Khitan
Al-Khitan (huruf kha dikasrahkan):
merupakan mashdar dari khatana yang artinya memotong; al-khatnu dengan difathahkan dan disukunkan
artinya satu bagian tertentu dari anggota badan tertentu.
Al-Mawardi berkata: khitanu ad-dzakari, artinya memotong kulit
yang menutupi hasyafah (ujung dzakar).
Dia berkata: khitanul untsa, artinya
memotong kulit yang ada di bagian atas farji wanita, yang nampak seperti biji
atau jambul ayam.
Mengkhitan lelaki dan
wanita disebut juga i'dzar, sedangkan
mengkhitan wanita secara khusus disebut khafdha.
Mengkhitan dzakar itu
cukup dilakukan dengan memotong seluruh kulup, di mana tidak tersisa sesuatupun
darinya, dan hasyafah menjadi nampak
seluruhnya.
Beberapa hadits
berikut berkaitan dengan khitan:
1. Dari Abu Hurairah ra., dia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Ibrahim kekasih Allah
dikhitan setelah berusia delapan puluh tahun, dia dikhitan menggunakan kapak.”
(HR. Ahmad, Bukhari, Muslim dan al-Baihaqi)
2. Diriwayatkan dari Said bin Jubair bahwasanya
dia berkata:
“Ibnu Abbas ditanya:
Seperti siapakah engkau saat Rasulullah Saw. dimakamkan? Ibnu Abbas berkata:
Hari itu aku dikhitan. Dia berkata: Orang-orang tidak mengkhitan seorang
laki-laki hingga dia baligh.” (HR. Bukhari)
3. Dari ‘Utsaim bin
Kulaib, dari ayahnya, dari kakeknya:
“Bahwasanya dia
menemui Nabi Saw., lalu dia berkata: Aku ingin masuk Islam. Beliau Saw.
bersabda: “Buanglah dari dirimu rambut kekufuran.” Dia berkata: Potonglah. Dia
berkata: Dan orang lain yang bersama Nabi memberitahuku bahwasanya Nabi Saw.
berkata pada yang lain, potonglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah.”
(HR. Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi)
Dalam hadits dhaif ini terdapat inqitha' (sanad yang terputus), Utsaim dan ayahnya adalah orang
yang tidak dikenal.
4. Dari Aisyah ra., dia berkata:
“Jika seorang lelaki
duduk di antara empat cabang tubuh wanita, lalu khitan bertemu dengan khitan,
maka wajib mandi.” (HR. Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud)
Tirmidzi meriwayatkan
hadits ini dengan lafadz:
“Jika khitan melewati
khitan maka wajiblah mandi.” (HR. Tirmidzi, dan ia berkata: status hadits ini hasan shahih)
5. Dari Jabir ra., dia berkata:
“Rasulullah Saw. mengaqiqahi Hasan dan Husain, dan mengkhitan
keduanya pada usia tujuh hari.” (HR. al-Baihaqi)
6. Dari Ummu Athiyah
al-Anshariyah:
“Seorang perempuan
dikhitan di Madinah, lalu Nabi Saw. bersabda: “Janganlah berlebihan memotong,
karena sesungguhnya itu lebih bermanfaat dan lebih nikmat bagi seorang wanita,
dan lebih disukai oleh suami.” (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi)
Abu Dawud berkata:
status hadits ini dhaif.
7. Dari Ibnu Umar, dia
berkata:
“Beberapa orang wanita
Anshar datang menemui Nabi Saw., maka Nabi Saw. bersabda: “Wahai wanita Anshar,
warnailah kuku dengan cara mencelupkannya, berkhitanlah, dan jangan berlebihan
memotong, karena sesungguhnya itu lebih nikmat bagi suami-suami kalian, dan
hati-hatilah kalian dari kekufuran orang-orang yang diberi nikmat.” (HR.
al-Bazzar)
Ini hadits dhaif menurut Ibnu Hajar, al-Bukhari;
Al-Haitsami berkata: Di dalam rangkaian sanad hadits ini terdapat nama Mandal
bin Ali, dia perawi yang dhaif.
8. Dari Abu al-Malih bin Usamah, dari ayahnya,
bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:
“Khitan itu sunat bagi
kaum lelaki, dan mulia bagi kaum wanita.” (HR. Ahmad, al-Baihaqi dan Abu Dawud)
Al-Baihaqi berkata:
“hadits ini dhaif,” dilemahkan oleh Ibnu
Abi Syaibah dan Ibnu Abi Hatim.
Para imam dan fuqaha
berbeda pendapat dalam masalah hukum khitan untuk lelaki dan wanita sebagai
berikut: As-Syafi’i berkata bahwa khitan itu wajib bagi lelaki dan wanita.
Dan diriwayatkan dari
Ibnu Abbas adanya penekanan atas hal itu, di mana beliau menyatakan bahwa orang
yang tidak berkhitan itu tidak sah haji dan shalatnya.
Abu Hanifah dan Malik
berkata bahwa khitan itu sunah saja untuk keduanya (lelaki dan wanita-pen.).
Ahmad berkata bahwa
khitan itu wajib bagi lelaki tetapi tidak bagi wanita.
Diriwayatkan dari
Hasan bahwasanya dia menganggap ada rukhshah
untuk tidak berkhitan, di mana dia mengatakan: Orang yang berkulit hitam dan
putih telah masuk Islam, di mana mereka tidak diteliti dan tidak dikhitan.
Kelompok pertama
-as-Syafi’i dan mereka yang berpendapat seperti beliau- telah berhujjah dengan hadits Abu Hurairah yang pertama
dan hadits Utsaim yang ketiga, dan dengan hadits Ummu Athiyah yang keenam untuk
mewajibkan mengkhitan perempuan. Mereka berkata pula, seandainya khitan itu
tidak wajib bagi Ibrahim maka pastinya beliau tidak akan berkhitan, terlebih
lagi dalam usia delapan puluh tahun, dan al-Qur,an menyatakan:
“Ikutilah agama
Ibrahim, seorang yang hanif.” (TQS. an-Nahl [16]: 123)
Ayat al-Qur'an
dijadikan dalil wajibnya berkhitan. Dalil-dalil ini sekaligus menjadi dalil
kelompok ketiga yang mewajibkan berkhitan kepada kaum lelaki, tanpa wanita,
dengan mengecualikan hadits keenam.
Kelompok kedua berhujjah dengan hadits Abu al-Malih yang
terdapat pada nomor delapan, karena hadits ini menurut mereka menggambarkan
bahwa mengkhitan lelaki itu sunah saja, dan menggambarkan bahwa mengkhitan
wanita itu sebagai suatu kemuliaan saja, dan ini bermakna sunah juga. Dengan
hadits ini kelompok ketiga mengambil kesimpulan bahwa mengkhitan wanita itu
sunah saja.
Kelompok pertama dan
kelompok ketiga menambahkan bahwa membuka aurat itu haram, kecuali untuk
perkara yang wajib saja. Seandainya khitan itu tidak wajib, niscaya tidak
mungkin dibolehkan mengkhitan orang yang sudah baligh dan membuka auratnya.
Hadits kedua menjadi
dalil mengkhitan orang yang sudah baligh. Inilah ringkasan pendapat dan istidlal mereka.
Sebelum kita mengkaji
lebih jauh nash-nash ini dari sisi istidlalnya,
kita mesti mengkaji nash-nash tersebut dari sisi validitas sanadnya.
Kami nyatakan: Dalam
hadits Utsaim yang ketiga itu terdapat inqitha'
(sanad yang terputus), Utsaim dan ayahnya adalah orang yang tidak dikenal. Hal
ini dikatakan oleh Ibnu Hajar dan Ibnu al-Qathan, karena itu hadits ini dhaif sehingga tidak layak digunakan sebagai hujjah.
Di dalam hadits Ummu
Athiyah terdapat perawi yang diperselisihkan, yakni Abdul Malik bin Umair,
dikatakan bahwa dia menerima kabar dari ad-Dhahak, dikatakan pula dari Athiyah
al-Quradzi, dan dikatakan pula dari yang lainnya.
Kemudian hadits ini
dipandang bercacat karena ada Muhammad bin Hassan. Abu Dawud berkata: Muhammad
bin Hasan itu seorang yang tidak dikenal, sehingga status hadits ini dhaif. Dengan demikian hadits ini tidak layak
digunakan sebagai hujjah.
Hadits Abdullah bin
Umar yang ketujuh juga dhaif, hadits ini
didhaifkan oleh Ibnu Hajar dan
al-Bukhari. Al-Haitsami berkata: Di dalam rangkaian sanad hadits ini terdapat
nama Mandal bin Ali, dia perawi yang dhaif.
Dan begitu pula hadits
Abul Malih yang kedelapan. Al-Baihaqi berkata: “hadits ini dhaif,” dilemahkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan
Ibnu Abi Hatim, sehingga tidak layak dijadikan sebagai hujjah.
Tinggallah kini hadits
yang pertama, kedua, keempat dan kelima.
Mengenai hadits
pertama, di dalamnya tidak ada dilalah
yang mewajibkan berkhitan, karena para Nabi alaihissalam
melakukan berbagai perkara wajib seperti halnya mereka melakukan perkara mandub
(sunah). Jika ada yang berkata bahwa dengan berkhitannya Nabi Ibrahim as. dalam
usia delapan puluh tahun menunjukkan wajibnya khitan, maka kami katakan:
sesungguhnya berkhitannya Ibrahim alaihissalam
dalam usia delapan puluh tahun justru menunjukkan bahwa berkhitan itu tidak
wajib, karena seandainya berkhitan itu wajib atasnya maka mengapa diundurkan
sampai usia setua itu.
Kedua, sesungguhnya
syariat umat sebelum umat Muhammad (syar'u man
qablana) bukanlah syariat bagi kita. Khitan yang dilakukan Ibrahim
seandainya benar dipahami sebagai sebuah kewajiban sesungguhnya tidak wajib
diikuti kaum Muslim. Jika ada yang berkata bahwa al-Qur’an menuntut kita untuk
mengikuti beliau, maka kami katakan bahwa ayat yang mereka kutip itu tidak
menunjukkan pengertian sebagaimana yang mereka klaim, karena mengikuti millah lbrahim itu bukan berarti mengikuti
syariatnya.
Kita diperintahkan
untuk mengikuti millah Ibrahim, millah Isa, millah
Musa dan millah Nuh, dan semuanya itu
merupakan millah yang satu. Pengertian millah itu adalah pokok atau pangkal agama (ashlud diin) dan tauhid. Inilah maksud dari
ayat:
“Sesungguhnya agama
(yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” (TQS. Ali Imran [3]: 19)
Din, millah, dan tauhid itu satu dan sama pada
seluruh para Nabi. Tetapi kita tidak diperintahkan untuk mengikuti
syariat-syariat mereka, karena setiap Nabi itu memiliki syariat yang berbeda
satu sama lain.
Kita sebagai kaum
Muslim tidak diperintahkan untuk mengikuti syariat selain syariat Islam saja.
Allah Swt. berfirman:
“Untuk tiap-tiap umat
di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (TQS. al-Maidah
[5]: 48)
Khitan itu merupakan
bagian dari syariat, bukan bagian dari akidah, sehingga kita tidak diseru oleh
ayat di atas.
Ayat dan hadits ini
tidak menunjukkan pada apa yang mereka nyatakan. Hadits tersebut juga tidak
menunjukkkan kecuali sebagai pemberitahuan saja bahwa Nabi Ibrahim alaihissalam berkhitan pada usia delapan puluh
tahun tanpa ada embel-embel apapun.
Adapun hadits keempat,
maka ini merupakan penjelasan atas fakta yang ada di tengah-tengah kaum Muslim,
bahwa mereka biasa berkhitan. Ini merupakan perkara yang tidak diragukan lagi
oleh seorang Muslim pun termasuk kita.
Bunyi hadits tersebut:
Bersentuhannya khitan dengan khitan ini menunjukkan bahwa kaum Muslim
berkhitan, baik lelaki ataupun wanita.
Lafadz hadits seperti
itu tidak menunjukkan khitan itu wajib atau mandub.
Begitu pula hadits
kelima, sama-sama menunjukkan fakta bahwa kaum Muslim berkhitan, dan ada
tambahan fakta baru bahwa Hasan dan Husain dikhitan pada usia dini, yakni usia
tujuh hari, ini berbeda dengan apa yang disebutkan dalam hadits kedua.
Inilah fakta yang
terlihat oleh mata, dan fakta yang terlihat oleh mata itu tidak berlaku umum.
Dari fakta itu tidak bisa dilakukan generalisasi hukum pada selainnya, dalam
arti bahwa Hasan dan Husain itu dikhitan pada usia tujuh hari, dan ini
merupakan perbuatan Rasulullah Saw. yang tidak mengandung pengertian sebagai
perintah beliau Saw. kepada kaum Muslim untuk mengkhitan anak-anak mereka pada
usia tujuh hari.
Perihal kutipan yang
disampaikan oleh mereka yang mewajibkan berkhitan, bahwa membuka aurat itu
tidak bisa dilakukan kecuali untuk perkara yang wajib -yang mereka maksudkan
adalah mengkhitan orang yang sudah baligh- maka kami katakan bahwa pernyataan
seperti itu tidak patut. Syariat telah mengharamkan melihat tubuh wanita dan
menyingkap auratnya, walaupun begitu syara
telah membolehkan seorang pemuda yang menyelidiki seorang wanita yang ingin dikhitbah (dilamar)-nya untuk melihat bagian
manapun dari wanita tersebut yang mendorong dirinya menikahi wanita tersebut,
bahkan untuk menyingkap bagian yang ingin sekali dilihatnya pada tubuh wanita
tersebut. Dari Jabir bin Abdillah dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian meminang seorang wanita, jika memungkinkan bisa melihat dari wanita
itu sesuatu yang membuatnya tertarik untuk menikahinya, maka lakukanlah.” Dia
berkata: Lalu aku meminang seorang wanita dari Bani Salamah. Dengan bersembunyi
di bawah semak pelepah kurma, aku dapat melihat darinya sebagian perkara yang
membuatku tertarik untuk menikahinya, kemudian aku pun menikahinya.” (HR. Ahmad
dan Abu Dawud)
Ini merupakan nash
yang sharih (jelas) membolehkan seorang
yang mengkhitbah melihat bagian manapun
dari wanita yang ingin dikhitbahnya.
Ucapan dalam hadits tersebut:
“Melihat dari wanita
itu sesuatu yang membuatnya tertarik untuk menikahinya.”
Bersifat umum, yang
tidak ditakhsis oleh satu nash pun dalam
persoalan ini. Lelaki tersebut boleh melihat rambutnya, dadanya, lehernya,
betisnya, dan hastanya, jika dia memang benar-benar ingin mengetahui semua itu
dari calon isterinya tersebut. Semua itu boleh, padahal khitbah itu hukumnya tidak wajib, terlebih lagi dalam mengkhitbah si fulanah secara pribadi. Di sini
syariat membolehkan melihat aurat wanita untuk perkara yang tidak wajib, yakni khitbah dan nikah.
Adapun pernyataan yang
disampaikan oleh sebagian fuqaha, bahwa yang dituntut oleh hadits ini adalah
melihat wajah saja, merupakan pernyataan yang rusak dan keliru. Pernyataan
tersebut sama dengan mengabaikan dan membatalkan hadits tersebut, dan menjadikannya
sebagai ucapan tanpa guna. Hal ini karena melihat wajah itu dihukumi boleh,
tanpa perlu adanya nash ini.
Kemudian perawi hadits
ini bercerita bahwa dia mengendap bersembunyi agar bisa melihat sesuatu yang
membuat dirinya tertarik menikahi si gadis. Tidak mungkin rasanya Jabir sampai
harus mengendap-endap bersembunyi sedemikian rupa di antara pohon kurma jika
hanya untuk melihat wajah si gadis semata.
Kemudian Abu Ja’far
menceritakan:
“Umar meminang puteri
Ali, maka Ali berkata: Anak tersebut masih kecil. Lalu dikatakan kepada Umar:
Maksud ucapan Ali itu adalah melarang engkau meminangnya. Abu Jafar berkata:
Kemudian Umar berbicara dengan Ali, maka Ali berkata: Aku akan membawanya menemuimu,
jika engkau suka maka dia menjadi isterimu. Lalu Ali membawa puterinya itu
menemui Umar. Abu Jafar berkata: Umar kemudian berdiri, lalu menyingkapkan
betisnya, maka puteri Ali itu berkata: Lepaskan, seandainya engkau bukan Amirul
Mukminin, niscaya aku sudah menghantam lehermu.” (HR. Abdurrazaq dan Said bin
Manshur)
Dengan hadits seperti
ini gugurlah pernyataan mereka bahwa menyingkapkan aurat itu tidak dilakukan
kecuali untuk perkara yang wajib
saja.
Dengan gugurnya
syubhat ini, maka gugurlah sudah semua syubhat dan hujjah mereka yang mewajibkan khitan, sehingga yang tetap
bertahan hanyalah pendapat bahwa khitan itu hanya bagian dari sunanul fithrah.
Bacaan: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar