Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 25 Agustus 2017

Pembahasan Isthalah / Mengubah Benda Najis



Istihalah (Transformasi)

Yang dimaksud dengan istihalah adalah merubah benda najis menjadi benda suci, seperti khamar dirubah menjadi cuka misalnya, dan seperti air kencing dan tinja dirubah atau dari keduanya diambil air bersih melalui distilasi, dan seperti lemak bangkai dirubah menjadi sabun dengan teknik industri modern, dan sebagainya. Perkara seperti ini tidak halal dilakukan menurut syara, karena sebagaimana telah kami jelaskan, benda najis itu tidak boleh dimanfaatkan secara mutlak, tidak boleh digunakan, dijual-belikan, dihadiahkan, dan diwariskan.
Benda najis tidak dipandang sebagai harta yang dihormati dihargai menurut syara, dalam arti, jika seorang Muslim mencuri khamar atau babi dari Muslim yang lain, maka dia tidak dikenai had dan tidak dikenai sanksi, dan dia tidak dimintai pertanggungjawaban kecuali dari sisi memiliki, membawa, dan mempergunakan khamar.
Karena hadits-hadits ini telah menyebutkan keharaman memanfaatkan benda-benda najis, dan tidak memberikan ijin pemanfaatan kecuali memanfaatkan anjing buruan, anjing penjaga, dan kulit bangkai yang sudah disamak, tidak ada yang lain. Hukum ini bersifat umum untuk setiap benda najis, tidak ada nash yang mengecualikan sesuatupun dari benda-benda najis ini, sehingga kami meminta dalil dari orang yang menyatakan selainnya. Telah dimaklumi bahwa ketika firman Allah Swt. turun:

“Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah kotor termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (TQS. al-Maidah [5]: 90)

Ketika ayat tersebut mengharamkan khamar, maka Rasulullah Saw. berkeliling di pasar-pasar kota Madinah, menumpahkan khamer di jalan-jalan, memecahkan gentong-gentong penyimpanan khamr dengan pisau yang ada di tangannya, dan tidak mengijinkan seorangpun dari kaum Muslim memanfaatkannya; misalnya dengan menjadikannya obat atau merubahnya menjadi cuka.
Dalil bahwa Rasulullah Saw. tidak mengijinkan memanfaatkan khamar sebagai obat adalah hadits yang diriwayatkan Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, ad-Darimi, dan Ahmad dari jalur Thariq al-Ju'fiy, dan hadits ini telah kami sebutkan, di mana hadits tersebut berbunyi:

“Bahwasanya Nabi Saw. ditanya tentang khamar yang hendak dijadikan cuka, maka beliau Saw. berkata: “Tidak boleh.” (HR. Muslim dan at-Tirmidzi)

Dan hadits yang diriwayatkan Anas juga:

“Bahwasanya Abu Thalhah bertanya pada Nabi Saw. tentang anak yatim yang mewarisi khamar, maka Nabi Saw. bersabda: “Tumpahkanlah khamar itu.” Dia bertanya: Apakah kami boleh menjadikannya cuka? Beliau Saw. berkata: “Tidak boleh.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Semua nash ini sudah cukup membuktikan haramnya memanfaatkan khamar, dan haramnya merubah khamar menjadi sesuatu yang bermanfaat atau sesuatu yang suci.

Tetapi pertanyaan yang pasti muncul adalah: Bagaimana Islam memanfaatkan cuka, padahal cuka itu adalah hasil transformasi khamar? Untuk menjawab pertanyaan ini adalah bahwa cuka yang dibuat dengan meletakkan anggur atau apel, misalnya, dalam sebuah wadah, lalu dibiarkan sebulan atau dua bulan sesuai dengan temperatur/suhu udara, dan dibiarkan disinari cahaya matahari hingga berubah menjadi cuka, maka anggur dan apel tersebut berubah menjadi cuka seiring berlalunya waktu, dengan fermentasi sendiri, tanpa campur tangan manusia. Inilah cara yang ada dan biasa dilakukan untuk membuat cuka, dan cara seperti ini telah dihalalkan oleh Islam.
Perbedaan antara cara ini dengan merubah khamar menjadi cuka adalah, bahwa menurut cara ini seseorang tidak melakukan apapun selain meletakkan anggur atau apel yang suci dalam wadah yang suci, lalu membiarkannya dalam jangka waktu tertentu hingga dihasilkan cuka yang suci. Inilah cara membuat cuka yang boleh.

Cara yang diharamkan Islam adalah menempatkan khamar yang notabene merupakan benda najis dalam satu wadah, lalu dibiarkan dalam jangka waktu tertentu hingga berubah menjadi cuka, baik dengan memberi tambahan bahan/material tertentu atau tidak.
Perbedaan di antara dua cara itu adalah bahwa cara pertama menggunakan benda yang suci untuk menghasilkan sesuatu yang suci. Adapun cara yang kedua adalah menggunakan sesuatu yang najis untuk menghasilkan sesuatu yang suci.
Perbedaannya sangat jelas, terlebih lagi ketika kita ketahui bahwa Allah Swt. dan Rasulullah Saw. telah mengharamkan khamar. Rasulullah Saw. mengharamkan sepuluh perkara terkait khamar, di antaranya adalah membawanya dan memerasnya. Cara kedua tidak terlaksana kecuali dengan membawanya, memerasnya, atau membelinya. Selama tidak dihalalkan bagi seorang Muslim untuk memerasnya, membelinya, atau membawanya, maka dia tidak boleh membuat cuka dari khamar tersebut.

Dalam cara pertama, tidak ada tindakan apapun dari seorang Muslim yang berkaitan dengan khamar. Ketika seorang Muslim menempatkan anggur atau buah-buahan, misalnya, di dalam satu bejana, lalu anggur atau buah-buahan itu berubah dengan sendirinya, tanpa campur tangan si Muslim hingga berubah menjadi khamar, lalu khamar itu berubah dengan sendirinya tanpa campur tangan si Muslim hingga berubah menjadi cuka, maka cara seperti itu dibolehkan.
At-Thahawi meriwayatkan dalam kitabnya Musykilul Atsar dari Aslam pelayan Umar bin Khaththab, bahwa Umar bin Khaththab ra. berkata:

“Kami tidak memakan sesuatu dari khamar yang telah berubah, hingga Allah Swt. memulai kerusakannya (perubahannya).”

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Kami tidak meminum cuka dari khamar yang telah berubah, hingga Allah azza wa jalla yang memulai kerusakannya (perubahannya). Ketika itulah cuka itu baik (untuk diminum).”

Dari kebolehan membuat cuka dengan cara yang pertama, kita bisa mengistinbath satu hukum syara: ketika sesuatu yang najis itu berubah menjadi suci tanpa campur tangan seorang Muslim, maka benda yang suci itu boleh digunakan sebagaimana benda-benda suci lainnya. Karena benda yang suci yang berasal dari benda najis dengan perubahan seperti itu (yakni dengan sendirinya tanpa campur tangan si Muslim) adalah suci bukan najis, sehingga saat itu tidak boleh dianggap benda najis lagi.
Perbuatan terlarang bagi seorang Muslim dalam perkara yang berkaitan dengan benda najis adalah memanfaatkan benda najis selama benda tersebut masih berstatus najis, dan dipandang sebagai tindakan memanfaatkan benda najis ketika merubah benda najis itu dengan campur tangan dirinya, inilah yang tidak boleh.

Jika dirubah oleh seorang kafir atau berubah dengan sendirinya menjadi benda suci, maka hukum mentransaksikannya sama dengan hukum benda-benda suci lainnya. Inilah yang menjelaskan kehalalan cuka yang digunakan oleh kaum Muslim. Di mana benda tersebut telah sampai ke tangan kaum Muslim sebagai cuka yang suci melalui dua cara: cara pertama yang telah kami jelaskan di atas, dan cara kedua yakni membeli cuka dari orang kafir, di mana orang kafir bisa membuat cuka tersebut sesuai cara yang dihalalkan bagi kita, atau bisa juga membuat cuka dengan cara merubah khamar menjadi cuka, lalu kita membeli cuka itu dari mereka sebagai cuka yang suci tanpa perlu kita tanyakan kepada mereka cara seperti apa yang mereka gunakan dalam membuatnya. Ini menunjukkan ketika benda najis berubah menjadi benda yang suci dengan campur tangan non-Muslim, itu halal untuk digunakan dan dimanfaatkan.

Kesimpulannya, ketika benda najis itu berubah menjadi benda yang suci tanpa campur tangan seorang Muslim, maka boleh digunakan dan dimanfaatkan. Kita tetapkan bahwa benda tersebut suci, baik yang berubah dengan sendirinya tanpa campur tangan manusia atau yang berubah dengan campur tangan seorang kafir.
Dengan menerapkan kaidah ini pada sebagian benda lainnya, maka kami katakan: Sesungguhnya tidak halal bagi kaum Muslim untuk mendistilasi/ menyuling air kencing yang mengaliri jaringan pipa yang ada di kota-kota demi menghasilkan air distilasi darinya. Ini haram hukumnya dan tidak boleh.
Tetapi jika orang kafir yang mendistilasi/menyuling air pipa, kemudian darinya dihasilkan air murni hasil distilasi, maka kaum Muslim boleh membelinya, menggunakannya, dan bersuci dengannya, tetapi dengan syarat agar orang kafir melakukan distilasi itu bukan untuk mewakili kaum Muslim. Mereka melakukannya semata-mata atas kehendak dirinya sendiri, tanpa pesanan dari kaum Muslim. Tiada lain karena perbuatan yang dilakukan dalam kerangka wakalah tetap dipandang sebagai perbuatan seorang Muslim dan dari seorang Muslim, di mana si kafir itu hanya menjadi ajir (orang yang diupah) atau wakil saja. Sedangkan perbuatan itu sendiri dinisbatkan pada pihak pemberi kuasa bukan pada si ajir atau wakilnya. Ketika hal seperti itu dilakukan, jelas merupakan trik atau tipu daya yang tidak bisa menjadikan sesuatu yang haram menjadi halal.
Seandainya hal seperti itu dibolehkan, niscaya boleh pula seorang Muslim menyerahkan hartanya pada orang kafir untuk dibungakan (diambil ribanya), atau untuk dibuatkan peternakan babi, dan melakukan perbuatan haram lainnya.

Khamar itu najis sehingga tidak boleh dimanfaatkan sama sekali, kecuali jika berubah dengan sendirinya atau dirubah oleh orang kafir menjadi benda suci kembali, di mana benda atau substansi yang baru itu dihukumi dengan hukum yang lain, yakni halal dan suci, karena faktanya sudah bukan khamar lagi dan tidak najis lagi. Di sini kami akan menjelaskan secara lebih rinci pernyataan tersebut.

Khamar menurut bahasa adalah segala sesuatu yang memabukkan dan menutupi akal. Berasal dari kata khamara as-syaia idzaa satarahu (ketika menutupinya), dan dari kata akhmara ketika sesuatu itu menghilangkan, dan dari khaamara as-syaia yakni mencampurinya.
Dalam istilah para fuqaha, khamar itu adalah segala sesuatu yang memabukkan, baik yang berasal dari buah-buahan seperti anggur, kurma basah, buah tin dan kismis, atau dari biji-bijian seperti gandum, jewawut dan jagung, atau bisa juga berasal dari cairan yang manis seperti madu, baik sesuatu itu dimasak ataupun tidak dimasak.
Khamar ini ada dua jenis: jenis pertama dibuat dengan cara tradisional, yakni minuman yang difermentasi, seperti bir yang dibuat dari rendaman kurma, atau bir yang dibuat dari jewawut, dan bir yang dibuat dari rendaman gandum, bir yang dibuat dari rendaman jagung, atau yang berasal dari madu; jenis kedua adalah minuman hasil distilasi, seperti whiskey, brendy, gin, dan sejenisnya. Jenis minuman terakhir ini disandarkan pada gagasan distilasi.

Bacaan: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Related Posts with Thumbnails

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam