Istihalah (Transformasi)
Yang dimaksud dengan istihalah adalah merubah benda najis menjadi
benda suci, seperti khamar dirubah menjadi cuka misalnya, dan seperti air
kencing dan tinja dirubah atau dari keduanya diambil air bersih melalui
distilasi, dan seperti lemak bangkai dirubah menjadi sabun dengan teknik
industri modern, dan sebagainya. Perkara seperti ini tidak halal dilakukan
menurut syara, karena sebagaimana telah
kami jelaskan, benda najis itu tidak boleh dimanfaatkan secara mutlak, tidak
boleh digunakan, dijual-belikan, dihadiahkan, dan diwariskan.
Benda najis tidak
dipandang sebagai harta yang dihormati dihargai menurut syara, dalam arti, jika seorang Muslim mencuri khamar atau babi
dari Muslim yang lain, maka dia tidak dikenai had
dan tidak dikenai sanksi, dan dia tidak dimintai pertanggungjawaban kecuali
dari sisi memiliki, membawa, dan mempergunakan khamar.
Karena hadits-hadits
ini telah menyebutkan keharaman memanfaatkan benda-benda najis, dan tidak
memberikan ijin pemanfaatan kecuali memanfaatkan anjing buruan, anjing penjaga,
dan kulit bangkai yang sudah disamak, tidak ada yang lain. Hukum ini bersifat umum
untuk setiap benda najis, tidak ada nash yang mengecualikan sesuatupun dari
benda-benda najis ini, sehingga kami meminta dalil dari orang yang menyatakan
selainnya. Telah dimaklumi bahwa ketika firman Allah Swt. turun:
“Sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah kotor termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan
itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (TQS. al-Maidah [5]: 90)
Ketika ayat tersebut
mengharamkan khamar, maka Rasulullah Saw. berkeliling di pasar-pasar kota
Madinah, menumpahkan khamer di jalan-jalan, memecahkan gentong-gentong
penyimpanan khamr dengan pisau yang ada di tangannya, dan tidak mengijinkan
seorangpun dari kaum Muslim memanfaatkannya; misalnya dengan menjadikannya obat
atau merubahnya menjadi cuka.
Dalil bahwa Rasulullah
Saw. tidak mengijinkan memanfaatkan khamar sebagai obat adalah hadits yang
diriwayatkan Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, ad-Darimi, dan Ahmad dari jalur
Thariq al-Ju'fiy, dan hadits ini telah kami sebutkan, di mana hadits tersebut
berbunyi:
“Bahwasanya Nabi Saw.
ditanya tentang khamar yang hendak dijadikan cuka, maka beliau Saw. berkata:
“Tidak boleh.” (HR. Muslim dan at-Tirmidzi)
Dan hadits yang
diriwayatkan Anas juga:
“Bahwasanya Abu
Thalhah bertanya pada Nabi Saw. tentang anak yatim yang mewarisi khamar, maka
Nabi Saw. bersabda: “Tumpahkanlah khamar itu.” Dia bertanya: Apakah kami boleh
menjadikannya cuka? Beliau Saw. berkata: “Tidak boleh.” (HR. Ahmad dan Abu
Dawud)
Semua nash ini sudah
cukup membuktikan haramnya memanfaatkan khamar, dan haramnya merubah khamar
menjadi sesuatu yang bermanfaat atau sesuatu yang suci.
Tetapi pertanyaan yang
pasti muncul adalah: Bagaimana Islam memanfaatkan cuka, padahal cuka itu adalah
hasil transformasi khamar? Untuk menjawab pertanyaan ini adalah bahwa cuka yang
dibuat dengan meletakkan anggur atau apel, misalnya, dalam sebuah wadah, lalu
dibiarkan sebulan atau dua bulan sesuai dengan temperatur/suhu udara, dan
dibiarkan disinari cahaya matahari hingga berubah menjadi cuka, maka anggur dan
apel tersebut berubah menjadi cuka seiring berlalunya waktu, dengan fermentasi
sendiri, tanpa campur tangan manusia. Inilah cara yang ada dan biasa dilakukan
untuk membuat cuka, dan cara seperti ini telah dihalalkan oleh Islam.
Perbedaan antara cara
ini dengan merubah khamar menjadi cuka adalah, bahwa menurut cara ini seseorang
tidak melakukan apapun selain meletakkan anggur atau apel yang suci dalam wadah
yang suci, lalu membiarkannya dalam jangka waktu tertentu hingga dihasilkan
cuka yang suci. Inilah cara membuat cuka yang boleh.
Cara yang diharamkan
Islam adalah menempatkan khamar yang notabene merupakan benda najis dalam satu
wadah, lalu dibiarkan dalam jangka waktu tertentu hingga berubah menjadi cuka,
baik dengan memberi tambahan bahan/material tertentu atau tidak.
Perbedaan di antara
dua cara itu adalah bahwa cara pertama menggunakan benda yang suci untuk
menghasilkan sesuatu yang suci. Adapun cara yang kedua adalah menggunakan
sesuatu yang najis untuk menghasilkan sesuatu yang suci.
Perbedaannya sangat
jelas, terlebih lagi ketika kita ketahui bahwa Allah Swt. dan Rasulullah Saw.
telah mengharamkan khamar. Rasulullah Saw. mengharamkan sepuluh perkara terkait
khamar, di antaranya adalah membawanya dan memerasnya. Cara kedua tidak terlaksana
kecuali dengan membawanya, memerasnya, atau membelinya. Selama tidak dihalalkan
bagi seorang Muslim untuk memerasnya, membelinya, atau membawanya, maka dia
tidak boleh membuat cuka dari khamar tersebut.
Dalam cara pertama,
tidak ada tindakan apapun dari seorang Muslim yang berkaitan dengan khamar.
Ketika seorang Muslim menempatkan anggur atau buah-buahan, misalnya, di dalam
satu bejana, lalu anggur atau buah-buahan itu berubah dengan sendirinya, tanpa
campur tangan si Muslim hingga berubah menjadi khamar, lalu khamar itu berubah
dengan sendirinya tanpa campur tangan si Muslim hingga berubah menjadi cuka,
maka cara seperti itu dibolehkan.
At-Thahawi
meriwayatkan dalam kitabnya Musykilul Atsar
dari Aslam pelayan Umar bin Khaththab, bahwa Umar bin Khaththab ra. berkata:
“Kami tidak memakan
sesuatu dari khamar yang telah berubah, hingga Allah Swt. memulai kerusakannya
(perubahannya).”
Dalam riwayat lain
disebutkan:
“Kami tidak meminum
cuka dari khamar yang telah berubah, hingga Allah azza
wa jalla yang memulai kerusakannya (perubahannya). Ketika itulah cuka
itu baik (untuk diminum).”
Dari kebolehan membuat
cuka dengan cara yang pertama, kita bisa mengistinbath
satu hukum syara: ketika sesuatu
yang najis itu berubah menjadi suci tanpa campur tangan seorang Muslim, maka
benda yang suci itu boleh digunakan sebagaimana benda-benda suci lainnya.
Karena benda yang suci yang berasal dari benda najis dengan perubahan seperti
itu (yakni dengan sendirinya tanpa campur tangan si Muslim) adalah suci bukan
najis, sehingga saat itu tidak boleh dianggap benda najis lagi.
Perbuatan terlarang
bagi seorang Muslim dalam perkara yang berkaitan dengan benda najis adalah
memanfaatkan benda najis selama benda tersebut masih berstatus najis, dan
dipandang sebagai tindakan memanfaatkan benda najis ketika merubah benda najis
itu dengan campur tangan dirinya, inilah yang tidak boleh.
Jika dirubah oleh
seorang kafir atau berubah dengan sendirinya menjadi benda suci, maka hukum
mentransaksikannya sama dengan hukum benda-benda suci lainnya. Inilah yang
menjelaskan kehalalan cuka yang digunakan oleh kaum Muslim. Di mana benda
tersebut telah sampai ke tangan kaum Muslim sebagai cuka yang suci melalui dua
cara: cara pertama yang telah kami jelaskan di atas, dan cara kedua yakni
membeli cuka dari orang kafir, di mana orang kafir bisa membuat cuka tersebut
sesuai cara yang dihalalkan bagi kita, atau bisa juga membuat cuka dengan cara
merubah khamar menjadi cuka, lalu kita membeli cuka itu dari mereka sebagai
cuka yang suci tanpa perlu kita tanyakan kepada mereka cara seperti apa yang
mereka gunakan dalam membuatnya. Ini menunjukkan ketika benda najis berubah
menjadi benda yang suci dengan campur tangan non-Muslim, itu halal untuk
digunakan dan dimanfaatkan.
Kesimpulannya, ketika
benda najis itu berubah menjadi benda yang suci tanpa campur tangan seorang
Muslim, maka boleh digunakan dan dimanfaatkan. Kita tetapkan bahwa benda
tersebut suci, baik yang berubah dengan sendirinya tanpa campur tangan manusia
atau yang berubah dengan campur tangan seorang kafir.
Dengan menerapkan
kaidah ini pada sebagian benda lainnya, maka kami katakan: Sesungguhnya tidak
halal bagi kaum Muslim untuk mendistilasi/ menyuling air kencing yang mengaliri
jaringan pipa yang ada di kota-kota demi menghasilkan air distilasi darinya. Ini
haram hukumnya dan tidak boleh.
Tetapi jika orang
kafir yang mendistilasi/menyuling air pipa, kemudian darinya dihasilkan air
murni hasil distilasi, maka kaum Muslim boleh membelinya, menggunakannya, dan
bersuci dengannya, tetapi dengan syarat agar orang kafir melakukan distilasi
itu bukan untuk mewakili kaum Muslim. Mereka melakukannya semata-mata atas
kehendak dirinya sendiri, tanpa pesanan dari kaum Muslim. Tiada lain karena
perbuatan yang dilakukan dalam kerangka wakalah
tetap dipandang sebagai perbuatan seorang Muslim dan dari seorang Muslim, di
mana si kafir itu hanya menjadi ajir
(orang yang diupah) atau wakil saja.
Sedangkan perbuatan itu sendiri dinisbatkan pada pihak pemberi kuasa bukan pada
si ajir atau wakilnya. Ketika hal seperti itu dilakukan, jelas merupakan trik
atau tipu daya yang tidak bisa menjadikan sesuatu yang haram menjadi halal.
Seandainya hal seperti
itu dibolehkan, niscaya boleh pula seorang Muslim menyerahkan hartanya pada
orang kafir untuk dibungakan (diambil ribanya), atau untuk dibuatkan peternakan
babi, dan melakukan perbuatan haram lainnya.
Khamar itu najis
sehingga tidak boleh dimanfaatkan sama sekali, kecuali jika berubah dengan
sendirinya atau dirubah oleh orang kafir
menjadi benda suci kembali, di mana benda atau substansi yang baru itu dihukumi
dengan hukum yang lain, yakni halal dan suci, karena faktanya sudah bukan
khamar lagi dan tidak najis lagi. Di sini kami akan menjelaskan secara lebih
rinci pernyataan tersebut.
Khamar menurut bahasa
adalah segala sesuatu yang memabukkan dan menutupi akal. Berasal dari kata khamara as-syaia idzaa satarahu (ketika
menutupinya), dan dari kata akhmara
ketika sesuatu itu menghilangkan, dan dari khaamara
as-syaia yakni mencampurinya.
Dalam istilah para
fuqaha, khamar itu adalah segala sesuatu yang memabukkan, baik yang berasal
dari buah-buahan seperti anggur, kurma basah, buah tin dan kismis, atau dari
biji-bijian seperti gandum, jewawut dan jagung, atau bisa juga berasal dari
cairan yang manis seperti madu, baik sesuatu itu dimasak ataupun tidak dimasak.
Khamar ini ada dua
jenis: jenis pertama dibuat dengan cara tradisional, yakni minuman yang
difermentasi, seperti bir yang dibuat dari rendaman kurma, atau bir yang dibuat
dari jewawut, dan bir yang dibuat dari rendaman gandum, bir yang dibuat dari
rendaman jagung, atau yang berasal dari madu; jenis kedua adalah minuman hasil
distilasi, seperti whiskey, brendy, gin, dan sejenisnya. Jenis minuman terakhir
ini disandarkan pada gagasan distilasi.
Bacaan: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar