Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 23 Agustus 2017

Dalil Haramnya Berobat Dengan Najis Dan yang Haram



Tinggallah kini poin terakhir, yakni perihal berobat: Apakah boleh berobat dengan menggunakan benda najis dan haram, ataukah tidak boleh? Jawaban yang benar adalah berobat dengan benda najis dan diharamkan itu adalah haram, alias tidak boleh, alasannya adalah:

a. Dari Wail al-Hadhrami bahwasanya Thariq bin Suwaid al-Ju’fiy:

“Dia bertanya kepada Nabi Saw. tentang khamar, maka beliau Saw. melarangnya atau tidak suka jika dia (Thariq) membuatnya. Lalu dia berkata: Sesungguhnya aku membuatnya hanya untuk dijadikan obat. Maka Nabi Saw. berkata: “Khamar itu bukan obat, tetapi penyakit.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi)

b. Dari Abu Darda ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Sesungguhnya Allah Swt. menurunkan penyakit dan obat penawar, dan menetapkan untuk setiap penyakit ada obat penawarnya, maka berobatlah kalian dan janganlah kalian berobat dengan barang yang haram.” (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi)

c. Dari Ummu Salamah, dia berkata:

“Sesungguhnya Allah Swt. tidak menjadikan obat penawar untuk penyakit kalian itu berada dalam barang haram.” (HR. Ibnu Hibban, Abu Ya'la dan al-Bazzar)

d. Dari Abu Hurairah ra., dia berkata:

“Rasulullah Saw. melarang menggunakan obat yang najis dan haram.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan at-Tirmidzi)

Ucapan Rasulullah Saw. fii haraamin (dalam barang yang haram) dan ad-dawaa'ul khabits (obat yang najis dan haram), begitu pula larangan beliau Saw. dari berobat dengan khamar itu mencakup semua barang najis dan barang haram. Rasulullah Saw. tidak mengecualikan najis apapun atau barang haram apapun dari keumuman ini. Karena itu, hukum haram ini tetap berlaku umum untuk setiap barang haram dan setiap barang najis.

Mengenai hadits orang-orang 'Uraniyyah yang membolehkan berobat dengan kencing unta, sesungguhnya selaras dengan hukum yang umum ini, tiada lain karena kencing unta itu suci sehingga tidak dicakup oleh larangan di atas. Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Sesungguhnya di dalam air kencing dan air susu unta itu terdapat obat untuk penyakit pencernaan dalam perut mereka.” (HR. Ahmad)

Ibnul Mundzir meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Minumlah air susu dan air kencingnya.”

Kata ad-dzaribah artinya adalah penyakit yang menyerang perut mereka sehingga tidak mampu mencerna makanan, yang akibatnya makanan membusuk di dalamnya.

Ibnul Mundzir berkata setelah meriwayatkan hadits tentang orang-orang ‘Uraniyyah: Jika ada yang menyatakan bahwa pengobatan ini khusus untuk orang-orang 'Uraniyyah saja, maka bisa dibantah: seandainya pernyataan “ini adalah khusus” boleh dilontarkan untuk mengomentari sesuatu dengan tanpa argumentasi sekalipun, niscaya boleh juga bagi setiap orang yang ingin memenangkan pendapat kawan-kawannya -dalam perkara yang bertentangan dengan Sunnah- untuk mengatakan bahwa ini adalah khusus... penggunaan istilah khusus dan umum digunakan dalam persoalan air kencing unta dalam pengobatan, jual-beli air kencing unta yang dilakukan orang-orang di pasar, dan begitu pula kotoran hewan yang dijual di pasar-pasar, kandang kambing yang digunakan untuk shalat, padahal Sunnah yang nyata telah menjadi dalil yang menunjukkan sucinya semua itu. Seandainya menjualbelikan air kencing dan kotoran hewan tersebut diharamkan niscaya perkara itu akan diingkari oleh ahli ilmu, dan ketika ahli ilmu tidak mengingkari jual-beli tersebut baik dahulu ataupun sekarang, dan ketika benda-benda tersebut digunakan dengan berpegang pada Sunnah yang mapan, maka semua itu menjadi fakta yang menjelaskan apa yang kami sebutkan.

Seperti inilah kaum Muslim generasi awal memahami hadits-hadits Rasulullah Saw. Mereka berobat dengan air kencing unta, padahal mereka mengetahui Rasulullah Saw. melarang berobat dengan benda najis. Fakta ini menjelaskan bahwa mereka menganggap air kencing unta itu suci adanya.

Adapun ketika sebagian dari mereka mengutip hadits Rasulullah Saw. memberi rukhshah kepada Abdurrahman bin Auf memakai sutera karena penyakit gatal yang dideritanya, padahal memakai sutera itu haram bagi lelaki, maka syubhat dan keraguan seperti ini kami bantah dan kami hilangkan dengan menyebutkan nash hadits secara lengkap, kemudian menjelaskan dilalahnya. Dari Anas, dia berkata:

“Nabi Saw. memberi rukhshah kepada Zubair dan Abdurrahman memakai sutera karena penyakit gatal yang diderita keduanya.” (HR. Bukhari, Ahmad, an-Nasai, at-Tirmidzi dan Abu Dawud)

Muslim meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Bahwasanya Abdurrahman bin Auf dan Zubair bin Awwam mengeluhkan adanya kutu kepada Rasulullah saw. Lalu beliau Saw. memberikan rukhshah kepada keduanya untuk memakai sutera dalam peperangan yang diikuti keduanya.”

Hadits ini tidak sedang membahas terapi dan pengobatan, bahkan tidak bisa dimasukkan dalam topik pengobatan. Hadits tersebut semata-mata sedang menerangkan rukhshah bagi orang yang sakit.
Memakai sutera itu bukan obat dan bukan terapi, sehingga tidak bisa dimasukkan dalam daftar terapi dan pengobatan bagi orang yang menderita penyakit gatal. Semata-mata dikatakan dalam hadits tersebut bahwa gatal-gatal itu adalah jenis penyakit, lalu orang yang menderita sakit seperti itu diberi rukhshah (keringanan) untuk memakai sutera.
Pembahasan rukhshah itu dikenal dan populer dalam ilmu fiqih, yaitu beberapa kondisi pengecualian di mana seseorang yang sakit dalam kondisi tersebut boleh melakukan sesuatu yang tidak dibolehkan bagi orang yang tidak sakit.
Seorang yang sakit di bulan Ramadhan diberi rukhshah untuk berbuka, tidak bisa dikatakan bahwa berbuka (ifthar) -yang pada hukum asalnya adalah berdosa- merupakan obat atau terapi bagi orang yang sakit yang sedang berpuasa. Semata-mata hanya dikatakan bahwa ifthar adalah rukhshah saja.
Seorang yang sakit diberi rukhshah melaksanakan shalatnya dalam keadaan duduk, tidak bisa dikatakan bahwa shalat dalam keadaan duduk itu menjadi terapi bagi si sakit, semata-mata hanya dikatakan bahwa itu hanyalah rukhsah saja.
Jika diduga kuat air akan membahayakan seorang yang sakit, maka orang tersebut diberi rukhshah untuk bertayamum walaupun ada air, tidak dikatakan bahwa tayamum tersebut adalah terapi bagi si sakit.
Begitu pula orang yang menderita sakit gatal-gatal, dia diberi rukhshah untuk memakai sutera, dan memakai sutera itu bukanlah terapi, melainkan hanya rukhshah saja.
Begitulah, seluruh rukhshah merupakan kondisi pengecualian di mana dalam kondisi tersebut orang boleh melakukan keharaman atau meninggalkan kewajiban. Rukhshah itu bukan terapi dan bukan pula pengobatan.
Kesamaan yang ada di antara semua itu adalah menolak kesukaran dan bahaya dari orang yang sakit. Puasa itu sukar, wudhu dengan air itu sukar dan berbahaya, memakai pakaian yang kasar itu sukar. Seperti itulah hadits memakai sutera bagi orang yang menderita sakit gatal itu harus dipahami, memakai sutera itu semata-mata rukhshah dalam kondisi menderita sakit gatal, bukan sebagai terapi dan bukan pula sebagai obat penawar.
Dengan demikian hukum yang umum masih tetap berlaku, dan nash-nash seluruhnya masih tetap harmonis selaras satu sama lain, di mana berobat dengan benda yang haram itu tetap haram, berobat dengan benda najis itu haram, keduanya (benda haram dan najis) itu secara mutlak tidak boleh digunakan dalam terapi dan pengobatan. Di dalam nash-nash tersebut tidak ada nasakh (penghapusan hukum) apapun untuk hukum ini, juga tidak ada pentakhsisan atau pertentangan apapun.

Pernyataan mereka bahwa berobat dengan benda yang najis itu dipahami boleh dilakukan dalam kondisi idhthirar (terpaksa/darurat), sehingga berobat dengan benda yang najis itu tidak halal dilakukan dalam kondisi ikhtiyar (memiliki pilihan), maka ini merupakan penakwilan yang persis mereka lakukan terhadap hadits shalat di kandang kambing, di mana hadits tersebut dipahami bahwa shalatnya itu dilakukan pada bagian/sudut yang tidak ada air kencing dan kotoran kambing. Dan juga serupa dengan penakwilan yang mereka lakukan terhadap hadits berobat dengan air kencing unta, di mana hadits tersebut dipahami bahwa pengobatan tersebut dilakukan dalam kondisi terpaksa. Sesungguhnya mereka telah mengadopsi/mengambil satu hukum yang mereka pandang shahih, baru kemudian mereka menakwilkan hadits-hadits dan nash-nash yang bertentangan dengan hukum yang mereka ambil, padahal semestinya mereka mengamalkan seluruh nash ketika terbukti nash-nash itu saling bersesuaian dan tidak saling bertentangan.

Terkait kondisi yang mereka tetapkan untuk pengobatan -yakni kondisi ikhtiyar (memiliki pilihan) dan kondisi idhthirar (terpaksa/darurat)- maka kami katakan: sesungguhnya Allah Swt. telah membolehkan kepada kita -dalam kondisi terpaksa/darurat- untuk melakukan sesuatu yang haram, sehingga kita boleh memakan bangkai, meminum khamar, dan mencuri makanan. Tetapi ini adalah sesuatu, sedangkan berobat dengan benda najis dalam kondisi terpaksa/darurat adalah sesuatu yang lain. Dalam arti, jika ada seseorang yang merasa sudah dekat dengan kematian karena kehausan, padahal dia tidak memiliki minuman apapun selain khamar, maka dia dibolehkan meminum khamar tersebut dalam rangka menyelamatkan nyawanya. Ketika seorang Muslim ditahan dalam penjara, lalu sang sipir melarangnya diberi makanan hingga dia merasa hampir binasa, maka boleh bagi si Muslim itu untuk membunuh sipir demi menyelamatkan nyawanya. Dan tentunya ini bukan topik yang berkaitan dengan topik yang sedang kita bahas. Inilah makna ayat al-Qur’an yang mereka kutip untuk memperkuat pendapat mereka yang keliru itu:

“Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (TQS. al-An'am [6]: 119)

Idhthirar (kondisi terpaksa/darurat) itu adalah satu kondisi yang berbeda dengan kondisi sakit, sehingga dalil-dalilnya berbeda dengan dalil-dalil untuk orang sakit dan dalil terapi atau pengobatan, karena idhthirar itu adalah kondisi yang mana seorang manusia merasa sudah dekat dengan kematian, yakni kondisi yang diisyaratkan oleh ayat al-Qur’an:

“Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 173)

Sehingga dalam kondisi terpaksa/darurat (idhthirar) seseorang boleh melakukan sesuatu yang haram dalam rangka menyelamatkan diri darinya. Sedangkan persoalan yang sedang kita bahas berbeda sama sekali.

Sakit itu bukan termasuk kondisi idhthirar (terpaksa/darurat), dan idhthirar (kondisi terpaksa/darurat) tidak boleh dicampuradukkan dengan kondisi sakit atau pengobatan, karena ini merupakan dua perkara yang berbeda.
Dalam kondisi sakit, hukumnya masih tetap yang umum, yakni keharaman berobat dengan benda najis atau benda haram. Demikianlah, sebenarnya mereka tidak memiliki hujjah (argumentasi) yang bisa menopang pendapat yang mereka lontarkan. Perkara ini seluruhnya dengan segenap cabangnya masih bersesuaian satu sama lain, sehingga air kencing unta itu suci, sehingga boleh digunakan sebagai obat, dan khamar itu najis sehingga tidak boleh digunakan sebagai obat.

Kita bisa sampai pada hukum yang sama dengan mengatakan bahwa syariat telah mengharamkan pemanfaatan benda najis, dan sekaligus telah mengharamkan sesuatu yang haram. Syariat menetapkan tindakan memanfaatkan benda najis dan melakukan keharaman itu sebagai sesuatu yang haram, bukan sesuatu yang mubah atau makruh. Selama obat yang najis itu najis, maka kita diharamkan memanfaatkannya, dan selama suatu obat itu diharamkan maka haram pula untuk dikonsumsi.

Kita boleh-boleh saja mengecualikan dari hukum yang umum ini sekehendak kita jika memang kita menemukan nash-nash yang mentakhsis dan mengecualikannya, tetapi ternyata setelah kita berusaha mencarinya tetap saja tidak kita temukan nash apapun yang mentakhsis atau mengecualikannya.
Berobat dengan air kencing unta itu bukan pentakhsis. Pemberian rukhshah untuk memakai baju sutera itu bukan sesuatu yang mengecualikan, sehingga tidak adanya takhsis dan pengecualian ini membawa (atau mengharuskan) kita secara serta merta untuk mengamalkan hukum yang umum ini, yakni keharaman berobat dengan benda najis dan haram.
Pernyataan yang kami lontarkan tentang tidak adanya takhsis dan tidak adanya pengecualian ini kami nyatakan juga terkait tidak adanya kontradiksi di dalamnya, sehingga di dalam nash-nash tersebut tidak ditemukan satu nash pun yang bertentangan dengan hukum pengharaman ini.

Kalimat terbaik yang pernah saya baca dalam persoalan atau topik ini adalah pernyataan yang ditulis oleh Ibnu al-Qayyim dalam kitab at-Thibb an-Nabawi, sengaja saya nukilkan untuk para pembaca sekalian selengkapnya:
“Allah Swt. mengharamkan perkara yang haram atas umat ini tiada lain karena keburukannya. Allah Swt. mengharamkannya dalam rangka melindungi manusia dan menjaga mereka agar tidak mengkonsumsinya. Tidak layak kiranya mencari obat penawar dari penyakit, karena walaupun memberi efek bisa menghilangkan penyakit, tetapi ketahuilah bahwa hal itu akan menimbulkan penyakit yang lebih besar lagi di dalam kalbu dengan kekuatan keburukan yang ada padanya, sehingga orang yang berobat dengan benda yang haram itu sama saja dengan berupaya menghilangkan penyakit badan dengan ganti beroleh penyakit kalbu. Selain itu, pengharaman benda yang haram menuntut kita untuk menjauhinya dengan segenap daya upaya, dan menjadikan sesuatu yang haram itu sebagai obat sama saja dengan mengagitasi diri kita untuk gandrung dan senang menggunakan yang haram tersebut. Tentunya hal ini bertentangan dengan maksud tujuan as-Syari.”

Ibnu al-Qayyim kemudian menambahkan:
“Sesungguhnya keputusan membolehkan berobat dengan barang haram, terlebih lagi ketika hati memiliki kecenderungan pada yang haram itu semata-mata hanya sebagai alibi syahwat dan kelezatan untuk mengkonsumsi barang haram, terlebih lagi ketika diri mengetahui bahwa barang haram itu berguna baginya, menghilangkan penyakitnya, mendatangkan kesembuhan baginya, sehingga barang haram tersebut menjadi sesuatu yang paling disukainya, padahal dengan segala kemungkinan as-Syari telah membendung alasan untuk mengkonsumsinya. Tidak ragu lagi bahwa antara upaya membendung alasan mengkonsumsinya dengan membukakan alasan mengkonsumsinya terdapat kontradiksi dan pertentangan. Selain itu, obat yang diharamkan ini merupakan penyakit yang di luar dugaan bisa bertambah parah dari sekedar kesembuhan yang didapatkan.”

Ibnu al-Qayyim menambahkan:
“Telah diketahui bahwa keyakinan seorang Muslim atas keharaman sesuatu benda itulah yang menjadi benteng penghalang antara dirinya dengan keyakinan adanya kebaikan dan manfaat dari barang haram tersebut. Juga menjadi benteng penghalang antara dirinya dengan prasangka baiknya serta kesediaannya menerima barang haram tersebut. Bahkan semakin besar keimanan seorang hamba maka ia akan semakin benci dan semakin buruk keyakinannya terhadap barang haram, perangainya akan sangat membencinya sehingga ketika dia mengkonsumsinya dalam kondisi tersebut, maka barang haram tersebut akan menjadi penyakit baginya, bukan sebagai obat penawar sakitnya.”

Inilah ucapan yang cemerlang dan penuh kefasihan. Dengan pernyataan seperti ini, bagaimanapun juga kita tidak perlu melakukan penakwilan yang mengakibatkan diri kita harus mengabaikan dalil-dalil syar'i, atau memalingkan dalil-dalil tersebut dari arah yang sebenarnya. Berdasarkan semua paparan itu, kita sampai pada kesimpulan bahwa penganut pendapat yang pertama itu benar, tetapi dalam beberapa hal mengalami kekeliruan. Dan penganut pendapat yang kedua itu keliru sama sekali. Sedangkan penganut pendapat yang ketiga itu benar dan tidak keliru, kecuali jika mereka tidak mengecualikan anjing dan babi; ini merupakan pengecualian yang saya tidak tahu apakah mereka benar-benar mengucapkannya ataukah tidak.

Setelah kita selesai menghilangkan berbagai syubhat (keraguan) dalam persoalan air kencing, maka kita akan beralih membahas persoalan bangkai dan perkara yang berkaitan dengan kulit, tulang, dan bulu bangkai. Apakah tiga perkara ini disertakan pada bangkai dari sisi status najisnya, ataukah memiliki hukum lain yang berbeda?

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Related Posts with Thumbnails

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam