BAB TIGA
HUKUM BENDA NAJIS
Bab ketiga ini memuat
lima persoalan berikut pengantarnya. Kelima persoalan tersebut adalah:
2. Apakah
menghilangkan benda najis harus berbilang (dilakukan beberapa kali)?
5. Istihalah (transformasi).
Pengantar
Telah kami katakan
dalam pembahasan benda-benda najis bahwa benda najis itu wajib dijauhi. Syariat
tidak membuat pengecualian apapun untuk benda-benda najis yang harus dijauhi
itu melainkan hanya anjing pemburu, anjing penjaga, dan kulit hewan yang sudah
menjadi bangkai ketika sudah disamak. Benda-benda najis selain yang tiga tadi
hukumnya bersifat tetap, yakni harus dijauhi.
Menjauhi najis berikut
tata caranya yakni yang disebut dengan menghilangkan najis (izalatun najasah) itu tidak memerlukan niat,
hanya cukup dilakukan dengan menghilangkan najisnya saja. Ketika najis itu
hilang dengan atau tanpa disertai niat, dan ketika najis itu hilang karena
tindakan yang berasal dari kita atau dari selain kita, maka itu semua sama saja,
sehingga tuntutan untuk menghilangkannya dianggap telah sempurna dilaksanakan,
dan persoalannya dianggap telah selesai dilakukan.
Benda najis (an-najis) itu kebalikan dari benda yang suci (at-thahir), sehingga selain benda-benda najis
yang sebelumnya telah kami jelaskan spesifikasinya dipandang sebagai benda yang
suci (at-thahir), yang tidak membutuhkan
dalil yang menunjukkan kesuciannya.
Artinya, ketika kita
tidak menemukan dalil yang menunjukkan najisnya suatu benda, maka bisa kita
tetapkan benda tersebut sebagai benda yang suci. Hal ini karena Allah Swt.
telah menundukkan segala sesuatu bagi kita semua; artinya bumi, hewan dan
tumbuh-tumbuhan, bahkan langit dan benda-benda yang ada di sana, telah
ditundukkan oleh Allah Swt. untuk manusia. Allah Swt. berfirman:
“Dan Dia telah
menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai
rahmat) daripada-Nya.” (TQS. al-Jatsyiyah [45]: 13)
Taskhir (menundukkan) itu menghendaki bolehnya
menggunakan dan memanfaatkan sesuatu yang ditundukkan, dan penggunaan sesuatu
itu tidak ditujukan untuk benda-benda najis. Karena itu, maka segala sesuatu
yang ada di langit dan di bumi telah ditundukkan dan statusnya suci, kecuali
benda yang dikecualikan oleh nash.
Sucinya suatu benda
merupakan hukum asal, sedangkan najisnya sesuatu itu merupakan pengecualian
(yakni keluar dari hukum asal), di mana syariat menuntut agar benda yang najis
itu dibuang dan tidak boleh ditransaksikan. Kemudian Allah Swt. menciptakan alam
semesta, lalu menawarkan amanat taklif (beban-beban hukum keagamaan) kepadanya,
tetapi alam semesta enggan dan khawatir akan mengkhianatinya, kecuali manusia
yang mendzalimi dirinya dan bodoh, yang memang dirancang untuk menanggung beban
tersebut. Manusia siap dan setuju untuk memikulnya.
Karena itu, segala
sesuatu yang wujud itu berjalan dalam ketaatan kepada Allah, dan manusia yang
beriman serta saleh itu berjalan bersama alam semesta dalam ketaatan kepada
Allah. Tidak ada yang keluar dan menyimpang dari jalur ketaatan ini dan merasa
sulit berada di dalamnya selain mereka yang kafir dari kalangan manusia. Orang
seperti ini dikatakan tidak normal dan telah keluar (menyimpang) dari karakter
asal makhluk-Nya, yakni taat kepada Allah Swt. Makhluk lainnya yang disamakan
dengan orang kafir itu adalah jin dan setan.
Karenanya tidak heran
ketika syariat menyematkan istilah “najis” pada orang-orang kafir -karena
menyerupakan mereka dengan benda-benda najis- yang telah menyimpang dari
karakter asal benda sebagai sesuatu yang suci. Ketika benda-benda najis telah
keluar dari kesucian sebagai karakter asal benda dan disebut sebagai sesuatu
yang najis, maka begitu pula dengan orang-rang kafir yang telah keluar dari
ketaatan sebagai karakter asal segala sesuatu, sehingga mereka pun disebut
najis. Allah Swt. berfirman:
“Sesungguhnya
orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil
Haram sesudah tahun ini.” (TQS. at-Taubah [9]: 28)
Al-Qur'an tidak pernah
menggunakan kata “najis” kecuali hanya sekali ini saja, yakni ketika menyebut
karakter orang kafir musyrik. Karena itu pada dasarnya orang kafir musyrik itu
harus “dibuang/diasingkan” sebagaimana halnya benda-benda najis yang dibuang,
walaupun cara yang harus dilakukan (terhadap orang kafir dan benda najis) itu
tentu berbeda adanya. Masalah yang akan dibahas saat ini adalah terkait
tindakan memperlakukan benda najis, bukan terkait interaksi dan transaksi
dengan orang kafir.
Ada benda yang najis (an-najisu), ada pula benda yang terkena najis
(al-mutanajjis). Benda-benda najis yang
sebelumnya telah dibahas dan dispesifikasikan adalah yang termasuk kategori an-najisu (benda yang najis). Ketika benda
yang najis ini bercampur dengan benda yang lain, maka benda yang lain ini
menjadi mutanajjis (benda yang terkena
najis).
Hukum menjauhi dan
menghilangkan itu terkait dengan benda yang najis, bukan benda yang terkena
najis. Al-Mutanajjis (benda yang terkena
najis) itu berpeluang untuk dikembalikan pada status awalnya sebagai benda yang
suci, dengan cara menghilangkan najisnya, kecuali segelintir benda saja dan
jarang ada. Sedangkan an-najis (benda
yang najis) itu memang asalnya adalah najis, sehingga akan tetap najis dan
tidak bisa menjadi suci, kecuali dalam satu kondisi dan ini pun jarang pula.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar