, Ibnu Hibban dan Malik)
Hadits ini dishahihkan oleh ad-Daruquthni, al-Hakim dan
Ibnu as-Sakan. Kata al-qaradz artinya
bahan yang digunakan untuk menyamak.
5. Dari Ibnu Abbas:
“Bahwasanya binatang
piaraan Maimunah mati, maka Rasulullah Saw. berkata: “Mengapa kalian tidak
memanfaatkan kulitnya, mengapa kalian tidak menyamak kulitnya, karena
menyamaknya itu (sama dengan) menyembelihnya.” (HR. Ahmad)
Ibnu Hazm berkata:
sanad hadits ini paling shahih
6. Dari Abdurrahman bin Wa’lah, dari Ibnu Abbas
ra.:
“Aku (Abdurrahman)
berkata: Kami ikut berperang lalu mendapatkan kulit dan kantung air dari kulit.
Ibnu Abbas berkata: Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepadamu, kecuali
aku mendengar Rasulullah Saw. bersada: “Kulit apapun ketika disamak maka sungguh
menjadi suci.” (HR. Ahmad, Muslim, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi)
7. Dari Ibnu Abbas ra., dia berkata:
“Nabi Saw. hendak
berwudhu dari kantung air, maka dikatakan pada beliau Saw.: Sesungguhnya
kantung air ini adalah bangkai, Maka beliau Saw. bersabda: “Menyamaknya bisa
menghilangkan kotoran, najisnya, atau keburukannya.” (HR. Ibnu Khuzaimah)
Hadits ini
diriwayatkan dan dishahihkan oleh
al-Baihaqi, al-Hakim.
8. Dari Aisyah ra., dia berkata:
“Nabi Saw. ditanya
tentang kulit bangkai, maka beliau Saw. bersabda: “Menyamaknya adalah cara
untuk mensucikannya.” (HR. Ahmad dan an-Nasai)
9. Dari Ibnu Abbas ra., dia berkata:
“Seekor domba milik
Saudah binti Zam'ah mati, lalu ia berkata: Wahai Rasulullah, si fulanah sudah
mati. Maksudnya adalah domba tersebut sudah mati, maka Nabi Saw. bertanya:
“Mengapa kalian tidak mengambil kulitnya?” Lalu dia balik bertanya: Kami harus
mengambil kulit kambing yang sudah mati? Rasulullah Saw. berkata padanya:
“Sesungguhnya Allah Swt. berfirman: Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam
wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau
daging babi” (al-An'am: 145). Sesungguhnya kalian tidak memakannya, kalian
hanya menyamaknya lalu memanfaatkannya.” Kemudian Saudah mengutus orang
mengambilnya dan menguliti kulitnya, lalu dia menyamaknya. Dia menjadikannya
sebagai qirbah (tempat minum) hingga qirbah tersebut digunakannya sampai
usang.” (HR. Bukhari dan an-Nasai)
Sebenarnya terdapat
beberapa hadits lain tentang mensucikan kulit dengan cara disamak, tetapi kami
merasa cukup untuk mencantumkan sejumlah hadits di atas saja.
Dengan mencermati
sembilan dalil tersebut, kita mendapati bahwa dalil yang kesembilan merupakan
penafsiran dari sisi fiqih terhadap dalil yang pertama yaitu ayat al-Quran
surat al-An’am: 145, dua dalil ini menjadi topik pembicaraan, kecuali dalam
beberapa hal. Sabda Rasulullah Saw.:
“Sesungguhnya kalian
tidak memakannya, kalian hanya menyamaknya lalu memanfaatkannya.”
Ketika disandarkan
pada nash al-Qur’an:
“Tiadalah aku peroleh
dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang
hendak memakannya.”
Dengan mudah kita
mendapat kesimpulan bahwa pengharaman yang ditujukan pada bangkai itu
semata-mata pengharaman untuk memakan bangkai dan sesuatu yang dimakan dari
bangkai tersebut.
“Sesungguhnya kalian
tidak memakannya.”
“Bagi orang yang
hendak memakannya.”
Sehingga pengharaman
itu ditujukan pada memakan bangkai. Benda yang yang diharamkan untuk dimakan
dari bangkai tersebut adalah sesuatu yang dimakan darinya. Inilah pemahaman
terhadap hadits yang kesembilan ketika dipasangkan dengan ayat al-Qur’an surat
al-An’am: 145.
Karena itu segala
sesuatu yang layak dimakan dari bangkai itu haram dimakan dan najis hukumnya.
Inilah yang dicakup oleh hukum bangkai.
Dengan demikian,
sesuatu yang tidak dimakan dari bangkai, seperti tulangnya, kukunya, bulunya,
dan giginya sudah keluar dari pembahasan pengharaman tersebut. Sehingga
terhadap semua bagian
tubuh bangkai yang tidak dimakan tidaklah berlaku hukum haram dan najisnya
bangkai. Semua itu tetap dalam kondisi asalnya yakni suci.
Pemahaman seperti ini
dilontarkan pula oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Selain itu, adanya beberapa
dalil yang membolehkan kita mempergunakan sesuatu dari bangkai selain yang
dimakan seraya menjelaskan bahwa bagian yang tidak dimakan itu dianggap suci juga
bisa menguatkan pemahaman ini.
a. Hadits Tsauban poin 2 yang telah kami
sebutkan merupakan nash yang membolehkan kita menggunakan gading. Gading itu
bagian tulang dari gajah. Hukum gading sama dengan hukum tulang dari sisi halal
haramnya, dan ini menjadi dalil yang menunjukkan sucinya tulang, karena jika
gading itu najis tentunya tidak boleh digunakan.
Ketika diketahui bahwa
perniagaan gading itu belum dilakukan di masa Rasulullah Saw. di antara kaum
Muslim sendiri -karena India dan Afrika belum masuk ke dalam pangkuan Negara
Islam- melainkan kaum Muslim membeli gading tersebut dari orang kafir Hindu di
India dan orang pagan di Afrika, dan mereka tentunya tidak menyembelih gajah
tersebut dengan sembelihan yang diakui oleh Islam. Ini jika mereka memang
menyembelihnya. Walaupun gading gajah itu dipotong langsung dari gajah yang
sudah menjadi bangkai, gading tersebut tetap suci dan dipergunakan di masa
Rasulullah Saw. Ini menjadi dalil yang jelas mengecualikan tulang dari bangkai
yang bisa menguatkan pemahaman di atas.
Sebagian orang mungkin
saja mengatakan: tulang itu dipotong dari gajah yang masih hidup, sehingga
tetap suci karena tidak dipotong dari gajah yang sudah menjadi bangkai. Maka
pernyataan seperti ini kami bantah dengan bantahan:
Pertama: Kaum Muslim
tidak membedakan atau tidak bertanya apakah gading gajah yang sampai pada
mereka itu berasal dari gajah yang masih hidup ataukah berasal dari gajah yang
sudah menjadi bangkai. Seandainya mereka bertanya tentu mereka tidak akan
mendapatkan jawaban yang pasti, sehingga ini menunjukkan bahwa mereka tidak
membedakan di antara keduanya.
Kedua: Sesungguhnya
Abu Waqid al-Laitsi berkata:
“Rasulullah Saw. tiba
di Madinah, di sana ada orang-orang yang pergi (mencari) ekor domba dan punuk
unta lalu mereka memotongnya. Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Sesuatu yang
dipotong dari binatang yang masih hidup itu adalah bangkai.” (HR. Ahmad)
Tirmidzi meriwayatkan
hadits ini dan berkata: Hadits ini hasan gharib,
kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Zaid bin Aslam. Ahli ilmu
menyatakan bahwa hadits ini bisa diamalkan.
Hadits menunjukkan
-tanpa meninggalkan sedikitpun celah keraguan- bahwa bagian tubuh manapun yang
dipotong dari gajah yang masih hidup itu adalah bangkai dan najis. Benda najis
itu haram digunakan, ketika ada kebolehan menggunakan gading maka ini menunjukkan
bahwa gading itu sesuatu yang lain, di mana hadits tersebut tidak berlaku
padanya. Dengan demikian, gugurlah pendapat yang mengatakan bahwa gading
tersebut suci karena dipotong dari hewan yang masih hidup nan suci. Sebenarnya
gading gajah itu suci semata-mata karena ia bukan bangkai, itu saja.
Inilah pembahasan
tentang gading gajah, dan bagian tubuh yang disamakan dengan gading gajah
adalah gigi, kuku dan tulang. Az-Zuhri berkata tentang tulang belulang hewan
yang sudah mati seperti gajah:
Aku bertemu dengan
sejumlah orang dari kalangan ulama salaf, mereka mempergunakan tulang untuk
menyisir dan meminyaki rambut. Mereka tidak memandang ada masalah dalam
persoalan itu. Pernyataan ini diceritakan oleh Bukhari. Telah diketahui bahwa
az-Zuhri itu adalah seorang tabi'in, karena itu maka para ulama salaf yang dia
temui tidak salah lagi adalah para sahabat Rasulullah Saw.
b. Ijma
para sahabat dan kesepakatan para ulama, baik salaf ataupun khalaf, tentang
sucinya bulu kambing, bulu domba dan bulu unta. Telah diketahui bahwa semua itu
dipotong dari binatang ternak, baik ketika masih hidup ataupun setelah ternak
itu disembelih; semuanya diperlakukan sama dari sisi status sucinya dan
kebolehan menggunakannya tanpa perbedaan sedikitpun.
Ketika sesuatu yang
diambil dari hewan yang masih hidup itu adalah bangkai dan najis sebagaimana
telah kami jelaskan, dan walaupun tiga benda di atas diambil dari hewan ternak
yang masih hidup, tetap saja benda-benda tersebut dipandang suci (tidak najis-pen.), maka ini menunjukkan bahwa hukum
bangkai tidak berlaku atas tiga benda tersebut.
Bangkai adalah sesuatu
yang dimakan saja, sedangkan bulu kambing dan bulu domba itu tidak dimakan.
Atas keduanya itu berlaku hukum yang sama dengan hukum gading gajah yang
dipotong dari gajah, sehingga hukumnya suci. Maha benar Allah Swt. yang
berfirman:
“Dan (dijadikan-Nya
pula) dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan
perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).” (TQS. al-An’am [6]: 80)
Ayat ini tidak
membedakan satu benda dengan benda yang lain, dari sisi dipotong tidaknya.
c. Ucapan dalam hadits nomor tiga:
“Mereka berkata:
Kambing ini sudah menjadi bangkai. Maka beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya
yang haram itu adalah memakannya.”
Ini merupakan nash
yang jelas, tidak mengandung takwil apapun, bahwa pengharaman itu ditujukan
pada aktivitas memakannya, ketika memakan itu hanya pada bagian tubuh bangkai
yang dimakan saja, maka ini menunjukkan kebenaran pemahaman kami.
Tinggallah kini
mengenai kulit bangkai. Sebelumnya saya telah menyatakan: dua dalil ini menjadi
topik pembicaraan, kecuali dalam beberapa hal. Beberapa hal itu adalah topik
yang terkait dengan kulit bangkai. Sesungguhnya kulit itu bagian tubuh bangkai
yang dimakan, sehingga kulit dicakup oleh keharaman memakan dan najisnya
bangkai, karena kulit termasuk dalam pengertian bangkai, alasannya bisa dilihat
dari dua sisi:
a. Penelitian atas fakta (tahqiq al-manath).
b. Nash-nash yang jelas menerangkan hal itu.
Dari sisi tahqiq manath, ketika kulit bisa dimakan atau
memiliki kemungkinan untuk dimakan, maka kulit termasuk perkara yang disinggung
oleh firman Allah Swt.:
“Bagi orang yang
hendak memakannya.”
Dan dicakup oleh sabda
Rasulullah Saw.:
“Sesungguhnya yang
haram itu adalah memakannya.”
Kulit burung seperti
ayam, merpati, dan bebek itu dimakan, kulit kelinci itu dimakan, dan ini nampak
jelas, sedangkan kulit lembu berpeluang untuk dimakan. Bukhari, Muslim,
Tirmidzi dan Ahmad telah meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ra. bahwasanya
dia berkata:
“Rasulullah Saw.
mengajak orang-orang Quraisy untuk masuk Islam tetapi mereka enggan, lalu
Rasulullah Saw. berdoa: “Ya Allah, tolonglah aku menghadapi mereka dengan tujuh
tahun kelaparan seperti tujuh tahun Nabi Yusuf. Maka tahun kelaparan menerpa
mereka dan menandaskan segala sesuatu hingga mereka sampai harus makan bangkai
dan kulit, sampai-sampai seorang lelaki melihat ada kabut antara dirinya dengan
langit karena sedemikian laparnya.”
Dengan demikian,
selama kulit itu dimakan atau memiliki kemungkinan bisa dimakan, maka ia
termasuk dalam hukum bangkai dari sisi keharaman dan najisnya.
Adapun dari sisi
nash-nash yang sharih, maka jelas
disebutkan dalam hadits kelima:
“Mengapa kalian tidak
menyamak kulitnya, karena menyamaknya itu (sama dengan) menyembelihnya.”
Juga dalam hadits
keempat:
“Air dan qaradz akan mensucikannya.”
Juga dalam hadits
ketujuh:
“Menyamaknya telah
menghilangkan kotorannya atau najisnya atau keburukannya.”
Juga dalam hadits
keenam:
“Kulit apapun ketika
disamak maka sungguh menjadi suci.”
Juga dalam hadits
kedelapan:
“Menyamaknya adalah
cara untuk mensucikannya.”
Semua kalimat ini
menyingkapkan makna yang dituju. Ketika Rasulullah Saw. berkata tentang kulit
bahwa menyamaknya itu adalah sama dengan menyembelihnya, kulit tersebut bisa
disucikan dengan air dan qaradz (qaradz adalah bahan yang digunakan untuk
menyamak), bahwa menyamak itu menghilangkan najisnya, mensucikan kulit itu
adalah dengan cara menyamaknya, maka secara pasti semua itu menunjukkan bahwa
kulit bangkai itu adalah najis, karena jika tidak najis tentu saja tidak akan
diperintahkan mensucikanya dengan cara disamak.
Nash yang paling jelas
adalah hadits nomor 7, di mana Rasulullah Saw. mengatakan bahwa kulit bangkai
itu najis. Ungkapan ini menunjukkan bahwa kulit disamakan dengan bangkai dari
sisi status najisnya, sehingga hukumnya sama dengan hukum bangkai, dan selanjutnya
kulit itu tidak menjadi bagian yang dikecualikan dari bangkai seperti halnya
bulu dan tulang, melainkan menjadi bagian dari bangkai sehingga terhadap kulit
itu diberlakukan keharaman dan najisnya bangkai.
Terlebih lagi ketika
tulang, bulu kambing dan bulu domba boleh digunakan tanpa disucikan terlebih
dahulu, karena tidak diriwayatkan dari Rasulullah Saw. bahwa beliau Saw.
memerintahkan untuk mensucikannya sebelum tulang dan bulu itu digunakan, juga
tidak ada Ijma Sahabat tentang hal itu,
sedangkan pada saat yang sama beliau Saw. dalam sejumlah hadits memerintahkan
untuk mensucikan kulit dengan cara disamak sebelum kulit itu digunakan.
Inilah yang jelas
membedakan antara kulit dengan tulang dan bulu, sehingga jelas pula titik
perbedaan antara tulang dengan kulit.
Dari sisi kedua, kulit
itu dikecualikan dari keumuman larangan menggunakan dan memanfaatkan bangkai
dan benda najis. Ini merupakan hukum pengecualian. Sebenarnya kulit itu
terlarang digunakan karena status najisnya, tetapi Rasulullah Saw. telah
mengecualikannya dari bangkai dengan pengecualian yang khusus, lalu beliau Saw.
menjelaskan bahwa kulit sebagai bagian yang najis dari bangkai ini boleh
dimanfaatkan -tetapi tidak dengan bagian bangkai lainnya- dengan satu syarat
hendaknya kulit tersebut disucikan terlebih dahulu dengan cara disamak.
Beliau Saw. tidak
membolehkan hal seperti itu pada bagian bangkai lainnya. Karenanya, ini
merupakan hukum khusus yang tidak bisa dianalogikan. Kadang muncul pertanyaan:
Pernyataan bahwa kulit itu dikecualikan dari bangkai merupakan pernyataan yang
tidak bisa diterima, karena dalam persoalan ini ada aspek lain, yakni bolehnya
memanfaatkan kulit bangkai, karena memanfaatkan itu berbeda dengan memakan.
Seandainya menggunakan kulit itu dalam rangka untuk dimakan niscaya hukumnya
sama dengan hukum bangkai? Mungkin juga muncul pertanyaan: ‘illat kebolehan menggunakan kulit itu adalah
karena kulit itu tidak dimakan, sehingga setiap bagian dari bangkai itu bisa
dianalogikan pada kulit, yakni bisa dimanfaatkan asal tidak dimakan?
Maka kami bantah
dengan ucapan: Pertanyaan seperti ini benar seandainya kita tidak memiliki nash
yang mencegahnya. Nash tersebut adalah: Dari Jabir bin Abdillah ra., dia
mendengar Rasulullah Saw. bersabda pada tahun penaklukan ketika beliau Saw.
berada di Makkah:
“Sesungguhnya Allah
dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual khamar, bangkai, babi, dan patung.
Lalu beliau Saw. ditanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana menurut engkau dengan
lemak bangkai, karena sesungguhnya lemak bangkai itu bisa digunakan untuk
memoles perahu, meminyaki kulit dan bahan penerangan manusia. Beliau Saw.
berkata: “Tidak, lemak bangkai tetap haram.” Kemudian Rasulullah Saw. bersabda
saat itu: “Allah melaknat Yahudi karena sesungguhnya ketika Allah Swt.
mengharamkan lemaknya, maka mereka mencairkannya, kemudian menjualnya, lalu
mereka memakan harga hasil penjualannya.” (HR. Bukhari, Ahmad dan penyusun
kitab as-Sunan).
Kata jammaluuhu artinya adzaabuuhu (mencairkannya).
Hadits ini menyebutkan
salah satu bagian bangkai yang dicakup oleh hukum haram dan najisnya bangkai,
bagian tersebut adalah lemak bangkai, karena lemak itu sesuatu yang bisa
dimakan.
Lemak ini kemudian
ditanyakan kepada Rasulullah Saw., pertanyaannya bukan terkait memakan lemak,
tetapi terkait memanfaatkan lemak itu dalam bentuk yang lain, yakni
menggunakannya untuk melumuri perahu, mengurapi kulit, dan menjadi bahan
penerangan di rumah, lalu datang larangan yang tegas: laa huwa haraamun (jangan, lemak tersebut tetap haram), artinya
Rasulullah Saw. menetapkan lemak itu dalam kondisi asalnya yang haram, sehingga
dengan itu beliau melanggengkan lemak tersebut dalam kondisi asalnya yang
najis, bangkai itu najis dan haram dimanfaatkan, bagaimanapun bentuk
pemanfaatannya.
Al-Jashshash berkata:
“Pengharaman ini
mencakup berbagai macam bentuk pemanfaatan, sehingga bangkai itu tidak boleh
dimanfaatkan bagaimanapun bentuknya. Kita tidak boleh menjadikan bangkai itu
sebagai pakan anjing dan binatang buas, karena itu merupakan satu bentuk
pemanfaatan bangkai. Allah Swt. sungguh telah mengharamkan bangkai dengan
pengharaman yang terkait dengan bendanya, sehingga tidak boleh memanfaatkan
sesuatupun dari bangkai tersebut kecuali jika ada sesuatu yang dikhususkan oleh
dalil maka harus diterima.”
Jelas bahwa bangkai
itu najis dan haram dimakan, dan haram pula dimanfaatkan, bagaimanapun bentuk
pemanfaatannya -tentunya selain tulang dan bulu- dan perkara yang dikecualikan
dari bangkai itu adalah kulit saja, itupun jika disamak terlebih dahulu.
Sekarang kita mengkaji
dalil-dalil yang digunakan sebagai argumentasi oleh mereka yang melontarkan
pendapat yang berbeda dengan yang telah kami paparkan di atas, lalu kita akan
membahasnya dan menjelaskan kekeliruan istidlal
yang mereka lakukan.
a. Dari Abdullah bin
‘Ukaim, dia berkata:
“Rasulullah Saw. telah
menetapkan kepada kami satu bulan sebelum beliau Saw. wafat: “Janganlah kalian
memanfaatkan bangkai, baik kulitnya ataupun ototnya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Ada juga riwayat lain
dari Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah yang tidak mencantumkan taqyid (penyebutan batas) waktu di dalamnya.
Ahmad memiliki riwayat
yang ketiga:
“Satu atau dua bulan
sebelum wafat beliau Saw.”
At-Tirmidzi
meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:
“Dua bulan sebelum
wafat beliau Saw.”
b. Dari Abdullah bin
Ukaim, dia berkata:
“Rasulullah Saw.
membuat ketetapan dan kami sedang berada di daerah Juhainah: “Sesungguhnya aku
telah memberi keringanan pada kalian untuk memanfaatkan kulit bangkai, maka
(sekarang) janganlah kalian memanfaatkan bangkai, baik kulitnya ataupun
ototnya.” (HR. at-Thabrani)
Di dalam hadits ini
ada Fudhalah bin Mifdhal yang dikomentari oleh Abu Hatim: haditsnya tidak layak
diriwayatkan. Al-Uqailiy berkata: hadits Fudhalah harus dicermati.
c. Dari Abdullah bin
Ukaim dia berkata: Para sesepuh Juhainah bercerita kepadaku:
“Datanglah surat
ketetapan Rasulullah Saw., atau dibacakan surat ketetapan Rasulullah Saw.
kepada kami: “Janganlah kalian memanfaatkan sesuatupun dari bangkai.” (HR.
at-Thahawi)
d. Hadits yang telah
kami sebutkan pada nomor lima yang diriwayatkan oleh Ahmad:
“Bahwasanya binatang
piaraan Maimunah mati, maka Rasulullah Saw. berkata: “Mengapa kalian tidak
memanfaatkan kulitnya, mengapa kalian tidak menyamak kulitnya, karena
menyamaknya itu (sama dengan) menyembelihnya.”
e. Firman Allah Swt.:
“Dan ia membuat
perumpamaan bagi Kami, dan dia lupa kepada kejadiannya. Ia berkata: “Siapakah
yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh?” Katakanlah:
“Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama Dan Dia
Maha Mengetahui tentang segala makhluk.” (TQS. Yasin [36]: 78-79)
f. Firman Allah Swt.:
“Diharamkan bagimu
(memakan) bangkai,” (TQS. al-Maidah [5]: 3)
g. Hadits yang telah
kami sebutkan yang diriwayatkan oleh Ahmad dan at-Tirmidzi:
“Bagian tubuh yang
dipotong dari hewan yang masih hidup itu adalah bangkai.”
Inilah beberapa dalil
yang mereka pegang.
Tiga hadits pertama
(a, b, dan c) semua itu merupakan satu hadits yang diriwayatkan dengan lafadz
yang berbeda-beda, semuanya berasal dari jalur Abdullah bin Ukaim, hadits ini
menjadi sandaran bagi orang yang tidak membolehkan menyamak kulit bangkai dan tidak
membolehkan mensucikannya dari najis.
Dengan mencermati
hadits ini maka akan kita dapati bahwa hadits ini dhaif
dari sisi sanad dan mudhtharib (simpang siur) dari sisi matan.
Adapun dari sisi sanad, satu kali diriwayatkan dengan lafadz:
“Telah dibacakan
kepada kami surat ketetapan Rasulullah.” (HR. Abu Dawud)
Satu kali diriwayatkan
dengan lafadz:
“Datanglah surat
ketetapan Nabi Saw. kepada kami.” (HR. Ibnu Majah)
Dan satu kali
diriwayatkan dengan lafadz:
“Telah bercerita
kepadaku para sesepuh Juhainah.” (HR. at-Thahawi)
Semua lafadz ini
menunjukkan bahwa Abdullah telah menukil hadits dari orang-orang yang tidak
dikenal (majhul), selain memang dalam sanad hadits poin b itu terdapat perawi yang dhaif.
Adapun dari sisi matan, satu saat diriwayatkan secara muqayyad (diberi batasan) waktu, dan saat yang
lain tidak secara muqayyad. Bahkan
riwayat yang muqayyad (diberi batasan)
tersebut ada yang ditaqyid satu bulan,
ada yang ditaqyid dua bulan, dalam
beberapa riwayat lain ditaqyid empat
puluh hari, bahkan ada yang ditaqyid
tiga hari. Padahal perawi semua hadits ini adalah seorang saja, yakni Abdullah
bin Ukaim. Adanya perbedaan dalam matan
ini sudah cukup alasan untuk menyatakan bahwa hadits ini mudhtharib (simpang siur) dari sisi matan. Dengan demikian, hadits ini dhaif dari sisi sanad
dan mudhtharib dari sisi matan, sehingga tidak akan kuat bila harus
dihadapkan hadits-hadits menyamak yang demikian banyak dan shahih, karena itu hadits ini ditolak.
At-Tirmidzi berkata:
Aku mendengar Ahmad bin al-Hasan berkata: Ahmad bin Hanbal sebelumnya
berpendapat dengan hadits ini dengan batasan waktu yang disebutkan di dalamnya
“dua bulan sebelum wafatnya”. Dia berkata: Ini merupakan perintah Nabi Saw.
yang terakhir. Kemudian Ahmad meninggalkan hadits ini karena ada
kesimpangsiuran dalam sanadnya, di mana
sebagian orang meriwayatkan hadits ini dan berkata: dari Abdullah bin Ukaim
dari para sesepuh Juhainah.
Al-Khallal berkata:
Ketika Abu Abdillah yakni Ahmad melihat ketidakmenentuan riwayat dalam hadits
ini, maka beliau kemudian tidak lagi memegang hadits tersebut.
Ibnu Taimiyah berkata:
Sebagian besar ahlul ilmu berpendapat bahwa
menyamak itu bisa mensucikan kulit, karena validitas nash-nash yang
menceritakan hal itu. Sedangkan hadits Ibnu Ukaim tidak bisa dibandingkan
dengan nash-nash tersebut dari sisi validitas dan kekuatannya, apalagi untuk
bisa menasakhnya.
Adapun hadits poin (d)
yang di dalamnya disebutkan:
“Mengapa kalian tidak
menyamak kulitnya, karena menyamaknya itu adalah menyembelihnya.”
Hadits ini telah
digunakan sebagai dalil oleh orang yang mengatakan bahwa menyamak itu bisa
mensucikan kulit bangkai dari hewan yang dimakan dagingnya, tetapi tidak dengan
kulit bangkai dari hewan yang tidak dimakan dagingnya. Mereka menyoroti sabda
Rasulullah Saw.: karena menyamak itu sama dengan menyembelihnya, lalu mereka
berkata: Rasulullah Saw. telah menyerupakan menyamak dengan menyembelih,
sedangkan menyembelih itu dilakukan terhadap hewan yang dimakan dagingnya, dan
karena menyamak itu merupakan salah satu cara mensucikan kulit sehingga tidak
memberikan pengaruh apapun terhadap hewan yang tidak dimakan seperti halnya
menyembelihnya. Telah dinukil dari Ahmad bin Hanbal, bahwasanya dia berkata:
Segala sesuatu yang suci saat hidupnya itu bisa disucikan dengan cara disamak,
karena keumuman lafadz dalam persoalan itu, dan karena sabda Rasulullah Saw.:
“Kulit apapun ketika
disamak maka sungguh menjadi suci.”
Hadits ini mencakup
hewan yang dimakan dagingnya, sedangkan yang tidak dimakan dagingnya tidak
dicakup oleh hadits ini, karena ia najis saat masih hidup. Hal ini karena
menyembelih itu hanya memberikan pengaruh dalam menghilangkan najis yang muncul
karena kematian, sehingga selainnya tetap dalam keumumannya.
Maka saya katakan:
Pernyataan pertama bahwa Rasulullah Saw. menyerupakan menyamak dengan
menyembelih, dan menyembelih itu dilakukan pada hewan yang dimakan dagingnya,
maka ini merupakan pernyataan yang benar jika kulit tersebut disamak dalam
rangka untuk dimakan. Inilah bagian yang tidak mereka katakan. Mereka
menginginkan penyerupaan (at-tasybih)
ini utuh sempurna, sehingga penyerupaan yang utuh sempurna ini menuntut
(meniscayakan) bahwa menyembelih itu sama dengan upaya mensucikan, dan
mensucikan itu hanya dilakukan terhadap hewan yang dimakan dagingnya, dan
menyamak itu merubah sesuatu yang tidak dimakan karena najisnya menjadi sesuatu
yang bisa dimakan karena sucinya.
Ini tentu tuntutan
yang rusak, karena seandainya ucapan yang dilontarkan adalah menyamak itu
dilakukan terhadap bagian yang najis pada bangkai dengan maksud menghalalkannya
agar bagian tersebut bisa dimakan, niscaya benarlah ucapan mereka. Ketika
mereka tidak berniat ke sana dan tidak mengatakan hal seperti itu, dan bahwa
kulit itu disamak tidak semata-mata hanya untuk dimakan, maka ini menunjukkan
bahwa penyerupaan menyembelih kulit dengan menyembelih hewan yang dimakan
dagingnya sebagai penyerupaan yang utuh sempurna (tasybihun
kaamilun) adalah keliru.
Sebenarnya,
menyembelih kulit itu tidak lebih maksudnya adalah mensucikannya saja, yakni
ini merupakan ungkapan kebahasaan, bukan ungkapan istilah syara. Dan menyamak itu tidak lebih faktanya
sebagai upaya mensucikan kulit, yakni menghilangkan najis kulit itu saja,
artinya menjadikan kulit tersebut baik sehingga layak digunakan setelah
sebelumnya najis dan tidak boleh dimanfaatkan.
Inilah makna atau
pengertian hadits, sehingga kata tadzkiyah
(penyembelihan) itu tidak boleh ditafsirkan sebagai upaya menghilangkan najis
dari benda najis agar layak dimakan, sehingga ketika mereka keliru menafsirkan
kata menyembelih di sini maka mereka keliru pula dalam memutuskan hukumnya,
sehingga mereka tersasar dalam persoalan hewan yang dimakan dagingnya dan yang
tidak dimakan dagingnya.
Perihal ucapan yang
diriwayatkan dari Imam Ahmad, ini merupakan aspek lain penakwilan yang terlalu
jauh, karena kami belum mendengar ada najis saat ini dan najis tempo dulu, yang
satu sama lain berbeda hukumnya. Sesungguhnya najis itu adalah tetap najis,
dahulu ataupun sekarang tidak ada bedanya. Pembedaan seperti itu tidak
disebutkan dalam nash al-Qur’an atau hadits. Tidaklah mereka melontarkan
pernyataan seperti ini melainkan agar mereka bisa menafsirkan kata at-tathhir (mensucikan) atau ad-dzakat (menyembelih) dengan penafsiran yang
selaras dengan pendapat mereka sebelumnya, yakni hewan yang dimakan dagingnya
itu suci, dan hewan yang tidak dimakan dagingnya itu najis, tentu ini tidak
benar.
Seandainya Imam Ahmad rahimahullah cukup memperhatikan pada bagian
awal dan akhir ungkapan hadits, lalu dia tidak memperhatikan kalimat yang ada
di antara kedua bagian tersebut, maka akan benarlah ungkapan yang beliau
lontarkan. Sabda beliau Saw.: kulit apapun, itu berlaku umum, tidak ada satu
nash pun yang mentakhsisnya. Inilah yang
beliau Saw. ungkapkan di bagian awal dan akhir ungkapannya, takhsis yang disampaikan Ahmad ternyata tidak
ditopang oleh dalil.
Sungguh cerdas Ibnu
Qudamah dalam memahami makna ini, dengan bersikap lembut terhadap ucapan Ahmad
bin Hanbal, ia mengutarakannya dalam bentuk ihtimal
(kemungkinan). Ia berkata: Hadits yang mereka gunakan itu mengandung
kemungkinan: maksud dari ad-dzakat
(menyembelih) itu adalah at-tathyib
(merubah sesuatu menjadi baik), seperti ucapan raaihatun
dzakiyyah ai thayyibah (bau yang harum). Kemungkinan pertama ini bisa
diterima semua pihak. Kemungkinan ini ditunjukkan ketika ad-dzakat (sembelihan) disandarkan pada al-jildu (kulit) secara khusus, di mana
perkara yang berkaitan dengan kulit itu adalah membaikkannya dan mensucikannya.
Sedangkan ad-dzakat dalam arti ad-dzabhu (menyembelih) itu tidak disandarkan
selain pada hewan secara keseluruhan; juga kemungkinan maksud dari ad-dzakat itu adalah ath-thaharah (mensucikan) sehingga thaharah
disebut dengan ad-dzakat, sehingga
lafadz tersebut bersifat umum untuk setiap kulit, dan mencakup perkara yang
kita perselisihkan.
Kesimpulannya adalah ad-dzakat (menyembelih) yang dimaksud
Rasulullah Saw. adalah ad-dzakat dari
sisi bahasanya, yakni sekedar mensucikan dan menjadikannya baik, bukan ad-dzakat dalam pengertian syara yang biasa dilakukan terhadap binatang.
Karena itu penyerupaan di sini adalah penyerupaan yang tidak seutuhnya.
Adapun poin (e) adalah
firman Allah Swt.:
“Katakanlah: “Ia akan
dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama,”
mereka berargumentasi
dengan ayat ini bahwa tulang itu dimasuki dan didiami oleh kehidupan (nyawa).
Tulang itu hidup dan mati, seiring kehidupan dan kematian hewan, sehingga
tulang hewan yang sudah menjadi bangkai itu juga sama dengan bangkai, sehingga
tulang itu terkategorikan bangkai, hukumnya pun sama dengan hukum bangkai dari
sisi najis dan keharamannya. Seperti itulah mereka memahami ayat ini, dan
seperti itulah mereka menggunakan ayat ini sebagai argumentasi yang menopang
pendapat mereka.
Faktor yang menjadi
sebab mereka terjerumus seperti ini adalah hasil ijtihad Imam at-Tsauri dan Abu
Hanifah, yang menyatakan sucinya tulang bangkai, karena kematian itu tidak
mengenai tulang sehingga tidak bisa menajisinya. Ini persis dengan bulu, dan karena
‘illat ketetapan najis pada daging dan
kulit itu karena sampainya darah pada daging atau kulit tersebut, dan ini tidak
terjadi pada tulang, maka mereka membantah kedua imam tersebut dengan
menyatakan bahwa pendapat kedua imam tersebut keliru, dalilnya adalah firman
Allah Swt.:
“Ia berkata: “Siapakah
yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?”
Mereka kemudian
mengatakan bahwa sesuatu yang hidup itu akan mati, dan karena tanda kehidupan
itu adalah sensasi rasa dan rasa sakit, sedangkan rasa sakit yang menimpa
tulang itu bisa lebih nyeri dibandingkan rasa sakit pada daging dan kulit. Gigi
geraham itu bisa merasa sakit dan bisa merasakan dingin dan panasnya air, dan
sesuatu yang dihuni oleh kehidupan akan mengalami kematian, karena kematian itu
adalah perpisahan dengan kehidupan,
dan sesuatu yang dihinggapi kematian itu akan menjadi najis seperti daging
misalnya… dan seterusnya.
Seperti itulah, ketika
Abu Hanifah rahimahullah menyampaikan
dasar dan alasan pendapatnya, maka pihak lain secara keliru membantah
pendapatnya itu. Kedua pihak ini telah menyimpang dari upaya memahami hadits
Rasulullah Saw. yang sebenarnya menjelaskan ‘illat
dalam persoalan tersebut, yakni hewan yang dimakan itu berbeda dengan hewan
yang tidak dimakan dagingnya, tanpa melihat lagi kehidupan dan kematian,
sensasi rasa dan rasa sakit, dan sebagainya. Adapun ayat al-Qur'an dalam poin
(f):
“Diharamkan bagimu
(memakan) bangkai.”
Dan hadits poin (9)
yang berbunyi:
“Bagian tubuh yang
dipotong dari hewan yang masih hidup itu adalah bangkai.”
Maka ini semua
merupakan nash-nash yang umum, yang darinya bisa digali hukum-hukum umum yang shahih yang tidak diperselisihkan oleh
seorangpun. Tetapi dalil-dalil dan bukti-bukti yang kami pegang adalah
dalil-dalil yang mentakhsis hukum umum
ini. Hukum yang khusus itulah yang diamalkan, sedangkan hukum umum tetap
berlaku dalam persoalan selainnya. Mengutip hukum umum dengan bersandarkan
dalil-dalil yang umum itu tidak bisa membantu mereka membantah dalil-dalil dan
hukum-hukum yang khusus. Karena itu kami tidak akan terlalu berpanjang lebar
dalam persoalan tersebut.
Tinggallah kini dua
persoalan yang harus kami sebutkan, yakni:
a. Telur yang diambil
dari ayam yang sudah mati, apakah telur tersebut suci ataukah najis?
b. Susu dan anfihhah (zat dari perut anak sapi yang bisa
dibuat keju) yang berasal dari bangkai.
Saya katakan: Jika
telur tersebut sudah sempurna sehingga layak disebut telur, lalu ditemukan di
dalam perut ayam atau merpati yang sudah mati, maka telur tersebut suci alias
tidak najis. Telur dalam kondisi seperti itu mirip dengan kambing, sapi, atau unta
yang mati, lalu ditemukan janinnya di dalam perutnya, ketika perutnya dibedah
maka keluarlah janinnya dalam keadaan hidup, janin tersebut suci sehingga
berlaku padanya hukum yang diberlakukan pada bayi apapun. Telur itu semisal
dengan bayi tersebut, sehingga dipandang suci dan halal dimakan,
dijual-belikan, dan ditetaskan.
Sedangkan mengenai
susu dan anfihhah (zat dari perut anak
sapi yang bisa dibuat keju) bangkai, maka keduanya itu najis, karena keduanya
merupakan bagian zat benda dari bangkai, sehingga hukumnya sama dengan hukum
bangkai dari sisi suci dan najisnya. Hal ini karena bangkai itu najis, maka kambingnya
pun menjadi najis karena kematian, sehingga susu yang ada dalam ambing itu pun
menjadi najis. Begitupula anfihhah -yang
kita sebut al-masaat, bahan yang
digunakan untuk membekukan susu dalam rangka membuat keju- itu najis dengan
sebab yang sama.
Mereka yang
berpendapat telur yang berasal dari bangkai itu suci adalah Abu Hanifah,
sebagian ulama Syafi’iyah seperti Ibnu al-Mundzir, dari kalangan Hanabilah
adalah Ibnu Qudamah, sedangkan yang memakruhkan telur seperti itu adalah Malik,
al-Laits dan sebagian ulama Syafi’iyah. Dan mereka yang berpendapat susu dan anfihhah bangkai itu suci adalah Ahmad, Malik
dan as-Syafi’i. Sedangkan Abu Hanifah dan Dawud mengatakan bahwa keduanya itu
suci.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar