BAB EMPAT
HUKUM DAN ADAB MEMBUANG HAJAT
Ada hukum dan adab
yang berkaitan dengan membuang hajat di dataran dan tempat terbuka di luar
rumah (al-khala). Ada pula hukum dan
adab yang berkaitan dengan membuang hajat di dalam rumah dan bangunan. Dahulu
para fuqaha menyebut pasal ini dengan istilah adab
at-takhalla (adab buang hajat), maksudnya adalah hukum beberapa
perbuatan yang seharusnya dilakukan ketika buang air kecil dan buang air besar.
Hukum Dan Adab Membuang Hajat Di
Luar Rumah
1. Bagi orang yang ingin buang air kecil atau
buang air besar di al-khala (tempat di
luar rumah), disunahkan untuk pergi menjauh agar tidak terlihat oleh manusia,
khususnya jika ingin buang air besar, agar orang lain tidak melihat auratnya,
tidak mendengar suaranya, dan tidak mencium baunya. Hal ini berdasarkan hadits
melalui Jabir, dia berkata:
“Kami berangkat dalam
suatu perjalanan bersama Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. tidak akan buang air
besar hingga beliau Saw. menjauh, sampai tidak terlihat.” (HR. Ibnu Majah)
Abu Dawud meriwayatkan
hadits ini pula, dengan redaksi:
“Beliau Saw. pergi
(menjauh) hingga tidak terlihat oleh seorangpun.”
Para perawi hadits ini
adalah perawi yang shahih, kecuali
Ismail bin Abdul Malik, ia dikomentari Bukhari dengan pernyataan “haditsnya
layak dicatat.”
Sedangkan an-Nasai,
Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan dari al-Mughirah bin Syu'bah
ra., bahwasanya Nabi Saw.:
“Bahwasanya Nabi Saw.
jika ingin buang air besar, beliau Saw. menjauh.”
Tirmidzi berkata:
Hadits ini hasan shahih.
2. Disunahkan untuk menjadikan sesuatu sebagai
penutup dan mencari tempat yang rendah -tempat seperti ini secara bahasa
disebut al-gha'ith, karena al-gha'ith itu artinya adalah tempat yang
rendah (al-makan al-munkhafidh)- agar
tidak terlihat. Kata al-gha'ith
mengalami perluasan makna hingga digunakan untuk menyebut al-barraz (tinja) itu sendiri dan proses buang
air besar.
Untuk buang air kecil,
Rasulullah Saw. seringkali mencari tempat yang rendah agar tidak terlihat, dan
untuk buang air besar, beliau Saw. menggunakan penutup. Dari Abdullah bin
Ja’far ra., dia berkata:
“Sesuatu yang suka
digunakan Rasulullah Saw. agar beliau tersembunyi ketika buang hajat adalah
bukit kecil, atau lebatnya kebun kurma.” (HR. Muslim, Ibnu Majah, Baihaqi, dan
Ibnu Hibban)
Al-Hadfu artinya sesuatu yang tinggi, baik
berupa gundukan pasir, gundukan tanah atau bukit. Al-Ha'isy
artinya kumpulan pohon yang saling berdekatan (jaraknya rapat) sehingga
menutupi orang yang ada di belakangnya. Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Nabi
Saw. bersabda:
“Barangsiapa buang air
besar, maka hendaklah dia menutupi dirinya. Jika dia tidak menemukan sesuatupun
untuk digunakan sebagai penutup kecuali gundukan pasir, hendaklah dia pergi ke
belakangnya, karena sesungguhnya setan itu bemain-main di atas tempat duduk
(tempat buang air) anak Adam. Barangsiapa yang melakukannya, maka dia telah
berbuat baik, dan barangsiapa yang tidak melakukannya, maka tidak apa-apa.”
(HR. Ahmad dan al-Baihaqi)
Satu bagian hadits
tersebut diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah dan Abu Dawud. Ibnu Hajar berkata:
sanad hadits tersebut berpredikat hasan.
3. Jika seseorang tidak memiliki air, maka
hendaklah dia membawa tiga buah batu atau lebih, kecuali jika tanah tempat
buang hajatnya berbatu maka hendaknya dia mengambil bebatuan dari sana. Benda
keras, suci dan halus (tidak kasar) yang layak untuk membersihkan sisa kotoran
itu bisa menggantikan bebatuan. Dinyatakan harus benda keras, karena tanah
lempung ketika basah bisa remuk/pecah sehingga tidak bisa menghilangkan
najisnya. Adapun harus suci, maka ini jelas, karena benda najis tidak layak
digunakan untuk bersuci. Perihal permukaannya harus halus, layak untuk
membersihkan, tiada lain karena batu yang kasar tidak layak digunakan untuk
menghilangkan najis, bahkan bisa jadi bagian tubuh yang akan dibersihkan
tersebut menjadi terluka.
Kadang dikatakan bahwa
bersuci (dengan menggunakan batu) itu harus menggunakan batu saja, tidak boleh
menggunakan benda lainnya, karena Rasulullah Saw. tidak menyebutkan selainnya,
juga tidak ada riwayat yang sampai pada kita bahwa Nabi Saw. menggunakan selain
batu, sehingga batu itulah satu-satunya yang harus digunakan dalam bersuci.
Untuk membantah pernyataan seperti ini, kami sampaikan hadits yang diriwayatkan
Abu Hurairah, dari Nabi Saw.:
“Sesungguhnya aku bagi
kalian semisal dengan orang tua, di mana aku mengajari kalian. Jika salah
seorang dari kalian pergi buang air besar, maka hendaknya dia tidak menghadap
kiblat, tidak membelakangi kiblat, tidak bersuci dengan menggunakan tangan kanannya.”
Dan beliau Saw. memerintahkan menggunakan tiga buah batu, dan melarang bersuci
menggunakan kotoran hewan yang sudah kering dan rimmah.”
(HR. an-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, dan al-Baihaqi)
Ar-Rimmah itu maksudnya adalah tulang yang
sudah usang, tapi maksudnya di sini adalah tulang secara umum.
Hadits ini
mengecualikan kotoran dan tulang dari semua benda yang layak digunakan untuk
beristijmar (bersuci menggunakan batu),
mentakhsis keduanya dengan larangan,
mengandung arti benda selain keduanya itu layak digunakan untuk beristijmar, karena jika perintah beristijmar itu hanya bisa dilakukan dengan
menggunakan batu saja, niscaya Rasulullah Saw. melarang beristijmar menggunakan selain batu secara
mutlak, dan beliau Saw. tidak akan mentakhsisnya,
sehingga akhirnya pentakhsisan kotoran
dan tulang itu dengan larangan tentu tidak memiliki arti sama sekali.
Dengan demikian, jelas
bahwa setiap benda yang layak untuk menghilangkan najis itu boleh digunakan
untuk beristijmar (bersuci), seperti
kayu, daun, kain lap, logam, di mana penyebutan batu dalam hadits-hadits
tersebut tiada lain hanya untuk menunjukkan benda yang paling umum dan dominan
digunakan beristijmar saja.
Sebelumnya telah kami
jelaskan bahwa tujuan mandi, apapun kategorinya, adalah membersihkan diri, maka
kami katakan di sini bahwa bukan tiga buah batu itu sendiri yang diperintahkan,
melainkan kadar kebersihan yang semestinya direalisasikan, sehingga ketika
membersihkan najis bisa terpenuhi dengan tiga buah batu, lebih atau kurang dari
tiga buah batu, maka tuntutan tersebut dipandang telah terlaksana, sehingga
bilangan atau jumlah tertentu itu tidak wajib hukumnya.
4. Disunahkan bagi orang yang ingin buang air
besar untuk mencari tempat yang lembek agar tidak terkena cipratan air kencing.
Ini berdasarkan hadits yang kami sebutkan sebelumnya yang di dalamnya
disebutkan:
“Salah seorang dari
keduanya tidak menjaga dirinya dari air kencing.”
Maksud dari pernyataan
ini adalah bahwa orang yang kencing di tempat yang padat tidaklah aman dari
cipratan air kencing, sehingga tindakan seperti itu termasuk perbuatan yang
dilarang hadits ini. Karena itu, kita harus buang air kecil ke tempat yang tanahnya
lembek, kecuali jika dilakukan di atas permukaan yang keras tapi miring, yang
bisa menghalangi cipratan air kencing, maka hal itu tidak apa-apa. Perkara yang
harus dijadikan patokan adalah menjaga diri dari cipratan air kencing. Inilah 'illatnya, sehingga segala sesuatu yang bisa
mewujudkan ‘illat tersebut hukumnya
menjadi wajib.
5. Seorang Muslim tidak boleh buang air besar
ataupun buang air kecil di bawah naungan yang biasa digunakan bernaung oleh
orang-orang, atau di jalan yang biasa dilalui mereka, atau di tempat yang biasa
digunakan duduk oleh mereka, karena hal itu bisa mengganggu orang-orang, dan
ini jelas tidak boleh. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu
Hurairah bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Jagalah diri kalian
dari dua perkara yang dilaknat.” Mereka bertanya: Apa dua perkara yang dilaknat
itu wahai Rasulullah? Beliau Saw. menjawab: “Orang yang buang hajat di jalan
(yang biasa dilalui orang) atau di bawah naungan (yang suka digunakan) mereka.”
(HR. Muslim dan Ahmad)
Abu Dawud dan
al-Baihaqi meriwayatkan hadits ini juga, dengan redaksi:
“Jagalah diri kalian
dari dua perkara yang dilaknat.” Mereka bertanya: Apa dua perkara yang
dilaknat?”
Al-Khaththabi berkata:
Yang dimaksud dengan al-la'inain itu
adalah dua perkara yang bisa mendatangkan laknat, sehingga menyebabkan manusia
melaknat dan terdorong untuk melaknat, dan pelakunya akan dilaknat dan dicaci,
yakni biasanya orang-orang akan melaknatnya ketika kedua perkara tersebut
menjadi sebab yang dikaitkan dengan laknat. Dan ini merupakan ungkapan metafora
yang masuk akal.
Adapun naungan yang
tidak biasa digunakan oleh orang-orang, maka tidak mengapa buang air kecil
(kencing) di sana.
6. Seorang Muslim dimakruhkan buang hajat
(buang air besar ataupun buang air kecil) di dalam lubang dan celah, karena
merupakan tempat makhluk hidup lain yang bisa merasa terganggu oleh air seni,
sehingga kemudian makhluk yang dikencingi tersebut akan merasa terganggu. Ini
berdasarkan hadits yang diriwayatkan Qatadah dari Abdullah bin Sarjis,
bahwasanya Nabi Saw. bersabda:
“Janganlah salah
seorang dari kalian buang air kecil di dalam lubang.” Mereka bertanya kepada
Qatadah: Mengapa buang air kecil di dalam lubang dimakruhkan? Qatadah berkata:
Dikatakan bahwa lubang itu tempat tinggal jin.” (HR. an-Nasai, Ahmad, Abu Dawud
dan al-Baihaqi)
Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah.
7. Disyariatkan agar seorang Muslim menggunakan
tangan kirinya -bukan tangan kanannya- dalam beristinja
(bersuci menggunakan air) dan beristijmar
(bersuci menggunakan batu). Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari
Salman ra., bahwasanya dia berkata:
“Orang-orang musyrik
bertanya kepada kami: Sesungguhnya aku melihat sahabat kalian itu mengajari
kalian, hingga mengajari kalian tata cara buang hajat sekalipun. Salman
berkata: Benar, sesungguhnya beliau Saw. melarang setiap orang di antara kami
beristinja dengan tangan kanannya,
melarang buang hajat dengan menghadap kiblat, dan melarang kami bersuci
menggunakan kotoran (yang sudah kering) dan tulang. Beliau Saw. berkata:
“Janganlah salah seorang dari kalian bersuci tanpa tiga buah batu.” (HR. Muslim
dan al-Baihaqi)
Tirmidzi meriwayatkan
hadits ini pula dan berkata: Status hadits ini hasan
shahih.
Juga berdasarkan
hadits yang diriwayatkan dari Abu Qatadah dari ayahnya:
“Sesungguhnya Nabi
Saw. melarang seseorang memegang kemaluannya dengan tangan kanannya.” (HR.
Tirmidzi)
Tirmidzi berkata:
status hadits ini hasan shahih.
8. Dimakruhkan berbicara dengan orang lain atau
berbicara dengan dirinya sendiri dengan suara yang bisa terdengar orang lain.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar.
“Bahwasanya seseorang
lewat, dan Rasulullah Saw. sedang buang air kecil, lalu dia mengucapkan salam,
tetapi Rasulullah Saw. tidak menjawab salamnya itu.” (HR. Muslim, Ibnu Majah,
an-Nasai, Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Bisa jadi seseorang
bertanya-tanya: Mengapa hukum berbicara ketika buang air besar itu bukan haram,
malah makruh, padahal ada hadits yang diriwayatkan Abu Said, dia berkata: Aku
mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
“Janganlah dua orang
lelaki keluar, lalu buang hajat dalam keadaan terbuka auratnya dan
bercakap-cakap, karena sesungguhnya Alah Swt. murka terhadap hal itu.” (HR.
Ahmad, Baihaqi, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Maka saya katakan:
Hadits ini menunjukkan bahwa kemurkaan itu tidak ditujukan pada tindakan
bercakap-cakap ketika sedang buang air besar. Seandainya ditujukan terhadap
tindakan bercakap-cakap, tentu saja layak menjadi dilalah
diharamkannya tindakan bercakap-cakap. Hadits tersebut menunjukkan bahwa
kemurkaan Allah Swt. itu ditujukan pada kondisi terbukanya aurat seseorang pada
orang lain sambil bercakap-cakap dengannya, di mana keduanya dalam keadaan
terbuka aurat. Hal ini tidak ragu lagi hukumnya adalah haram. Ibnu Hibban telah
meriwayatkan sebuah hadits dengan lafadz yang mengandung pengertian seperti
itu:
“Janganlah dua orang
duduk buang air besar sambil bercakap-cakap, satu sama lain saling melihat
aurat masing-masing, karena Allah Swt. murka terhadap hal seperti itu.”
Kemurkaan yang
menunjukkan pengharaman itu ditujukan pada kondisi saling melihat aurat, bukan
ditujukan pada aktivitas berbincang dan bercakap-cakap semata.
Riwayat lain yang
menunjukkan kemakruhan berbincang itu adalah hadits Ibnu Umar di atas yang
diriwayatkan Abu Dawud, di mana kemudian Abu Dawud berkata: dan diriwayatkan
dari Ibnu Umar dan selainnya:
“Bahwasanya Rasulullah
Saw. bertayammum, kemudian beliau Saw. membalas salam seseorang.”
Hadits ini
diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah.
Begitu pula hadits
yang diriwayatkan dari al-Muhajir bin Qunfudz:
“Bahwasanya dia
mendatangi Nabi Saw. yang waktu itu sedang buang air kecil. Dia mengucapkan
salam kepadanya, tetapi beliau Saw. tidak membalasnya hingga beliau berwudhu.
Kemudian beliau Saw. mengemukakan alasan kepadanya. Beliau Saw. bersabda:
“Sesungguhnya aku tidak suka menyebut nama Allah azza
wa jalla kecuali dalam keadaan suci.” Atau beliau berkata: Dalam keadaan
suci.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Kedua hadits ini
menerangkan alasan (‘illat) tidak
berbicara, yakni ketidaksukaan/keengganan menyebut nama Allah, kecuali dalam
keadaan suci, dan ini menjadi qarinah
yang layak untuk mengalihkan hukum berbincang/bercakap menjadi makruh saja.
Pendapat inilah yang dipegang oleh sebagian besar ahli fiqih, baik dulu ataupun
sekarang.
9. Dimakruhkan menghadap atau membelakangi
kiblat ketika buang hajat, kecuali jika menggunakan sesuatu sebagai penutup
maka tidak apa-apa (menghadap atau membelakangi kiblat). Kemakruhan ini berlaku
jika buang hajat dilakukan di tempat terbuka di luar rumah (al-khala). Namun jika buang hajat tersebut
dilakukan di kamar mandi yang dibuat di dalam rumah maka tidak apa-apa
menghadap atau membelakangi kiblat, karena dinding kamar mandi menutupi orang
yang ada di dalamnya. Terdapat beberapa hadits yang membahas persoalan ini, dan
kita akan mengkajinya lebih jauh dalam rangka menggali beberapa hukum darinya:
1) Dari Abu Hurairah
dari Rasulullah Saw. beliau Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian duduk buang hajat maka janganlah menghadap kiblat, dan jangan pula
membelakanginya.” (HR. Muslim, Ahmad dan ad-Darimi)
2) Dari Abu Ayub
al-Anshari bahwasanya Nabi Saw. bersabda:
“Jika kalian buang
hajat, maka janganlah menghadap dan membelakangi kiblat, baik buang air kecil
ataupun buang air besar, tetapi hendaknya kalian menghadap ke timur atau ke
barat.” Abu Ayub berkata: Lalu kami tiba di Syam, di sana kami melihat kakus
dibangun menghadap kiblat. Maka kami berpaling menjauh darinya dan meminta
ampunan kepada Allah. Dia berkata: Ya.” (HR. Muslim, Ahmad, Bukhari, Ibnu Majah
dan Abu Dawud)
3) Dari Ibnu Umar, dia
berkata:
“Aku naik ke atas
rumah saudariku, Hafshah, lalu aku melihat Rasulullah Saw. sedang duduk buang
hajat dalam keadaan menghadap ke arah Syam, membelakangi kiblat.” (HR. Muslim
dan Bukhari)
4) Dari Ibnu Umar, dia
berkata:
“Lalu aku melirik,
maka aku melihat tempat buang hajat Rasulullah Saw. menghadap kiblat.” (HR.
Baihaqi dan Ibnu Majah dengan status sanad yang layyin)
5) Dari Ibnu Umar ra.,
dia berkata:
“Lalu aku melihat
Rasulullah Saw. berada di atas dua batu bata menghadap Baitul Maqdis, sedang
membuang hajatnya.” (HR. Ibnu Hibban, ad-Daruquthni, an-Nasai dan Ibnu Majah)
6) Dari Aisyah ra.,
dia berkata:
“Di sisi Nabi
diceritakan suatu kaum yang tidak suka menghadapkan kemaluan mereka ke arah
kiblat, maka Nabi Saw. berkata: “Aku melihat mereka telah melakukannya, maka
hadapkanlah tempat dudukku (tempat buang hajat) ini oleh kalian ke arah
kiblat.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)
Ad-Daruquthni
meriwayatkan hadits ini pula dan berkata: ini merupakan sanad yang paling dhabit. Hadits ini pun dihasankan oleh an-Nawawi.
7) Dari Marwan
al-Ashfar, dia berkata:
“Aku melihat Ibnu Umar
menderumkan untanya menghadap kiblat, kemudian dia duduk untuk buang air kecil
ke arah kiblat. Maka aku bertanya: Wahai Abu Abdirrahman, bukankah ini
dilarang? Ibnu Umar berkata: Benar, tetapi sesungguhnya (buang air kecil
menghadap kiblat) yang dilarang itu adalah ketika dilakukan di ruang terbuka,
jika di antara kamu dengan kiblat ada sesuatu yang menghalangimu, maka tidak
apa-apa.” (HR. Abu Dawud, Baihaqi dan Ibnu Khuzaimah)
Ibnu Hajar berkata:
Abu Dawud dan al-Hakim meriwayatkan hadits ini dengan sanad yang tidak
bercacat.
8) Dari Jabir bin
Abdillah:
“Nabiyullah Saw.
melarang kami menghadap kiblat ketika buang air kecil, lalu aku melihat beliau
Saw. (buang air kecil) menghadap kiblat satu tahun sebelum beliau Saw. wafat.”
(HR. Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah)
Hadits ini
diriwayatkan dan dihasankan oleh Tirmidzi, dishahihkan
oleh Bukhari dan Ibnu Khuzaimah.
9) Dari Abu Hurairah,
dari Nabi Saw.:
“Barangsiapa buang air
besar, maka hendaklah dia menutupi dirinya. Jika dia tidak menemukan sesuatupun
untuk digunakan sebagai penutup kecuali gundukan pasir, hendaklah dia pergi ke
belakangnya, karena setan itu bermain-main di atas tempat duduk (tempat buang
air) anak Adam. Barangsiapa yang melakukannya maka dia telah berbuat baik, dan
barangsiapa yang tidak melakukannya maka tidak apa-apa.” (HR. Ahmad dan
al-Baihaqi)
Ibnu Majah dan Abu
Dawud meriwayatkan satu bagian dari hadits ini.
Hadits yang pertama
menunjukkan keumuman larangan menghadap dan membelakangi kiblat. Begitupula
hadits yang kedua dan bagian pertama hadits yang kedelapan, tanpa adanya
pengkhususan apakah dilakukan di ruang terbuka (al-fadha/al-khala) ataukah di dalam bangunan.
Hadits yang ketiga,
keempat, kelima dan keenam, serta bagian kedua hadits yang kedelapan, semuanya
menunjukkan menghadap dan membelakangi kiblat berdasarkan perbuatan dan
perkataan Rasulullah Saw. Kemudian muncullah hadits kedelapan terkait penetapan
waktu menghadap kiblat tersebut, yakni setahun sebelum wafatnya Nabi saw.
Orang yang menelaah
nash-nash ini pertama kali akan menduga, bahwa terdapat kontradiksi di antara
nash-nash tersebut, sehingga dia akan berpendapat adanya nasakh (penghapusan), seraya mengatakan bahwa
hadits-hadits menghadap kiblat telah menasakh
hadits-hadits yang melarang menghadap kiblat. Terlebih lagi ketika terbukti
bahwa hadits yang kedelapan ini merupakan hadits yang terakhir, di mana yang
terakhir akan menghapus yang datang sebelumnya. Tetapi mengingat kaidah
mengamalkan dalil-dalil itu lebih diprioritaskan daripada mengabaikan
sebagiannya, dan mengingat pula kesimpulan adanya nasakh
itu tidak diambil kecuali ketika pengkompromian di antara dalil-dalil tersebut
tidak bisa dilakukan, dan dengan mengkaji lebih dalam nash-nash tersebut, maka
akan kita temukan adanya peluang mengkompromikan dalil-dalil tersebut, di mana
hadits-hadits yang melarang kencing menghadap kiblat itu ditujukan untuk buang
hajat yang dilakukan di ruang terbuka dan sahara, dan hadits yang menunjukkan
bolehnya menghadap dan membelakangi kiblat tetap bisa diamalkan ketika buang
hajatnya dilakukan di dalam rumah atau bangunan.
Hal ini karena
hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya menghadap dan membelakangi kiblat layak
untuk mentakhsis keumuman larangan yang
disebutkan dalam sejumlah hadits yang memang tidak dinasakh.
Kesimpulan adanya takhsis ini lebih diprioritaskan daripada
kesimpulan adanya nasakh. Pemahaman ini
diperkuat oleh dua perkara:
a. Sesungguhnya hadits-hadits yang menyebutkan
menghadap dan membelakangi kiblat itu berdasarkan beberapa qarinah, jelas menunjukkan bahwa hal itu
dilakukan di dalam rumah atau bangunan, dengan dilalah:
“Lalu aku melihat
tempat buang hajat Rasulullah Saw.”
Dan:
“Di atas dua bata
menghadap Baitul Maqdis, sedang membuang hajat.”
Dan:
“Dan hadapkanlah
tempat dudukku (tempat buang hajat) oleh kalian ke arah kiblat.”
Nash-nash ini membahas
masalah menghadap dan membelakangi kiblat di dalam rumah, karena kakus dan batu
bata itu adanya di dalam rumah dan bangunan.
Hadits Ibnu Umar yang
ketiga menunjukkan pengertian yang sama, ketika dia berkata:
“Aku naik ke atas
rumah saudariku, Hafshah, lalu aku melihat Rasulullah Saw. sedang duduk buang
hajat.”
Telah diketahui bahwa
rumah Hafshah, isteri Rasulullah Saw., terletak di tengah-tengah perumahan
Madinah di samping masjid. Sulit dipahami Ibnu Umar yang sedang berada di atas
rumah saudarinya bisa melihat beliau Saw. sedang buang air kecil ataupun buang
air besar, melainkan pastinya beliau Saw. berada dekat dengannya di dalam salah
satu rumah, bukan sedang berada di tengah padang pasir.
Terlebih lagi
kebiasaan Rasulullah Saw. yang suka menjauh dan menyembunyikan diri agar tidak
nampak ketika buang hajat.
b. Hadits yang ketujuh merupakan nash yang sharih, yang membedakan antara padang pasir
dengan bangunan. Pernyataan Ibnu Umar:
“Sesungguhnya (buang
air kecil menghadap kiblat) yang dilarang itu adalah ketika dilakukan di ruang
terbuka.”
Walaupun ini merupakan
pernyataan seorang sahabat, tetapi bisa dihukumi marfu'
dengan dilalah lafadz “dilarang.” Lafadz
ini menunjukkan bahwa Rasulullah
Saw. itulah yang melarang buang hajat di ruang terbuka.
Mafhum yang bisa didapat dari nash ini adalah
bahwa larangan tersebut tidak mencakup rumah dan bangunan, yakni dengan dilalah mafhum
mukhalafah. Dua perkara ini menunjukkan bahwa larangan menghadap dan
membelakangi kiblat itu hanya berlaku di ruang terbuka, seperti dataran
misalnya, bukan di rumah.
Hadits kedelapan pun
dipahami seperti ini, yakni bahwa Jabir tentu melihat beliau Saw. di rumah,
bukan di gurun pasir. Dalam arti hadits yang umum dibawa pada pengertian hadits
yang telah ditakhsis.
Tinggalah kini dua
syubhat yang harus diperhatikan, yakni:
a. Alasan apa yang
mendasari kesimpulan bahwa batu bata dan kakus itu berada di dalam bangunan?
b. Bagaimana kita
menafsirkan pernyataan Abu Ayub al-Anshari:
“Lalu kami dapati
kakus dibangun menghadap kiblat, maka kami berpaling menjauh darinya dan
meminta ampunan kepada Allah.”
Mengenai syubhat
(kesamaran) yang pertama, walaupun bisa disingkap oleh fakta, tetapi kita
memiliki satu nash yang bisa menghilangkan syubhat tersebut, yakni ucapan yang
disampaikan Aisyah dalam hadits ifki
yang cukup panjang.
“Lalu aku keluar
bersama Ummu Misthah menuju al-manashi',
tempat kami buang hajat. Kami tidak keluar kecuali di suatu malam hingga malam
berikutnya. Ini dilakukan sebelum kami membuat kakus dekat rumah kami.” (HR.
Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Dilalah hadits ini sangat jelas.
Syubhat yang kedua
bisa dijelaskan bahwa pernyataan dan perbuatan Abu Ayub al-Anshari dan sejumlah
sahabat lainnya bisa jadi mereka belum mendengar nash pentakhsis tersebut, sehingga mereka berpegang
pada keumuman larangan tersebut. Bagaimanapun juga, hal tersebut tidak keluar
dari fakta sebagai pemahaman seorang sahabat, ini tidak bisa menjadi dalil yang
kokoh ketika dihadapkan pada hadits-hadits yang marfu’.
Tinggallah kini hadits
yang kesembilan:
“Barangsiapa yang
melakukannya maka dia telah berbuat baik, dan barangsiapa yang tidak
melakukannya maka tidak apa-apa.”
Nash ini menjadi qarinah yang mengalihkan hadits-hadits
larangan tersebut pada kemakruhan saja, bukan pengharaman sebagaimana yang
dinyatakan oleh Malik dan as-Syafi’i, Ahmad dalam salah satu riwayatnya, Ishaq
dan as-Sya'biy.
Ringkasnya, yang
dimakruhkan itu adalah menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang hajat di
ruang terbuka tanpa penutup apapun. Namun ketika seseorang menjadikan sesuatu
sebagai penutup (ketika dia buang hajat) lalu dia menghadap atau membelakangi
kiblat, maka hal itu tidak apa-apa baginya, sebagaimana tidak menjadi masalah
menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang hajat di rumah.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar