Syariat telah
mengharamkan pemanfaatan benda najis secara umum dan mutlak. Syariat pun telah
mewajibkan kaum Muslim menjauhi benda najis. Ini berbeda dengan orang kafir, di
mana orang kafir diperbolehkan oleh Islam memanfaatkan benda najis. Syariat
telah membolehkan orang kafir memanfaatkan khamar, padahal khamer itu najis;
membolehkan mereka memanfaatkan babi padahal babi itu najis; dan membolehkan
mereka memanfaatkan benda-benda najis yang mereka kehendaki tanpa ada larangan
apapun dari Negara Khilafah. Sekalipun mereka meminum air seni mereka sendiri,
mencampurkan darah dalam obat-obatan yang mereka konsumsi, dan memakan bangkai,
maka kaum Muslim tidak akan pernah menghalangi orang kafir melakukannya (di
ruang privat).
Islam memerintahkan
kaum Muslim membiarkan orang kafir dengan apa yang mereka sembah dan apa yang
mereka makan. Sedangkan kaum Muslim, manusia yang bersih nan suci, akan
menganggap hina terhadap benda najis dan merasa jijik dekat dengan benda najis.
Syariat telah
mewajibkan kaum Muslim menghilangkan benda najis, dan tidak memanfaatkannya
dengan cara apapun, kecuali cara yang telah dikhususkan oleh dalil, seperti
anjing pemburu dan anjing penjaga serta kulit bangkai setelah disamak. Semua
benda najis selain tiga perkara ini secara mutlak tidak boleh dimanfaatkan.
Sejumlah dalil berikut ini akan kami kemukakan:
a. Dari Jabir bahwasanya dia mendengar
Rasulullah Saw. bersabda pada tahun penaklukan Makkah, dan beliau Saw. sedang
berada di Makkah:
“Sesungguhnya Allah
Swt. dan Rasul-Nya telah mengharamkan jual-beli khamar, bangkai, babi, dan
patung. Beliau Saw. ditanya: Wahai Rasulullah, menurut hemat engkau, bagaimana
dengan lemak bangkai, karena lemak bangkai itu bisa digunakan untuk
mengkilapkan perahu, melumuri kulit, dan digunakan orang-orang untuk menyalakan
lampu. Maka beliau Saw. berkata: “Jangan, lemak tersebut haram.” Kemudian
Rasulullah Saw. bersabda saat itu: “Allah Swt. membinasakan dan melaknat
orang-orang Yahudi, karena ketika Allah mengharamkan lemak bangkai, mereka
malah mencairkannya, kemudian menjualnya, lalu memakan hasil (keuntungan)
penjualannya.” (HR. Bukhari, Ahmad dan para penyusun kitab as-Sunan)
b. Dari Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah Saw.
bersabda:
“Allah melaknat orang
Yahudi -tiga kali-. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan lemak atas mereka,
tetapi mereka malah menjualnya dan memakan hasil penjualannya. Dan jika Allah
Swt. mengharamkan suatu kaum memakan sesuatu, maka Allah Swt. mengharamkan hasil
penjualannya atas mereka.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan al-Baihaqi)
c. Dari Aun bin Abi Juhaifah, dari ayahnya:
“Bahwasanya dia
membeli seorang budak tukang bekam, lalu dia meminta alat hijamahnya. Kemudian alat hijamah tersebut dipatahkannya. Maka aku
bertanya kepadanya: Apakah engkau (sengaja) mematahkannya? Dia berkata: Ya,
sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang dari hasil (keuntungan) darah, hasil
(keuntungan) anjing, upah pelacur, dan beliau Saw. melaknat pemakan riba dan
orang yang memberi riba, orang yang mentato dan orang yang meminta ditato, dan
Rasulullah Saw. melaknat orang yang mentashwir
(membuat gambar/melukis).” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Al-mahajim adalah
bentuk jamak dari al-mihjam, artinya alat yang digunakan untuk membekam.
d. Dari Ibnu Abbas, dia berkata:
“Rasulullah Saw.
melarang dari harga anjing. Dan jika seseorang datang meminta harga anjing,
maka penuhilah telapak tangannya dengan tanah.” (HR. Abu Dawud)
Para perawinya tsiqah. Ahmad meriwayatkan hadits serupa
dengan redaksi:
“Harga anjing itu
diharamkan. Beliau Saw. berkata: “Jika seseorang datang kepadamu meminta harga
anjing, maka penuhilah dua tangannya dengan tanah.”
e. Dari Maimunah ra.:
“Bahwasanya Rasulullah
Saw. ditanya tentang tikus yang jatuh ke dalam minyak samin (yang beku), maka
beliau Saw. berkata: Buanglah tikus itu, dan buanglah minyak yang ada di
sekitar tikus tersebut, (dan sisanya) makanlah.” (HR. Bukhari, Malik, Ahmad,
an-Nasai dan Abu Dawud)
f. Dari Wail al-Hadhrami:
“Bahwasanya Thariq bin
Suwaid al-Ju'fiy bertanya pada Nabi Saw. tentang khamar, maka beliau Saw.
melarangnya atau tidak suka dia membuatnya. Lalu Thariq berkata: Sesungguhnya
aku membuat khamar untuk dijadikan obat. Beliau Saw. berkata: “Sesungguhnya khamar
itu bukan obat, melainkan penyakit.” (HR. Muslim, Ahmad, ad-Darimi, Abu Dawud
dan atTirmidzi)
Hadits yang pertama
menyebutkan tiga jenis benda najis, yakni khamr, bangkai, dan babi, kemudian
membuat turunan dari jenis yang kedua (bangkai) yakni lemak bangkai, dan
menyebutkan bahwa benda-benda najis ini haram dijual-belikan; lemak pun haram
dimanfaatkan, baik untuk mengkilapkan perahu, melumuri kulit, atau menyalakan
lampu.
Hadits ini dengan
jelas menyatakan ketidakbolehan memanfaatkan benda-benda najis, baik untuk
dijual-belikan ataupun untuk digunakan.
Dalam hadits kedua
terdapat qaidah fiqhiyah yang luas dalam
persoalan memanfaatkan benda-benda yang diharamkan, termasuk benda-benda najis,
yakni “segala sesuatu yang haram dimakan itu haram diperjualbelikan.”
Dalam hadits ketiga
terdapat pengharaman menjual dua kategori benda najis, yakni darah dan anjing,
dan tindakan menjual itu sama dengan memanfaatkan.
Hadits keempat
menunjukkkan pengharaman menjual anjing “dan jika seseorang datang meminta
harga anjing, maka penuhilah telapak tangannya dengan tanah.”
Dalam hadits kelima
terdapat perintah dari Rasulullah Saw. untuk membuang minyak samin yang terkena
najis karena ada bangkai yang jatuh ke dalamnya.
Dan dalam hadits
keenam, Rasulullah Saw. menolak pemanfaatan khamar, walaupun khamar tersebut
dibuat dan digunakan untuk obat.
Inilah contoh-contoh
pengharaman memanfaatkan bangkai dan lemaknya, dan pengharaman memanfaatkan
anjing, babi, darah, dan minyak samin yang terkena najis.
Hadits kelima saja
-seandainya tidak ada dalil lain selainnya- sebenarnya sudah cukup, di mana
beberapa kategori sebelumnya adalah termasuk benda najis (an-najis), sedangkan yang disebutkan dalam
hadits kelima terkategorikan benda yang terkena najis (al-mutanajis). Walaupun begitu Rasulullah Saw. tetap
memerintahkan membuang benda mutanajis
tersebut, dan melarangnya dimanfaatkan.
Benda yang terkena
najis (al-mutanajis) saja harus dibuang,
maka terlebih lagi dengan benda najis (an-najis).
Kemudian ketika kita
mengetahui bahwa syariat telah melarang membuang-buang harta, bahkan melarang
membuang atau menyia-nyiakan harta dalam jumlah sedikit sekalipun, seperti
sebutir nasi yang jatuh dari tangan, berdasarkan hadits yang diriwayatkan
Jabir, bahwasanya dia mendengar Nabi Saw. bersabda:
“Ketika salah seorang
dari kalian sedang makan, lalu jatuh makanan dari tangannya, maka hendaklah dia
menjauhkan sesuatu yang diragukan darinya, dan hendaklah dia memakannya dan
tidak membiarkannya untuk setan. Dan janganlah dia mengusap tangannya dengan
sapu tangan hingga dia menjilat tangannya itu, karena seseorang tidak
mengetahui di manakah bagian makanan yang diberkahi baginya?” (HR. Ibnu Hibban,
Muslim dan Ahmad)
Sekali lagi saya
katakan, ketika syariat jelas melarang membuang sebutir nasi yang jatuh dari
tangan seperti itu, maka tidak mungkin syariat
sampai memerintahkan membuang sesuatu yang lebih berharga dari sebutir nasi,
seperti minyak samin yang dijatuhi benda najis, jika bukan karena tidak
bolehnya memanfaatkan sesuatu yang terkena najis seperti itu?
Sejumlah imam senior
membolehkan pemanfaatan benda najis. Di antara mereka ada Abu Hanifah, Malik,
as-Syafi'i, dan al-Laits, di mana mereka berargumentasi dengan beberapa dalil
berikut:
a. Hadits pertama yang
telah kami tunjukkan di atas, yakni hadits Bukhari dan selainnya dari jalur
Jabir.
b. Dari Ibnu Umar:
“Bahwasanya
orang-orang bersama Rasulullah Saw. telah singgah di Hijr -negeri kaum Tsamud-,
lalu mereka mengambil air dari sumurnya dan membuat adonan dengan air sumur
tersebut. Kemudian Rasulullah Saw. memerintahkan mereka untuk menumpahkan air
yang mereka ambil, dan menjadikan adonan tersebut untuk memberi makan unta.”
(HR. Muslim dan Bukhari)
c. Dari Muhayyishah
saudara Bani Haritsah, dari ayahnya:
“Bahwasanya dia
meminta ijin kepada Nabi Saw. (untuk mengambil dan memakan) upah tukang bekam,
tetapi beliau Saw. melarangnya dari tindakannya itu. Dia terus-menerus bertanya
dan meminta ijin pada beliau Saw., hingga beliau Saw. berkata: “Berikanlah upah
tersebut untuk pakan untamu, dan berikanlah untuk makanan sahayamu.” (HR.
Tirmidzi dan dia menghasankannya).
Kami bantah pendapat
mereka dengan menyatakan, bahwa hadits kedua yang diriwayatkan Syaikhan
(Bukhari dan Muslim) dan hadits ketiga yang diriwayatkan Tirmidzi tidak layak
digunakan sebagai dalil dalam persoalan ini. Kedua hadits tersebut tidak
membahas persoalan benda najis dan tidak terkait dengan pemanfaatan benda
najis, melainkan membahas penggunaan sesuatu yang diharamkan. Sesuatu yang
diharamkan itu tidak serta-merta sama dengan sesuatu yang najis. Ganja itu
diharamkan, tetapi bukan merupakan benda najis. Salib itu diharamkan, tetapi
bukan merupakan benda najis. Patung itu diharamkan tetapi bukan merupakan benda
najis.
Maka begitu pula
dengan upah seorang tukang bekam dan air sumur orang yang mendzalimi diri
mereka sendiri, bahkan terkait upah tukang bekam itu sendiri para fuqaha belum
sepakat mengharamkannya. Ada sebagian yang membolehkannya, dan ada pula yang
memakruhkannya. Saya tidak ingin masuk lebih jauh dalam persoalan ini tiada
lain agar tidak keluar dari pokok pembahasan yang sedang diuraikan.
Karena itu saya
katakan, sesungguhnya hadits kedua dan ketiga ini tidak layak untuk digunakan
sebagai dalil dalam persoalan ini. Di dalamnya tidak terdapat dilalah apapun yang menunjukkan bolehnya
memanfaatkan benda najis, sehingga kedua hadits ini harus ditinggalkan dan
gugur bila digunakan sebagai hujjah
dalam persoalan ini.
Tinggallah kini hadits
yang pertama, yakni hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan kawan-kawan dari
jalur Jabir. Hadits ini tidak layak dikutip sebagai hujjah kebolehan memanfaatkan benda najis, malah justru
berseberangan sama sekali. Hadits ini mengatakan:
“Sesungguhnya Allah
Swt. dan Rasul-Nya telah mengharamkan jual-beli khamar, bangkai, babi, dan
patung. Lalu beliau Saw. ditanya: Wahai Rasulullah, menurut hemat engkau
bagaimana dengan lemak bangkai, karena lemak bangkai itu bisa digunakan untuk
mengkilapkan perahu, melumuri kulit, dan digunakan orang-orang untuk menyalakan
lampu. Maka beliau Saw. berkata: “Jangan, lemak tersebut haram.”
Mereka menggali hadits
tersebut dan membuat-buat pertanyaan:
Apakah kata ganti huwa dalam ucapan beliau huwa haramun, itu merujuk pada tindakan
memperjualbelikannya, “sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan
menjual...” ataukah kata ganti tersebut merujuk pada tindakan memanfaatkannya
“mengkilapkam… melumuri... menyalakan...” Mereka berkata: Tampak jelas bahwa kata
ganti huwa tersebut merujuk pada al-bai’ = tindakan menjual, karena kata inilah
yang disebutkan dengan jelas dan menjadi pokok pembicaraan. Hal ini diperkuat
dengan ucapan beliau Saw. di penghujung hadits: ”mereka menjualnya.”
Orang yang mengatakan
bahwa dhamir (kata ganti) tersebut
merujuk pada al-bai' (tindakan menjual)
akan menyatakan bolehnya memanfaatkan benda najis secara mutlak, yang
diharamkan hanya menjualnya saja. Mereka pun berargumentasi dengan adanya
kesepakatan bolehnya memberikan bangkai sebagai pakan anjing.
Mereka berkata: Jika
pengharaman ini ditujukan pada tindakan menjualnya maka berarti boleh
memanfaatkan lemak bangkai dan lemak yang terkena najis yang ada dalam segala
sesuatu selain lemak yang ada pada makanan manusia dan lemak yang digunakan
untuk melumuri badan manusia. Kedua lemak yang terakhir ini haram seperti
haramnya memakan bangkai dan melumuri/mengurapi badan dengan benda najis.
Begitulah pernyataan yang mereka lontarkan, dan begitulah kesimpulan dan
argumentasi yang mereka kemukakan.
Tetapi jika nash
tersebut dicermati lebih seksama, maka akan nampak kekeliruan kesimpulan
mereka, dengan alasan berikut ini:
a. Menurut bahasa, dhamir (kata ganti) itu merujuk pada isim yang paling dekat, bukan pada isim
yang paling jauh. Isim yang lebih dekat
dalam matan hadits tersebut adalah
lafadz-lafadz yang memberi pengertian pemanfaatan (mengkilapkan... melumuri...
menyalakan…), bukan lafadz al-bai'
(menjual) yang notabene menjadi kata yang paling jauh dalam teks hadits
tersebut.
b. Pernyataan mereka bahwa dhamir itu kembali pada al-bai' (menjual) karena disebutkan dengan
jelas merupakan pernyataan yang tidak cermat, karena lemak dan beberapa
perbuatan yang berhubungan dengan lemak tersebut juga disebutkan dengan jelas.
c. Sesungguhnya jika kita menafsirkan hadits
tersebut dengan menyoroti bahwa yang dirujuk oleh dhamir
huwa itu adalah al-bai’ (menjual), niscaya ucapan atau kalimat yang terakhir
tidak akan bermakna sama sekali, karena lemak bangkai itu disamakan dengan
bangkai dalam keharaman jual-belinya, karena lemak tersebut menjadi bagian dari
bangkai. Berbeda halnya jika penafsirannya dilakukan dengan merujukkan dhamir pada lafadz lemak, maka ini akan
melahirkan pengertian yang baru. Penambahan makna baru ini lebih baik daripada
ketika diabaikan.
d. Bagian pertama matan
hadits ini telah lengkap sempurna:
“Sesungguhnya Allah
dan Rasul-Nya telah mengharamkan jual-beli khamar, bangkai, babi, dan patung.”
Kalimat seperti itu
tidak membutuhkan kalimat lanjutan. Seandainya Rasulullah Saw. tidak ditanya
tentang lemak bangkai, niscaya matan
hadits ini akan berakhir pada kata “patung.” Tetapi ketika Rasulullah Saw.
ditanya tentang lemak bangkai yang digunakan untuk ini dan itu, yang
dimanfaatkan untuk ini dan itu, beliau Saw. menjawab:
“Jangan, itu haram.”
Dhamir “huwa” itu terlalu jauh kalau merujuk pada
lafadz al-bai' (menjual), karena dalam
hadits ini terdapat dua kalimat sempurna yang masing-masing berdiri sendiri.
Kalimat “sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan...” memberi pengertian
pengharaman empat perkara yang pertama-tama disebutkan, dan kalimat “jangan,
itu haram” menunjukkan pengharaman menggunakan lemak untuk mengkilapkan perahu,
melumuri kulit, dan menyalakan lampu.
Seperti itulah
seharusnya hadits ini dipahami, dan seperti itulah seharusnya hadits ini
ditafsirkan oleh orang yang berpegang pada dhahir
hadits, seraya meninggalkan pendalaman yang tidak berarti dan tindakan
dibuat-buat yang hanya akan menyusahkan diri. Dengan demikian, jelaslah
kekeliruan pendapat orang yang mengatakan bolehnya memanfaatkan benda najis.
Adapun yang mereka
katakan terkait memberikan bangkai sebagai pakan anjing, maka ini tidak
termasuk persoalan “memanfaatkan benda najis” yang sedang kita bahas. Anjing
itu najis, dan memberinya bangkai yang najis sebagai pakan merupakan kondisi
khusus, karena hal itu termasuk menyatukan benda najis dengan benda najis, dan
tidak ada halangannya untuk itu.
Perihal memberikan
bangkai sebagai pakan untuk hewan yang suci, atau menggunakan bangkai dalam
sesuatu yang suci, maka hal itu sama dengan menajisi sesuatu yang suci, dan ini
tidak boleh. Terdapat larangan menunggangi hewan jalalah,
memakan dagingnya, dan meminum susunya; tiada lain alasannya adalah karena
hewan tersebut memakan kotoran sebagai benda najis. Dari Ibnu Abbas, dia
berkata:
“Rasulullah Saw.
melarang dari kambing jallalah (yang
memakan kotoran), hewan mujatsamah (yang
dikurung kemudian dijadikan target untuk dilempari tombak/panah), dan melarang
minum dari mulut kantung air (qirbah).” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan
an-Nasai)
Dari Amr bin Syu'aib
dari ayahnya dari kakeknya, dia berkata:
“Rasulullah Saw.
melarang dari daging himar jinak dan hewan jalalah,
menungganginya, dan memakan dagingnya.” (HR. Ahmad dan an-Nasai dengan sanad jayyid, para perawinya tsiqah kecuali Mu’ammal yang dipandang tsiqah oleh Ibnu Mu'in).
Ketika unta, sapi,
domba, dan ayam memakan benda-benda najis, maka kita bukan hanya dilarang
memakannya saja, tetapi juga dilarang menungganginya. Perhatikanlah betapa
besar dampak penggunaan benda najis dalam segala sesuatu yang suci. Dimakruhkan
pula memakan daging hewan jalalah,
kecuali jika hewan jalalah tersebut
diberi pakan yang suci dalam jangka waktu tertentu sampai hewan tersebut
dianggap bersih dari benda najis yang telah dimakannya.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar